BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu penyebab tingginya angka kematian pada pasien trauma tumpul abdomen adalah perdarahan pada organ hepar yang umumnya disebabkan oleh karena kecelakaan lalu lintas. Hepar adalah organ terbesar pada rongga abdomen yang letaknya terlindung dengan baik, namun organ tersebut sering mengalami cedera selain organ lien. Cedera organ hepar paling utama disebabkan karena ukurannya, lokasinya dan kapsulnya yang tipis Glisson capsule. Cedera organ hepar umumnya cedera akibat trauma tumpul. ( Carmen,et al., 2013 ) Penanganan trauma hepar dalam 30 tahun terakhir telah mengalami banyak perkembangan seiring dengan banyaknya penelitian dan literatur dalam penanganan trauma hepar. Salah satu studi retrospective yang pernah dilakukan oleh Carmen pada tahun 1992-2008 di kota Barcelona,Spanyol pada 143 pasien dengan diagnosis trauma hepar, 87 pasien adalah konservatif (74%) sedangkan 56 pasien dilakukan tindakan operasi ( 26% ). Penanganan pasien konservatif dengan trauma hepar harus memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Hemodinamik stabil dan pasien respons dengan pemberian cairan resusitasi; b. Pemberian tranfusi darah tidak melebihi dari 2-3 kantong; c.tidak adanya tanda-tanda akut abdomen pada pemeriksaan fisik; d.tidak didapatkan cedera organ abdomen pada pemeriksaan radiologi ( USG ataupun CT Scan Abdomen).( Bernardo,et al.,2010 )
Dahulu penanganan pada pasien dengan curiga adanya trauma hepar yang datang dalam keadaan hemodinamik stabil dan tidak disertai keluhan klinis seperti nyeri pada seluruh perut akan dilakukan tindakan resusitasi cairan. Setelah tindakan resusitasi cairan selesai dan pasien masih dalam keadaan hemodinamik stabil maka akan dilakukan pemeriksaan FAST dan CT scan abdomen dengan kontras. Jika hasil pemeriksaan positif, maka akan dilakukan diagnostic peritoneal lavage. Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya cairan dalam hal ini darah, pada rongga abdomen dan juga sebagai indikasi diperlukan atau tidaknya dilakukan laparotomi eksplorasi. Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi kekhawatiran mengenai adanya perdarahan pada rongga intra-abdomen yang sedang berlangsung. Sedangkan pasien yang datang dengan keadaan hemodinamik tidak stabil tetap akan dilakukan resusitasi cairan, Akan tetapi, jika setelah dilakukan resusitasi cairan tetap tidak dalam keadaan hemodinamik stabil, maka akan segera dilakukan tindakan laparotomi eksplorasi. (Sikhondze, et al., 2007) Perkembangan penanganan pasien trauma hepar dalam keadaan hemodinamik stabil telah berkembang ke arah penanganan konservatif yang disebut NOM (Non Operative Management). NOM merupakan baku emas dengan persentase keberhasilan 80-90%. Manfaat NOM termasuk menghindari laparotomy non terapeutic. Selain itu manfaaat lainnya seperti mengurangi biaya perawatan yang dikeluarkan, mengurangi angka morbiditas, mengurangi tingginya komplikasi paska operasi dan resiko tindakan operasi yang berulang. ( Bouras, et al., 2010 ).
Salah satu metode yang digunakan dalam mendiagnosis trauma abdomen adalah USG abdomen. Metode ini dapat digunakan pada pasien dewasa dan anakanak. Pemeriksaan Focused Abdominal Ultrasound for Trauma (FAST) dapat mendeteksi adanya caairan bebas pada rongga intraperitoneal dalam hal ini darah dengan sensitivitas 63% menjadi 99% pada dewasa. ( Fenandez, L, et al., 2009 ). Sedangkan pada pasien anak sensitifitas mulai 56% menjadi 93% dan spesifisitas 79% menjadi 97% ( Soudack, M, et al., 2010 ). Kelemahan pada metode FAST ini adalah hasilnya sangat dipengaruhi oleh keahlian dan pengalaman dari operator. Jika dalam pemeriksaan FAST ditemukan cairan bebas maka akan segera dilakukan laparatomi eksplorasi. Selain pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang diatas, telah dikembangkan pemeriksaan tes biokimia yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma tumpul hepar. Pemikiran ini berawal dari organ hepar yang mengalami cedera akibat trauma tumpul abdomen dapat mempengaruhi peningkatan enzim hepar (Gozde Arslan, et al., 2013 ). Penelitian yang pernah dilakukan mengenai peningkatan enzim hepar pada trauma hepar adalah pengukuran kadar enzim Aspartate Aminotransferase (AST) yang disebut juga Serum Glutamate Oksaloasetat Transaminase (SGOT) dan Alanine Aminotransferase (ALT) yang disebut juga Serum Glutamate Pyruvate Transaminase (SGPT). Kadar enzim SGOT dapat dijadikan indikator kerusakan hepar karena pada kerusakan membran sel hepar menyebabkan enzim SGOT keluar dari sitoplasma sel yang rusak, sehingga jumlahnya meningkat di dalam darah (Sardini, 2007). Selain itu kadar enzim SGOT akan meningkat apabila
terjadi kerusakan sel yang akut seperti nekrosis hepatoseluler seperti gangguan fungsi hepar dan saluran empedu, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta gangguan fungsi ginjal dan pankreas (Price dan Wilson,1995). Semakin tinggi peningkatan kadar enzim SGOT dan SGPT, semakin tinggi tingkat kerusakan selsel hepar. Naiknya kadar enzim SGOT dan SGPT disebabkan karena kerusakan dari sel-sel hepatosit sehingga kadar ini dapat menghubungkan dengan adanya cedera pada hepar, kadar ini perrnah diteliti oleh A.R Srivastava dari India pada tahun 2007 dari 122 pasien, 32 pasien kadar SGOT tinggi didapatkan adanya cedera pada hepar ( sensitif 100 % ) sedang 90 pasien dengan kadar SGOT rendah tidak didapatkan adanya cedera pada hepar. ( Srivastava, et al., 2007 ) Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Lee, et al pada tahun 2010 di Turki dari 42 pasien trauma hepar menyatakan terdapat peningkatan kadar enzim SGOT/SGPT secara bermakna pada trauma hepar. Nilai peningkatan enzim SGOT yang bermakna adalah lebih dari 100 U/L dengan nilai p<0,001 dan kadar enzim SGPT yang bermakna lebih dari 80 U/L dengan p<0,001. Dengan tingkat sensitif 90% dan spesifik 92,3%. Tingginya kadar enzim SGOT dan SGPT berkaitan erat dengan laserasi dari hepar, hal ini dapat mempengaruhi tata laksana pasien trauma hepar dengan hemodinamik yang stabil. Adapun penelitian yang berkaitan kadar enzim dalam mendiagnosis trauma hepar telah diamati selama 3 tahun oleh Ker-kan Tan pada tahun 2009 di negara Singapura, dalam periode Januari 2005- Desember 2007, didapatkan 55 pasien trauma hepar ternyata kadar SGOTnya meningkat 100 % dengan nilai
mean 330 U/L sedangkan kadar SGPTnya meningkat 94,5% dengan nilai mean 282 U/L. Adapun maksud dari penulis melakukan penelitian ini dikarenakan alat diagnostik yang non invasif seperti CT Scan tidak terdapat didaerah rural, maka dapat dipertimbangkan pemeriksaan kadar enzim SGOT/SGPT yang sederhana untuk memprediksi penangan selanjutnya pada pasien trauma hepar. Hingga saat ini belum ada algoritma penanganan trauma hepar yang memasukkan peranan SGOT/SGPT. Penelitian mengenai tingginya kadar enzim SGOT/SGPT belum pernah dilakukan di Indonesia, terutama di RSUP Sanglah. Oleh karena itu penulis menganggap perlu diadakan penelitian. 1.2. Rumusan Masalah Apakah kadar enzim SGOT dan SGPT lebih tinggi pada penderita trauma hepar hemodinamik stabil yang memerlukan tindakan operasi dari pada yang tidak memerlukan operasi? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui kadar enzim SGOT dan SGPT pada penderita trauma hepar hemodinamik stabil yang memerlukan tindakan operasi lebih tinggi dari pada yang tidak memerlukan operasi.
1.3.2. Tujuan Khusus Mengetahui nilai kadar enzim SGOT dan SGPT pada trauma hepar Mengetahui kadar enzim SGOT dan SGPT pada penderita trauma hepar dengan hemodinamik stabil yang memerlukan tindakan operasi. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Penelitian Sebagai acuan dalam penanganan penderita trauma hepar hemodinamik stabil dengan kadar enzim SGOT dan SGPT yang memerlukan tindakan operasi 1.4.2. Manfaat Klinik Dapat memberikan manfaat sehingga menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien trauma hepar dengan hemodinamik stabil di RSUP Sanglah.