2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Ikan Tuna

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PERKEMBANGAN HISTAMIN TUNA (Thunnus sp.) DAN BAKTERI PEMBENTUKNYA PADA BEBERAPA SETTING STANDAR SUHU PENYIMPANAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Tuna ( Thunnus sp )

BIOKIMIA HISTAMIN. DINI SURILAYANI S.Pi., M.Sc

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna ( Thunnus sp)

DINI SURILAYANI, S. Pi., M. Sc.

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan tuna (Thunnus sp.) Sumber :

MENGENAL LEBIH JAUH SKOMBROTOKSIN

2. TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi dan Komposisi Kimia Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Lin)

Gambar 1 Morfologi ikan tongkol (Euthynnus sp.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuna Deskripsi dan klasifikasi ikan tuna ( Thunnus sp.)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

Tuna loin segar Bagian 2: Persyaratan bahan baku

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI RISIKO SEMI-QUANTITATIVE KADAR HISTAMIN IKAN TUNA PADA PROSES PEMBONGKARAN DI TRANSIT DAN PENGOLAHAN PRODUK TUNA LOIN BEKU

Gambar 1 Ikan Tuna (Kardarron 2007).

BAB III BAHAN DAN METODE

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. juga mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral. Soeparno (2009)

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. sangat kecil. Ikan tongkol merupakan perenang tercepat diantara ikan-ikan laut yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kacang merah atau kacang jogo tergolong pangan nabati. Kacang merah

I. PENDAHULUAN. dan cepat mengalami penurunan mutu (perishable food). Ikan termasuk komoditi

BAB I PENDAHULUAN. misalnya sebagai lauk pauk, hal ini karena rasanya yang enak dan memiliki nilai. pangan juga tidak jauh berbeda (Hadiwiyoto, 1993).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. energi untuk kepentingan berbagai kegiatan dalam kehidupan. Bahan makanan terdiri

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) ( /fish/image_gallery/data/media/13/milk.

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Rataan Nilai Warna (L, a, b dan HUE) Dendeng Sapi dengan Metode Perlakuan Curing yang Berbeda

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KADAR HISTAMIN PADA YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacore) ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Kerang. Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai

BABI PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh Samudera

PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG TERJADI PADA SUSU, TELUR DAN DAGING PASCA PANEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISASI GEN hdc PENGKODE ENZIM HISTIDIN DEKARBOKSILASE PADA ISOLAT BAKTERI IKAN TUNA (Thunnus sp) DAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis)

BAB I PENDAHULUAN. Ikan merupakan sumber protein, lemak, vitamin dan mineral yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan,

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

KOMPOSISI DAN MIKROBA TELUR

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan salah satu hasil kekayaan alam yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia untuk dijadikan

Nova Nurfauziawati VI. PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

BAB I PENDAHULUAN. di udara, darat, maupun laut. Keanekaragaman hayati juga merujuk pada

I. PENDAHULUAN. yaitu berkisar jam pada suhu ruang 27 C. Salah satu alternatif untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan-bahan lain seperti garam, bawang merah, bawang putih. Sambal

APLIKASI METODE AKUSTIK UNTUK UJI KESEGARAN IKAN

I. PENDAHULUAN. (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

4 Telur biasanya juga mengandung semua vitamin yang sangat dibutuhkan kecuali vitamin C. Vitamin larut lemak (A, D, E, dan K), vitamin yang larut air

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Nilai konsumsi tahu tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan konsumsi

Dr. Dwi Suryanto Prof. Dr. Erman Munir Nunuk Priyani, M.Sc.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

BAB I PENDAHULUAN. berupa pengawet yang berbahaya (Ismail & Harahap, 2014). Melihat dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subani dan Barus (1989), ikan lolosi merah (C. chrysozona) termasuk

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. makanan sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Dengan pengawetan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) Sheedy (2006), klasifikasi ilmiah ikan Tenggiri yaitu :

ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN. Oleh: Dhias Wicaksono C

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kandungan gizi pada ikan adalah protein, lemak, vitamin-vitamin, mineral,

TINJAUAN PUSTAKA. (a) (b) (c) (d) Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d) Sumber : Firmansyah (2009)

I. PENDAHULUAN. ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran gizi, dan perbaikan

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

0 C. Ikan dimatikan dengan cara menusuk pada kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Total Bakteri Daging Sapi

BAB I. Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang

BAB I PENDAHULUAN. protein hewani yang mengandung omega-3 dan protein yang cukup tinggi sebesar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Media Kultur. Pendahuluan. Komposisi Media 3/9/2016. Materi Kuliah Mikrobiologi Industri Minggu ke 3 Nur Hidayat

Uji Organoleptik Ikan Mujair

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Susu Susu adalah salah satu bahan makanan alami yang berasal dari ternak perah

TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging Ayam

KERUSAKAN BAHAN PANGAN TITIS SARI

Macam macam mikroba pada biogas

Transkripsi:

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Tuna Klasifikasi ikan tuna (Saanin 1984) adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Teleostei Subclass : Actinopterygi Ordo : Perciformes Subordo : Scombridae Family : Scombridae Genus : Thunnus Species : Thunnus obesus (big eye tuna, tuna mata besar) Thunnus alalunga (albacore, tuna alcar) Thunnus albacore (yellowfin tuna, madidihang) Tuna mempunyai bentuk tubuh seperti torpedo dengan kepala yang lancip. Tubuhnya licin, sirip dada melengkung dan sirip ekor bersesak dengan celah yang lebar. Bagian belakang sirip punggung dan sirip dubur terdapat sirip sirip tambahan yang kecil-kecil dan terpisah-pisah. Sirip-sirip punggung, dubur, perut, dan dada, pada pangkalnya mempunyai lekukan pada tubuh sehingga dapat memperkecil daya gesakan air pada saat ikan itu berenang dengan kecepatan penuh. Ikan tuna terkenal sebagai perenang-perenang yang hebat, bisa mencapai kecepatan sekiatar 77 km/jam. Umumnya ikan-ikan tuna ini hidup dengan mengarungi samudra-samudra besar didunia (Nontji 2002). Morfologi ikan Tuna dapat dilihat pada Gambar 1.

4 Gambar 1 Ikan tuna (Thunnus sp) (Fishbase 2010). Migrasi ikan tuna di perairan Indonesia mencakup wilayah perairan pantai, teritorial, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (DKP 2008 c ). Tuna yang termasuk komoditi ekspor adalah madidihang, tuna mata besar, albacora, tuna sirip biru dan cakalang. Jenis-jenis tuna besar tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1 Jenis-jenis ikan tuna Nama ilmiah Nama Indonesia Nama Inggris Thunnus albacore Madidihang Yellowfin tuna T. obesus Tuna mata besar Big eye tuna T. alalunga Albacora Albacore T. maccoyii Tuna sirip biru selatan Southtern bluefin tuna T. tonggol Tuna ekor panjang Longtile tuna T. thynnus Tuna sirip biru utara Northtern bluefin tuna T. altanticus Tuna sirip hitam Blackfin tuna Sumber : Uktolseja et al., (1998) Ikan tuna mempunyai daerah penyebaran yang luas. Tuna kecil sifatnya lebih kosmopolitan karena terdapat di seluruh perairan, terkecuali cakalang lebih menyukai perairan yang kadar garamnya tinggi. Ikan tuna dapat berenang dengan cepat dan beberapa jenis misalnya cakalang dan madidihang migrasinya sangat jauh tidak saja antar negara tetapi juga antar samudera.

5 2.2 Komposisi Gizi Ikan Tuna Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6-26,2 g/100 g daging, lemak antara 0,2-2,7 g/100 g daging serta mengandung mineral (kalsium, fosfor, besi, sodium), vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin,riboflavin, dan niasin). Komposisi gizi beberapa jenis tuna tercantum pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp.) per 100 gram daging ikan Komposisi Bluefin Skipjack Yellowfin Satuan Energi 121,0 131,0 105,0 Kal Protein 22,6 26,2 24,1 G Lemak 2,7 2,1 0,2 G Abu 1,2 1,3 1,2 Mg Calsium 8,0 80,0 9,0 Mg Phosphor 190,0 220,0 220,0 Mg Besi 2,7 4,0 1,1 Mg Sodium 90,0 52,0 78,0 Mg Retinol 10,0 10,0 5,0 Μg Thiamin 0,1 0,03 0,1 Mg Riboflavin 0,06 0,15 0,1 Mg Niasin 10,0 18,0 12,2 Mg Sumber : US Departemen of Health, Education, and Welfare 1972 2.3 Mutu dan Kemunduran Mutu Ikan Mutu ikan identik dengan kesegaran ikan. Bentuk bahan baku ikan segar dapat berupa ikan utuh atau tanpa insang dan isi perut. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan kebusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu dan tidak membahayakan kesehatan. Kesegaran ikan memberikan kontribusi besar terhadap mutu dari ikan tersebut. Kemunduran mutu pada ikan dapat

6 disebabkan oleh penanganan bahan baku pada saat pascapanen ataupun saat diolah (Bremner 2000). Perubahan reaksi biokimia dan fisika kimia yang sangat cepat terjadi mulai dari ikan tersebut dibunuh sampai dikonsumsi. Perubahan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahap yaitu : a. Hiperaemia (pre rigor) Tahap hiperaemia secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar Adenosin Tri Phosphat (ATP) dan kreatin fosfat seperti halnya pada reaksi aktif glikolisis serta lendir yang terlepas dari kelenjar-kelenjarnya di dalam kulit ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh ikan dapat sangat banyak hingga mencapai 1,2-5% dari berat tubuhnya (Eskin 1990). b. Rigor mortis Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigor mortis. Tingkat atau tahapan rigor ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan yang merupakan hasil dari perubahan-perubahan biokimia yang kompleks di dalam otot ikan. Tubuh ikan yang mengejang yang berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap awal dan menjadi cepat pada tahap selanjutnya (Zaitsev et al. 1969). Tingkat rigor ini berlangsung sekitar 1 sampai 12 jam sesaat setelah ikan mati. Pada umumnya ikan mempunyai proses rigor yang pendek, kira-kira 1 sampai 7 jam setelah ikan mati. Lamanya rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan temperatur lingkungan (Zaitsev et al. 1969). Kandungan glikogen yang tinggi menunda datangnya proses rigor sehingga menghasilkan produksi daging dengan kualitas tinggi dan ph rendah. Pencapaian ph serendah mungkin dalam jaringan ikan merupakan hal yang penting karena dapat mencegah pertumbuhan bakteri dan untuk memperoleh warna daging yang diinginkan (Eskin 1990). Pada fase rigor mortis, ph tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari ph mula-mula 6,9-7,2. Tinggi rendahnya ph awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging

7 ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, tri metil amin oksida (TMAO) dan basa-basa menguap. Proses rigor mortis dikehendaki selama mungkin karena proses ini dapat menghambat proses penurunan mutu oleh aksi mikroba. Semakin singkat proses rigor mortis maka ikan semakin cepat membusuk (FAO 1995). c. Post Rigor Indikasi awal proses pembusukan ikan adalah terjadinya kehilangan karakteristik dari bau dan rasa ikan, yang berkaitan dengan degradasi secara autolisis. Autolisis adalah proses penguraian protein dan lemak oleh enzim (protease dan lipase) yang terdapat di dalam daging ikan. Salah satu ciri-ciri terjadinya perubahan secara autolisis adalah dihasilkannya amoniak sebagai hasil akhir pada jaringan tubuh. Penguraian protein dan lemak dalam autolisis menyebabkan perubahan rasa, tekstur, dan penampakan ikan (FAO 1995). Autolisis dimulai bersamaan dengan penurunan ph. Mula-mula protein terpecah menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan dehidrasi lalu pecah lagi menjadi polipeptida, pepton, dan akhirnya menjadi asam amino. Disamping asam amino, autolisis juga menghasilkan sejumlah kecil pirimidin dan purin, basa yang dibebaskan pada waktu pemecahan asam nukleat. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Autolisis akan merubah struktur daging sehingga kekenyalan menurun (Zaitsev et al. 1969). Autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam suhu yang sangat rendah. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri. Semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya (FAO 1995). d. Busuk Setelah fase rigor mortis berakhir dan pembusukan bakteri berlangsung maka ph daging akan naik mendekati netral hingga 7,5-8,0 atau lebih tinggi jika proses pembusukan sangat parah. Tingkat keparahan pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa. Pada kondisi ini, ph ikan akan naik dengan perlahan-lahan dan dengan semakin banyaknya senyawa basa yang terbentuk akan semakin mempercepat kenaikan ph ikan (FAO 1995). Jumlah

8 bakteri pada tahap ini sudah cukup tinggi akibat perkembangbiakan yang terjadi pada tahap-tahap sebelumnya. Kegiatan bakteri pembusuk dimulai pada saat yang hampir bersamaan dengan autolisis dan kemudian berjalan sejajar (Eskin 1990). 2.4 Histamin Histamin merupakan komponen amin biogenik yaitu bahan aktif yang diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas serta terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti ikan, daging merah, keju dan makanan fermentasi (Keer et al. 2002). Keracunan histamin merupakan suatu intoksikasi akibat mengkonsumsi ikan laut yang umumnya berasal dari famili scombroid, seperti tuna, mackerel, cakalang, dan sejenisnya. Histamin merupakan senyawa amin biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim dekarboksilase (Dalgaard et al. 2008). Indriati et al. (2006) menyatakan bahwa histamin merupakan salah satu senyawa biogenik amin yang dianggap sebagai penyebab utama keracunan makanan yang berasal dari ikan, terutama dari kelompok scombroid. Histamin merupakan komponen yang kecil, mempunyai berat molekul rendah yang terdiri dari cincin imidazol dan sisi rantai etilamin. Histamin juga merupakan komponen yang tidak larut air. Histamin merupakan salah satu amin biogenik yang mempunyai pengaruh terhadap fisiologis manusia. Struktur kimia histamin dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Struktur kimia histamin (Keer et al. 2002). Satuan kadar histamin dalam daging ikan dapat dinyatakan dalam mg/100g atau ppm (mg/1000g). Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya sehingga meningkatkan

9 potensi peningkatan kadar histamin, khususnya untuk penyimpanan dan penanganan yang salah (Keer et al. 2002). Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin dapat terjadi melalui dua cara yaitu autolisis dan aktivitas bakteri. Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin dapat dilihat pada Gambar 3 Histidin decarboxylase Histidin Histamin Gambar 3 Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin (Keer et al. 2002). 2.4.1 Pembentukan histamin akibat aktivitas bakteri Setelah ikan mati, sistem pertahanan tubuhnya tidak bisa lagi melindungi dari serangan bakteri, dan bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam amino bebas lainnya menjadi histamin. Histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi (>20 C). Pendinginan dan pembekuan yang cepat, segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan scombrotoxin (histamin). Histamin tidak akan terbentuk bila ikan selalu disimpan dibawah suhu 5 C. Pembekuan yang terlalu lama (24 minggu) diduga akan menginaktifkan bakteri pembentuk enzim dekarboksilase dan diduga pula dapat mengurangi pembentukan histamin. Penelitian lebih lanjut menyebutkan bahwa kenaikan pembentukan histamin dapat terus berjalan walaupun dalam keadaan penyimpanan beku (Taylor dan Alasalvar 2002). Selama proses kemunduran mutu, bakteri memproduksi enzim dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas dan asam amino lain pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin), kadaverin (dari lisin), serta spermidin dan spermin (dari arginin) (Lehane dan Olley 2000).

10 Bakteri pembentuk histamin secara alami terdapat pada insang dan isi perut ikan. Kemungkinan besar insang dan isi perut merupakan sumber bakteri ini karena jaringan otot ikan segar biasanya bebas dari mikroorganisme. Bakteri ini akan menyebar ke seluruh bagian tubuh selama proses penanganan. Penyebaran bakteri biasanya terjadi pada saat proses pembuangan insang (gilling) dan penyiangan (gutting) (Sumner et al. 2004). Bakteri pembentuk histamin umumnya adalah bakteri mesofilik (Shahidi dan Botta 1994). Berbagai jenis bakteri mampu menghasilkan enzim histidin dekarboksilase (Hdc) termasuk bakteri Enterobacteriaceae dan Bacillaceae (Allen 2004). Umumnya genus Bacillus, Citrobacter, Clostridium, Escherichia, Klebsiella, Lactobacillus, Pediococcus, Photobacterium, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, Shigella dan Streptococcus menunjukkan aktivitas dekarboksilase asam amino (Kanki et al. 2002). Bakteri Pembentuk Histamin (BPH) dapat tumbuh pada kisaran suhu yang cukup luas. Pertumbuhan Bakteri Pembentuk Histamin (BPH) berlangsung lebih cepat pada temperatur yang tinggi (21,1 C) dibandingkan pada temperatur rendah (7,2 C) (FDA 2001). Laporan mengenai temperatur optimum dan batas suhu terendah pembentukan histamin sangat bervariasi. Suhu optimum pembentukan histamin adalah pada suhu 25 C (Keer et al. 2002). Penyimpanan ikan pada suhu 25 C selama 24 jam dapat meningkatkan kandungan histamin yang terkandung hingga 120 mg/100 g (Yoghuci et al. 1990). Menurut Fletcher et al. (1995) pembentukan histamin pada suhu 0-5 C sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Hasil penelitian Price et al. (1991) juga menunjukkan bahwa pembentukan histamin akan terhambat pada suhu 0 C atau lebih rendah. Oleh karena itu, Food And Drug Administration (FDA) menetapkan batas kritis suhu untuk pertumbuhan histamin pada tubuh ikan yaitu 4,4 C (FDA 2001). Jenis-jenis bakteri pembentuk histamin yang terdapat pada ikan laut dan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 3.

11 Tabel 3 Jenis-jenis dan spesifikasi bakteri pembentuk histamin yang terdapat pada ikan laut Bakteri Spesifikasi Hafnia sp Klebsiella sp Escherichia coli Clostridium sp Lactobacillus sp Gram negatif, fakultatif anaerobik (Hafnia alvei) Gram negatif, fakultatif anaerobik (Klebsiella pneumonia) Gram negatif, Fakultatif anaerobik Gram positif, anaerobik (Clostridium perfringens) Gram positif, fakultatif anaerobik (Lactobacillus 30a) Enterobacter spp Gram negatif, fakultatif anaerobik (Enterobacter aerogenes) Proteus sp Gram negatif, fakultatif anaerobik (Proteus morganii) Sumber: Eitenmiller et al. (1982) 2.4.2 Reaksi fisiologis histamin Keracunan histamin disebabkan oleh konsumsi ikan yang mengandung histamin dengan level yang tinggi (Bremer et al. 2003). Gejala keracunan histamin meliputi sakit kepala, kejang, mual, wajah dan leher kemerah-merahan, tubuh gatal-gatal, mulut dan kerongkongan terasa terbakar, bibir membengkak, badan lemas dan muntah-muntah (Eitenmiller et al. 1982). Gejala keracunan histamin dapat terjadi sangat cepat, sekitar 30 menit setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. (Bremer et al. 2003). Histamin pada ikan yang busuk dapat menimbulkan keracunan jika terdapat sekitar 100 mg dalam 100 g sampel daging ikan yang diuji (Kimata 1961). Food And Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa untuk ikan tuna, mahi-mahi dan ikan sejenis, 5 mg histamin/100 g daging ikan merupakan level yang harus diwaspadai sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50 mg histamin/100g daging ikan merupakan level yang membahayakan atau dapat menimbulkan keracunan. Oleh karena itu, jika ditemukan ikan dengan kandungan 5 mg histamin/100 g daging ikan pada satu unit, maka kemungkinan pada unit yang lain, level histamin dapat mencapai lebih dari 50 mg/100 g (FDA 2002). Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan dapat dilihat pada Tabel 4.

12 Tabel 4 Tingkat bahaya histamin per 100 g daging ikan Kadar histamin per 100 g Tingkatan bahaya < 5 mg Aman dikonsumsi 5-20 mg Kemungkinan toksik 20-100 mg Berpeluang toksik > 100 mg Toksik Sumber: Shalaby (1996) dalam Sumner et al. (2004)