PENDAHULUAN Semakin meningkatnya daya beli masyarakat dan berkembangnya industri perhotelan, restoran dan usaha waralaba merupakan kekuatan yang mendorong meningkatnya permintaan produk peternakan, khususnya terhadap daging. Meskipun demikian, rendahnya populasi dan produktivitas ternak lokal untuk suplai bakalan (feeder cattle), pengetahuan dan penerapan teknologi ditingkat peternak yang relatif sederhana, serta ketergantungan terhadap bahan pakan impor merupakan kelemahan yang menghambat pengembangan usaha sapi potong. Menurut data Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan (2003) jumlah populasi sapi potong di Indonesia sampai tahun 2003 sebesar 11.395.688 ekor, dibandingkan tahun 1997 sebesar 11.938.856 ekor atau menurun sebesar 4.77%. Tinggi permintaan daging berkualitas dan diakuinya Indonesia sebagai negara bebas penyakit menular mulut dan kuku serta penyakit sapi gila merupakan peluang pengembangan usaha sapi potong yang dapat menjawab ancaman perdagangan bebas (free trade), dimana produksi ternak luar negeri akan bebas masuk ke Indonesia karena tidak adanya proteksi. Menurut Wasito (2004) rata-rata kebutuhan daging dalam negeri pertahun sebanyak 480 ribu ton, dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri hanya sekitar 340 ribu ton (70%). Kekurangan sebanyak 140 ribu ton daging (30%) dipenuhi dengan importasi. Pada saat ini diimpor sekitar 40 ribu ton daging (frozen meat) dan 100 ribu ton sapi bakalan (feeder cattle). Berbagai faktor tersebut berdampak terhadap berkembangnya usaha sapi potong, khususnya industri feedlot dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini disebabkan peternakan rakyat tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar tradisional dan segmen pasar khusus yang mensuplai daging untuk kebutuhan hotel, restoran dan waralaba. Apalagi segmen pasar khusus menghendaki daging yang berkualitas. Pada pemeliharaan feedlot, sapi dipelihara dengan menggunakan konsentrat tinggi untuk meningkatkan produksi dan kualitas daging. Selama fase penggemukan, pertumbuhan mempunyai pengaruh yang negatif terhadap hasil daging dan positif terhadap kualitas daging. Hal ini disebabkan jaringan lemak
2 tumbuh lebih cepat daripada jaringan otot dan tulang selama fase penggemukan. Oleh karena itu, peningkatan lemak karkas mempengaruhi komposisi karkas. Semakin tinggi tingkat perlemakan yang melebihi permintaan pasar mengakibatkan rendahnya persentase daging yang dihasilkan, dan sebaliknya. Pada tingkat perlemakan karkas yang lebih tinggi akan memperbaiki palatabilitas daging, terutama tenderness dan juiciness karena adanya peningkatan lemak marbling. Komposisi dan proporsi karkas sangat tergantung pada breed, umur, jenis kelamin dan makanan (Aberle et al., 2001). Komposisi karkas sangat penting dalam produksi sapi potong dan pemasarannya. Karkas memberikan spesifikasi yang berbeda dalam komposisi daging, lemak dan tulang serta distribusinya di dalam karkas. Suatu karkas mendekati produktivitas optimum jika komposisi jaringan dari potongan komersial memenuhi spesifikasi pasar. Ada dua aspek utama yang penting dalam memahami komposisi karkas yakni perhatian pada pertumbuhan dan distribusi jaringan utama karkas yang mempengaruhi komposisi dan estimasi komposisi karkas. Beberapa penelitian terhadap komposisi karkas sapi terfokus pada lemak karkas yang menentukan perubahan komposisi karkas saat penggemukan dimulai (Tatum et al., 1986a; Johnson et al., 1996; Taylor et al., 1996; Priyanto et al., 1997). Derajat kegemukan (fatness) telah banyak digunakan sebagai indikator karkas yang diharapkan sesuai dengan spesifikasi pasar. Di Indonesia belum dikenal klasifikasi maupun grading pada ternak sapi, khususnya terhadap karkas yang dihasilkan. Hal ini disebabkan sebagian besar konsumen daging belum mempertimbangkan kualitas daging. Konsumen biasanya memanfaatkan hampir semua komponen tubuh ternak untuk dikonsumsi dengan cara pengolahan dan pemasakan yang bersifat tradisional. Komponen tubuh tersebut dapat berupa karkas maupun komponen bukan karkas (offal). Hal ini menyebabkan industri daging di Indonesia lambat berkembang, dan hanya mampu membentuk pasar lokal tradisional yang melayani masyarakat kelas menengah ke bawah dan pasar khusus yang melayani masyarakat kelas atas, restoran, hotel berbintang dan waralaba.
3 Hal ini menuntut perlunya dikembangkan sistem klasifikasi sapi potong, sehingga diperoleh suatu deskripsi dalam semua komponen industri daging yang berdampak pada peningkatkan kualitas, efisiensi produksi dan pemasaran. Klasifikasi atau grading sapi potong terutama menyangkut sifat-sifat karkas. Klasifikasi adalah pengembangan metode untuk mendeskripsikan produk karkas dalam industri daging, sehingga bisa didapatkan komunikasi yang selaras antara pelaku industri daging seperti: konsumen, pengecer (retailer), jagal (packer/butcher), industri penggemukan (fattener) dan peternak (produsen). Dengan demikian adanya komplik kepentingan diantara pelaku di atas dapat dihindari dengan informasi/komunikasi yang baik dan saling menguntungkan semua pihak. Usaha-usaha untuk membuat estimasi komposisi karkas melalui indeks perlemakan dan ketebalan lemak subkutan sangat memungkinkan. Banyak studi menunjukkan adanya hubungan yang erat antara tebal lemak subkutan pada rusuk 12 dan 13 dengan persentase lemak dan daging (Priyanto et al., 1993). Tebal lemak juga berhubungan erat dengan persentase daging sapi (Johnson et al. 1996). Tebal lemak secara tunggal menunjukkan prediksi yang akurat terhadap proporsi lemak karkas dan daging, termasuk daging yang dipasarkan (Johnson, 1997). Tebal lemak rump P8 juga dapat digunakan sebagai sebagai estimator komposisi, dimana sebanding akurasinya dengan tebal lemak rusuk ke 12 dalam memprediksi proporsi daging (Priyanto et al, 1997). Faktor bangsa juga berpengaruh jika tebal lemak digunakan sebagai prediktor tunggal estimasi komposisi karkas. Interpretasi hubungan fungsional antara tebal lemak karkas dengan bangsa sapi, telah diketahui berbeda dalam distribusi diantara depot-depot lemak (Johnson et al., 1996). Jika tebal lemak digunakan secara tunggal sebagai indikator harus dikoreksi dengan faktor bangsa untuk menghindari kesalahan prediksi. Secara sederhana jika tebal lemak digunakan sebagai prediktor tunggal terhadap komposisi karkas kemungkinan dapat memperbesar bias efisiensi produksi daging. Penggunaan persamaan prediksi memungkinkan terjadinya over estimate untuk beberapa bangsa sapi dan under estimate untuk bangsa lainnya.
4 Prediksi dapat diandalkan jika dapat memberikan suatu derajat ketepatan yang tinggi dan dapat dipakai secara luas. Telah banyak studi menggunakan regresi berganda sebagai pendekatan sebagian prediktor (Priyanto et al., 1999). Metode ini digunakan secara luas dalam industri daging. Pola pertumbuhan otot, lemak dan tulang serta distribusinya menentukan terjadinya perubahan komposisi dalam karkas dan potongan komersial karkas (wholesale cuts). Tidak ada satu bangsa sapi pun yang dapat ditemukan mempunyai komposisi ideal dari semua pasar. Penentuan bangsa sapi sangat penting dalam usaha memenuhi variasi kebutuhan pasar. Hal ini dapat dicapai jika ada pemahaman pola pertumbuhan dari jaringan karkas berdasarkan variasi tipe bangsa sapi. Terdapat perbedaan pertumbuhan dan distribusi jaringan utama karkas pada sapi dengan tipe bangsa kecil (Johnson et al., 1996). Bangsa sapi mempunyai pengaruh penting terhadap parameter komersial daging (Johnson, 1988). Telah banyak studi yang menunjukkan hubungan antara berat jaringan karkas dengan berat karkas dalam studi pertumbuhan dan distribusi. Perbedaan pola pertumbuhan di antara bangsa sapi dapat mengakibatkan perbedaan komposisi karkas dan hasil daging, yang berdampak suplai kebutuhan konsumen. Pada umumnya sapi potong yang dijadikan bakalan pada industri penggemukan di Indonesia diimpor dari Australia. Jenis bangsa dari bakalan tersebut adalah sapi Australian Commercial Cross (ACC) dan sapi Brahman Cross (BX), dengan klasifikasi jenis kelamin lebih beragam, yakni jantan kastrasi (steer), betina muda (heifer) maupun induk afkir (cow). Hal ini disebabkan sejak tahun 2000 permintaan bakalan ke Australia terus meningkat sehingga terjadi pengurasan steer. Sebelum tahun 2000 -an kebanyakan bakalan yang diimpor adalah steer. Sejauhmana produktivitas karkas dari kedua jenis bangsa sapi dengan klasifikasi jenis kelamin yang berbeda perlu dikaji lebih jauh agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dalam mensuplai permintaan daging yang berkualitas dengan jumlah yang cukup. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa hal sebagai berikut : 1. Menguji pengaruh perbedaan bangsa sapi dan klasifikasi jenis kelamin terhadap pertumbuhan dan distribusi komponen karkas dan potongan
5 komersial karkas. Termasuk estimasi geometri berdasarkan spesifikasi pasar tradisional dan pasar khusus. 2. Menguji pengaruh interaksi bangsa sapi dan konformasi butt shape serta interaksi klasifikasi jenis kelamin dengan konformasi butt shape terhadap produktivitas karkas sapi, termasuk menguji pengaruh tunggal dari masingmasing faktor. 3. Menguji akurasi penggunaan sifat-sifat karkas sebagai indikator estimasi produktivitas karkas. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa referensi yang bermanfaat bagi: 1. Industri daging, hasil penelitian dapat digunakan sebagai rujukan sehingga memperoleh produktivitas yang optimal, termasuk disini adalah konsumen, pengecer (retailer), jagal (butcher), industri penggemukan dan peternak. 2. Pemerintah, hasil penelitian dapat digunakan oleh pemerintah untuk melakukan standarisasi karkas dan perencanaan dalam pengembangan usaha penggemukan sapi potong di Indonesia. 3. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi oleh para pakar bidang peternakan dalam rangka pengembangan iptek khususnya pada ternak sapi potong. Hipotesis Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa hal sebagai berikut : 1. Bangsa sapi dan klasifikasi jenis kelamin diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan distribusi komponen karkas serta estimasi geometri pada spesifikasi pasar tradisional dan pasar khusus. 2. Interaksi bangsa sapi dan konformasi butt shape maupun interaksi klasifikasi jenis kelamin dan konformasi butt shape diduga berpengaruh terhadap produktivitas karkas sapi, termasuk masing-masing faktor secara mandiri. 3. Sifat-sifat karkas baik sebagai prediktor tunggal maupun kombinasinya diduga akurat dalam memprediksi produktivitas karkas.