PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN. Rasional

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

I. PENDAHULUAN. Peningkatan aktivitas manusia di muka bumi telah mendorong terjadinya

I. PENDAHULUAN. tidak berkelanjutan. Pertanian dengan olah tanah intensif di lahan kering merusak

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di

TINJAUAN PUSTAKA. Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian meter di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

I. PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam bidang

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan

I. PENDAHULUAN. Pakchoy (Brassica sinensis L.) merupakan tanaman sayuran berumur pendek (±

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Iklim Perubahan iklim

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) adalah salah satu komoditas perkebunan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A.

TINJAUAN PUSTAKA Akar Tanaman Kelapa Sawit Ekologi Kelapa Sawit

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dibicarakan karena mengancam masa depan dari kehidupan di bumi

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN:

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT. Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. Industri sawit merupakan salah satu agroindustri sangat potensial di Indonesia

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BUDIDAYA KELAPA SAWIT

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan

ADLN-Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. yang besar bagi kepentingan manusia (Purnobasuki, 2005).

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

P e r u n j u k T e k n i s PENDAHULUAN

BAB IV METODE PENELITIAN

II.TINJAUAN PUSTAKA Emisi Metana dan Nitrous Oksida dari Tanah Pertanian

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman perkebunan penting sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Kotoran Kambing Terhadap Sifat Tanah. Tabel 4.1. Karakteristik Tanah Awal Penelitian

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

BAB IV BASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

I. PENDAHULUAN. ini. Penyebab utama naiknya temperatur bumi adalah akibat efek rumah kaca

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

Pengelolaan lahan gambut

Nama : Putri Kendaliman Wulandari NPM : Jurusan : Teknik Industri Pembimbing : Dr. Ir. Rakhma Oktavina, M.T Ratih Wulandari, S.T, M.

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kelapa Sawit(Elaeis guineensis) tanaman kelapa sawit diantaranya Divisi Embryophyta Siphonagama, Sub-devisio

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah

TINJAUAN PUSTAKA. survei dan pemetaan tanah menghasilkan laporan dan peta-peta. Laporan survei

BAB I PENDAHULUAN. dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang panas. Sinar inframerah tersebut di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 4 g/100 g gambut ternyata meningkatkan fluks CO 2, namun pada dosis urea yang lebih tinggi, respons fluks CO 2 tidak sama yakni tergantung pada tingkat kematangan gambut. Meningkatnya respirasi akibat penambahan pupuk urea disebabkan karena adanya percepatan laju aktivitas mikrob dengan cukup tersedianya sumber energi sumbangan dari pupuk urea. Tersedianya sumber energi ini dibuktikan dengan menurunnya nisbah C/N dengan penambahan urea hingga 16 g/100 g tanah. Dengan meningkatnya dosis urea terjadi penurunan nisbah C/N dari 170 menjadi 33 untuk gambut fibrik, dari 154 menjadi 25 untuk gambut hemik, dan dari 89 menjadi 18 untuk gambut saprik. Penurunan nisbah C/N ini merupakan akibat dari menurunnya C-organik tanah (55,7 menjadi 53,4%) dan meningkatnya kandungan N tersedia tanah (0,4 menjadi 2,6%) pada proses dekomposisi yang dipacu lebih cepat dengan penambahan urea. Nilai nisbah C/N ini akan menunjukkan kualitas dari bahan organik tanah dan adanya potensial mineralisasi N atau immobilisasi N. Nisbah C/N juga merupakan indikator tingkat dekomposisi bahan gambut. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2 hasil penelitian ini disajikan pada Gambar 53. Fluks CO2 (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) 120 100 80 60 40 20 0 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Nisbah C/N Fibrik Hemik Saprik Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2.

92 Dari Gambar 52 jelas terlihat bahwa fluks CO 2 tertinggi baik gambut fibrik, hemik maupun saprik berada pada nisbah C/N 20-40, karena pada nilai nisbah ini sudah terjadi mineralisasi N sehingga memacu aktivitas dan jumlah populasi mikrob. Pada nisbah C/N lebih tinggi, fluks CO 2 semakin rendah. Meningkatnya total populasi mikrob juga dapat menyebabkan meningkatnya fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut. Hasil percobaan menunjukkan adanya peningkatan total populasi mikrob dengan penambahan urea 1 g/100 g gambut. Hasil perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa meningkatnya respirasi akibat pemupukan urea tersebut dapat mencapai 10 kali setelah gambut diinkubasi selama satu minggu, namun respons tersebut tergantung pada tingkat kematangan gambut dan dosis pupuk urea. Hasil percobaan laboratorium ini merupakan dasar untuk memprediksi adanya peningkatan fluks CO 2 dari lahan gambut dengan penambahan pupuk urea, sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk skala penelitian lapang. Dalam penerapan penelitian lapang tersebut hendaknya berlandaskan hasil analisis beberapa karakteristik bahan gambut yang telah diperoleh dari penelitian ini. Karakteristik sifat fisiko kimia gambut ini berasal dari tiga lokasi gambut di desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati yang dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan gambut. Emisi CO 2 dan CH 4 tidak dapat dihindarkan dalam budidaya tanaman kelapa sawit di lahan gambut. Proses emisi pada lahan gambut tidak berhenti sesudah pembukaan hutan. Selama masa budidaya tanaman kelapa sawit, emisi dalam jumlah tinggi tetap terjadi disebabkan berlangsungnya proses dekomposisi gambut oleh mikroorganisme. Pembuatan drainase pada pembukaan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut sangat penting untuk membuang kelebihan air, mencuci sebagian asam-asam organik, dan menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, karena tanaman kelapa sawit tidak dapat tumbuh pada tanah dengan kandungan kadar air tinggi apalagi jenuh air. Fauzi et al. (2006) menjelaskan bahwa perakaran kelapa sawit sangat kuat karena tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier dan kuarter. Akar primer tumbuh ke bawah di dalam tanah sampai batas permukaan air tanah, sedangkan akar sekunder, tertier dan kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan air

93 tanah. Sistem perakaran paling banyak ditemukan pada kedalaman 0-20 cm. Saluran drainase yang biasa dibuat untuk tanaman kelapa sawit sedalam 50-80 cm. Kedalaman drainase ini sangat berpengaruh terhadap proses dekomposisi gambut. Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunan permukaan (subsiden) dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan gambut akan cepat berkurang dan daya sangganya terhadap air menjadi menurun. Data pengukuran emisi CO 2 pada penelitian ini sama seperti yang dikutip dari kebanyakan penelitian lain merupakan data dari pengukuran jangka pendek sehingga memberikan gambaran emisi sesaat, sehingga dapat lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari nilai emisi tahunan yang sebenarnya. Besarnya angka emisi sangat bervariasi antar berbagai penelitian. Penelitian Furukawa et al. (2005) pada tanah gambut di daerah Jambi dengan kedalaman drainase 24 cm menemukan emisi CO 2 sebesar 64 t ha -1 th -1, sedangkan Ali et al. (2005) menyatakan fluks CO 2 di daerah pertanian Jambi dengan kedalaman drainase 78 cm sebesar 77 t ha -1 th -1, kemudian Melling et al. (2005a) menyatakan fluks CO 2 di perkebunan kelapa sawit Serawak (Malaysia) dengan kedalaman drainase 60 cm sebesar 55 t ha -1 th -1 dan menurut Murayama dan Bahar (1996), fluks CO 2 di perkebunan kelapa sawit Johor Barat (Malaysia) dengan kedalaman drainase 80 cm sebesar 54 t ha -1 th -1. Pengukuran emisi GRK jangka panjang dan berulang, diperlukan untuk meningkatkan keyakinan tentang dugaan emisi tahunan yang berasal dari proses dekomposisi gambut ini. Pada penelitian ini, besarnya emisi CO 2 sangat dipengaruhi oleh kedalaman muka air tanah. Hasil pengamatan pada bulan Oktober-Novermber 2008 menunjukkan bahwa pada saat kedalaman muka air tanah berkisar antara 39-86 cm, emisi CO 2 di rhizosfer berkisar antara 6-87 t ha -1 th -1 (rata-rata 30,53 ± 17,94 t ha -1 th -1 ), sedangkan di non rhizosfer berkisar antara 0,1 70 t ha -1 th -1 (rata-rata 19,02 ± 14,22 t ha -1 th -1 ). Nilai emisi CO 2 pada penelitian ini mendekati angka perkiraan emisi CO 2 dari dekomposisi gambut yang ditanami kelapa sawit yang diusulkan oleh Germer dan Sauerborn (2008) yaitu sebesar 31,4 ± 14,1 t ha -1 th -1. Hooijer et al. (2006) dari review sejumlah literatur mengemukakan bahwa untuk kedalaman drainase antara 30 sampai 120 cm, emisi CO 2 akan meningkat setinggi 0,91 t ha -1 th -1 untuk setiap penambahan kedalaman drainase sedalam 1

94 cm, sehingga apabila kedalaman muka air tanah 40-80 cm, maka emisi CO 2 berkisar antara 36,4-72,8 t ha -1 th -1. Peningkatan emisi CO 2 pada gambut tropik lebih tajam dibandingkan dengan gambut beriklim sedang dan gambut kutub. Hal ini diduga karena tingginya rata-rata dekomposisi pada gambut tropik yang memiliki iklim panas dan curah hujan tinggi. Pada penelitian ini menunjukkan hasil bahwa nilai korelasi antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 tidak selalu linier positif pada semua kisaran kedalaman muka air tanah. Pada penelitian ini ditemukan tiga pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 (Gambar 53) yaitu: 1. Pola 1 (pola paling dominan): semakin dalam muka air tanah, emisi CO 2 semakin meningkat. Pada pola ini titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki emisi CO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan titik pengamatan yang lebih jauh dari saluran drainase, karena titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki muka air tanah lebih dalam. Pola hubungan ini umumnya terjadi pada lahan pertanian baru disertai dengan pembuatan drainase yang didominasi oleh gambut fibrik. Drainase baru ini secara drastis menyebabkan menurunnya permukaan air tanah, terjadinya subsiden pada permukaan gambut dan mulai terjadi emisi CO 2 (Hooijer et al., 2006). Emisi CO 2 akan meningkat sejalan dengan semakin dalamnya muka air tanah akibat banyaknya air tanah yang hilang ke saluran drainase, sehingga tercipta kondisi oksidatif yang memacu proses dekomposisi. Lahan gambut yang didominasi oleh gambut fibrik memiliki stabilitas rendah dan kadar air relatif tinggi, sehingga kehilangan C pada gambut ini lebih tinggi daripada gambut lebih matang. Pengaruh drainase ini berbeda dengan gambut yang sudah lama untuk budidaya kelapa sawit. Pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 di lahan gambut Cot Gajah Mati mengikuti pola 1. 2. Pola 2: muka air tanah semakin dalam, emisi CO 2 semakin menurun. Pola ini dapat terjadi pada lahan gambut yang telah lama diusahakan untuk kebun kelapa sawit yang disertai dengan pendalaman saluran drainase. Lahan gambut pada kondisi seperti ini subsiden sudah lebih stabil, permukaan gambut didominasi oleh gambut hemik dan saprik sehingga

95 emisi CO 2 yang dihasilkan tidak meningkat dengan semakin dalamnya muka air tanah, bahkan terjadi sebaliknya. Menurunnya emisi CO 2 dengan semakin dalamnya muka air tanah karena gas CO 2 hasil proses dekomposisi dari bahan gambut yang lebih matang jauh lebih sedikit daripada gambut mentah. 3. Pola 3: muka air tanah semakin dalam, tidak menyebabkan perubahan terhadap emisi CO 2. Pola ini terjadi pada gambut yang didominasi oleh senyawa-senyawa yang telah inert seperti quinon sehingga tidak terbentuk gas CO 2, karena proses dekomposisi sudah berakhir. Emisi CO2 (t ha -1 th -1 ) Kedalaman muka air tanah (cm) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Pola 1 Pola 3 Pola 2 Pola 1 Pola 2 Pola 3 Gambar 53. Pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 CO 2 Dari kajian pengaruh faktor-faktor di lapang yang mempengaruhi emisi dan CH 4, nampak jelas bahwa kedalaman muka air tanah sangat

96 mempengaruhi dinamika emisi CO 2 dan CH 4. Dari hasil pengukuran emisi CO 2 dan CH 4 dari seluruh lokasi penelitian dengan berbagai kedalaman muka air tanah dapat diketahui bahwa emisi CH 4 tidak terdeteksi pada permukaan gambut (kedalaman muka air tanah 0 cm) namun emisi CO 2 mencapai 11,903 t ha -1 th -1. Emisi CH 4 meningkat dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah sampai 18 cm, namun setelah itu terjadi penurunan bahkan sudah tidak terdeteksi pada kedalaman muka air tanah lebih dari 34 cm dari permukaan gambut. Hal ini berkaitan erat dengan kepadatan populasi bakteri metanogen yang jauh lebih sedikit daripada bakteri metanotrop pada bahan gambut di atas rata-rata permukaan air tanah (Granberg et al., 1997) seperti yang dilustrasikan pada Gambar 54. Kepadatan populasi organisme K e d a l a m a n Permukaan vegetasi. Bakteri metanotropik. Tinggi air rata-rata. Bakteri metanogen. Gambar 54. Skema profil kedalaman yang menunjukkan distribusi komonitas bakteri metanogen (penghasil CH 4 ) dan bakteri metanotrop (konsumsi CH 4 ) dalam hubungannya dengan rata-rata permukaan air tanah (Granberg et al.,1997). Alexander (1977) menjelaskan bahwa laju pembentukan CH 4 secara akumulatif ditentukan oleh keberadaan bahan dasar, populasi dan aktivitas mikrob penghasil CH 4 dan lingkungannya. Metanogen membutuhkan redoks potensial lebih kecil dari -200 mv dan tumbuh optimal pada temperatur 30-40 o C. Bakteri metanogen hanya dapat hidup pada kondisi anaerob dan sangat sensitif bila ada oksigen, walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Metana yang dihasilkan oleh aktivitas metanogen melalui proses reduksi CO 2 atau fermentasi asetat ini akan dilepaskan dari zone reduktif ke atmosfer baik melalui tiga proses difusi, ebulisi, dan sistem jaringan tanaman.

97 Pada penelitian ini emisi CH 4 mulai terdeteksi pada kedalaman muka air tanah 4 cm dari permukaan gambut. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Francez et al. (2000) bahwa pada lapisan atas (0-10 cm) tidak terjadi produksi CH 4. Produksi CH 4 mulai terjadi pada lapisan gambut kedalaman 10-20 cm dan 65-75 cm, namun rendah yaitu antara 6 x 10 3 dan 53 x 10 3 μg C g 1 d 1. Dengan memperhatikan fenomena pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap dinamika emisi CO 2 dan CH 4 tersebut, maka pengelolaan kedalaman muka air tanah merupakan kunci dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan usaha untuk melestarikan lingkungan. Dalam kondisi tergenang (muka air tanah pada permukaan gambut) kelapa sawit tidak mampu beradaptasi tumbuh, sehingga pembuatan drainase yang menentukan kedalaman muka air tanah merupakan keharusan untuk budidaya kelapa sawit di lahan gambut. Dari hasil penelitian ini ternyata pada kedalaman 4-18 cm disamping akan muncul emisi CH 4 sebesar 0,078-4,525 t ha -1 th -1 dengan rata-rata 1,336 ± 1,63 t ha -1 th -1, juga akan muncul emisi CO 2 sebesar 3,194-32,403 t ha -1 th -1 dengan rata-rata 16,364 ± 11,50 t ha -1 th -1. Sedangkan pada kedalaman muka air tanah di atas 34 cm hanya emisi CO 2 saja yang terdeteksi. Jadi secara alami produksi CH 4 dan CO 2 pada lahan gambut merupakan proses yang tak terhindarkan. Munculnya kedua gas tersebut sangat berpengaruh terhadap potensi pemanasan global (global warming potential/ GWP). Potensi pemanasan global ini dapat dihitung dari hasil kali total fluks masing-masing gas terhadap indeks GWPnya. Menurut IPCC (2001), indeks GWP untuk CO 2 dan CH 4 masing-masing sebesar 1 dan 23. Semakin besar nilai indeks GWP semakin besar potensinya untuk menyebabkan pemanasan global. Perhitungan GWP dari kedua gas tersebut secara simultan digunakan sebagai dasar trade off keduanya untuk menyusun teknik budidaya kelapa sawit di lahan gambut yang diharapkan mampu meminimalkan potensi dampak negatif terhadap lingkungan. Pengelolaan kedalaman muka air tanah diharapkan akan meminimalisasi munculnya fluks CH 4 dan mengurangi suasana oksidatif yang dapat mempercepat laju dekomposisi bahan organik yang akan menghasilkan gas CO 2 sehingga diperoleh satu titik pertemuan kedalaman muka air tanah yang menyebabkan emisi CO 2 dan CH 4 terkecil.

98 Berdasarkan metode perhitungan ini, maka nilai GWP pada kedalaman muka air tanah 4-18 cm sebesar 1,785-104,086 t CO 2 ha -1 th -1 (rata-rata 22,995 t CO 2 ha -1 th -1 ), nilai GWP untuk kedalaman muka air tanah 34 cm sebesar 4,877 t CO 2 ha -1 th -1, sedangkan nilai GWP untuk kedalaman muka air tanah 34-86 cm hanya berasal dari fluks CO 2 saja yaitu berkisar antara 0,145-70,085 t ha -1 th -1 (rata-rata fluks 21,284 t CO 2 ha -1 th -1 ). Dengan demikian, kedalaman muka air tanah pada 34 cm merupakan jumlah minimum total emisi C dari lahan gambut pada lokasi penelitian. Pengelolaan kedalaman muka air tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam perkebunan kelapa sawit di lahan gambut. Kegiatan ini berkaitan erat dengan permasalahan efisiensi dalam pembuatan drainase. Tujuan utama pembuatan drainase adalah untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan tanaman kelapa sawit dapat tumbuh, berkembang, dan berproduksi baik di lahan gambut. Oleh karena itu pembuatan drainase sebaiknya dibuat secara bertahap disesuaikan dengan umur tanaman kelapa sawit. Pada awal pembukaan gambut belum tentu harus disertai dengan pembuatan drainase sedalam 2 m karena awal pertumbuhan baru terbentuk akar primer tanaman di permukaan atas lahan gambut. Peranan tata air yang baik memang sangat diperlukan pada lahan gambut agar dapat mencegah kehilangan C melalui emisi CO 2 sebagai hasil dekomposisi apabila berada dalam suasana oksidatif dan melalui emisi CH 4 dalam suasana reduktif. Disamping itu, kehilangan C bisa terjadi melalui drainase air gambut dan terbentuknya pasir semu. Menurut Yulianti (2009), pada gambut yang berada di atas permukaan dengan ketebalan 2 cm cenderung terbentuk pasir semu karena mengalami pengeringan yang intensif akibat drainase dan penyinaran matahari. Jumlah C yang hilang dari pasir semu relatif kecil dan peluang untuk terjadinya emisi CO 2 pada pasir semu sangat kecil dibandingkan dengan laju erosi yang mungkin terjadi. Hasil penelitian dengan memasukkan 3 buah akar ke dalam sungkup permanen menunjukkan bahwa emisi CO 2 di rhizosfer lebih tinggi daripada non rhizosfer. Perhitungan lebih lanjut dari data emisi CO 2 rhizosfer dan non rhizosfer menunjukkan bahwa emisi CO 2 dari daerah rhizosfer dapat mencapai 4 kali lebih besar daripada daerah non rhizosfer (Gambar 55).

99 200 180 160 Emisi CO2 rhizosfer ( t hā 1 th -1 ) 140 120 100 80 60 40 20 0 0 20 40 60 80 100 Emisi CO 2 non rhizosfer (t ha -1 th -1 ) Gambar 55. Hubungan antara fluks CO 2 di rhizosfer dan non rhizosfer Tingginya fluks CO 2 di rhizosfer ini sangat berkaitan erat dengan pengaruh kualitas media akar yang mampu mengubah sifat fisik, kimia dan biologi tanah di sekitar akar (Darrah, 1993; Gregory dan Hinsinger, 1999). Rhizosfer mempunyai lingkungan yang memungkinkan untuk berkembangnya banyak organisme (Bowen dan Rovina, 1991; Peterson, 2003) maka banyak proses yang terjadi pada akar/permukaan tanah yang secara langsung maupun tidak langsung meningkatnya kapasitas fungsi tanah untuk pertumbuhan tanaman dan buffer lingkungan (Gregory dan Hinsinger, 1999). Aktivitas mikrob meningkat sebagai akibat tingginya konsentrasi nutrisi, C-labil, dan eksudat akar di sekitar daerah perakaran (Kuzyakov et al., 2000; Subke at al., 2004; Hamer dan Marschner, 2005). Dengan demikian produksi CO 2 yang merupakan resultante dari respirasi mikroorganisme dan respirasi akar di rhizosfer lebih tinggi daripada non Rhizosfer. Respirasi rhizosfer ini sangat berkorelasi dengan respirasi akar dan aerasi akar, sehingga mempengaruhi terjadinya oksidasi CH 4 menjadi fluks gas CO 2 sebelum mencapai permukaan tanah. Namun mekanisme dua arah proses emisi gas CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer sangatlah kompleks dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang saling berinteraksi.