KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN DERAJAT SUDUT DEVIASI SEPTUM NASI DENGAN CONCHA BULLOSA PNEUMATISASI INDEX PADA PASIEN YANG MENJALANI PEMERIKSAAN CT SCAN SINUS PARANASALIS

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK, MEDAN DARI PERIODE

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

for preparing endoscopic sinus surgery, 34 males and 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012.

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

ABSTRAK PREVALENSI APENDISITIS AKUT DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG, PERIODE 1 JANUARI 31 DESEMBER 2008

RINOSINUSITIS KRONIS

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 4 METODE PENELITIAN

AKURASI GEJALA KLINIS KRITERIA TASK FORCE TERHADAP INDEKS LUND-MACKAY TOMOGRAFI KOMPUTER. Tesis

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG TAHUN 2012

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI

ABSTRACT DENTAL MALOCCLUSION AND SKELETAL MALOCCLUSION INFLUENCE AGAINST TEMPOROMANDIBULAR DYSFUNCTION

BAB III METODE PENELITIAN

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK MIGRAIN DI RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN (RSUP) DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI 2010 JUNI 2012

HUBUNGAN SKOR APRI DENGAN DERAJAT VARISES ESOFAGUS PASIEN SIROSIS HATI KARENA HEPATITIS B

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : ANNISA DWI ANDRIANI

GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : VERA ANGRAINI

SKRIPSI GAMBARAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK USIA 0-12 TAHUN YANG TERPAPAR ASAP ROKOK DI RUMAH SAKITGOTONG ROYONG SURABAYA

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

HUBUNGAN ANTARA GLAUKOMA DENGAN DIABETES MELITUS DAN HIPERTENSI SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

: PPDS THT FK-USU (Asisten Ahli) : Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala dan. A. Nama : dr. Siti Nursiah, Sp. THT-KL NIP :

PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012

ABSTRAK KORELASI ANTARA TOTAL LYMPHOCYTE COUNT DAN JUMLAH CD4 PADA PASIEN HIV/AIDS

HUBUNGAN PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN KEJADIAN OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Hasma Idris Nohong, Abdul Kadir, Muh. Fadjar Perkasa

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

Teknik Radiografi Sinus Paranasal

PROFIL PASIEN RINOSINUSITIS KRONIS DI RUMAH SAKIT PHC SURABAYA TAHUN 2013

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Revisi Pada Rinosinusitis Kronis

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELITUS PADA ORANG DEWASA YANG DIRAWAT INAP DIRUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP TERJADINYA DRY MOUTH PADA PEROKOK FILTER DI KELURAHAN SUKAWARNA BANDUNG

IZRY NAOMI A. L. TOBING NIM

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

Kata kunci : palatum, maloklusi Angle, indeks tinggi palatum

Hubungan derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum dengan disfungsi tuba Eustachius

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

GAMBARAN TRANSILUMINASI TERHADAP PENDERITA SINUSITIS MAKSILARIS DAN SINUSITIS FRONTALIS DI POLI THT RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

Radiotherapy Reduced Salivary Flow Rate and Might Induced C. albicans Infection

HUBUNGAN RINITIS ALERGI DENGAN KEJADIAN ASMA BRONKIAL PADA SISWA/I SMPN 1 MEDAN. Oleh: JUNIUS F.A. SIMARMATA

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis


ABSTRAK PROFIL PENDERITA HEMOPTISIS PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP SANGLAH PERIODE JUNI 2013 JULI 2014

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

Kata kunci: Status Tempat Tinggal, Tempat Perindukkan Nyamuk, DBD, Kota Manado

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CAKRADENTA YUDHA POETERA G

Gambaran Pasien Hirschprung Disease Pada Anak Usia 0-15 Bulan di RSUD Dr.Pirngadi Medan Pada Tahun

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode potong lintang (cross-sectional).

Kata kunci : asap rokok, batuk kronik, anak, dokter praktek swasta

Hubungan Merokok dan Kejadian Nasofaring

Hubungan Paparan Debu Kayu dengan Waktu Transport Mukosiliar Hidung (TMSH) pada Karyawan Perusahaan Mebel CV. Citra Jepara Furniture, Semarang

Transkripsi:

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK CORRELATION OF NASAL AND SINUS ANATOMICAL VARIATIONS PARANASALIS CT IMAGE BASED ON THE INCIDENCE OF CHRONIC RHINOSINUITIS Julyanti Emilia 1, Nurlaily Idris 1, Muhammad Ilyas 1, Frans Liyadi 1 Muh. Fadjar Perkasa 2, Burhanuddin Bahar,3 1 Bagian Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin Makassar 2 Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher, Universitas Hasanuddin Makassar 3 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin Makassar Alamat Koresponden : Julyanti Emilia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 085243349609 Email : julyantie@gmail.com 1

Abstrak Variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis merupakan salah satu faktor penyebab gangguan drainase hidung dan sinus paranasalis dan diduga menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian rinosinusitis kronik.penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis pada kejadian rinosinusitis kronik berdasarkan pemeriksaan CT Scan. Penelitian ini dilakukan di bagian Radiologi RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Metode penelitian bersifat cross sectional, dilakukan selama bulan November 2012 sampai Februari 2013. Total sampel 119 pada pasien yang dicurigai rinosinusitis kronik, berumur antara 10 76 tahun, yang memenuhi kriteria inklusi. Kemudian dilakukan pemeriksaan CT Scan sinus paranasalis potongan coronal pada pasien dengan gejala klinik rinosinusitis kronik untuk mengidentifikasi dan menentukan ada tidaknya variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis Analisis statistik yang dilakukan berdasarkan skala pengukuran yaitu : Uji Chi-Square dan Uji Fisher. Hasil penelitian ini adalah jenis variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis yang didapatkan pada CT Scan potongan coronal yaitu sel frontal, sel agger nasi, bula etmoid, prosessus unsinatus, sel haller, concha bullosa dan deviasi septum nasi. Didapatkan pula bahwa variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis yang paling banyak menyebabkan rinosinusitis kronik adalah deviasi septum nasi dan bula etmoid. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara ada atau tidaknya variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis dengan kejadian rinosinusitis kronik Dan juga tidak terdapat hubungan bermakna antara jumlah variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis dengan kejadian rinosinusitis kronik. Kata kunci : CT scan, sinus paranasalis, variasi anatomi, rinosinusitis kronik. Abstrac This study aimed to assess the association between variations in the anatomy of the nose and sinuses paranasalis in the incidence of chronic rhinosinusitis based on a CT Scan. The research was conducted at the Hospital Radiology. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Research methods are cross-sectional, conducted during the months of November 2012 through February 2013. Total sample of 119 patients with clinical symptoms of chronic rhinosinusitis, aged between 10-76 years. Sinus CT examination paranasalis coronal pieces in patients with clinical symptoms of chronic rhinosinusitis to identify and determine the presence or absence of nasal and sinus anatomical variations paranasalis study was also conducted to compare the frequency of occurrence of chronic rhinosinusitis in patients with and without anatomical variation with the risk of increasing the incidence of chronic rhinosinusitis and determine the number and type of relationship with the incidence of anatomical variations in chronic rhinosinusitis, statistical analysis based on the measurement scales are: Chi-Square test and Fisher test. The results of this study suggest that nasal and sinus anatomy variations paranasalis the most common cause of chronic rhinosinusitis is a deviation of the septum nasi and bullae etmoid. Also obtained the result that there is no significant relationship between the presence or absence of anatomic variations of nasal and sinus paranasalis the incidence of chronic rhinosinusitis And also there is no significant relationship between the amount of variation in the nose and sinus anatomy paranasalis the incidence of chronic rhinosinusitis. Key words: CT scan, sinus paranasalis, anatomical varians, chronic rhinosinusitis. 2

PENDAHULUAN Rinosinusitis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasalis yang terjadi akibat perluasan atau penyebaran suatu rhinitis. Kelainan anatomi hidung dan sinus paranasalis merupakan penyebab terbanyak dari rinosinusitis. (Arfandy, 2003; Ballenger JJ, 1993). Istilah rinosinusitis akhir-akhir ini sering digunakan untuk mengganti istilah sinusitis karena jarang peradangan mukosa sinus yang berdiri sendiri. Salah satu penyebab utama pada rinosinusitis adalah gangguan drainase terhadap patensi kompleks ostiomeatal. Variasi antaomi hidung dan sinus paranasalis seperti: sel frontal, sel agger nasi, bula etmoid, prosessus unsinatus, concha bullosa, sel haller dan deviasi septi merupakan salah satu faktor penyebab gangguan drainase hidung dan sinus paranasalis dan diduga menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian rinosinusitis kronik. Variasi anatomi tersebut dapat menyebabkan ostruksi terhadap kompleks ostiomeatal (KOM) dan mengganggu pembersihan mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya rinosinusitis kronik. (Pinheiro AD,et al, 2003; Rao JJ, et al, 2005). Dilaporkan 3,7% insiden komplikasi intrakranial dari semua pasien yang datang ke rumah sakit dengan gejala klinik rinosinusitis. 35-65% rinosinusitis sebagai sumber abses subdural. Komplikasi intrakranial rinosinusitis umumnya akibat perluasan dari penyakit pada sinus frontal, etmoid atau sphenoid termasuk meningitis, empyema subdural atau epidural, abses otak dan thrombosis (Punagi Q, dkk, 2008) Sinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada sinusitis kronik, sumber infeksi berulang cenderung berupa stenotik. Inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan dalam ruang yang sempit, akibatnya terjadi gangguan transport mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus. Infeksi kemudian menyebar ke sinus yang berdekatan. Dewasa ini teknik operasi bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan kemajuan ilmu yang sangat berarti dalam tatalaksana penyakit rinosinusitis kronik. Gambaran anatomi sinus paranasalis pada CT Scan merupakan kondisi awal yang harus diketahui sebelum pembedahan sinus endoskopi begitu juga dengan evaluasi perluasan penyakit, sehingga membantu operator dalam mengarahkan operasi sesuai dengan luasnya kelainan yang ditemukan. (Muslim, 1999). CT scan merupakan metode yang baik untuk evaluasi struktur anatomi karena dapat memperlihatkan dengan jelas struktur anatomi hidung dan sinus paranasal seperti kondisi kompleks ostiomeatasl, kelainan anatomi, visualisasi ada atau tidaknya jaringan patologis di 3

sinus dan perluasannya (Zinriech, et al, 2001). Pemeriksaan CT Scan mampu memberikan gambaran struktur anatomi pada area yang tidak tampak melalui endoskopi. Pemeriksaan ini sangat baik dalam memperlihatkan sel-sel etmoid anterior, dua pertiga atas kavum nasi dan resessus frontalis. Pada daerah ini CT Scan dapat memperlihatkan lokasi faktor penyebab sinusitis kronis, yaitu KOM (Zinriech, et al, 2001). Tujuan penelitian ini secara umum adalah menilai hubungan antara variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis pada kejadian rinosinusitis kronik berdasarkan pemeriksaan CT Scan. BAHAN DAN METODE Lokasi dan rancangan penelitian Penelitian ini dilakukan di bagian Radiologi RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar mulai bulan November 2012 sampai dengan Februari 2013. Rancangan penelitian yang digunakan adalah observational dengan desain cross sectional study. Populasi dan sampel Populasi adalah seluruh pasien-pasien yang dicurigai menderita rinosinusitis kronik yang datang ke bagian Radiologi untuk pemeriksaan CT Scan sinus paranasalis. Sampel sebanyak 119 pasien dengan gejala klinik rinosinusitis kronik yang diperoleh dengan cara consecutive sampling yang memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien dengan gejala klinik rinosinusitis kronik yang menjalani pemeriksaan CT Scan sinus paranasalis potongan coronal dan didapatkan rinosinusitis dan gambaran sel frontal, sel agger nasi, pembesaran bula etmoid, prosessus unsinatus, konka bullosa, sel Haller dan deviasi septum nasi, serta bersedia mengikuti penelitian ini dengan menandatangani informed consent yang dikeluarkan oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Unhas.. Metode pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti. Dilakukan pencatatan identitas pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan memberikan penjelasan lengkap dan bila setuju mereka akan mengisi dan menandatangani informed concent. Sampel menjalani pemeriksaan CT Scan sinus paranasalis potongan coronal dalam posisi prone, kepala dihiperekstensikan dengan kepala bertumpu pada dagu, gantry diangulasikan tegak lurus dengan garis infraorbitomeatal. Tebal irisan yang ideal adalah 3 mm per slice dengan window width: 2000-2500 HU dan window level 200-350 HU. Hasil CT Scan pada monitor atau print out dievaluasi ada atau tidaknya gambaran variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis dan rinosinusitis kronik pada tiap sisi. Penilaian hasil CT Scan dilakukan oleh pemeriksa dan hasilnya dinilai oleh konsulen 4

dan hasilnya dicatat dalam format penelitian. Data dikumpulkan dan dilakukan analisis data dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis data Data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan variabel penelitian dan disajikan dalam bentuk deskriptif, kemudian dipilih metode statistic yang sesuai. Pada penelitian ini digunakan Uji Chi-Square. Batas kemaknaan yang digunakan adalah nilai α = 0,05. Hasil yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. HASIL PENELITIAN Karakteristik sampel Tabel 1 memperlihatkan sebaran sampel penelitian berdasarkan umur dan jenis kelamin, rentang umur dari 119 sampel adalah 10-76 tahun dengan kelompok umur terbanyak pada umur 31-40 tahun yaitu 30 subjek (25,2%) dan paling banyak pada perempuan yaitu 69 kasus (58%). Pada tabel 2 memperlihatkan frekuensi variasi anatomi pada 119 sampel dengan gejala klinik rinosinusitis kronik ditemukan variasi anatomi yang paling banyak pada deviasi septum nasi yaitu sebanyak 80 (67,2%) dan pada bula ethmoid yaitu sebanyak 32 (26,9%) kemudian diikuti oleh prosessus unsinatus sebanyak 25 (21%), concha bullosa sebanyak 15 (12,6%), sel Haller sebanyak 8 (6,7%), sel agger sebanyak 7 (5,9%) dan sel frontal sebanyak 5 (4,2%). Analisis statistik Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji korelasi Fisher seperti yang terlihat pada tabel 3, tidak ditemukan hubungan bermakna antara ada atau tidaknya variasi anatomi dengan kejadian rinosinusitis kronik.. Begitu pun dengan hasil analisis uji korelasi Fisher pada tabel 4 antara jumlah variasi anatomi dengan kejadian rinosinusitis kronik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah variasi anatomi dengan kejadian rinosinusitis kronik. Kemudian pada tabel 5, dilakukan analisis statistik untuk masing-masing variasi anatomi dimana berdasarkan uji Fisher yang menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara variasi anatomi sel frontal dengan kejadian rinosinusitis kronik (RSK). Begitu pula antara variasi anatomi sel agger nasi, dilakukan uji Fisher yang menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara sel agger nasi dengan kejadian RSK. Kemudian untuk variasi anatomi bula etmoid, dilakukan uji Chi Square menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara bula etmoid dengan kejadian RSK dengan OD = 5

0,352. Untuk variasi anatomi prosessus unsinatus, dilakukan uji Fisher yang menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara prosessus unsinatus dengan kejadian RSK. Untuk variasi anatomi sel haller, dilakukan uji Fisher yang menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara sel Haller dengan RSK. Kemudian untuk variasi anatomi concha bullosa, dilakukan uji Fisher menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara concha bullosa dengan kejadian RSK. Untuk variasi anatomi deviasi septum nasi, dilakukan uji Chi Square menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara deviasi septum nasi dengan kejadian RSK dengan OD = 3,111. PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa jenis variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis yang didapatkan pada CT Scan sinus paranasalis potongan coronal adalah sel frontal, sel agger nasi, bula ethmoid, prosessus unsinatus, sel Haller, concha bullosa dan deviasi septi. Dimana dari 119 sampel didapatkan variasi anatomi sel frontal sebanyak 5 (4,2%) sampel, sel agger nasi sebanyak 7 (5,9%) sampel, bula ethmoid 32 (26,9%) sampel, prosessus unsinatus 25 (21%) sampel, sel Haller 8 (6,7%) sampel, concha bullosa 15 (12,6%) sampel dan deviasi septi sebanyak 80 (67,2%) sampel. Dari hasil uji masing-masing jenis variasi anatomi terhadap kejadian rinosinus kronik didapatkan bahwa yang variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis yang terbanyak menyebabkan rinosinusitis kronik adalah deviasi septi yaitu 80 (67,2%) hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuang, C.T (2004) dan Chalabi (2010) dan juga sesuai dengan teori tentang pengaruh aerodinamik yaitu deviasi septum nasi yang terjadi akibat peningkatan kecepatan aliran udara dalam rongga nasal yang menyebabkan mukosa kering dan fungsi mukosiliat berkurang. Sedangkan variasi anatomi kedua yang terbanyak dari data penelitian ini adalah bula etmoid yaitu sebanyak 32 (26,9%) sampel. Pinas P.I et al (2000) menyatakan dari 110 gambaran CT Scan pasien yang dicurigai rinosinusitis kronik terdapat 95% berhubungan dengan pembesaran bula ethmoid. Bula ethmoid adalah sel ethmoid yang paling besar dengan derajad pneumatisasi yang bervariasi dan dapat mencapai ukuran yang sangat besar sehingga dapat menyebabkan prosessus unsinatus melekuk ke medial dan ke anterior, sehingga dapat mengganggu ventilasi sinus karena menyempitkan meatus media. Kemudian dilakukan uji statistik untuk melihat apakah ada hubungan korelasi antara ada tidaknya variasi anatomi secara umum dengan kejadian rinosinusitis kronik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna (nilai p>0,05) antara ada atau tidaknya variasi anatomi dengan kejadian rinosinusitis kronik. Hal ini mungkin disebabkan bahwa 6

kejadian rinosinusitis tidak hanya disebabkan oleh karena adanya variasi anatomi, tetapi dari beberapa literatur disebutkan bahwa kejadian rinosinusitis kronis juga dicetuskan oleh banyak factor seperti karena alergi, infeksi, polusi udara, proses autoimun, genetik bahkan dapat pula karena idiopatik. Dilakukan pula uji statistik untuk melihat apakah ada hubungan antara jumlah variasi anatomi dengan kejadian rinosinusitis kronik (tabel 6) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna (p>0,05) antara jumlah variasi anatomi dengan kejadian rinosinusitis kronik. Hal ini mungkin disebabkan karena selain variasi anatomi, ada factorfaktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya obstruksi KOM, seperti infeksi, polip, polusi lingkungan dan kebiasaan hidup seperti merokok. Dan juga sepanjang variasi anatomi itu tidak mengganggu fungsi mukosilier, ventilasi dan drainase sinus serta tidak menimbulkan gangguan respirasi, maka variasi anatomi ini tidak dikategorikan sebagai keadaan yang patologis. KESIMPULAN DAN SARAN Variasi anatomi yang sering menyebabkan rinosinusitis kronik adalah deviasi septum nasi dan bula etmoid. Dari uji statistik yang dilakukan menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara ada atau tidaknya variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis dengan kejadian rinosinusitis kronik. Dan juga tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah variasi anatomi dengan kejadian rinosinusitis kronik. Diagnosis variasi anatomi dapat ditegakkan dengan pemeriksaan CT Scan, karena CT Scan mampu menilai anatomi hidung dan sinus paranasalis serta struktur sekitarnya secara keseluruhan dan lebih jelas. Penilaian gambaran variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis akan lebih baik dan lebih jelas dengan menggunakan CT Scan multislice potongan coronal. Dan penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing variasi anatomi terhadap kejadian dari setiap tipe sinusitis tertentu. DAFTAR PUSTAKA Arfandy RB. (2003). Patogenesis dan Etiologi Rinosinusitis. Dalam : Kursus, Diseksi dan Demo Bedah sinus Endoskopik Fungsional II. Makassar. 1-4. Ballenger JJ. (1994). Hidung dan Sinus paranasalis. Dalam : Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher. Edidsi 13. Jakarta : Binarupa Aksara. 1-10. Chalabi Y.E (2010). Clinical Manifestations in different types of nasal septal deviation.the N Iraqi J Med; 6 (3): 24-29. 7

Kuang, CT, (2004). Uncommon Anatomic Variation in Patiens with Cronic Paranasal Sinusitis. American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery. 09. 221-25. Muslim R (1999). Peran Tomografi Komputer dalam Deteksi Kelainan dan Sebagai Persiapan Pra Operasi Bedah Sinus Endoskopi Fungsional pada Penderita Sinusitis Kronik. Kumpulan Makalah Simposium Sinusitis. Bagian THT FK-UI/ RSUP Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta. Pinas P.I et al. (2000). Anatomical Variation in the Human Paranasalsinus Region Studied by CT. J. Anat.; 199: 221-27. Pinheiro AD, Facer, Kem EB, (2003). Rhinosinusitis Current Concept and Management in Balley Head and Neck Surgery-Otolaryngology 3 rd edition. 346-69. Punagi Q, dkk, (2008). Pola Penyakit. Sub Bagian Rinologi di RS Pendidikan Makassar periode 2003-2008. Bagian Ilmu kesehatan THT-KL. Fakukltas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Rao JJ, et all. (2005). Classification Septum Nasal Deviations- Relation The Sinonasal Pathology. Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgery. July- September. 3. Zinreich SJ, Gotwald T. (2001). Radiographic Anatomy of the Sinuses. In: Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, editor. Diseases. Hamilton BC Decker Inc. 13-26.. 8

Lampiran Daftar Tabel Tabel 1. Sebaran sampel penelitian berdasarkan umur dan jenis kelamin Karakteristik Jumlah Persentase(%) Umur (tahun) 20 21 17,7 21-30 20 16,8 31-40 30 25,2 41-50 28 23,5 51-60 15 12,6 > 60 5 4,2 Jumlah 119 100 Jenis Kelamin Laki-laki 50 42 Perempuan 69 58 Jumlah 119 100 Tabel 2. Frekuensi variasi anatomi pada 119 sampel dengan gejala klinis rinosinusitis kronik Variasi anatomi Ada Tidak ada n % n % Sel frontal 5 4,2 114 95,8 Sel agger nasi 7 5,9 112 94,1 Bula ethmoid 32 26,9 87 73,1 Prosessus unsinatus 25 21 94 79 Sel Haller 8 6,7 111 93,3 Concha bullosa 15 12,6 104 87,4 Deviasi septi 80 67,2 39 32,8 Tabel 3. Korelasi antara ada tidaknya variasi anatomi dengan kejadian rinosinusitis kronik. Variasi Rinosinusitis Kronik Jumlah Anatomi p Ada Tidak ada Ada 88 19 107 0,694 Tidak ada 9 3 12 Uji Fisher 9

Tabel 4. Korelasi antara jumlah variasi anatomi dengan kejadian rinosinusitis kronik. Jumlah variasi anatomi Rinosinusitis Kronik Jumlah Ada Tidak ada p < dari 3 87 20 107 1,000 3 10 2 12 Uji Fisher Tabel 5. Korelasi antara setiap jenis variasi anatomi dengan kejadian rinosinusitis kronik. Variasi Anatomi Rinosinusitis Kronik Jumlah Ada Tidak ada p Sel Frontal Ada 3 2 5 0,230 Tidak ada 94 20 114 Sel Agger Nasi Ada 6 1 7 1,000 Tidak ada 91 21 112 Bulla etmoid Ada 22 10 32 0.03 Tidak ada 75 12 87 Prosessus Unsinatus Ada 21 4 25 1,000 Tidak ada 76 18 94 97 22 119 Sel Haller Ada 7 1 8 1,000 Tidak ada 90 21 111 Concha Bullosa Ada 12 3 15 1,000 Tidak ada 85 19 104 Deviasi septi Ada 70 10 80 0,016 Tidak ada 27 12 39 10