STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL (Studi Kasus Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) Oleh : ABDUL WAHID A

dokumen-dokumen yang mirip
STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL (Studi Kasus Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) Oleh : ABDUL WAHID A

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

TABEL PENDUDUK 7-24 TAHUN MENURUT KECAMATAN, JENIS KELAMIN, DAN PARTISIPASI BERSEKOLAH (SUSEDA KAB. GARUT 2005)

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sebuah proses dan sekaligus sistem yang

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

JUMLAH SEKOLAH, KELAS, GURU, RUANG KELAS, MURID LULUSAN, MENGULANG DAN PUTUS SEKOLAH SD DI KABUPATEN GARUT TAHUN Guru R. Kelas Murid Lulusan

TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2007

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

PENENTUAN TIPOLOGI PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

Tambah Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut Luas Panen (Ha)

PEMERINTAH KABUPATEN GARUT RINGKASAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

TAMBAH TANAM, LUAS PANEN, PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS TANAMAN PADI SAWAH DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2006

Tambah Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktifitas Tanaman Padi Sawah di Kab. Garut Luas Panen (Ha)

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH MALUKU

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional jangka panjang secara bertahap dalam lima tahunan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

PEMBANGUNAN KAWASAN TIMUR INDONESIA YANG BERBASIS SUMBER DAYA DAN KONTRIBUSINYA UNTUK PEMBANGUNAN NASIONAL

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk. meningkatkan kualitas hidup dengan cara menggunakan potensi yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BAB V. VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN PEMBANGUNAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang

ASPEK EKONOMI DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA)

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

Jumlah Sekolah, Guru, dan Murid Sekolah Taman Kanak- Kanak di Kabupaten Garut Tahun Murid laki-laki

Jumlah Petugas Pelayanan Akseptor Baru Keluarga Berencana di Kabupaten Garut Tahun 2009

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional

III. METODE PENELITIAN

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

GUBERNUR PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN KHUSUS TERHADAP KOMUNITAS ADAT TERPENCIL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK)

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

IX. KETERKAITAN ANTARA ALTERNATIF STRATEGI PEMBANGUNAN EKONOMI DAN IDENTIFIKASI WILAYAH CIANJUR SELATAN

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Implementasi Kebijakan Pengembangan Pertanian dalam Revitalisasi Pertanian Daerah Tertinggal Kecamatan Toboali Kabupaten Bangka Selatan.

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

STRATEGI PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SITUBONDO PROVINSI JAWA TIMUR. Oleh: RIZKI RAHAJUNING TYAS A

BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

Analisis Isu-Isu Strategis

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN. Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Jumlah Populasi Ternak Menurut Jenis di Kab. Garut Kecamatan Sapi Perah Sapi Potong Kerbau Domba Kambing Kuda

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

BAB VIII INDIKASI RENCANA PROGRAM PRIORITAS DAN KEBUTUHAN PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan dikatakan sukses apabila kesejahteraan masyarakat

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN Latar Belakang

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

Transkripsi:

STRATEG PEMBANGUNAN DAERAH TERTNGGAL (Studi Kasus Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) Oleh : ABDUL WAHD A14301021 PROGRAM STUD EKONOM PERTANAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANAN NSTTUT PERTANAN BOGOR 2006

RNGKASAN ABDUL WAHD. Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal. Studi Kasus : Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan TEUKU HANAFAH dan EKA NTAN KUMALA PUTR ) Konsekuensi logis dari penerapan asas desentralisasi adalah menuntut pemerintah daerah untuk siap menata keseluruhan perangkat organisasi dan manajemen, serta kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan eksternal. Fleksibilitas terhadap perubahan lingkungan ini merupakan prasyarat bagi kemampuan pemerintah daerah untuk sukses dalam melaksanakan program-program pembangunan yang tepat sasaran maupun tepat guna. Sebaliknya, ketidakmampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang ada akan menyebabkan pembangunan daerah menjadi tertinggal dan tidak akan mampu memenuhi harapan, serta kebutuhan rakyat. Untuk itu, diperlukan langkah nyata yang terpadu dan terarah dalam rangka pembangunan daerah tertinggal yang lebih difokuskan pada percepatan pembangunan di daerah dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah, aks esibilitas, serta ketersediaan infrastruktur yang masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi yang harus disusun oleh stakeholders dalam pembangunan daerah tertinggal Kabupaten Garut. Perumusan strategi ini didukung dengan mengidentifikasi tingkat ketimpangan potensi fisik wilayah dan tingkat pemerataan pembangunan antar wilayah yang terjadi di Kabupaten Garut. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan (evaluasi) dalam menyus un rencana-rencana atau strategi pembangunan daerah tertinggal dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu wilayah, serta dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan (referensi) untuk penelitian selanjutnya. Pengumpulan data primer dan sekunder dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2005. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Data diolah dengan menggunakan analisis sistem hirarki potensi fisik wilayah (HFP), sistem hirarki tingkat pemerataan pembangunan, metode skalogram, sistem limpitan sejajar dan strategis, serta analisis matriks FE, EFE, SWOT, dan QSP. Hasil analisis sistem hirarki potensi fisik wilayah tanpa bobot menunjukkan bahwa perbedaan keadaan geografis tersebut telah menyediakan potensi yang tinggi terjadinya ketimpangan antar wilayah, dimana wilayahwilayah kaya sebagaian besar berada di Garut Utara (SWP ) dan wilayah miskin berada di Garut Selatan (SWP dan SWP ) kecuali Kecamatan Karang tengah, Kersamanah dan Cibiuk. Berdasarkan sistem hirarki potensi fisik wilayah dengan bobot dapat disimpulkan bahwa ketimpangan antar wilayah masih terjadi sama halnya dengan HFP tanpa bobot. Namun, ada beberapa wilayah yang mengalami peningkatan kategori wilayah dari wilayah miskin pada HFP tanpa bobot menjadi wilayah sedang atau kaya pada HFP dengan bobot, misalnya Kecamatan Talegong dan Cibalong, dari wilayah sedang pada HFP tanpa bobot menjadi wilayah kaya pada HFP dengan bobot, misalnya Kecamatan Bungbulang, Pakenjeng, Pameungpeuk, dan Banjarwangi. Kecamatan-kecamatan yang mengalami peningkatan kategori wilayah terjadi karena kecamatan-kecamatan tersebut

memiliki peringkat atas pada sektor penting, misalnya sektor pengairan, tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan perkebunan. Berdasarkan skor akhir dari analisis sistem hirarki tingkat pemerataan pembangunan menunjukkan bahwa tingkat pemerataan pembangunan tanpa dan dengan bobot tidak mengalami perubahan, kecuali Kecamatan Leuwigoong dan Cibatu. Kedua kecamatan tersebut dalam hirarki tingkat pemerataan pembangunan tanpa bobot termasuk kategori maju. Namun, setelah diberi bobot kedua kecamatan tersebut mengalami penurunan kategori menjadi sedang. Hal ini karena Kecamatan Leuwigoong memiliki peringkat rendah pada pemerataan prasarana jalan, sedangkan Kecamatan Cibatu memiliki peringkat rendah pada sektor tanaman pangan dan kesehatan. Hasil analisa matriks EFE menunjukkan bahwa skor bobot faktor strategis eksternal diperoleh sebesar 2.547 artinya bahwa dalam pembangunan daerah tertinggal, menunjukkan Ka bupaten Garut sedang berusaha untuk memanfaatkan peluang eksternal dan menghindari ancaman. Elemen peluang peluang dan ancaman bagi pembangunan daerah tertinggal masing-masing bernilai skor bobot sebesar 1.673 dan 0.874. Sedangkan skor bobot faktor strategis internal sebesar 2.362 menunjukkan bahwa posisi Kabupaten Garut belum sepenuhnya mampu untuk mengatasi kelemahan dan menggunakan kekuatan untuk pembangunan daerah tertinggal, dengan skor bobot untuk faktor kekuatan dan kelemahan masing-masing bernilai skor bobot sebesar 1.649 dan 0.713. Berdasarkan matriks SWOT, strategi yang dipilih dalam pembangunan daerah tertinggal antara lain : meningkatkan akses kerjasama yang baik antara pemerintah propinsi dengan kabupaten yang dituangkan dalam suatu kebijakan pembangunan, menciptakan atau meningkatkan kesempatan berusaha dan lapangan kerja dengan berkerjasama dengan pihak-pihak swasta sebagai upaya untuk mendorong tumbuhnya pusat kegiatan ekonomi baru dengan tetap memperhatikan produk andalan daerah, membangun da tabase dan menerapkan deteksi dini akan terjadinya bencana alam, meningkatkan dan memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal, strategi pembangunan sarana dan prasarana sebagai upaya untuk meningkatkan pembangunan di wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil agar dapat tumbuh dan berkembang lebih cepat, strategi peningkatan kualitas sumberdaya mamusia, memberdayakan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan berbasis pedesaan serta meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat secara adil dan transparan, meningkatkan efektivitas dan efisiensi manajemen pelayanan kesehatanpendidikan, keterampilan dan kewirausahaan untuk kualitas PM (ndeks Pembangunan Manusia) dan filterisasi arus global. Hasil analisis matriks QSP menunjukkan bahwa strategi yang menjadi prioritas utama adalah meningkatkan akses kerjasama yang baik antara pemerintah propinsi dengan kabupaten yang dituangkan dalam suatu kebijakan pembangunan dengan nilai Total Attractiveness Score (TAS) sebesar 6.079. Adapun nilai TAS terendah pada strategi membangun database dan menerapkan deteksi dini akan terjadinya bencana alam dengan nilai TAS sebesar 4.642.

STRATEG PEMBANGUNAN DAERAH TERTNGGAL (Studi Kasus : Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) Skripsi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian nstitut Pertanian Bogor Oleh : Abdul Wahid A14301021 PROGRAM STUD EKONOM PERTANAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANAN NSTTUT PERTANAN BOGOR 2006

Judul Penelitian Nama Mahasiswa NRP : Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal (Studi Kasus Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) : Abdul Wahid : A14301021 Menyetujui, Dosen Pembimbing Menyetujui, Dosen Pembimbing r. Teuku Hanafiah Dr. r. Eka ntan Kumala Putri, MS NP. 130 321 039 NP.131 918 659 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Supiandi Sabiham, M.Agr NP. 130 422 698 Tanggal Lulus :

PERNYATAAN DENGAN N SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRPS YANG BERJUDUL STRATEG PEMBANGUNAN DAERAH TERTNGGAL (STUD KASUS : KABUPATEN GARUT, PROPNS JAWA BARAT) N BENAR-BENAR HASL KARYA SENDR YANG BELUM PERNAH DAJUKAN SEBAGA TULSAN LMAH PADA SUATU PERGURUAN TNGG ATAU LEMBAGA LAN MANAPUN. Bogor, Januari 2006 Abdul Wahid A14301021

RWAYAT HDUP Penulis lahir di Tangsi Manunggang-Padangsidimpuan, 9 Juli 1982 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Syawal dan Alm. bu Tarwiyah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Labuhan Rasoki pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di MTsN Padangsidimpuan dan lulus pada tahun 1998, setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 3 Padangsidimpuan dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001, penulis diterima di nstitut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk PB (USM) pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya (EPS).

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal (Studi Kasus : Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, nstitut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat ketimpangan potensi fisik dan tingkat pemerataan pembangunan antar wilayah, mengidentifikasi dan menganalisis seberapa besar kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dan seberapa banyak peluang serta ancaman yang dihadapi Kabupaten Garut, serta merumuskan strategi apa yang sebaiknya disusun oleh stakeholders dalam pembangunan daerah tertinggal. Penulis menyadari ba hwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun, skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak. Ucapan terimakasih Penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Bogor, Januari 2006 Penulis

UCAPAN TERMA KASH Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-nya kepada penulis sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Papa dan Alm. Mama serta adikku yang bandel Andi dan Sutri juga bu Tuti selaku orang tua angkatku atas doa, kasih sayang, pengertian, kesabaran dan dukungannya setiap saat. 2. Kakek dan Nenek serta Mamang-mamangku yang tersayang : Mang Jupri sekeluarga, Mang Bahrin, Mang Yok, Mang Kembar, Mang Awin serta Bi Sur yang selalu memberikan motivasi dan dukungan moril dan doa. 3. r. Teuku Hanafiah sebagai dosen pembimbing atas saran-saran, bimbingan dan kritikannya selama proses penelitian dan penulisan skripsi. 4. Dr. r. Eka ntan KP, MS yang telah bersedia menjadi dosen pendamping pada saat seminar dan ujian sidang. 5. r. Nindyantoro, MSp dan Dra. Yusalina, MSi selaku dosen penguji atas saran dan masukannya yang sangat berharga untuk penyempurnaan karya ilmiah ini. 6. Pemerintah Kabupaten Garut yang telah bersedia membantu dalam mencari data umumnya dan beberapa pihak khususnya yang telah bersedia menjadi responden untuk pengisian kuesioner, serta selalu mendukung demi kelancaran penelitian ini.

DAFTAR S Halaman DAFTAR S... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPRAN...... vi. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 3 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8. TNJAUAN PUSTAKA... 9 2.1 Konsep Perwilayah dalam Pembangunan... 9 2.2 Teori Kutub dan Pusat Pertumbuhan...11 2.3 Konsep Pembangunan Daerah Tertinggal...13 2.3.1 Pengertian Daerah Tertinggal...13 2.3.2 Kriteria Penentuan Daerah Tertinggal... 16 2.3.3 Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal...20 2.3.4 Program-program Pembangunan Prioritas...24 2.5 Konsep Manajemen Strategi... 27 2.6 Konsep Pertanian dalam Pembangunan Daerah Tertinggal... 30. KERANGKA PEMKRAN OPERASONAL... 36 V. METODE PENELTAN... 43 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 43 4.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data... 43 4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data... 46 4.3.1 Sistem Hirarki Potensi Fisik Wilayah... 46 4.3.2 Sistem Hirarki Tingkat Pemerataan Pembangunan... 47 4.3.3 Metode Skalogram... 49 4.3.4 Analisis Sistem Limpitan Sejajar dan Strategis... 51 4.3.5 Analisis Matriks FE dan EFE... 52 4.3.6 Analisis Matriks SWOT... 56 4.3.7 Analisis Matriks QSP... 58 V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELTAN... 60 5.1 Kondisi Fisik... 60 5.2 Pemerintahan dan Kependudukan... 62 5.4 Struktur Perekonomian... 66 5.5 Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi... 72

V. KETMPANGAN ANTAR WLAYAH PEMBANGUNAN... 74 6.1 Ketimpangan Sumberdaya Pembangunan... 74 6.2 Ketimpangan Kegiatan Pembangunan... 78 6.3 Ketimpangan Sosial Ekonomi Wilayah... 84 6.4 Wilayah-wilayah Prioritas Pembangunan... 89 V. DENTFKAS FAKTOR NTERNAL DAN EKSTERNAL......93 7.1 Faktor Strategis nternal... 93 7.2 Faktor Strategis Eksternal.....97 V. PERUMUSAN ALTERNATF STRATEG... 101 8.1 Analisis Matriks EFE dan FE... 101 8.1.1 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE)... 101 8.1.2 Matriks Evaluasi Faktor nternal (FE)... 103 8.2 Analisis Matriks SWOT... 104 8.3 Prioritas Strategi Berdasarkan Matriks QSP... 110 X. HUBUNGAN ANTARA PRORTAS STRATEG DENGAN TNGKAT KETMPANGAN... 116 X. KESMPULAN DAN SARAN... 121 10.1 Kesimpulan... 121 10.2 Saran... 122 DAFTAR PUSTAKA... 123 LAMPRAN...125

DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman 1. Pembagian Wilayah Pembangunan dan Fungsi Pengembangan Kabupaten Garut... 6 2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data... 45 3. Sektor Pembangunan yang Digunakan dalam Sistem Hirarki Potensi Fisik Wilayah Kabupaten Garut... 46 4. Sektor yang Digunakan dalam Sistem Hirarki Tingkat Pemerataan Pembangunan Kabupaten Garut... 48 5. Penilaian Bobot Faktor Strategis nternal... 53 6. Matriks FE... 54 7. Penilaiang Bobot Faktor Strategis Eksternal... 55 8. Matriks EFE... 56 9. Matriks SWOT... 57 10. Matriks QSP.... 59 11. Pola Penggunaan Lahan di Kabupaten Garut Tahun 2003... 62 12. Kecamatan yang Melakukan Pemekaran di Kabupaten Garut... 63 13. Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Garut Tahun 1999-2004.... 63 14. Kepadatan Penyebarana Penduduk Geografis di Kabupaten Garut Tahun 2003... 65 15. Jumlah Penduduk Kabupaten Garut Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2004... 66 16. Distribusi Prosentase PDRB Kabupaten Garut Tahun 1999-2003 Atas Dasar Harga Berlaku (Persen).... 67 17. Porsentase Sentra dan Non Sentra ndustri Kabupaten Garut Tahun 2003... 70 18. Potensi Komoditi Kegiatan Sektor ndustri yang di Ekspor dari Kabupaten Garut Tahun 2003... 71 19. Kategori Wilayah Kabupaten Garut Berdasarkan Sistem Hirarki Potensi Fisik Tanpa dan Dengan Bobot Tahun 2003... 76 20. Kategori Wilayah Kabupaten Garut Berdasarkan Sistem Hirarki Tingkat Pemerataan Pembangunan Tanpa dan Dengan Bobot Tahun 2003... 79

21. Penyebaran Sarana dan Prasarana Pembangunan Kabupate n Garut Tahun 2003.... 86 22. Jenis dan Jumlah Fasilitas Pembangunan Utama Berdasarkan Peringkat di Kabupaten Garut Tahun 2003... 87 23. Peringkat Wilayah Berdasarkan Hirarki Potensi Fisik, Hirarki Tingkat Pemerataan Pembangunan, serta Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pembangunan di Kabupaten Garut Tahun 2003... 88 24. Analisis Sistem Limpitan Sejajar Wilayah Pembangunan Kabupaten Garut Tahun 2003... 91 25. Analisis Sistem Limpitan Strategis Wilayah Pembangunan Kabupaten Garut Tahun 2003... 92 26. Matriks EFE Kabupaten Garut dalam Pembangunan Daerah Tertinggal... 102 27. Matriks FE Kabupaten Garut dalam Pembangunan Daerah Tertinggal... 104 28. Alternatif Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal di Kabupaten Garut... 105 29. Kecamatan dengan HPF Miskin, HTP Tertinggal, dan Memiliki Sarana- Prasarana Terbatas... 118

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Model Komprehensif Proses Manajemen Strategi... 29 2. Kerangka Pemikiran Operasional Strategi Pembangunan Wilayah Tertinggal... 42

DAFTAR LAMPRAN Halaman 1. Hirarki Poten Fisik Wilayah Tanpa Bobot Kabupaten Garut... 125 2. Hirarki Potensi Fisik Wilayah Dengan Bobot Kabupaten Garut... 127 3. Hirarki Tingkat Pemerataan Pembangunan Tanpa Bobot Kabupaten Garut. 129 4. Hirarki Tingkat Pemerataan Pembangunan Dengan Bobot Kabupaten Garut131 5. Analisis Skalogram Kabupaten Garut Tahun 2003... 133 6. Matriks Gabungan Penentuan Rating Faktor Eksternal... 135 7. Matriks Gabungan Penentuan Rating Faktor nternal... 136 8. Matriks Gabungan Penentuan Bobot Faktor Eksternal... 137 9. Matriks Gabungan Penentuan Bobot Faktor nternal... 138 10. Penentuan Prioritas Strategi Menurut Matriks QSP... 139 11. Peta Sub Wilayah Pembangunan Kabupaten Garut Tahun 2003... 141

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pertengahan tahun 1997 telah mengakibatkan penurunan kegiatan ekonomi di berbagai daerah, sehingga terjadi peningkatan pengangguran, kemiskinan, da n masalah-masalah sosial lain. Kondis i seperti ini pada akhirnya memicu berbagai bentuk unjuk rasa sebagai wujud ketidakpuasan terhadap pemerintah. Penurunan kegiatan ekonomi juga menyebabkan terjadinya kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar daerah dan diperparah dengan menurunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga terjadi hambatan dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat oleh pemerintah daerah secara otonom. Dalam rangka mengatasi dampak krisis ekonomi dan pengurangan kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar daerah, maka lahirlah Undang-undang Otonomi Daerah (OTDA) sebagai langkah baru dalam membenahi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsekuensi logis dari penerapan asas desentralisasi adalah menuntut pemerintah daerah untuk siap menata keseluruhan perangkat organisasi dan manajemen, serta kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan eksternal agar mampu melaksanakan amanat yang diberikan rakyat. Tuntutan di atas pasti dihadapi oleh setiap pemerintah daerah, terutama di tingkat kabupaten yang merupakan ujung tombak pelaksanaan asas desentralisasi daerah otonom yang mandiri dan memiliki kewenangan penuh untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2004), jumlah kabupaten di ndonesia ada sekitar 400 450 kabupaten. Namun, tidak semua daerah kabupaten

bisa tumbuh dan berkembang dengan pesat, ada beberapa daerah yang masih tertinggal. Menurut Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik ndonesia (2004) penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan enam kriteria dasar yaitu (1) perekonomian masyarakat, (2) sumberdaya manusia, (3) prasarana dan sarana (infrastruktur), (4) kemampuan keuangan daerah (celah fiskal), (5) aksesibilitas dan karakteristik daerah, serta (6) berdasarkan kabupaten yang berada di daerah perbatasan antar negara dan gugusan pulau-pulau kecil, daerah rawan bencana, dan daerah rawan konflik. Kriteria tersebut diolah dengan menggunakan data Potensi Desa (PODES) 2003 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2002. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka ditetapkan 190 kabupaten yang dikategorikan kabupaten tertinggal di ndonesia, salah satunya adalah Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat. Upaya mencapai tingkat kesejahteraan merupakan wujud implementasi dari pemerataan pembangunan khususnya daerah tertinggal. Oleh karena itu, perlu strategi pembangunan daerah tertinggal sebagai langkah nyata yang terpadu dan terarah pada daerah dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah, aksesibilitas, serta ketersediaan infrastruktur yang masih tertinggal. Kondisi tersebut pada umumnya terdapat pada daerah yang secara geografis terisolir dan terpencil atau jauh dari jangkauan fasilitas ibu kota kabupaten. Sebaliknya diperlukan perhatian khusus pada daerah yang secara ekonomi memiliki potensi untuk maju, namun mengalami ketertinggalan sebagai akibat terbatasnya kemampuan memanfaatkan potensi, atau akibat terjadinya konflik sosial maupun politik. Dalam kaitannya dengan percepatan pembangunan tersebut, maka perlu suatu kesamaan persepsi dan visi antara berbagai elemen pemangku kepentingan

(stakeholders ) di daerah dengan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal yang memiliki fungsi fasilitas, koordinasi, sinkronisasi dan akselerasi pembanguan daerah tertinggal. Bertolak dari uraian diatas, maka upaya -upaya strategi pembangunan daerah-daerah tertinggal hendaknya dilakukan dengan memadukan prinsip-prinsip manajemen pembangunan modern de ngan kearifan lokal tradisional yang dimiliki masyarakat, juga nilai-nilai sosial budaya tertentu sebagai instrumen pembangunan daerah tertinggal, agar diperoleh suatu rumusan penyelesaian yang terpadu dan bersifat lintas sektoral dengan target-target yang lebih terarah dan terukur. 1.2 Perumusan Masalah Masalah ketimpangan dan kesenjangan antar daerah merupakan masalah pokok dalam pencapaian pembangunan nasional. Oleh karena itu, kesadaran terhadap perencanaan pembangunan daerah tertinggal harus menjadi bagian dari perencanaan pembangunan yang terus berkembang. Konsep pembangunan daerah tertinggal secara mendasar mengandung prinsip pelaksanaan kebijakan desentralisasi dalam rangka peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran nasional yang bertumpu pada trilogi pembangunan, yaitu pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas. Namun harus disadari bahwa pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih merupakan suatu proses perbaikan tatanan sosial ekonomi, politik dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan (sustainable welfare). Secara geografis perkembangan daerah tidak berlangsung merata. Hal ini disebabkan letak penyebaran sumberdaya tidak merata seperti sumberdaya alam,

sumberdaya manusia, kegiatan sosial ekonomi, maupun komoditi geografis antar daerah. Persepsi kesenjangan dalam dimensi ekonomis-regional menunjukkan adanya ketidakseimbangan laju perekonomian antar daerah, pada akhirnya memunculkan daerah-daerah maju dan daerah-daerah tertinggal. Hal ini ditunjukkan oleh ketidakmerataan dan ketidakserasian pembangunan antar kawasan seperti halnya di Kabupaten Garut yakni adanya disparitas antar kawasan yang relatif telah maju dan berkembang dengan kawasan-kawasan yang tertinggal, contohnya kawasan Garut Utara lebih maju dibandingkan Garut Selatan. Menurut Mahbubah (1995), faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan antara Garut Utara dengan Garut Selatan yaitu kepadatan penduduk yang lebih tinggi terdapat di Garut Utara serta kegiatan-kegiatan pembangunan dan saranaprasarana pembangunan yang lebih terkonsentrasi di daerah ini. Di samping itu, Garut Utara mempunyai posisi lebih strategis karena memiliki hubungan lebih dekat dengan Kabupaten Bandung sebagai bukota Propinsi Jawa Barat, sehingga pusat pertumbuhan di daerah ini lebih pesat kemajuannya dibandingkan pusat pertumbuhan di wilayah Garut Selatan. Sebaliknya sebagian besar di wilayah Garut Selatan memiliki tingkat aksesibilitas rendah serta sarana dan prasarana yang kurang memadai, sehingga fasilitas lainpun sulit dikembangkan. Keadaan ini berpengaruh terhadap sektor pertanian yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian daerah, padahal luas areal wilayah Garut Selatan merupakan 60 persen dari luas keseluruhan Kabupaten Garut dan merupakan basis pertanian utama. Menurut Perwilayahaan Pembangunan Kabupaten Garut (1999), wilayah Kabupaten Garut dibagi dalam tiga sub wilayah pembangunan yaitu wilayah pembangunan seluas 113.557 ha meliputi dua puluh empat kecamatan, wilayah

pembangunan seluas 101.594 ha meliputi sembilan kecamatan, dan wilayah pembangunan seluas 91.368 ha meliputi tujuh kecamatan. Adapun struktur pusat-pusat pelayanan sebagai berikut : 1. Sub Wilayah Pembangunan Sub wilayah pembangunan dengan fungsi sebagai wilayah pengembangan kota-kota strategis dan maju serta didukung oleh fasilitas perkotaan. Pusat kegiatan pertumbuhan utama di Garut kota dan pusat pengembangan kedua di Kecamatan Cibatu. Wilayah pembangunan ini diutamakan untuk pengembangan kota dan desa, perluasan dan intensifikasi persawahan teknis dan tanaman perdagangan serta industri hasil pertanian dan peternakan besar. 2. Sub Wilayah Pembangunan Sub wilayah pembangunan dengan fungsi sebagai wilayah pengembangan kota-kota agak maju dan cukup strategis yang didukung oleh potensi alam maupun kegiatannya. Pusat pengembangan utama di Kecamatan Cikajang dan pusat pengembangan kedua di Kecamatan Pameungpeuk. Wilayah pembangunan ini sebagai daerah produksi pertanian lahan kering, khususnya tanaman pangan dan perdagangan yang didukung oleh industri pengolahannya dan peternakan besar. 3. Sub Wilayah Pembangunan Sub wilayah pembangunan dengan fungsi sebagai wilayah pengembangan pertanian potensial dan wilayah ekonomi yang belum dikembangkan. Pusat pengembangan utama di Kecamatan Bungbulang. Wilayah pembangunan ini dikembangkan sebagai daerah produksi pertanian lahan kering khususnya tanaman pangan dan perdagangan skala lokal serta sebagai daerah peternakan

besar. Tabel 1 menunjukkan pembagian wilayah pembangunan dan fungs i pengembangan Kabupaten Garut. Tabel 1. Pembagian Wilayah Pembangunan dan Fungsi Pengembangan Wilayah Pembangunan SWP SWP SWP Kabupaten Garut Tahun 2004 Pusat pertumbuhan Kecamatan Garut kota Kecamatan Cikajang Kecamatan Bungbulang Sub Pusat Pertumbuhan Kecamatan Cibatu Kecamatan Pameungpeuk Kecamatan yang tercakup Kec. Wanaraja, Karang pawitan, Garut kota, Leles, Samarang, Selaawi,Malangbong,Su kawening,karang Tengah,Banyuresmi, Cibatu,Kersamanah, Leuwigoong, Bl.Limbangan, Kadungora,Pasirwangi, Taragong Kaler dan Kidul, Cisurupan, Cilawu Bayongbong,Cigedug, Sukaresmi dan Cibiuk. Kec.Cikajang, Singajaya,Cihurip, Peundeuy, Cibalong, Cikelet, Cisompet, Banjarwangi dan Pameungpeuk Kec.Talegong, Cisewu,Caringin, Bungbulang,Mekarmukt i, Pakenjeng dan Pamulihan Fungsi Pengembangan Pengolahan hasil pertanian di Kec.Garut kota, Karangpawitan, Samarang, Cibatu, Bayongbong dan Cilawu Peternakan di Kec.Cisurupan Produksi pertanian lahan kering. Perikanan laut di Kec.Cibalong, Pameungpeuk dan Cikelet. Peternakan di Kec.Cikajang, Banjarwangi, Singajaya dan Peundeuy Produksi pertanian lahan kering, Perkebunan, Konservasi alam, peternakan Sumber : Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) Kabupaten Garut, 1999. Kabupaten Garut merupakan wilayah yang dinamis, secara topografi mempunyai ketinggian tempat bervariasi antar wilayah, yang paling rendah yaitu sejajar dengan permukaan laut hingga wilayah yang tertinggi di puncak gunung. Akibat pengaruh adanya daerah penggunungan, daerah aliran sungai dan da erah

dataran rendah pantai, maka tingkat kehidupan sosial, ekonomi, budaya maupun potensi serta permasalahannya juga bervariasi. Adanya keragaman wilayah pada masing-masing sub wilayah pembangunan tersebut, menimbulkan perbedaan dalam peluang untuk tumbuh dan mendorong terciptanya aglomerasi sehingga timbul ketidakseimbangan antar wilayah. Pada jangka panjang kondisi seperti ini dapat merugikan masyarakat dan menimbulkan masalah-masalah baru, seperti munculnya daerah-daerah tertinggal yang pada akhirnya aka n menterpurukkan perekonomian daerah itu sendiri. Untuk itu, pemerintah daerah setempat perlu memberikan perhatian dan prioritas yang tinggi untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan langkah-langkah strategis khususnya pembangunan daerah tertinggal di Kabupten Garut, dengan mencermati berbagai aspek spesifik setempat serta menggunakan konsep-konsep manajemen strategis sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi pembangunan daerah tertinggal. Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa masalah yang akan ditelaah dalam penelitian ini antara lain yaitu : 1. Bagaimana tingkat ketimpangan potensi fisik dan tingkat pemerataan pembangunan antar wilayah yang terjadi di Kabupaten Garut? 2. Bagaimana kondisi lingkungan eksternal sebagai faktor peluang dan ancaman dan lingkungan internal sebagai faktor kekuatan dan kelemahan yang dihadapi Kabupaten Garut? 3. Strategi apa saja yang harus disusun oleh stakeholders dalam pembangunan daerah tertinggal tersebut?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi tingkat ketimpangan potensi fisik dan tingkat pemerataan pembangunan antar wilayah yang terjadi di Kabupaten Garut. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis seberapa besar kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dan seberapa banyak peluang serta ancaman yang dihadapi Kabupaten Garut. 3. Merumuskan strategi apa yang sebaiknya disusun oleh stakeholders dalam pembangunan daerah tertinggal. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan (evaluasi) dalam menyusun rencana -rencana atau strategi pembangunan daerah tertinggal, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu wilayah. Selain itu dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan (referensi) untuk penelitian selanjutnya.

TNJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Perwilayahan dalam Pembangunan Pembangunan wilayah pada hakekatnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah/region yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial region tersebut, serta tetap menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, istilah wilayah merupakan hal yang penting untuk didefinisikan secara tegas, baik dalam perencanaannya maupun proses implementasinya. Menurut Friedman dalam Hanafiah (1988) menyatakan bahwa perencanaan wilayah adalah merupakan proses memformulasikan tujuan-tujuan sosial dan pengaturan ruang untuk kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai tujuan sosial tersebut. Ruang merupakan dasar yang penting bagi seorang perencana wilayah dalam membuat rencana sektoral nasional dan programprogram pembangunan wilayah, serta merencanakan lokasi kegiatan tertentu disuatu wilayah atau di suatu lokasi tingkat lokal. Menurut Hanafiah (1988) penentuan batas-batas wilayah didasarkan pada beberapa kriteria yaitu : (1) Homogenitas : wilayah dapat diberi batas berdasarkan beberapa persamaan unsur tertentu, seperti unsur ekonomi wilayah yaitu pendapatan perkapita, kelompok industri maju, tingkat pengangguran dan sebagainya, (2) Nodalitas : menitikberatkan pada perbedaan struktur tata ruang di dalam wilayah dimana terdapat sifat ketergantungan fungsional, dan (3) Administrasi atau Unit Program : penentuan wilayah didasarkan atas perlakuan kebijaksanaan yang seragam, seperti sistem dan tingkat pajak yang sama dan la in sebagainya. Wilayah seperti ini disebut wilayah perencanaan atau wilayah program.

Selanjutnya ditambahkan bahwa selain pengelompokkan wilayah atas kriteria di atas, terdapat berbagai wilayah sebagai berikut : 1. Wilayah yang terlalu maju : terutama kota-kota besar dimana terdapat batas pertumbuhan atau polarisasi, upaya dalam menghadapi masalah diseconomies of scale. 2. Wilayah netral : yang dicirikan dengan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan ongkos sosial. Wilayah ini merupakan kota satelit bagi wilayah yang terlalu atau merupakan kota atau permukiman melingkar bagi kota metropolitan. 3. Wilayah sedang : merupakan wilayah dengan ciri-ciri campuran pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif ba ik dan gambaran kombinasi antar daerah maju dan kurang maju, dimana terdapat juga pengangguran dan kelompok masyarakat miskin. 4. Wilayah kurang berkembang atau kurang maju : wilayah dengan tingkat pertumbuhannya jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pembangunan nasional, industri kecil dan lain-lain. 5. Wilayah tidak berkembang : tidak maju atau wilayah miskin yaitu wilayah dimana industri modern tidak pernah dapat berkembang dalam berbagai skala. Umumnya ditandai dengan daerah pertanian dengan usahatani subsisten dan kecil, berpenduduk jarang dan tersebar dan tidak terdapat kota atau konsentrasi pemukiman yang relatif besar.

2.2 Teori Kutub Pertumbuhan dan Pusat Pertumbuhan Berdasarkan perumusan permasalahan di atas, masalah pembangunan daerah Kabupaten Garut timbul oleh adanya fenomena regional inequality yaitu adanya perbedaan di dalam tingkat pertumbuha n dan perkembangan antar daerah. Keadaan tersebut disebabkan adanya perbedaan tingkat pendapatan dan kemakmuran, kurangnya perhatian badan-badan perancang serta badan-badan pelaksana pemerintah terhadap usaha -usaha untuk mengendalikan, mengarahkan dan menangani dengan sungguh-sungguh pergerakan penduduk dalam hubungannya dengan pengaturan pola urbanisasi ke kota-kota sebagai pusat pemukiman yang potensial. Teori kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan diperkenalkan oleh Perreoux (1955) dalam Hanafiah (1988) yaitu menekan pada pengertian kutub pertumbuhan dalam ruang ekonomi. Abstraksinya mengena i ruang dibedakan atas tiga tipe yaitu : (1) Ruang sebagai yang diidentifikasikan dalam suatu rencana diagram cetak-biru (blue-print), (2) Ruang sebagai medan kekuatan, dan (3) Ruang sebagai suatu keadaan yang homogen. Selanjutnya Perreoux (1955) mengartikan kutub sebagai vektor dalam ruang ekonomi, yakni sebagai medan kekuatan ruang ekonomi mengandung pusat-pusat dan kutub-kutub yang mempunyai kekuatan sentrifugal yang memancar ke sekeliling dan mempunyai kekuatan sentripetal yang menarik sekitarnya ke pusat-pusat tersebut. Menurut Glasson (1977) dari berbagai teori mengenai kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan. Konsep-konsep ekonomi dasar dan perkembangan geografiknya dapat didefenisikan sebagai berikut :

1. Konsep Leading ndustries (ndustrie Motrice) dan perusahaan-perusahaan propulsip : menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaanperusahaan propulsip yang besar, yang termasuk dalam Leading ndustries yang mendominasi unti-unit ekonomi lainnya. Lokasi geografis pada titik-titik fokal tertentu dalam suatu daerah mungkin terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu lokasi sumberdaya alam, lokasi kemanfaatan-kemanfaatan buatan manusia (komunikasi atau tempat-tempat sentral yang berlandaskan kegiatan jasa yang sudah ada, dimana terdapat keuntungan-keuntungan karena prasarana dan penawaran tenaga kerja). Namun dalam kenyataannya, titik-titik pertumbuhan itu seringkali dicangkokkan pada kerangka tempat-tempat sentral yang ada. 2. Konsep Polarisasi : menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leading industries (Propulsive growth) mendorong polarisasi dari unit-unti ekonomi lainnya kedalam kutub pertumbuhan. mplisit dalam proses polarisasi ini adalah berbagai macam keuntungan aglomerasi ( keuntungan internal dan eksternal dari skala). Polarisasi ekonomi akan menimbulkan polarisasi geografik dengan mengalirnya sumberdaya dan konsentrasi ekonomi pada pusat-pusat yang jumlahnya terbatas di dalam suatu daerah. Bahkan kendatipun raison d etre semula dari lokasi seperti itu sudah tidak ada lagi, namun lokasi tersebut seringkali tetap berkembang dengan baik disebabkan karena adanya keuntungan-keuntungan aglomerasi. 3. Konsep Spread Effects : menyatakan bahwa pada waktunya, kwalitas propulsip dinamik dari kutub pertumbuhan akan memancar keluar dan memasuki ruang di sekitarnya.

Berdasarkan pengalaman negara-negara berkembang yang pernah menerapkan teori kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan dan mempunyai peranan utama dalam pembangunan ekonomi. Menurut Hanafiah (1988), maka kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan mempunyai fungsi antara lain sebagai : (1) pusat pelayanan secara umum maupun secara khusus, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dan sebagainya, (2) pusat inovasi dan promosi, sehingga kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan harus mempunya i kegiatan pemrosesan dan pengolahan dasar dan mendasar guna memenuhi kebutuhan wilayah dan nasional, dan juga harus menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja yang terdorong keluar akibat revolusi hijau, dan (3) pusat interaksi sosial, sebagai pusat difusi inovasi dan informasi, dan juga harus berfungsi sebagai tempat pelayanan penyuluhan, pendidikan serta tempat pertemuan berbagai kelompok masyarakat. 2.3 Konsep Pembangunan Daerah Tertinggal 2.3.1 Pengertian Daerah Tertinggal Menurut Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik ndonesia (2004) daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Dalam konsep Badan Perencanaan Pemba ngunan Nasional (2004) wilayah tertinggal pada umumnya dicirikan dengan letak geografisnya relatif terpencil, atau wilayah-wilayah yang miskin sumberdaya alam, atau rawan bencana alam. Wilayah tertinggal merupakan suatu wilayah dalam suatu daerah yang secara fisik, sosial, dan ekonomi masyarakatnya mencerminkan keterlambatan pertumbuhan dibandingkan dengan daerah lain.

Selanjutnya, wilayah tertinggal dalam kerangka penataan ruang nasional didefenisikan sebagai wilayah budidaya yang secara ekonomi jauh tertinggal dari rata-rata nasional, baik akibat kondisi geografis, maupun kondisi sosial beserta infrastrukturnya. Pengertian yang lebih umum menyebutkan bahwa wilayah tertinggal merupakan wilayah pedesaan yang mempunyai masalah khusus atau keterbatasan sarana dan prasarana, sumberdaya manusia, dan keterbatasan aksesibilitasnya ke pusat-pusat pemukiman lainnya. Hal inilah yang menyebabkan kemiskinan serta kondisinya relatif tertinggal dari pedesaan lainnya dalam mengikuti dan memanfaatkan hasil pembangunan nasional dan daerah. Pada hakekatnya pelaksanaan program pembangunan daerah tertinggal sering menghadapi persoalan yaitu adanya tumpangtindih kegiatan dengan program penanggulangan kemiskinan. Secara umum, memang beberapa kegiatan program pembangunan daerah tertinggal pada dasarnya sama dengan program penanggulangan kemiskinan yaitu sama-sama bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah yang terisolir, tertinggal, terpencil dan miskin. Namun, dalam program pembangunan wilayah tertinggal tar getnya lebih luas mengingat bukan hanya manusia atau masyarakat saja yang perlu dibenahi, melainkan pengembangan aspek spasial yaitu wilayah yang memiliki fungsi tertentu agar wilayah dengan fungsi tertentu atau wilayah tersebut berkembang dan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi daerah. Menurut Bappenas (2004) wilayah tertinggal secara umum dapat dilihat dan ditentukan berdasarkan letak geografisnya yang secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu wilayah tertinggal di pedalaman dan wilayah tertinggal di pulau-pulau terpencil.

1. Kondisi wilayah tertinggal di pedalaman a) Kondisi sumberdaya alam sangat rendah (kesuburan tanahnya yang rendah, rawan longsor, rawan banjir, terbatasnya sumberdaya air, daerah dengan topografi yang terjal, tanah berawa-rawa/gambut). b) Semberdaya alamnya mempunyai potensi, namun daerah tersebut belum berkembang/terbelakang. Kondisi geografis pada umumnya di daerah yang tidak terjangkau, sehingga walaupun lokasinya relatif dekat, namun tidak tersedia akses dari wilayah tersebut ke wilayah pusat pertumbuhan. Penguasaan dan penerapan tekonologi yang relatif rendah dikarenakan kurangnya pembinaan dan keterbatasan dukungan prasarana teknologi itu sendiri. c) Ketersedian atau keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, air irigasi, kesehatan, pendidikan dan lainnya menyebabkan wilayah tertinggal tersebut makin sulit untuk berkembang. d) Tingginya kesenjangan ekonomi antar daerah (misalnya antara pantai/pesisir dengan pedalaman). Struktur sosial ekonomi masyarakat terbagi dalam beberapa tingkatan misalnya masyarakat tradisional, semi modern dan masyarakat modern. e) Rendahnya akses ke pusat-pusat pertumbuhan lokal misalnya ibukota kecamatan. Biaya transportasi menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai jual komoditi. f) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, baik aparatur maupun masyarakat.

g) Kualitas dan jumlah rumah penduduk belum layak. Sebaran kampung penduduk yang terpencar dan pada daerah dengan topografi berat, menyebabkan daerah tersebut sulit dijangkau. h) Masih belum mengenal uang sebagai alat jual beli barang. Di masyarakat yang sudah mengenal uang, proses pemupukan modal dari masyarakat sendiri belum berlangsung dengan baik. 2. Kondisi wilayah tertinggal di pulau-pulau terpencil a) Kondisi masyarakat pulau-pulau kecil di wilayah terpencil masih sangat marjinal, sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak yang mempunyai kepentingan. b) Terdapat 88 pulau kecil yang bertitik dasar dan berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga. c) Terbatasnya sarana dan prasarana untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan pengolahan, khususnya terhadap pulau-pulau yang terpencil sulit dijangkau dan tidak berpenghuni. d) Kondisi pulau di perbatasan umumnya pulau-pulau yang sangat kecil sehingga sangat rentan terhadap kerusakan baik oleh alam maupun akibat kegiatan manusia. e) Adat istiadat, budaya dan agama masyarakat pulau-pulau kecil yang spesifik dan pada umumnya bertentangan dengan adat, budaya yang dibawa oleh pendatang/wisatawan, sehingga akan menghambat proses pembaharuan. 2.3.2 Kriteria Penentuan Daerah Tertinggal Pemilihan lokasi daerah tertinggal bukan ditentukan dari tingkat propinsi ataupun pemerintah pusat, tapi ada hal-hal yang menjadi indikator dari pemerintah

dalam menetapkan suatu daerah termasuk dalam kategori daerah tertinggal. Menurut Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik ndonesia (2004) penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan enam kriteria daerah dasar yaitu : (1) perekonomian masyarakat, (2) sumberdaya manusia, (3) prasarana dan sarana (infrastruktur), (4) kemampuan keuangan daerah, (5) aksesibilitas dan karakteristik daerah, dan (6) berdasarkan kabupaten yang berada di daerah perbatasan antar Negara dan gugusan pulau-pulau kecil, daerah rawan bencana dan daerah rawan konflik. Bappenas (2004) menyebutkan bahwa faktor penyebab suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal yaitu antara lain : 1. Geografis : secara geografis wilayah tertinggal relatif sulit dijangkau akibat letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir dan pantai pulau-pulau terpencil, ataupun karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh perkembangan jaringan, baik transportasi maupun media komunikasi. 2. Sumberdaya alam : beberapa wilayah tertinggal terjadi akibat rendah/miskinnya potensi sumberdaya alam seperti daerah kritis minus atau lingkungan sekitarnya merupakan wilayah yang dilindungi atau tidak bisa dieksploitasi, sehingga masyarakat sulit mendapatkan mata pencaharian yang memadai. 3. Sumberdaya manusia : pada umumnya masyarakat di wilayah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang sederhana, serta pada umumnya terikat atau masih memegang teguh nilai-nilai tradisional dan sulit menerima nilai-nilai baru. Di samping itu, kelembagaan

adat pada sebagian masyarakat pedalaman belum berkembang. Dalam kondisi demikian, walaupun daerah tersebut memiliki sumberdaya alam yang potensial namun tidak diolah dengan baik atau dimanfaatkan oleh dan untuk kepentingan pihak tertentu. 4. Kebijakan pembangunan : suatu wilayah dapat tertinggal karena beberapa faktor kebijakan, seperti keterbatasan kemampuan keuangan pemerintah, kesalahan prioritas penanganan dan strategi atau pendekatan, tidak diakomodasikannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan penanganan pembangunan sehingga mengakibatkan penanganan wilayah tertinggal selama ini salah sasaran atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya, bahwa daerah tertinggal sangat kompleks dengan permasalahan-permasalahan, hal inilah yang menjadi tantangan bagi stakeholders dalam upaya penanganan pembangunan daerah tertinggal. Namun, sekelumit permasalahan yang dihadapi khususnya pada daerah tertinggal juga berbeda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Sehingga membutuhkan pendekatan-pendekatan khusus pada daerah yang dimaksud, agar dalam membuat suatu strategi pembangunan daerah tertinggal dapat dirumuskan langkah-langkah yang strategis sehingga pencapaian target bisa lebih tepat pada sasaran. Menurut Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik ndonesia (2004), secara agregat permasalahan yang dihadapi daerah tertinggal adalah sebagai berikut :

a. Kualitas SDM di daerah tertinggal relatif lebih rendah di bawah rata-rata nasional akibat terbatasnya akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. b. Tersebar dan terisolirnya wilayah-wilayah tertinggal akibat keterpencilan dan kelangkaan sarana dan prasarana wilayah. c. Terbatasnya akses permodalan, pasar, informasi dan teknologi bagi upaya pengembangan ekonomi lokal. d. Terdapat gangguan keamanan dan bencana yang menyebabkan kondisi daerah tidak kondusif untuk berkembang. e. Daerah perbatasan antar Negara selama ini orientasi pembangunannya bukan sebagai beranda depan Negara Kesatuan Republik ndonesia dan lebih menekankan aspek keamanan (security approach), sehingga terjadi kesenjangan yang sangat lebar dengan daerah perbatasan Negara tetangga. f. Komunitas Adat Terpencil (KAT) memiliki akses yang sangat terbatas kepada pelayanan sosial, ekonomi, dan politik serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Menurut Wanggai (2004) persoalan-persoalan yang dihadapi dalam kawasan tertinggal antara lain : rendahnya kualitas ekonomi masyarakat, kesenjangan sos ial ekonomi antar penduduk, kesenjangan antar wilayah dan antar desa-kota, rendahnya aksesibilitas wilayah, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, potensi sumberdaya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal, isolasi wilayah, rendahnya kehadiran investor, dan rendahnya keterkaitan antar sektor, antar wilayah dan antar usaha ekonomi.

2.3.3 Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal Melihat persoalan-persoalan tersebut, menurut Bappenas (2004) untuk mewujudkan keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran program, penyelesaian wilayah tertinggal perlu menggunakan prinsip-prinsip pengembangan yaitu sebagai berikut : (a) berorientasi pada masyarakat (people centered) : masyarakat di wilayah tertinggal adalah pelaku sekaligus pihak yang mendapatkan manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan, (b) berwawasan lingkungan (environmentally sound) : berkembangnya kebutuhan ekonomi yang dipengaruhi oleh perubahan sosial ekonomi dan modernisasi dapat mendorong terciptanya kegiatan merusak lingkungan seperti pengrusakan hutan lindung dan terumbu karang, (c) sesuai dengan adat istiadat dan budaya setempat (culturally appropriate ) : pengembangan kegiatan yang berorientasi pada kondisi dan kebutuhan masyarakat perlu memperhatikan adat istiadat dan budaya yang telah berkembang sebagai suatu kearifan tradisional (traditional wisdom) dalam kehidupan masyarakat setempat, dan memperkaya khasanah budaya bangsa, (d) sesuai kebutuhan masyarakat (socially accepted) : kegiatan pengembangan wilayah tertinggal harus berdasarkan kebutuhan daerah dan masyarakat penerima manfaat dan bukan berdasarkan asas pemerataan dimana setiap daerah berhak atas bantuan pendanaan dari pemerintah, dan (e) tidak diskriminatif (non discriminative) ; prinsip ini digunakan agar kegiatan penanganan wilayah tertinggal tidak bias pada kepentingan pihak tertentu, yang pada akhirnya dapat mengganggu pencapaian tujuan dan sasaran program. Seperti yang tersirat dalam defenisi wilayah tertinggal, ternyata karakteristik wilayah dan masyarakat wilayah tertinggal menunjukkan perbedaan yang cukup berarti dengan wilayah lain di ndonesia, maka pendekatan

penanggulangan/pengentasan kemiskinan di wilayah tertinggal tidak hanya terfokus pada aspek ekonomi tetapi sifatnya harus lebih menyeluruh dan merata pada semua aspek pe mbangunan. Perlu menjadi catatan bagi pemerintah daerah bahwa proses implementasi kebijakan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatankekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku semua pihak yang terlibat dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak, baik negatif maupun yang positif (Wahab,1990 dalam Hidayat,2004). Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan implentasi kebijakan diperlukan kesamaan pandangan tujuan yang hendak dicapai dan komitmen semua pihak untuk memberikan dukungan. Menurut Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik ndonesia (2004) untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal ditetapkan kebijakan umum berupa : (1) pemihakan, (2) percepatan, dan (3) pemberdayaan masyarakat di daerah tertinggal. Kebijakan tersebut diterjemahkan dalam kebijaka n operasional, seperti di bawah ini : 1. Meningkatkan kualitas SDM melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sesuai dengan standar pelayanan minimum di daerah tertinggal sehingga setara dengan rata-rata masyarakat ndonesia lainnya. 2. Meningkatkan ketersedia an sarana dan prasarana ekonomi antara lain melalui skim USO (Universal Service Obligation) untuk telekomunikasi, keperintisan untuk transportasi, dan listrik masuk desa.

3. Meningkatkan akses masyarakat kepada sumber-sumber permodalan, pasar, informasi dan teknologi. 4. Mencegah dan mengurangi risiko gangguan keamanan dan bencana melalui pengembangan sistem deteksi dini. 5. Merehabilitasi kerusakan fisik, serta pemulihan sosial budaya, dan ekonomi akibat bencana alam dan konflik. 6. Mengubah orientasi pembangunan daerah perbatasan dari pendekatan yang lebih menekankan kepada keamanan kepada pendekatan yang lebih menekankan kepada kesejahteraan dan menjadikannya beranda depan negara sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. 7. Memberdayakan Komunitas Adat Terpencil (KAT) melalui peningkatan akses kepada pelayanan sosial, ekonomi, dan politik serta wilayah di sekitarnya. Dalam konsep Bappenas (2004) kebijakan-kebijakan untuk pembangunan daerah tertinggal antara lain : a. Meningkatkan kemampuan KAT dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai aspek kehidupannya agar mampu menanggapi perubahan sosial budaya dan lingkungan hidupnya. b. Meningkatkan dan memeratakan pelayanan sosial yang lebih adil, dalam arti bahwa setiap KAT berhak untuk memperoleh pelayanan sosial yang sebaikbaiknya. c. Meningkatkan dan memantapkan partisipasi sosial masyarakat dalam pelayanan sosial dengan melibatkan semua unsur dan komponen masyarakat atas dasar swadaya dan kesetiakawanan sosial sehingga merupakan bentuk usaha-usaha kesejahteraan sosial yang melembaga dan berkesinambungan.

d. Semua tempat terpencil dan terisolir, wilayah pulau-pulau kecil dan wilayah perbatasan harus dapat terhubung dengan wilayah-wilayah lain agar penduduk dapat berinteraksi sehingga terwujud kedaulatan Negara Kesatuan Republik ndonesia (NKR). Setelah ada suatu kebijakan maka perlu perumusan strategi, hal ini dimaksudkan agar setiap strategi pembangunan daerah tertinggal yang akan dibuat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing daerah. Dengan demikian, antara kebijakan dan strategi harus menunjukkan kesinergikan sehingga setiap kebijakan dan strategi yang sudah dirumuskan dapat langsung mengenai sasaran. Strategi-strategi yang dimaksud meliputi : 1. Pengembangan ekonomi lokal : strategi ini diarahkan untuk mengembangkan ekonomi daerah tertinggal dengan didasarkan pada pendayagunaan potensi sumberdaya lokal (sumberdaya manusia, sumberdaya kelembagaan, serta sumberdaya fisik) yang dimiliki masing-masing daerah, oleh pemerintah dan masyarakat, melalui pemerintahan daerah maupun kelompok-kelompok kelembagaan berbasis masyarakat yang ada. 2. Pemberdayaan masyarakat : strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. 3. Perluasan kesempatan : strategi ini diarahkan untuk membuka keterisolasian daerah tertinggal agar mempunyai keterkaitan dengan daerah maju. 4. Peningkatan kapasitas : strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia pemerintah dan masyarakat di daerah tertinggal.