KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

dokumen-dokumen yang mirip
KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

Deskripsi dan Analisis

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 1970-an telah terjadi perubahan menuju desentralisasi di antara negaranegara,

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

JURNAL STIE SEMARANG, VOL 5, NO 1, Edisi Februari 2013 (ISSN : ) ANALISIS APBD TAHUN 2012 Adenk Sudarwanto Dosen Tetap STIE Semarang

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN TRIWULAN III

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

Info Singkat Kemiskinan dan Penanggulangan Kemiskinan

Monitoring Realisasi APBD Triwulan I

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 2009

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

PETA KEMAMPUAN KEUANGAN PROVINSI DALAM ERA OTONOMI DAERAH:

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA DAN KESIAPAN PENYALURAN DAK FISIK DAN DANA DESA MELALUI KPPN

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

BAB 6 Kebijakan Fiskal

Assalamu alaikum Wr. Wb.

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2013

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB V KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN

HASIL Ujian Nasional SMP - Sederajat. Tahun Ajaran 2013/2014

Mandatory Spending, SAL dan Kelebihan Pembiayaan (overfinancing) APBN

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. INSENTIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Pelayanan Publik Daerah)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Tabel 2. Persentase Sumber Pendapatan Daerah

Daftar Isi. DAFTAR ISI...iii. EXECUTIVE SUMMARY... v. KATA PENGANTAR... ix

PANDUAN PENGGUNAAN Aplikasi SIM Persampahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional MTs untuk Perbaikan Akses dan Mutu Pendidikan

INDEKS TENDENSI BISNIS DAN INDEKS TENDENSI KONSUMEN TRIWULAN I-2015

BAB 1 PENDAHULUAN. sumber daya alam tidak diragukan lagi Indonesia memiliki kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2016

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN I-2017

BAB V PENDANAAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

Evaluasi Kegiatan TA 2016 dan Rancangan Kegiatan TA 2017 Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian *)

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Timur dan 7,12 hingga 8,48 Lintang Selatan. Sedangkan luas Provinsi

TABEL 1 LAJU PERTUMBUHAN PDRB MENURUT LAPANGAN USAHA (Persentase) Triw I 2011 Triw II Semester I 2011 LAPANGAN USAHA

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

DINAMIKA PDB SEKTOR PERTANIAN DAN PENDAPATAN PETANI

INDEKS TENDENSI KONSUMEN (ITK) PROVINSI PAPUA TRIWULAN IV-2016

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

PEMETAAN DAN KAJIAN CEPAT

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

Transkripsi:

1

ii Deskripsi dan Analisis APBD 2013

KATA PENGANTAR Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Dalam APBD termuat prioritas-prioritas pembangunan, terutama prioritas kebijakan dan target yang akan dicapai melalui pelaksanaan belanja daerah sesuai sumber daya yang tersedia baik yang didapatkan melalui skema transfer maupun perpajakan daerah dan retribusi daerah. Penetapan prioritas-prioritas tersebut beserta upaya pencapaiannya merupakan konsekuensi dari meningkatnya peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian, daerah bertanggungjawab sepenuhnya agar pengelolaan sumber daya dapat dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga dapat mendorong peningkatan kualitas belanja daerah (quality of spending), dengan memastikan dana tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai tambah besar bagi masyarakat. Dengan jumlah daerah yang telah mencapai 524 daerah saat ini, maka informasi mengenai APBD secara nasional sangat diperlukan guna menunjang ketepatan pengambilan kebijakan di bidang hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam konteks itulah, buku ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah berdasarkan data yang berasal dari APBD Tahun Anggaran 2013 dari seluruh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Dari data yang disampaikan melalui Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) inilah kemudian disusun informasi dan analisis atas APBD seluruh daerah. APBD ditelaah berdasarkan aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit dan pembiayaan daerahnya. Dalam buku ini juga digunakan beberapa data sekunder Kata Pengantar iii

lainnya berupa data anggaran pada tahun-tahun sebelumnya, realisasi APBD, realisasi transfer dari Pemerintah, ataupun data sosial ekonomi lainnya. Buku ini akan menyajikan berbagai rasio keuangan yang dapat dilihat baik secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten dan kota per provinsi maupun berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Maluku Papua). Kami mengharapkan agar buku Deskripsi dan Analisis APBD 2013 ini dapat bermanfaat bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan baik di pusat maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Jakarta, Juni 2013 Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah Yusrizal Ilyas NIP 19540401 197507 1 001 iv Deskripsi dan Analisis APBD 2013

Daftar Isi KATA PENGANTAR...iii Daftar Isi...v Daftar Tabel...viii Daftar Grafik...ix RINGKASAN EKSEKUTIF...xiii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang...1 B. Gambaran Umum APBD 2013...2 C. Trend APBD (2009 2013)...4 1. Pendapatan Daerah...13 2. Belanja Daerah...15 3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah...16 BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH... 19 A. Rasio Pajak (Tax Ratio)...20 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...21 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...22 3. Pemerintah Provinsi...24 4. Per Wilayah...24 B. Pajak per Kapita (Tax per Capita)...25 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...26 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...27 3. Pemerintah Provinsi...28 4. Per Wilayah...29 C. Ruang Fiskal (Fiscal Space)...30 Daftar Isi v

1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...30 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...31 3. Pemerintah Provinsi...33 4. Per Wilayah...34 D. Rasio Ketergantungan Daerah...35 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...35 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...36 3. Pemerintah Provinsi...37 4. Per Wilayah...38 E. Deviasi Alokasi Transfer ke Daerah pada APBD...40 1. Dana Bagi Hasil (DBH)...41 2. Dana Alokasi Umum (DAU)...45 3. Dana Alokasi Khusus (DAK)...47 BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH... 51 A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah...52 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...53 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...56 3. Pemerintah Provinsi...58 4. Per Wilayah...59 B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah...61 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...62 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...63 3. Pemerintah Provinsi...64 4. Per Wilayah...65 C. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk...66 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...66 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...67 3. Pemerintah Provinsi...68 4. Per Wilayah...69 D. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Daerah...70 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...71 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...72 vi Deskripsi dan Analisis APBD 2013

3. Pemerintah Provinsi...73 4. Per Wilayah...74 BAB IV ANALISIS SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH... 77 A. Defisit...77 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...79 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...79 3. Pemerintah Provinsi...80 4. Per Wilayah...81 5. Daerah dengan Defisit yang belum ter-cover oleh pembiayaan.82 B. Pembiayaan Daerah...84 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran...87 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...88 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...88 3. Pemerintah Provinsi...89 4. Per Wilayah...89 C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman...90 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...91 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...92 3. Pemerintah Provinsi...92 4. Per Wilayah...93 5. Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai Pinjaman...94 D. Dana Idle...95 BAB V REALISASI BELANJA DAERAH APBD 2013 SAMPAI DENGAN BULAN MEI 2013... 99 DAFTAR PUSTAKA... 104 UCAPAN TERIMA KASIH... 105 Daftar Isi vii

Daftar Tabel Tabel 1.1 Tabel 1.2. Tabel 2.1. Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 2.7 Tabel 2.8 Tabel 2.9 Tabel 2.10 Tabel 4.1 Tabel 4.3 Pembiayaan Daerah...4 Rata-rata pertumbuhan (2009 2013) SiLPA Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...12 Daftar Daerah dengan Deviasi Negatif Alokasi DBH Tertinggi...42 Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DBH Negatif Tertinggi...43 Daftar Daerah dengan Deviasi Positif Alokasi DBH Tertinggi...43 Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DBH Positif Tertinggi...44 Daftar Daerah dengan Deviasi Negatif Alokasi DAU Tertinggi...46 Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DAU Negatif Tertinggi...46 Daftar Daerah dengan Nilai Rupiah dan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAU Tertinggi...47 Daftar Daerah dengan Nilai Rupiah Deviasi Negatif Alokasi DAK Tertinggi...48 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DAK Tertinggi...49 Daftar Daerah dengan Nilai Rupiah dan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAK Tertinggi...49 Daerah dengan Defisit Belum Ter-cover oleh Pembiayaan...82 Daerah dengan % Pinjaman diatas 6% Pendapatan Daerah...94 viii Deskripsi dan Analisis APBD 2013

Daftar Grafik Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah...3 Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah...3 Grafik 1.3 Trend APBD...5 Grafik 1.4 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2009 2013...6 Grafik 1.5. Rata-rata Pertumbuhan (2009 2013) Pendapatan Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...7 Grafik 1.6 Trend Belanja Daerah TA 2009 2013...9 Grafik 1.7 Rata-rata Pertumbuhan (2009 2013) Belanja Daerah Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...10 Grafik 1.8 Rasio Pendapatan Daerah Per Wilayah...14 Grafik 1.9 Rasio Belanja Daerah Per Wilayah...15 Grafik 1.10 Pembiayaan Per Wilayah...17 Grafik 2.1 Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota...22 Grafik 2.2 Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan kotase-provinsi...23 Grafik 2.3 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi...24 Grafik 2.4 Rasio Pajak per Wilayah...25 Grafik 2.5 Rasio Pajak per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...26 Grafik 2.6 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Kabupaten dan kota se-provinsi...27 Grafik 2.7 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi...28 Grafik 2.8 Rasio Tax per Kapita Per Wilayah...29 Grafik 2.9 Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota...31 Daftar Grafik ix

Grafik 2.10 Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi...32 Grafik 2.11 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi...33 Grafik 2.12 Ruang Fiskal Per Wilayah...34 Grafik 2.13 Rasio Ketergantungan Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...36 Grafik 2.14 Rasio Ketergantungan Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi...37 Grafik 2.15 Rasio Ketergantungan Pemerintah Provinsi...38 Grafik 2.16 Rasio Ketergantungan Per Wilayah...39 Grafik 3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...54 Grafik 3.2 Rasio Jumlah Guru terhadap Total PNSD Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...55 Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...57 Grafik 3.4 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi *)...58 Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi...59 Grafik 3.6 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah...60 Grafik 3.7 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah...61 Grafik 3.8 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...63 Grafik 3.9 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...64 Grafik 3.10 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi...65 Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah...66 x Deskripsi dan Analisis APBD 2013

Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...67 Grafik 3.13 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...68 Grafik 3.14 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi...69 Grafik 3.15 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah...70 Grafik 3.16 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...72 Grafik 3.17 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...73 Grafik 3.18 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi...74 Grafik 3.19 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah...75 Grafik 4.1 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan, Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...79 Grafik 4.2 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...80 Grafik 4.3 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi...81 Grafik 4.4 Rasio Defisit/Pendapatan Per Wilayah...82 Grafik 4.5 Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota...84 Grafik 4.6 Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan...85 Grafik 4.7 Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota...86 Grafik 4.8 Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan...86 Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...88 Daftar Grafik xi

Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se- Provinsi...88 Grafik 4.11 Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi...89 Grafik 4.12 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah...90 Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...91 Grafik 4.14 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-provinsi...92 Grafik 4.15 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi...93 Grafik 4.16 Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah...94 Grafik 4.17 Dana Pemda di Perbankan per Bulan...96 Grafik 4.18 Dana Pemda di Perbankan agregat Kab/kota/Provinsi...97 Grafik 5.1 Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012 dan 2013 (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota)...101 Grafik 5.2 Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) Bulan Mei 2013...102 Grafik 5.3 Realisasi Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota Per Provinsi Bulan Mei 2013...103 xii Deskripsi dan Analisis APBD 2013

RINGKASAN EKSEKUTIF Secara agregat, rata-rata pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota hanya 2,1% dari PDRB non migas. Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio pajak tertinggi yaitu sebesar 9,4%. Hal ini tentunya didukung oleh posisi DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, sehingga perkembangan ekonominya jauh lebih maju dan kemungkinan menggali pajak jauh lebih besar karena basis pajak yang ada di DKI Jakarta cukup banyak. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 0,4%. Mengingat bahwa kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak daerah bersifat terbatas (closed list) dan sumber penerimaan pajak daerah yang berlaku saat ini cenderung bias ke daerah yang tingkat urbanisasinya tinggi (urban-biased), seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Kendaraan Bermotor, hal ini menyebabkan untuk daerah yang unsur kekotaannya tidak terlalu tinggi, potensi penerimaan pajaknya menjadi kecil. Provinsi Kalimantan Timur mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 61,7%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi Kalimantan Timur tentunya didukung oleh penerimaan daerah dari Dana Bagi Hasil yang cukup besar yaitu mencapai 60,6% dari total Pendapatan Daerah. Meskipun Belanja Pegawai di Provinsi Kalimantan Timur mencapai 34,3% dari total pendapatan, namun masih menyisakan ruang fiskal yang besar sehingga porsi Belanja Modalnya pun mencapai 58,4% dari total pendapatannya. Sementara itu, Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu 22,2%. Porsi Belanja Pegawai pemerintah daerah se-provinsi Aceh sangat besar yaitu 42,5% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang tersisa Ringkasan Eksekutif xiii

sangat kecil. Dengan demikian Provinsi Aceh harus memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya. Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan alokasi transfer oleh Pemerintah dengan penetapan dalam APBD, secara umum untuk alokasi Dana Perimbangan yang penyampaian informasinya ke publik dilakukan segera setelah pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat dimanfaatkan dengan baik oleh daerah dalam menyusun APBD. Adapun untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan lebih lambat dari DAU dan DAK (sekitar Desember hingga Januari) atau setelah APBD ditetapkan oleh daerah, nampak terjadi deviasi yang relatif tinggi antara penetapan alokasi dari Pusat dengan penetapan dalam APBD. Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja Daerah adalah 42,78%. Rasio ini lebih rendah dari tahun anggaran sebelumnya yang mencapai rata-rata 44,7%. Penurunan rasio belanja pegawai secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir, meskipun penurunannya relatif kecil namun menunjukkan upaya rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah. Terdapat 5 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai lebih dari 50 %, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja selain Belanja Pegawainya. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar Belanja Pegawai yang bisa didanai, khususnya dalam mendukung pemenuhan layanan publik. Sulawesi adalah wilayah yang memiliki rasio Belanja Pegawai tertinggi, yaitu sebesar 48,65% sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah dengan angka sebesar 33,37%. Rasio Belanja Pegawai per wilayah terhadap total Belanja Daerahnya masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, xiv Deskripsi dan Analisis APBD 2013

wilayah Sulawesi mengalokasikan hampir setengah Belanja Daerahnya untuk membayar Belanja Pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi Belanja Daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru terhadap total PNSD adalah 49,41%. Rasio ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya yang mencapai 47,6%. Peningkatan rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan rasio belanja pegawai secara keseluruhan, sekali lagi menunjukkan bahwa daerah telah menjadi lebih rasional dalam alokasi belanja pegawainya dengan semakin menurunkan porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS yang bekerja di bidang administrasi. Rata-rata rasio Belanja Modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota sebesar 24,81%. Tahun 2012, rata-rata porsi belanja modal menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah yaitu sebesar 23,4%. Dengan demikian telah terjadi shifting dari penurunan porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal. Hal ini merupakan indikasi positif terhadap perbaikan kualitas struktur belanja daerah. Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan angka sebesar 12,59% sedangkan rasio tertinggi terdapat pada Provinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar 44,08%. Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata pengeluaran daerah untuk Belanja Bantuan Sosial adalah 1,05%. Meskipun relatif kecil, namun belanja bantuan sosial ini perlu dicermati karena mempunyai potensi untuk tumpang tindih dengan belanja yang seharusnya menjadi tanggung jawab SKPD. Selain itu, jenis belanja ini juga cukup rentan terhadap isu politik yang seringkali membuat dispute antara eksekutif dan legislative. Terdapat 9 provinsi yang angka rasionya melebihi angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Daerah yang memiliki rasio terbesar secara agregat adalah Provinsi Kepulauan Riau, yaitu sebesar 3,71%, diikuti oleh DKI Jakarta, Papua. Papua Barat dan Aceh. Hal ini perlu dicermati mengingat Aceh yang mempunyai Ruang Fiskal terkecil di Indonesia, rasio Belanja Modal kedua Ringkasan Eksekutif xv

terendah di Indonesia, namun mempunyai rasio bantuan sosial yang relatif tinggi dibandingkan daerah lainnya. Data APBD menunjukkan bahwa adanya kecenderungan daerah untuk menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Hal ini terlihat dari 491 kabupaten/ kota dan 33 provinsi di Indonesia pada Tahun Anggaran (TA) 2013 sebanyak 457 daerah menganggarkan defisit dalam APBD-nya, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 447 daerah yang menganggarkan defisit. Kecenderungan daerah menganggarkan defisit tersebut karena adanya SiLPA dalam APBD mereka, artinya sebenarnya secara umum daerah tidak sedang dalam kondisi defisit secara riil, tetapi mereka menganggarkan defisit karena untuk menyerap SiLPA tahun sebelumnya. Hal lain yang juga menarik untuk dicermati adalah bahwa pada umumnya daerah terbukti mengalami surplus pada saat realisasi. Rata-rata rasio defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten, dan kota) adalah 7,5% dengan kontribusi SiLPA untuk menutup defisit tersebut sekitar 91,3% sedangkan kontribusi penerimaan pinjaman dan obligasi daerah 5,9%. Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah dengan rasio defisit terbesar di mana faktor utama penyebab hal tersebut adalah untuk mengakomodasi SiLPA tahun sebelumnya yang jumlahnya cukup besar agar bisa digunakan dalam belanja publik. Dalam APBD kabupaten, kota dan provinsi terdapat beberapa daerah yang besaran defisit yang dianggarkan tidak bisa ditutup dengan pembiayaan, sehingga defisit ditambah pembiayaan masih bernilai minus. Kabupaten Sarmi merupakan daerah dengan nilai Defisit APBD yang tidak ter-cover oleh pembiayaan terbesar yaitu sebesar Rp80 miliar. Hal ini harus menjadi perhatian Pemerintah Pusat sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan di bidang pengelolaan keuangan, karena fenomena di atas menunjukkan bahwa terdapat daerah-daerah yang akan menganggarkan belanja tanpa adanya kepastian sumber dananya. Hal ini secara normatif tidak layak untuk dilakukan karena menimbulkan ketidakpastian dalam alokasi belanja publik. xvi Deskripsi dan Analisis APBD 2013

Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah tertinggi ada di wilayah Kalimantan (15,62%), rata-rata nasional untuk rasio ini adalah sebesar 7,75%, semakin besar rasio menunjukkan semakin besar dana idle yang tidak dapat dimanfaatkan pada tahun 2012, sedangkan rasio terendah SiLPA terhadap belanja terjadi di wilayah Sulawesi (2,93%). Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara rata-rata adalah sebesar 0,7%. Nilai tersebut masih jauh lebih kecil dibanding batas pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.07/2012, yaitu 6% dari total Pendapatan Daerah untuk masing-masing pemerintah daerah. Secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota tidak tampak daerah yang melampaui batas yang ditentukan, ini disebabkan pemerintah telah menaikkan batas ketentuan yaitu dari 3,5% di TA 2011 (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK07/2010 menjadi 5% di TA 2012 dan TA 2013). Rasio pinjaman tertinggi adalah Sulawesi Tenggara (4,3%). Pergerakan dana pemda di perbankan pada bulan Desember merupakan titik terendah dalam tiap tahunnya dan kembali meningkat pada awal tahun berikutnya. Besaran dana pemda di perbankan Desember 2012 lebih besar dibanding dengan Desember 2011, hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan besaran SiLPA tahun berkenaan tahun 2012. Ringkasan Eksekutif xvii

xviii Deskripsi dan Analisis APBD 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Instrumen kebijakan fiskal yang digunakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia dalam rangka melakukan pelayanan publik, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat serta terus melakukan pembangunan di berbagai sektor tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD yang direncanakan setiap tahun dengan mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada dasarnya menunjukkan sumber-sumber Pendapatan Daerah, berapa besar alokasi belanja untuk melaksanakan program/kegiatan dan sumber-sumber pendapatan, serta pembiayaan yang muncul bila terjadi surplus atau defisit. Sumber Pendapatan Daerah tentunya masih bersandar pada penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah pusat serta bisa juga berasal dari lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Perwujudan pelayanan publik di daerah tentunya berkorelasi erat dengan kebijakan Belanja Daerah. Belanja Daerah merupakan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik di daerah. Dalam hal penganggaran tentunya bisa terjadi selisih antara pendapatan dan belanja daerah, penyebabnya bisa sangat beragam, akan tetapi surplus atau defisit daerah yang timbul tersebut tentunya perlu disikapi oleh daerah dengan kebijakan Pembiayaan Daerah. Bila terjadi surplus maka daerah harus menganggarkan untuk pengeluaran pembiayaan tertentu semisal untuk investasi atau dapat juga dengan mengoptimalisasi dana tersebut untuk mendanai Pendahuluan 1

belanja kegiatan yang telah direncanakan. Akan tetapi bila terjadi defisit maka daerah perlu mencari alternatif pembiayaan yang bisa berupa pinjaman daerah, penggunaan SiLPA atau melakukan penghematan anggaran dengan melakukan penyisiran kegiatan yang tidak perlu dilaksanakan atau ditunda pelaksanannya. Untuk melihat gambaran secara komprehensif atas anggaran daerah pada tahun 2013, diperlukan suatu telaah ringkas mengenai APBD 2013 secara agregatif maupun terpisah antara propinsi dengan kabupaten/kota. Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah di Indonesia dengan berdasarkan data yang terutama berasal dari APBD Tahun Anggaran 2013 dari seluruh Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Analisis APBD ditelaah berdasarkan aspek pendapatan, belanja, surplus defisit dan pembiayaan daerahnya. Dalam analisis ini juga digunakan beberapa data sekunder lainnya berupa data anggaran sebelum APBD 2013, realisasi APBD tahun-tahun sebelumnya, hingga data pendukung lain yang digunakan untuk melakukan analisis time-series. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan yang dilakukan secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per provinsi, kabupaten dan kota dan berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Maluku Papua). B. Gambaran Umum APBD 2013 Komposisi Pendapatan Daerah pada APBD TA 2013 secara nasional dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian utama yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Grafik 1.1 menunjukkan besaran jumlah uang dan persentase dari ketiga sumber Pendapatan Daerah. Terlihat bahwa dana perimbangan masih mendominasi sumber Pendapatan Daerah yaitu sebesar sebesar 66,3% atau Rp432,697 triliun, sedangkan PAD hanya sebesar 21,5% atau sebesar Rp140,302 triliun dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah sebesar 12,2% atau sebesar Rp79,866 triliun. (Data APBD yang disajikan telah dikonsolidasikan untuk menghilangkan penghitungan ganda atas beberapa reciprocal account) 2 Deskripsi dan Analisis APBD 2013

Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah Sumber: APBD 2013 (Diolah) Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah Sumber: APBD 2013 (Diolah) Belanja daerah secara nasional pada TA 2013 mencapai Rp707,083 triliun. Belanja Pegawai porsinya masih dominan yaitu mencapai 41,9% atau sebesar Pendahuluan 3

Rp296,540 triliun. Belanja Modal mencapai Rp175,578 triliun atau sebesar 24,8%. Belanja Barang dan Jasa mencapai Rp148,012 triliun atau 20,9%. Tabel 1.1 Pembiayaan Daerah (Juta Rupiah) Pembiayaan 55.087.326 Penerimaan Pembiayaan 67.083.829 Pengeluaran Pembiayaan 11.996.503 Defisit pada APBD secara nasional yang mencapai Rp54,217 triliun. Total Pembiayaan Daerah secara nasional mencapai Rp55,087 triliun dengan penerimaan pembiayaan (SiLPA, Pinjaman dan lain-lain) mencapai Rp67,083 triliun serta pengeluaran pembiayaan dianggarkan sebesar Rp11,996 triliun. C. Trend APBD (2009 2013) Berdasarkan data APBD 2009 hingga 2013 yang telah dikonsolidasikan maka kita bisa mendapatkan gambaran sebagai berikut: 4 Deskripsi dan Analisis APBD 2013

Grafik 1.3 Trend APBD (dalam miliar rupiah) Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009-2013 (Diolah) Dari grafik tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa setiap tahun sejak 2009 hingga 2013 Pendapatan Daerah meningkat rata-rata sebesar 15,6% dan peningkatan pada tahun 2013 sebesar 18,4%, di mana Pendapatan Daerah pada tahun 2012 sebesar Rp551,3 triliun meningkat menjadi sebesar Rp652,9 triliun pada tahun 2013. Secara nasional trend anggaran belanja daerah mengalami rata-rata peningkatan dari tahun 2009 hingga 2013 sebesar 14,4%. Belanja daerah yang dianggarkan pada tahun 2012 sebesar Rp591,9 triliun meningkat 19,5% pada tahun 2013 menjadi sebesar Rp707,1 triliun. Trend defisit yang dianggarkan daerah cenderung fluktuatif, cenderung terus mengalami penurunan dari tahun 2009 hingga 2011, akan tetapi pada tahun 2013 defisit anggaran meningkat sebesar 34,5%. Trend peningkatan pembiayaan netto juga relatif sama polanya setiap tahun dengan trend defisit. Peningkatan Pendahuluan 5

persentase pembiayaan netto pada tahun 2013 adalah sebesar 34,4% dari tahun sebelumnya. Grafik 1.4 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2009 2013 (dalam miliar rupiah) Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009-2013 (Diolah) Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada tabel di atas. Secara nasional porsi Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan tetapi terlihat laju peningkatannya lebih rendah bila dibandingkan laju peningkatan PAD. PAD terus mengalami peningkatan dimana pada tahun 2009 PAD seluruh daerah secara nasional mencapai Rp62,7 miliar dan di tahun 2013 meningkat menjadi Rp140,3 miliar rupiah. Peningkatan tersebut secara rata-rata dari tahun 2009 hingga 2013 adalah sebesar 22,4%, peningkatan dari tahun 2012 hingga ke 2013 adalah sebesar 24,5%. Dana Perimbangan secara nasional setiap tahunnya mengalami peningkatan, di mana pada tahun 2009 Dana Perimbangan hanya Rp285,0 triliun terus 6 Deskripsi dan Analisis APBD 2013

meningkat menjadi Rp432,7 triliun di tahun 2013. Rata-rata peningkatan Dana Perimbangan dari tahun 2009 hingga 2013 di kisaran 11,1%. Peningkatan yang terjadi pada tahun 2013 yaitu sebesar 13,7% dari anggaran Dana Perimbangan di tahun 2012. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga menunjukkan tren peningkatan dari tahun 2009 hingga 2013. Pada tahun 2009 secara nasional Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah masih di kisaran Rp19,5 triliun, kemudian mengalami rata-rata peningkatan per tahunnya sebesar 44,7%, sehingga di tahun 2013 Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah mencapai Rp79,9 triliun. Persentase peningkatan yang terjadi pada tahun anggaran 2012 yaitu sebesar 38,3% dari anggaran tahun sebelumnya dan di tahun 2013 dianggarkan meningkat 37,1%. Grafik 1.5. Rata-rata Pertumbuhan (2009 2013) Pendapatan Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Sumber: Data APBD Konsolidasi 2009-2013 (Diolah) Pendahuluan 7

Berdasarkan data trend 2009 hingga 2013 maka kita juga bisa melihat gambaran tingkat pertumbuhan total Pendapatan Daerah beserta komponen utamanya yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah per provinsi dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi Banten (21,4%), lalu diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta (19,5%) dan Provinsi Sumatera Utara (19,4%). Sedangkan ratarata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah adalah di Provinsi Papua Barat (11,1%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,4%), dan Provinsi Sulawesi Utara (11,6%). Bila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan PAD per tahunnya yang tertinggi adalah terdapat di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 30,7%, lalu diikuti oleh Provinsi Lampung yaitu sebesar 29,5%, dan Provinsi Kalimantan Selatan yaitu sebesar 29,4%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan PAD yang terendah yaitu di bawah 11% terdapat di Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu di kisaran 2,0%, Provinsi Bengkulu sebesar 7,0%, Provinsi Aceh sebesar 10,9%. Di sisi lain rata-rata pertumbuhan dana perimbangan dari tahun 2009 hingga 2013 cenderung tidak terlalu tajam fluktuasinya antar provinsi yaitu di kisaran 9,0% hingga 16,0%, dengan pengecualian Provinsi DKI Jakarta dengan rata-rata pertumbuhan dana perimbangan -0,4%. 8 Deskripsi dan Analisis APBD 2013