BAB II TINJAUAN TEORITIS. 1. Mowday, Porter, & Steers (1982,dalam Luthans,2006) tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perusahaan ini berdiri pada tahun 1973 sebagai sebuah home industry yang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Rumah Sakit sebagai tempat layanan kesehatan publik makin dituntut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Perkembangan jaman yang semakin maju berdampak pada

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan tertentu yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk memproduksi barang-barang yang berkualitas demi meningkatkan daya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu elemen penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pembagian karyawan menjadi karyawan tetap dan karyawan kontrak, baik perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Termasuk dalam bidang ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Perusahaan terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia dan akan berpengaruh langsung terhadap pembentukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan UU No. 3 tahun 1982, perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang senantiasa

BAB I PENDAHULUAN. meliputi segala bidang, diantaranya politik, sosial, ekonomi, teknologi dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan hidup. Manusia harus bertahan dalam. mempertahankan kehidupannya dengan beragam cara yang dimilikinya.

Contoh Komitmen Karyawan terhadap Perusahaan / Organisasi di PT. Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia)

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada jalur formal di Indonesia terbagi menjadi empat jenjang, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Bandung merupakan salah satu kota pariwisata karena memiliki asset

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pencapaian tujuan tersebut, perusahaan membutuhkan tenaga-tenaga

BAB I PENDAHULUAN. pengujian komitmen organisasi terhadap variabel lain terkait sikap kerja karyawan

BAB I PENDAHULUAN. bidang layanan jasa yang diberikan kepada masyarakat dalam mengatasi resiko

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat baik yang bergerak di bidang produksi barang maupun jasa.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam sebuah organisasi memiliki peran sentral dalam

BAB II URAIAN TEORITIS. a. Komitmen Organisasi paling sering didefinisikan yaitu:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. teori itu dipakai adalah karena teori tersebut relevan dengan variabel yang dipakai serta

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Komitmen Organisasi. Salim (dalam Martini dan Rostiana, 2003) bahwa komitmen organisasi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Komitmen organisasional menjadi hal penting pada sebuah organisasi

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peran sumber daya manusia dalam suatu organisasi merupakan penentu yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. mengalami banyak perkembangan dalam berbagai bidang. Hal ini terutama

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berbentuk perusahaan. Perusahaan merupakan badan usaha yang

BAB II LANDASAN TEORI. dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini persaingan merupakan sesuatu yang lumrah. Banyak orang yang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai kekuatan untuk menghadapi persaingan (Cusway, 2002). terus menerus untuk mencapai tujuan (Robbins, 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi saat ini banyak terjadi perubahan didalam segala

BAB II LANDASAN TEORI

KUESIONER PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Eximbank atau Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ini, oleh karena itu perusahaan membutuhkan manusia-manusia yang berkualitas tinggi, memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mereka yang memiliki komitmen tinggi cenderung lebih bertahan dan rendah

BAB I PENDAHULUAN. seseorang. Olahraga dapat dilakukan oleh semua orang, baik muda atau orang tua,

BAB II KAJIAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. letaknya yang berdekatan dengan kota metropolitan, tingkat perkembangan

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan sumber daya tersebut. Sebagai institusi pendidikan, sekolah

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik dan lingkungannya. Artinya guru memiliki tugas dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. diterima dan dikonsumsi oleh konsumen serta bermanfaat bagi mereka. Salah satu

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terpenting di dalamnya. Tanpa adanya manusia, organisasi tidak mungkin dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. yang digunakan oleh para pemakainya dalam proses pengambilan keputusan

BAB I PENDAHULUAN. yang merasakan dampak dari krisis tersebut, tidak hanya negara-negara bekembang,

BAB 1 PENDAHULUAN. modal dasar pembangunan nasional. Dengan kata lain manusia adalah unsur kerja

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Organisasi modern meyakini bahwa manusia merupakan faktor penting

BAB I PENDAHULUAN. organisasi/korporat (corporate social responsibilities ), workforce diversities,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia (human resources) secara unggul. Sumber daya manusia yang

KATA PENGANTAR. Saya mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tujuan, visi dan misi dari perusahaan. karyawan serta banyaknya karyawan yang mangkir dari pekerjaannya.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi bagi setiap individu dari

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kompetitif dengan mendorong sebuah lingkungan kerja yang positif (Robbins dan

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan seseorang dalam suatu bidang pekerjaan banyak ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia dipandang sebagai salah satu aset perusahaan yang penting,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan aset tidak nyata yang menghasilkan produk karya jasa intelektual

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup di masa sekarang maupun di

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. terbaik di dunia. Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya semakin

KUESIONER. Lama Bekerja :. *) coret yang tidak perlu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Wibowo (2011:501) kepuasan adalah sikap umum terhadap pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. mendukung upaya kesehatan puskesmas (Andini, 2006). Suatu Rumah Sakit akan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kesuksesan organisasi di masa depan. Kemampuan perusahaan. efektif dan efisien (Djastuti, 2011:2).

BAB I PENDAHULUAN. mereka saling bekerja sama dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan

BAB 1 PENDAHULUAN. mendapatkan imbalan yang sesuai dengan harapan, maka output yang dihasilkan tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernah dilakukan sebelumnya untuk semakin memperkuat kebenaran empiris

BAB II LANDASAN TEORI. maupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja karyawan dan

Studi Deskriptif Mengenai Komitmen Organisasi pada Karyawan Unit Usaha Industri Hilir Teh Bagian Produksi di PT. Perkebunan Nusantara VIII Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hamzah, Nyorong, 2013). Sebagai instansi yang berorientasi pada pelanggan (consumeroriented),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Teoritis

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Komitmen Organisasi 2.1.1 Pengertian Komitmen Organisasi 1. Mowday, Porter, & Steers (1982,dalam Luthans,2006) Komitmen organisasi paling sering didefinisikan sebagai 1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; 2) keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; 3) keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. 2. Robbins (2007) The degree to which an employee identifies with a particular organization and its goals and wishes to maintain membership in the organization 3. Meyer & Allen (1997) Psychological state that (a) characterizes the employee s relationship with the organization, and (b) has implications for the decision to continue membership in the organization. Komitmen organisasi merupakan kondisi psikologis yang menggambarkan hubungan karyawan dengan organisasinya, dan yang mempengaruhi keputusan karyawan untuk melanjutkan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. 11

12 2.1.2 Komponen Komitmen Organisasi Meyer & Allen melakukan penggabungan komponen komitmen berdasarkan konsep komitmen yang telah dikemukakan sebelumnya. Masingmasing konsep mencerminkan 3 buah tema yaitu affective attachment (kelekatan afeksi), Perceive cost (persepsi terhadap pengorbanan), obligation (rasa kewajiban). 1. Affective Commitment..refers to an affective or emotional attachment to the organization such that the strongly committed individual identifies, is involved in and enjoy membership in organization (Meyer & Allen, 1997) Affective commitment dari Meyer & Allen (1997) sebenarnya mengacu pada tema affective attachment yang didasarkan pada hasil studi Porter. Affective ini merupakan ikatan yang berasal dari keterikatan emosional karyawan pada organisasinya. Karyawan dengan affective commitment yang tinggi akan mengidentifikasikan diri dengan organisasi, akan terlibat secara penuh pada kegiatankegiatan organisasi serta sangat menyenangi keanggotaannya dalam organisasi. Karyawan dengan affective commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena mereka memang menginginkan hal tersebut (want).

13 2. Continuance Commitment... a tendency to engange in consistent line of activity based on the individual s recognition of the cost associated with discontinuing the activity. (Meyer & Allen, 1997). Continuance commitment dari Meyer & Allen (1997) sebenarnya mengacu pada penelitian dari Herbiniak dan Alutto yang mengartikan continuance commitment sebagai tidak adanya alternatif pilihan kecuali tetap bertahan dalam organisasi, karena jika tidak, maka karyawan akan mengalami kerugian (side bets) yang akan dialaminya jika meninggalkan organisasi. Karyawan dengan continuance commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena mereka membutuhkannya (need). 3. Normative Commitment... refers to the employee feeling of obligation to remain with the organization. (Meyer & Allen, 1997) Normative commitment berasal dari keyakinan seseorang untuk bertanggung jawab dan merasa wajib untuk tetap bertahan dalam organisasi. Dengan demikian, normative commitment merupakan seberapa besar loyalitas karyawan terhadap organisasi. Karyawan yang memiliki normative commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena merasa memang sudah seharusnya begitu (ought to).

14 2.1.3 Antecedents Komponen Komitmen Organisasi 1. Antecedent Affective Commitment Affective commitment akan berkembang jika keterlibatan dengan pekerjaan merupakan suatu pengalaman yang menyenangkan, misalnya memberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang memuaskan atau memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan yang berarti. Selain itu terdapat faktor antesenden lain yaitu karakteristik individu, yang terdiri dari variabel demografis (misalnya jenis kelamin, usia, lama kerja) dan variabel disposisional (seperti kepribadian, value). Hubungan antara variabel demografis dengan affective commitment tidak konsisten, terdapat penelitian yang menemukan hubungan diantara kedua variabel tersebut dan adapula yang menemukan hubungan yang tidak berarti. Matheiu dan Zajac dalam Meyer&Allen (1997) menemukan bahwa terdapat hubungan yang lemah antara usia, lama kerja, status perkawinan dengan affective commitment. Faktor antesenden lain adalah pengalaman dalam bekerja. Berdasarkan hasil penelitian Mathieu dan Zajac dalam Meyer&Allen (1997) ditemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara pengalaman kerja dengan affective commitment. Pengalaman kerja juga mencakup persepsi individu terhadap karakteristik pekerjaan, tingkat otonomi, tantangan tugas, kejelasan peran dan hubungan dengan atasan maupun rekan kerja. Hal lain yang mempengaruhi perkembangan affectve commitment adalah terpenuhinya kebutuhan individu ketika melakukan pekerjaannya.

15 Setiap individu memiliki perbedaan kebutuhan, nilai dan kepribadian. Pekerjaan yang sesuai dengan nilai-nilai individu dan berhasil memenuhi kebutuhan-kebutuhannya akan menimbulkan kepuasan kerja, dan selanjutkan akan menumbuhkan affective commitment dalam diri individu tersebut. 2. Antecedent Continuance Commitment Continuance commitment dapat berkembang karena adanya berbagai tindakan atau kejadian yang dapat meningkatkan kerugian jika meninggalkan organisasi. Beberapa tindakan atau kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua variabel, yaitu investasi dan alternatif. Selain itu proses pertimbangan juga dapat mempengaruhi individu (Allen & Meyer, 1997). Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu, usaha ataupun uang, yang harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi. Sedangkan alternatif adalah kemungkinan untuk masuk ke organisasi lain. Proses pertimbangan adalah saat di mana individu mencapai kesadaran akan investasi dan alternatif, dan bagaimana dampaknya bagi mereka sendiri (Allen & Meyer, 1997). Continuance commitment akan berkembang setelah individu membuat suatu investasi yang akan hilang atau berkurang nilainya jika individu berganti pekerjaannya. Misalnya jika individu telah memiliki kedudukan yang tinggi dalam pekerjaannya ataupun dalam asosiasi profesinya, atau jika ia telah menghabiskan waktu dan usaha yang besar dalam memperoleh keterampilan yang berhubungan dengan pekerjaannya.

16 Selain itu, penghayatan akan tersedianya alternatif pekerjaan lain dan sejauh mana keterampilan karyawan dapat digunakan pada pekerjaan lain, juga akan mempengaruhi continuance commitment karyawan (Meyer dan Allen,1997). Faktor lain yang mempengaruhi continuance commitment adalah tingkat pendidikan (Lee, dalam Meyer dan Allen, 1997), usia dan lama kerja (Ferris&Aranya, dalam Meyer dan Allen, 199&). Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin rendah continuance commitment dan semakin tua usia dan lama kerja seseorang maka continuance commitment akan semakin tinggi karena kesempatan individu untuk berpindah pekerjaan semakin kecil. Meyer dan Allen (1997), juga menemukan bahwa kepuasan kerja berhubungan negatif dengan continuance commitment, semakin tinggi kepuasan kerja maka akan semakin rendah continuance commitment individu. 3. Antecedent Normative Commitment Normative commitment berkembang sebagai hasil dari internalisasi dari tekanan normatif untuk mengikuti sejumlah tindakan tertentu dan penerimaan akan keuntungan-keuntungan tertentu, yang membentuk rasa tanggung jawab untuk membalas. Misalnya menjadi anggota dari keluarga yang sudah lama menekuni bidang pekerjaan tersebut, atau jika menerima bantuan finansial sehingga dapat memikirkan karir dalam pekerjaan tersebut. Selain itu ditemukan pula bahwa pengalaman kerja yang menyenangkan dan kepuasan kerja memiliki korelasi positif dengan

17 normative commitment, artinya semakin tinggi kepuasan kerja seseorang maka akan semakin tinggi pula normative commitment individu. Wiener (Allen & Meyer, 1997) menyatakan normative commitment terhadap organisasi dapat berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama proses sosialisasi (dari keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu baru masuk ke dalam organisasi. Selain itu normative commitment juga berkembang karena organisasi memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas kembali (Allen & Meyer; Scholl dalam Allen & Meyer, 1997). Faktor lainnya adalah adanya kontrak psikologis antara anggota dengan organisasinya (Argyris; Rousseau; Schein dalam Allen & Meyer, 1997). Kontrak psikologis adalah kepercayaan dari masing-masing pihak bahwa masing-masing akan timbal balik memberi. 2.1.4 Faktor-faktor Yang Berpengaruh Pada Komitmen Organisasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen dalam berorganisasi yaitu : 1. Karakteristik Pribadi Individu Karakteristik Pribadi Individu terbagi ke dalam dua variabel yaitu Variabel demografis dan Variabel disposisional. Variabel demografis mencakup gender, usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Variabel disposisional mencakup kepribadian dan nilai yang dimiliki anggota organisasi (Allen & Meyer, 1997). Hal-hal lain yang tercakup ke dalam variabel disposisional

18 ini adalah kebutuhan untuk berprestasi dan etos kerja yang baik (Buchanan dalam Allen & Meyer, 1997). a. Usia Perbedaan usia seseorang akan menimbulkan pula perbedaan dalam menanggapi dan menghayati pekerjaannya. Mereka yang masih tergolong muda usia, masih mempunyai harapan untuk mengembangkan kemampuannya, sebaliknya bagi golongan usia yang lebih tua masa-masa pengenbangan diri telah mereka lalui. March & simon (1958) dalam Allen & Meyer (1997) menyatakan bahwa dengan meningkatnya usia dan masa kerja, kesempatan individu untuk mendapatkan pekerjaan lain menjadi lebih terbatas. b. Tingkat pendidikan Mowday, dkk. juga mengutip pendapat Angle & Perry (1981); Moris & Sherman (1981) (dalam Allen & Meyer 1997), yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan juga sering ditemukan berhubungan secara negatif dengan komitmen pada organisasi, walaupun hasil penelitian tersebut tidak semuanya konsisten (Lee, 1971; Steers & Spencer, 1971,dalam Allen & Meyer 1997). Pendidikan membekali keterampilan yang kadang-kadang tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya dalam dunia pekerjaan. Hal ini menyebabkan harapan-harapannya tidak dapat terpenuhi oleh organisasi dimana dia bekerja, sehingga menimbulkan kekecewaan terhadap organisasi. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin banyak pula tuntutan-tuntutannya yang mungkin

19 tidak dapat dipenuhi oleh organisasi. Disisi lain individu yang mempunyai pendidikan tinggi kemungkinan akan lebih terikat denngan profesinya dibandingkan dengan organisasi. Oleh karena itu akan lebih sulit bagi organisasi untuk melibatkan secara psikologis orang-orang tersebut c. Lama kerja Penelitian Angle & Perry, (1981) (dalam Allen & Meyer, 1997) mengungkapkan bahwa salah satu prediktor Organizational Commitment yang terkuat adalah masa kerja (tenure) yang kemudian dijelaskan bahwa semakin lama masa kerja seseorang di suatu organisasi : 1) Makin meningkat kemungkinan karyawan menerima tugas-tugas yang lebih menantang, memperoleh otonomi dan keleluasaan bekerja lebih besar, dan tingkat imbalan ekstrinsik juga lebih tinggi, serta posisi/jabatan yang lebih diinginkan. Hal-hal positif tersebut mendukung sikap komitmen pada organisasi. 2) Makin meningkat investasi diri karyawan (dalam bentuk tenaga dan waktu) untuk organisasi, sehingga makin sulit untuk meninggalkan organisasi. 3) Makin meningkatkan keterlibatan sosial individu dalam organisasi dan masyarakat. Bagi individu pada umumnya, kerja disuatu organisasi memungkinkan hubungan sosial yang dianggapnya penting, sehingga segan untuk meninggalkan organisasi. 4) Makin mengurangi mobilitas pekerjaan karyawan, sebab kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan lain berkurang.

20 2. Karakteristik Organisasi Karakteristik Organisasi adalah struktur organisasi, desain kebijaksanaan dalam organisasi dan bagaimana kebijaksanaan organisasi tersebut disosialisasikan. Karakteristik pekerjaan adalah tantangan dalam bekerja, yaitu sejauh mana pekerjaannya menunjukan kreatifitas, membutuhkan tanggung jawab (Dorstein & Matalon, 1989, Meyer & Allen, 1997). Karyawan yang lebih tertantang dan menganggap pekerjaannya menarik akan memiliki komitmen yang lebih tinggi. Ketidakjelasan peran atau kurangnya pengertian akan hak dan kewajibannya juga dapat mengurangi komitmen seseorang (Meyer & Allen, 1997). Selain itu, adanya konflik peran, perbedaan antara tuntutan pekerjaan dengan tuntuntan fisik, harapan dan nilai-nilai pribadi juga dapat mengurangi komitmen seseorang pada organisasinya. 3. Pengalaman Berorganisasi Pengalaman berorganisasi tercakup ke dalam kepuasan dan motivasi anggota organisasi selama berada dalam organisasi, perannya dalam organisasi tersebut, dan hubungan antara anggota organisasi dengan pemimpinnya (Meyer & Allen, 1997). Pengalaman kerja adalah sejauh mana karyawan merasa dihargai dan dibutuhkan. Semakin seseorang merasa dihargai atau dibutuhkan maka komitmennya juga akan semakin tinggi. Bagaimana persepsinya mengenai gaji atau imbalan ekstrinsik yang diterimanya selain gaji-gaji pokok seperti

21 tunjangan-tunjangan, bonus, insentif dan pensiun. Imbalan ekstrinsik ini dapat menjadi rangsangan bagi individu untuk mempertahankan keanggotaannya (Meyer & Allen, 1997). Pengalaman kerja merupakan sejauh mana karyawan merasa dihargai dan dibutuhkan. 2.1.5 Konsekuensi Komitmen Organisasi. Konsekuensi komitmen organisasi menurut Allen & Meyer (1997) sebagai berikut: 1. Absensi Karyawan dengan komitmen yang kuat terhadap organisasi akan lebih banyak berpartisipasi aktif pada aktifitas-aktifitas organisasi, sehingga akan termotivasi untuk hadir bekerja. 2. Turn Over Karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi umumnya memiliki keinginan yang kuat untuk tetap bertahan pada pekerjaannya. 3. Lama Kerja Karyawan dengan komitmen tinggi terhadap organisasi akan terdorong untuk tetap bekerja, karena mereka telah terlibat dalam pekerjaan mereka dan dapat memberi sumbangan untuk mencapai tujuan organisasi. Karyawan yang memiliki lama kerja yang lama di organisasi akan memiliki ikatan emosional yang kuat dari sejumlah pengalaman yang didapat dari organisasi.

22 4. Unjuk Kerja Karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi yang diwujudkan dalam unjuk kerja. 5. Perilaku keanggotaan dalam bekerja Affective dan normative commitment memiliki hubungan yang positif dengan seberapa besar karyawan mendifinisikan pekerjaanya. Hal ini juga mengindikasikan bahwa karyawan dengan affective dan normative commitment yang tinggi akan melihat pekerjaannya meliputi berbagai aktifitas dan tanggung jawab. 2.1.6 Pengukuran Komitmen Pengukuran komitmen pada umumnya didasarkan pada pendekatan attitudinal dan behavioral kalkulatif (Meyer & Allen, 1997). Kedua pendekatan ini dijadikan dasar bagi Allen dan Meyer dalam mengembangkan pengukuran terhadap affective commitment dan continuance commitment (Allen & Meyer, 1997). Pendekatan attitudinal merupakan pendekatan yang didasarkan pada pendapat beberapa ahli yang mengkonsepkan komitmen sebagai suatau orientasi affective terhadap suatu organisasi (Allen & Meyer, 1997). Berkaitan dengan pemikiran tersebut maka pendekatan attitudinal ini disebut juga dengan affective commitment. Pendekatan behavioral kalkulatif didasarkan pada pandangan yang dikembangkan oleh Becker yang mendeskripisikan komitmen sebagai disposisi untuk ikut serta dalam garis aktivitas yang konsisten. Pendekatan ini disebut juga

23 sebagai continuance commitment (Allen & Meyer, 1997). Continuance commitment ini dipercaya berkembang atas dasar suatu pemikiran yang ekonomis yang tidak mau kehilangan investasi yang ada. Sedangkan normative commitment adalah komitmen yang didasarkan pada pandangan obligation. Didasarkan pada padangan Weiner yang menyatakan bahwa komitmen terbentuk karena keikatan atau loyalitas yang tumbuh dalam diri seseorang. Seseorang dengan normative commitment yang tinggi akan merasa wajib untuk loyal dan terikat dalam organisasi. Atas dasar ke 3 komponen tersebut, Allen & Meyer (1997) dalam studinya mengembangkan kuesioner pengukuran komponen-komponen tersebut. 2.2. Kerangka Pikir PT. Multi Garmenjaya menyadari bahwa pencapaian visi dan misi perusahaan serta penerapan nilai-nilai perusahaan tidak terlepas dari pengelolaan karyawan sebagai salah satu sumber daya yang memegang peranan penting bagi keberlangsungan hidup perusahaan. PT. Multi Garmenjaya berusaha untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaannya sehingga mampu merencanakan, melaksanakan, memeriksa kualitas hasil kerjanya dalam upaya melakukan perbaikan berkesinambungan. Departemen Human Resources Development (HRD) sebagai pengelola sumber daya manusia di perusahaan ini memiliki misi yang sejalan dengan misi perusahaan. Misi dari Departemen HRD adalah memastikan perusahaan senantiasa memiliki SDM yang dibutuhkan, yakni SDM yang memiliki kompetensi yang tepat dan komitmen yang tinggi pada waktu yang tepat dengan biaya yang efisien serta

24 mendayagunakan SDM yang ada dengan optimum. Oleh karena itu, salah satu yang harus dimiliki oleh karyawan, khususnya dalam penelitian ini adalah kelompok karyawan Follow Up adalah komitmen organisasi pada tempatnya bekerja. Menurut Meyer & Allen (1997) komitmen organisasi merupakan kondisi psikologis yang menggambarkan hubungan karyawan dengan organisasinya, dan yang mempengaruhi keputusan karyawan untuk melanjutkan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Dalam pengertian ini, menjelaskan juga terdapat kondisi dimana karyawan tetap bertahan dalam organisasi meskipun mengalami kesulitan dan masalah dalam pekerjaannya, karyawan bekerja secara teratur, mau bekerja lembur, melindungi asset organisasi dan ikut serta dalam usaha pencapaian tujuan organisasi. Meyer & Allen (1997) melakukan penggabungan konsep membentuk tiga komponen komitmen, yaitu Affective Commitment, Continuance Commitment dan Normative Commitment. Menurut Meyer & Allen (1997), affective commitment merupakan ikatan yang berasal dari keterikatan emosional karyawan terhadap organisasi tempat ia bekerja. Karyawan dengan affective commitment yang tinggi akan mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi, terlibat penuh pada kegiatankegiatan organisasi serta sangat menyenangi keanggotannya dalam organisasi. Karyawan dengan affective commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena mereka memang menginginkan hal tersebut (want). Karyawan Follow Up yang menunjukkan affective commitment yang kuat akan bergabung dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan organisasi, mengikuti pelatihan,

25 mengikuti seminar serta mengikuti kegiatan outbond. Mereka betah dengan suasana kerjanya yang membuat nyaman dan dirasa menyenangkan, baik dari atasan maupun rekan kerja. Selain itu ada perasaan bangga mereka bisa bekerja dan menjadi bagian dari PT. Multi Garmenjaya Bandung. Meyer & Allen (1997) mengartikan continuance commitment sebagai tidak adanya alternatif pilihan kecuali tetap bertahan dalam organisasi, karena jika tidak maka karyawan akan mengalami kerugian (side bets) yang dialaminya jika meninggalkan organisasi. Karyawan dengan continuance commitment yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena mereka membutuhkannya (need). Karyawan Follow Up yang memiliki continuance commitment yang tinggi, memahami bahwa dirinya akan mengalami kerugian yang sangat besar jika meninggalkan perusahaan tempatnya bekerja. Karyawan Follow Up yang menunjukan continuance commitment yang tinggi akan tetap bertahan bekerja sebagai di PT. Multi Garmenjaya Bandung karena tidak adanya alternatif pilihan perusahaan lain yang mau menerima mereka sebagai karyawan dan apabila mereka melepaskan pekerjaannya maka penghasilan mereka akan hilang dan mereka tidak memiliki penghasilan lagi karena penghasilan yang didapat dari PT. Multi Garmenjaya merupakan satu-satunya sumber penghasilan bagi mereka. Normative commitment menurut Meyer & Allen (1997) berasal dari keyakinan seseorang untuk bertanggung jawab dan merasa wajib untuk tetap bertahan dalam organisasi. Dengan demikian, normative commitment merupakan seberapa besar loyalitas karyawan terhadap organisasi. Karyawan Follow Up dengan normative commitment yang tinggi akan merasa memiliki kewajiban untuk

26 terlibat dalam aktivitas organisasi sebagai bentuk rasa tanggung jawab atau rasa moral yang dimilikinya terhadap organisasi tempatnya bekerja. Dalam hal ini, karyawan Follow Up di PT. Multi Garmenjaya Bandung yang menunjukkan normative commitment yang tinggi akan berusaha memberikan performa kerja dengan sebaik-baiknya kepada perusahaan karena itu merupakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang karyawan. Meyer & Allen (1997) menambahkan, bahwa setiap individu memiliki derajat komponen komitmen yang bervariasi. Setiap komponen komitmen yang dimiliki seseorang, berkembang sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman yang berbeda serta memiliki implikasi berbeda pada tingkah laku dalam bekerja. Sebagai contoh, ada individu yang selain memiliki kelekatan perasaan terhadap organisasi (affective), juga memiliki kewajiban untuk bertahan dalam organisasi (normative). Di samping itu pula, individu lain mungkin kurang senang pada pekerjaannya dalam organisasi (affective), namun menyadari bahwa jika meninggalkan organisasi akan memberikan kerugian finansial dan kerugian lain (continuance). Ada pula, individu yang memiliki kemauan (affective), kebutuhan (continuance) dan kewajiban (normative) untuk bertahan dalam organisasi namun memiliki derajat yang berbeda-beda. Dengan adanya derajat komponen komitmen yang bervariasi ini, maka dapat diketahui profil komitmen organisasi yang dimiliki seorang individu terhadap organisasinya. Setiap karyawan akan menampilkan sikap dan perilaku yang berbeda-beda sesuai dengan profil komitmen organisasi yang mereka miliki terhadap organisasi. Komitmen terhadap organisasi ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor (Meyer

27 & Allen), diantaranya adalah karakteristik pribadi (usia, lama kerja, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status marital), karakteristik pekerjaan (job design, variasi, tantangan tugas), dan pengalaman kerja (fasilitas, imbalan). Karakteristik pribadi meliputi usia, masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, status marital. Komitmen akan lebih kuat pada orang yang lebih tua usianya, telah menikah dan memiliki masa kerja yang lama. Terdapat hubungan yang lemah antara usia, lama kerja, status perkawinan dengan affective commitment (Mathieu dan Zajac, dalam Meyer & Allen, 1997). Sedangkan dengan faktor yang lain yaitu pengalaman kerja, berdasarkan penelitian Mathieu dan Zajac (Meyer & Allen, 1997) ditemukan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara pengalaman kerja dengan affective commitment. Hal lain yang mempengaruhi perkembangan affective commitment adalah terpenuhinya kebutuhan seorang karyawan ketika melakukan pekerjaannya. Pekerjaan yang sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang karyawan dan berhasil memenuhi kebutuhan-kebutuhannya akan menimbulkan kepuasan kerja dan selanjutnya akan menumbuhkan affective commitment di dalam diri karyawan tersebut. Tingkat pendidikan (Lee, dalam Meyer & Allen, 1997), usia dan lama kerja (Ferris & Aranya, dalam Meyer & Allen, 1997) berpengaruh terhadap continuance commitment. Semakin tinggi pendidikan maka akan semakin tinggi continuance commitment, dan semakin tua usia dan lama masa kerja seorang karyawan, maka continuance commitment semakin tinggi karena kesempatan seorang karyawan untuk berpindah pekerjaan/profesi semakin kecil. Meyer dan

28 Allen (1993), juga menemukan bahwa kepuasan kerja berhubungan negatif dengan continuance commitment, semakin tinggi kepuasan kerja, maka continuance commitment akan semakin rendah. Seorang karyawan yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi akan organisasinya akan memiliki continuance commitment yang rendah. Selain itu ditemukan pula bahwa pengalaman kerja yang menyenangkan dan kepuasan kerja memiliki korelasi positif dengan normative commitment. Semakin tinggi kepuasan kerja seorang karyawan maka akan semakin tinggi pula normative commitment karyawan tersebut. Karakteristik pekerjaan adalah tantangan dalam bekerja, yaitu sejauh mana pekerjaannya menunjukan kreatifitas, membutuhkan tanggung jawab (Dorstein & Matalon, 1989, Meyer & Allen, 1997). Karyawan yang lebih tertantang dan menganggap pekerjaannya menarik akan memiliki komitmen yang lebih tinggi. Ketidakjelasan peran atau kurangnya pengertian akan hak dan kewajibannya juga dapat mengurangi komitmen seseorang (Meyer & Allen, 1997). Selain itu, adanya konflik peran, perbedaan antara tuntutan pekerjaan dengan tuntuntan fisik, harapan dan nilai-nilai pribadi juga dapat mengurangi komitmen seseorang pada organisasinya. Sedangkan yang termasuk dalam pengalaman kerja adalah sejauh mana karyawan merasa dihargai dan dibutuhkan. Semakin seseorang merasa dihargai atau dibutuhkan maka komitmennya juga akan semakin tinggi. Bagaimana persepsinya mengenai gaji atau imbalan ekstrinsik yang diterimanya selain gajigaji pokok seperti tunjangan-tunjangan, bonus, insentif dan pensiun. Imbalan

29 ekstrinsik ini dapat menjadi rangsangan bagi individu untuk mempertahankan keanggotaannya (Meyer & Allen, 1997). Perilaku Team Follow Up yang memilih tetap bertahan di perusahaan ini menarik untuk diamati lebih lanjut. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa karyawan yang memilih bertahan, ternyata mereka memiliki alasan yang berbeda-beda. Beberapa karyawan mengatakan bahwa mereka memilih bertahan karena suasana kerjanya yang membuat nyaman dan dirasa menyenangkan, baik dari atasan maupun rekan kerja. Alasan lainnya, beberapa karyawan juga mengatakan bahwa pendapatan diperusahaan ini dirasa masih cukup dan memadai. Kesempatan menjadi karyawan tetap pun menjadi salah satu pertimbangan karyawan tersebut tetap memilih bertahan di perusahaan ini. Selain itu, karyawan juga merasa senang dan merasa diperhatikan saat diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan program pengembangan pribadi. Selain alasan-alasan yang berhubungan dengan pekerjaan, ada pula beberapa karyawan yang mengemukakan alasan yang lebih bersifat pribadi, seperti ada karyawan yang menyatakan bahwa ia menyadari bahwa tidak memiliki kesempatan untuk mencari pekerjaan lainnya karena faktor usia dan pendidikannya. Ada juga karyawan yang menyatakan bahwa ia memilih masih bertahan, karena masih memiliki kewajiban hutang yang harus dibayar kepada koperasi perusahaan. Selain itu, terdapat juga beberapa karyawan yang memilih bertahan karena masih mengumpulkan dana untuk berwirausaha. Lalu, jika ditelusuri dari wawancara dengan beberapa manajer SBU, perilaku dan kinerja kerja karyawan yang masih bertahan pun beragam. Walaupun

30 pada umumnya kinerja mereka dirasa cukup, namun manajer SBU menyatakan bahwa karyawan-karyawan yang telah memiliki masa kerja tiga tahun atau lebih, masih memiliki perilaku kerja yang belum optimal, padahal mereka diharapkan memiliki kinerja yang lebih baik dan dapat menjadi contoh bagi karyawankaryawan baru, karena status karyawan mereka pun sebagian besar telah menjadi karyawan tetap. Beberapa manajer SBU sepakat bahwa dalam aspek disiplin waktu, masih ada beberapa karyawan yang datang terlambat, karyawan yang melakukan istirahat kerja melampaui waktu yang ditentukan. Beberapa karyawan juga masih ada yang melakukan atau mengurus urusan-urusan pribadi pada jam kerja, seperti : sarapan, jajan, makan, berdagang, ibadah, mengobrol diluar tugastugas kerja. Dalam aspek tertib penampilan, masih ada beberapa karyawan yang tidak bersepatu di lingkungan kantor dan tidak mengenakan tanda pengenal karyawan. Dalam hal Instruksi kerja atau SOP (Standar Operating Procedure) masih ada beberapa karyawan yang belum sepenuhnya dijalankan dengan baik, sehingga masih terdapat koreksi pekerjaan, barang hilang dan kualitas kerja yang menurun. Selain gambaran dari fenomena yang terjadi, kelompok karyawan Follow Up di PT. Multi Garmenjaya Bandung ini juga memiliki berbagai macam karakteristik seperti usia, lama kerja, persepsi mengenai tugas dalam pekerjaanya, dan persepsi mengenai imbalan yang diterima. Hal ini tentunya akan mempengaruhi profil komitmen para karyawan Follow Up di PT. Multi Garmenjaya Bandung.

31 Gambar 2.1 Kerangka Pikir