BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

BAB I PENDAHULUAN. restrukturisasi dengan musyawarah dan mufakat, atau

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum Kepailitan Indonesia. Oleh : Lili Naili Hidayah 1. Abstrak

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. 2

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN. 2.8 Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Kepailitan. failite yang artinya kemacetan pembayaran.

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kemampuan usahanya, bahkan untuk mempertahankan. kelangsungan kegiatan usaha tidak mudah. Kesulitan tersebut sangat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, baik orang perorangan (natural person) maupun

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai peranan penting dalam pembangunan adalah pajak. Menurut Rochmat

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II TANGGUNG JAWAB PERSONAL GUARANTOR DALAM KEPAILITAN

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

BAB II PENETAPAN HAK MENDAHULUI PADA FISKUS ATAS WAJIB PAJAK YANG DINYATAKAN PAILIT. A. Kepailitan dan Akibat Hukum Yang Ditinggalkannya

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. membayar ganti rugi atau disebut dengan penanggung. Perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik atau wederkerig

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut PKPU) pada umumnya dikaitkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sektor hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Sektor yang

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

I. PENDAHULUAN. membutuhkan modal karena keberadaan modal sangat penting sebagai suatu sarana

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

KEPASTIAN HUKUM OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM PROSES KEPAILITAN PERUSAHAAN EFEK

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-piutang sedangkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Penundaan Pembayaran Utang bagi Debitor yang dinyatakan Pailit dalam Kasus Kepailitan Oleh : Umar Haris Sanjaya 1 ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN. permodalan bagi suatu perusahaan dapat dilakukan dengan menarik dana dari

BAB II KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN PT. TELKOMSEL. TBK

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Van Koophandel (WvK), buku Ketiga yang berjudul Van de Voordieningen in Geval

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepailitan diatur di dalam Undang - Undang Nomor 37 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

Lex Privatum Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. KEWENANGAN HAKIM PENGAWAS DALAM PENYELESAIAN HARTA PAILIT DALAM PERADILAN 1 Oleh: Taufiq H.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. A. Pengertian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. keinginan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diraih, baik dilihat dari segi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman disebut dengan kreditor, sedangkan pihak yang berutang atau menerima pinjaman disebut dengan debitor 1. Dalam perjanjian utang piutang, kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah disetujui, memberikan hak kepada kreditor untuk menagih pembayaran kembali utang dari debitor sesuai jangka waktu yang telah disetujui. Kewajiban debitor untuk memenuhi pembayaran utang tersebut akhir-akhir ini cukup sulit untuk dilakukan karena berbagai faktor, beberapa diantaranya adalah kewajiban pembayaran pajak 2, dampak naiknya valuta asing yang mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat dan ketidakmampuan pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha hingga debitor tidak mampu memenuhi kewajiban membayar utang sesuai jangka waktu yang disetujui (unable to pay) atau tidak mampu membayar sisa utang (stop to pay) 3. Keadaan debitor mengalami kesulitan 1 Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, Prenada Media, Jakarta, 2013, h. 10-11 2 R. Anton Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kencana, Jakarta, 2012, h.1 3 Ibid, h. 3, dikutip dari Hasil Seminar Universitas Indonesia, Membangun Indonesia Baru, 1998 1

2 melakukan pembayaran akibat ketidakmampuan secara finansial disebut dengan istilah insolvent 4. Bila debitor tidak dapat membayar kembali utang secara sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan atau lunas tetapi dilakukan setelah melewati batas jangka waktu, debitor dipandang telah wanprestasi 5. Berhentinya debitor membayar utang lebih dari jangka waktu yang disepakati tersebut tentu akan menyebabkan kreditor menggunakan hak tagihnya terhadap debitor atas pemenuhan utangnya. Bila wanprestasi ini berkembang menjadi konflik berkelanjutan diantara para pihak, sengketa yang timbul dari konflik tersebut dapat diselesaikan dengan dua proses, yaitu proses penyelesaian sengketa secara damai dan kooperatif di luar pengadilan dan proses litigasi di dalam pengadilan 6. Sengketa yang ada dapat saja berkembang bila debitor memiliki perjanjian utang-piutang dengan kreditor lain dan belum melunasi utangnya. Jika pengadilan telah memutus debitor untuk melunasi utangnya pada salah satu kreditor sedangkan harta debitor tidak cukup untuk melunasi utang debitor pada kreditor yang lain, tentu hal tersebut menjadi tidak adil terlebih karena kreditor lain tidak mendapat kesempatan yang sama atas pelunasan utang. Atas alasan tersebut, 4 Huizink, Insolventie, Cet. II, (terjemahan Linus Doludjawa), Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, h. 21 5 Gatot Supramono, Op.Cit, h.31 6 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, h.5

3 lembaga kepailitan terbentuk untuk membantu mengatur cara penyelesaian utang yang lebih adil terhadap setiap kreditor-kreditor yang ada 7. Pengaturan lembaga kepailitan di Indonesia sudah lama ada, yaitu dengan berlakunya Undang-Undang tentang Kepailitan, yaitu Faillisementverordening yang diundangkan dalam Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348 (selanjutnya disingkat dengan UUK), tetapi dalam prakteknya lembaga kepailitan yang diatur dalam UUK tersebut dianggap kurang memadai dan kurang efisien sebagai cara penyelesaian utang, sehingga pada tahun 1998 dianggap perlu untuk melakukan beberapa perubahan atas UUK. Karena situasi perekonomian Indonesia saat itu dianggap darurat dengan adanya krisis moneter di Indonesia, maka perubahan atas UUK tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 87 (selanjutnya disingkat dengan Perpu No.1/1998), yang kemudian dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Perpu No.1/1998 tersebut ditetapkan sebagai Undang-Undang (selanjutnya disingkat dengan UU No.4/1998). 7 Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana, Jakarta, 2008, h.28 dikutip dari Kartini Muljadi, Pengertian dan Prinsip Umum Hukum Kepailitan, Makalah, Jakarta, 2000

4 Keberadaan lembaga kepailitan di ranah hukum Indonesia bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan atau dikenal dengan istilah kreditor konkuren dari hak istimewa dan hak agunan yang dimiliki oleh kreditor preferen selaku pemilik hak istimewa dan kreditor separatis sebagai pemilik hak agunan. Secara teknisnya, tujuan kepailitan adalah untuk mempergunakan harta debitor secara adil dan proporsional untuk membayar seluruh utang-utang debitor kepada para kreditor di bawah pengawasan Hakim Pengawas 8. M. Hadi Shubhan menegaskan pula bahwa lembaga kepailitan penerapannya lebih baik dibandingkan lembaga lain karena harus dilakukan dengan mengacu pada prinsip paritas creditorium yang mewajibkan setiap kreditor memiliki kedudukan yang sama atas penerimaan pembayaran utang debitor dengan utang debitor 9 dan pari passu prorata parte yang membagi harta debitor sebagai jaminan bersama para kreditor secara proporsional atau sesuai dengan porsi kreditor masing-masing perjanjiannya dan bukan dibagi secara sama rata para kreditor yang ada 10. Dengan adanya lembaga kepailitan yang dilaksanakan dengan prinsipprinsip tersebut, tentu lembaga kepailitan menjadi sarana penyelesaian sengketa utang-piutang diantara debitor dengan para kreditor yang lebih efektif. Dengan tujuan penyempurnaan pengaturan ketentuan hukum lembaga kepailitan, UU No.4/1998 diperbarui dengan pengundangan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 8 Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, PT Alumni, Bandung, 2010, h.82, 87 9 M. Hadi Shubhan, Op.Cit, h.29. 10 Ibid, h.29-30.

5 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131 (selanjutnya disingkat dengan UUKPKPU). Dalam UUKPKPU, ditegaskan kembali makna utang yang dimaksud dalam ranah lembaga Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 adalah, Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Atas ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa utang dalam ruang lingkup kepailitan merupakan utang dalam arti luas dan tidak terbatas pada utang dalam arti sempit. Agar seorang debitor dapat dinyatakan pailit, seorang debitor tersebut wajib memenuhi syarat-syarat untuk dinyatakan dalam keadaan pailit sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, yaitu mempunyai dua atau lebih kreditor, debitor tidak membayar sedikitnya satu utangnya, dan utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Ketika debitor telah memenuhi syarat pailit, barulah debitor tersebut dapat diajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga. Pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit sesuai ketentuan Pasal 2 UUKPKPU adalah debitor, kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, Menteri Keuangan yang berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 kewenangan Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar

6 Modal, dan Menteri Keuangan tersebut beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan. Atas putusan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga, masih terdapat upaya hukum yang dapat dilakukan para pihak terkait untuk membela kepentingannya lebih lanjut apabila belum puas dengan putusan Pengadilan Niaga tersebut. Upaya hukum yang dimaksud adalah permohonan kasasi dan peninjauan kembali sesuai ketentuan Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 UUKPKPU yang dapat diajukan oleh debitor atau kreditor yang merupakan pihak pada sidang tingkat pertama serta kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada sidang tingkat pertama namun tidak puas dengan putusan pailit yang terkait. Jono menegaskan bahwa terdapat pembatasan hak atas pengajuan upaya hukum kasasi terhadap pihak pemohon pada sidang tingkat pertama seperti Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan 11. Salah satu akibat hukum dari kepailitan yang cukup signifikan adalah debitor kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus hartanya berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUKPKPU. Tindakan pengurusan hartanya diambilalih oleh kurator berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUKPKPU. Dengan kata lain, kepailitan menyebabkan debitor tidak bisa mengambil tindakan apapun atas hartanya, terlebih lagi melanjutkan kegiatan usahanya. Dari rangkaian pemaparan mengenai penyelesaian permasalahan utangpiutang debitor dengan para kreditor tersebut, dapat dipahami bahwa proses penyelesaian melalui kepailitan cenderung menghabiskan banyak waktu dan merugikan para kreditor jika debitor dalam keadaan insolven. Untuk itu, peraturan 11 Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 94

7 perundang-undangan tentang kepailitan juga menyertakan lembaga penyelesaian permasalahan utang-piutang antar debitor dengan para kreditornya namun dengan cara yang lebih cepat dan damai. Lembaga tersebut dikenal dengan istilah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau Surseance van Betaling dalam bahasa Belanda, merupakan sarana penundaan sementara kewajiban pembayaran utang debitor yang digunakan masa penundaannya untuk debitor mengatur perdamaian dengan setiap kreditor agar bisa melunasi utangnya 12. Ketentuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini sejak awal telah diatur bersama dengan ketentuan kepailitan. Pengaturan lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam ketenuan Kepailitan ditujukan untuk menawarkan lembaga alternatif yang lebih baik dari lembaga kepailitan. Semenjak berlakunya Perpu No. 1/1998 pada tahun 1998, sifat lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang lebih bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi debitor untuk melanjutkan usahanya sambil berusaha menyelesaikan permasalahan utangnya dengan para kreditor secara damai dan untuk menghindari kepailitan 13. Selain itu, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dipandang juga sebagai sarana perlindungan yang diberikan oleh Undang- Undang bagi debitor untuk menyeimbangkan posisinya dengan kreditor yang dapat mengajukan kepailitan 14. Oleh karena itu pengajuan permohonan Penundaan 12 Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, dan Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2003, h.191 13 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Bayu Media, Malang, 2003, h.131 14 M. Hadi Shubhan, Op.Cit, h.147

8 Kewajiban Pembayaran Utang berdasarkan ketentuan Pasal 212 UU No.4/1998 hanya bisa diajukan oleh debitor yang merasa tidak mampu melanjutkan pembayaran utang. Pengabulan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahkan tidak mempersulit debitor karena Pengadilan harus mengabulkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara paling lambat tiga hari sejak didaftarkan permohonannya berdasarkan Pasal 225 ayat (2) UUKPKPU. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara merupakan tahapan pertama dari proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam tahapan ini, debitor dinyatakan telah memenuhi syarat administrasi pengajuan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Pengadilan mengangkat hakim pengawas serta menunjuk satu atau beberapa pengurus berdasarkan Pasal 225 ayat (2) UUKPKPU. Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara ini berlaku selama maksimum 45 hari menurut ketentuan Pasal 225 ayat (4) UUKPKPU dan diperpanjang menjadi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap hingga paling lama 270 (dua ratus tujuh puluh) dengan persetujuan lebih dari satu perdua jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui yang hadir dan mewakili dua pertiga bagian dari seluruh tagihan kreditor konkuren. Dalam jangka waktu tersebut, semua harta debitor berada di bawah pengawasan pengurus. Dalam jangka waktu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tetap tersebut, debitor bersama pengurus dan para kreditor membahas mengenai perdamaian diantara masing-masing pihak. Persetujuan diberikan jika disetujui lebih dari satu perdua jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui yang hadir

9 dan mewakili dua pertiga bagian dari seluruh tagihan kreditor konkuren. Penggunaan lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini dapat dikatakan cukup berisiko karena lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jika gagal akan berakibat dijatuhkannya putusan pailit pada debitor yang tidak bisa dilakukan upaya hukum apapun. Gagalnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pun dapat terjadi karena pembatalan perdamaian di tengah jalan pelaksanaan sesuai Pasal 291 UUKPKPU, rencana perdamaian ditolak oleh kreditor konkuren sesuai Pasal 289 UUKPKPU, dan pengesahan perdamaian ditolak oleh Pengadilan sesuai Pasal 288 ayat (2) UUKPKPU. Kembali membahas pihak yang dapat mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengaturan mengenai pihak yang dapat mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dari yang semula menurut Pasal 212 UU No.4/1998 hanyalah debitor diperbarui dengan Pasal 222 khususnya ayat (3) UUKPKPU menjadi dapat diajukan oleh debitor atau kreditor. Ketentuan yang baru mengenai pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh kreditor ini menurut penjelasan UUKPKPU ini diatur dalam rangka untuk mencegah kecurangan debitor yang hanya memberi keuntungan pada salah satu atau beberapa kreditor lain dengan hartanya sehingga kreditor yang lain tidak mendapat bagian pelunasan utangnya. Menurut Pasal 222 ayat (3) UUKPKPU, kreditor yang bisa mengajukan permohonanan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah kreditor yang memperkirakan ketidakmampuan debitor untuk melanjutkan pembayaran utangnya. Melalui ketentuan ini, ada pandangan bahwa kreditor bermaksud

10 memberi kesempatan bagi debitor untuk mengatur ulang kegiatan usahanya agar bisa mengajukan rencana perdamaian sambil berusaha melunasi utangnya 15. Pada dasarnya menurut ketentuan Pasal 222 ayat (1) UUKPKPU, debitor hanya bisa mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang apabila debitor tersebut tidak dapat atau memperkirakan ketidakmampuannya untuk melanjutkan pembayaran utang yang telah lewat jangka waktu. Apabila diinterpretasikan secara a contrario, debitor tidak dapat mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang jika debitor tersebut dapat melanjutkan atau mampu memperkirakan kemampuannya melanjutkan pembayaran utang. Muncul permasalahan ketika kreditor mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atas debitor, padahal debitor sedang berada dalam keadaan mampu membayar utang-utangnya atau memperkirakan kemampuan melanjutkan pembayaran utang. Sebagaimana diketahui bahwa debitor kehilangan independensinya dalam melakukan tindakan kepengurusan dan kepemilikan atas hartanya apabila Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dikabulkan oleh Pengadilan Niaga 16. Dalam hal ini, kehilangan independensi yang dimaksud adalah debitor harus meminta persetujuan dari Pengurus yang telah ditunjuk Pengadilan Niaga untuk melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan sesuai ketentuan Pasal 240 UUKPKPU. Hal ini tentu menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas bagi debitor dalam melangsungkan kegiatan usaha. Selain itu apabila dilihat dari akibat hukum 2010, h. 183 15 Ibid 16 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung,

11 gagalnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, debitor dapat menderita kerugian yang cukup besar yaitu mengalami kepailitan yang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Tentu saja ketika debitor dapat melanjutkan atau memperkirakan masih mampu melanjutkan pembayaran utangnya, debitor akan memilih untuk tidak mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Mengingat begitu mudahnya pengabulan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, khususnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sementara yang diajukan oleh kreditor berdasarkan ketentuan Pasal 225 ayat (3) UUKPKPU, mengakibatkan debitor tidak memiliki kesempatan menolak pernyataan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut. Bahkan UUKPKPU secara tegas menyatakan bahwa tidak ada upaya hukum yang terbuka untuk putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan kepailitan akibat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selain upaya hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 jo Pasal 255 ayat (6) UUKPKPU. Salah satu kasus yang dapat mencerminkan hal ini adalah perkara kepailitan Purdi E. Chandra dengan putusan perkara Nomor 421 K/Pdt.Sus-Pailit/2013. Dalam perkara ini, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh kreditor dari Purdi Chandra. Tidak adanya pengaturan upaya hukum bagi debitor dalam menolak pernyataan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan kreditor tentu perlu lebih diperhatikan. Selain itu, pemberian kewenangan kreditor untuk mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap debitor tentu perlu diperhatikan juga apabila pada dasarnya lembaga Penundaan Kewajiban

12 Pembayaran Utang berfungsi sebagai penyeimbang debitor dalam menghadapi kepailitan yang diajukan kreditor 17. Untuk itu, akan dilakukan analisis lebih lanjut mengenai permasalahan ini melalui penelitian hukum. 1.2. Rumusan Masalah Menurut pendapat Peter Mahmud, penentuan isu hukum memegang peranan penting dalam menentukan jawaban atas permasalahan hukum yang ada dalam suatu penelitian hukum 18. Atas latar belakang permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, maka dapat dirumuskan isu hukum yang ada menjadi rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa filosofi kreditor diberikan kewenangan untuk mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? 2. Apa upaya hukum debitor yang menolak pernyataan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor? 1.3. Tujuan Penelitian Suatu isu hukum perlu dipecahkan karena dengan demikian baru bisa ada tercipta kepastian hukum 19. Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisa filosofi kewenangan kreditor dalam permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 17 M. Hadi Shubhan, Loc.Cit 18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, h.57 19 Ibid, h. 57-58

13 2. Untuk mengetahui dan menganalisa upaya hukum yang dapat ditempuh debitor dalam menolak pernyataan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan kreditor 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan suatu isu hukum. Isu hukum penting untuk dipecahkan agar dapat memberikan kepastian hukum karena pada dasarnya hukum mengikat masyarakat pada umumnya 20. Selain pemberian kepastian hukum, perlu ada manfaat secara jelas dari suatu penelitian hukum. Penelitian hukum ini diharapkan dapat membawa manfaat, yaitu: a. Bagi Masyarakat Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya bagi masayarakat yang dalam kegiatan usahanya memiliki cukup banyak perjanjian utang-piutang agar dapat mengetahui dan dapat lebih berhati-hati dalam mengambil jalur-jalur penyelesaian utang terbaik dengan para kreditornya. b. Bagi Pemerintah Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa masukan bagi Pemerintah dalam pemberian kepastian hukum melalui bentuk formil peraturan perundang-undangan. Pemerintah melalui penyusun undang-undang diharapkan dapat menambah, mengurangi, dan memperbarui peraturan perundang-undangan khususnya yang terkait 20 Ibid, h.9

14 dengan ketentuan lembaga Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. c. Bagi Pendidikan Penelitian hukum ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi institusi pendidikan khususnya dalam pengembangan ilmu hukum bidang hukum Kepailitan. d. Bagi Peneliti Penelitian hukum ini diharapkan mampu membantu peneliti mendapatkan nilai yang dibutuhkan guna menuntaskan studi peneliti. 1.5. Metode Penelitian 1.5.1. Tipe penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan tipe penelitian doctrinal research. Tipe penelitian ini memberikan pemaparan sistematis mengenai aturan yang mengatur bidang hukum khusus, menganalisis hubungan antar peraturan, dan menjelaskan permasalahan hukum yang ada di bidang tertentu sambil memberikan perkiraan akan pengembangan di masa yang mendatang 21. 1.5.2. Pendekatan penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 (tiga), yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan atau statute approach merupakan pendekatan yang menelaah dan mengaji peraturan perundang-undangan yang 21 Peter Mahmud Marzuki, Ibid, h.32 dikutip dari Terry Hutchinson, Researching and Writing in Law, Lawbook Co, Sydney, 2002, p.87

15 terkait dengan isu hukum yang diteliti guna membangun dasar argumen untuk menjawab isu yang dihadapi 22. Pendekatan kasus atau case approach adalah penelitian yang menelaah dan mengaji kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang diteliti untuk dijadikan referensi guna menjawab suatu isu hukum 23. Pendekatan konseptual atau conceptual approach adalah pendekatan penelitian yang mempelajari pandangan dan doktrin ilmu hukum yang berkembang agar bisa digunakan sebagai bahan argumen penjawaban isu hukum yang diteliti 24. 1.5.3. Bahan hukum Penelitian hukum memerlukan sumber penelitian guna memberikan argumen yang kuat dalam menjawab isu hukum yang dihadapi. Sumber penelitian itu berupa bahan hukum. Terdapat 2 (dua) macam bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum ini, yaitu: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas dalam mengatur kehidupan masayarakat 25. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan putusan Pengadilan Niaga. b. Bahan Hukum Sekunder 22 Ibid, h. 93 23 Ibid, h. 94 24 Ibid, h. 95 25 Ibid, h.141

16 Bahan hukum sekunder adalah sumber ilmu hukum yang tidak bersifat resmi mengikat namun mengandung prinsip-prinsip dasar ilmu hukum yang dapat digunakan untuk memjawab isu hukum yang dianalisis 26. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur dan tulisan ilmiah yang membahas tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 1.5.4. Prosedur pengumpulan dan pengolahan bahan hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara menelusuri, mencari, dan membaca peraturan perundang-undangan, putusan-putusan Pengadilan Niaga, beserta prinsip-prinsip hukum terkait dengan isu hukum yang dihadapi 27. Setelah bahan hukum tersebut terkumpul, dilakukan penelaahan bahan hukum terhadap isu hukum yang dianalisis. Kemudian hasil pengolahan bahan hukum tersebut dirumuskan ke dalam pembahasan, jawaban, dan kesimpulan dari rumusan masalah yang dianalisis. 1.5.5. Analisis bahan hukum Bahan hukum yang telah diolah dianalisis dengan menarik hal yang bersifat umum ke hal khusus sehingga dapat dikaitkan pada permasalahan hukum yang diteliti agar dapat diperoleh kesimpulan yang memcahkan permasalahan terkait. 1.6. Pertanggungjawaban Sistematika ini ditulis dengan susunan berupa 4 (empat) bab beserta sub-bab sub-bab-nya yang memuat pembahasan terkhusus. Terdapat dua bab pembahasan 26 Ibid, h. 141-142 27 Ibid, h. 194

17 permasalahan yang diteliti, sedangkan dua bab yang lain merupakan bab pendahuluan dan bab penutup. Bab-bab tersebut ditulis dengan sistematika sebagi berikut: Bab I merupakan Bab Pendahuluan yang memuat latar belakang permasalahan yang timbul beserta pentingnya dilakukan penelitian dan penulisan mengenai permasalahan yang terkait. Permasalahan yang ada dirumuskan dalam suatu rumusan masalah yang lebih sederhana guna menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas. Tulisan ini disertai dengan tujuan penelitian untuk memaparkan tujuan yang hendak dicapai peneliti. Penelitian ini juga memuat manfaat penelitian guna menjelaskan manfaat yang hendak dicapai peneliti bagi masyarakat, pemerintah, pendidikan, dan peneliti. Metode penelitian dituliskan guna memaparkan cara penelitian dan penulisan tulisan ilmiah ini. Bab ini diakhiri dengan pertanggungjawaban sistematika yang memberikan uraian singkat mengenai struktur tulisan ilmiah ini. Bab II memuat pembahasan utama mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh Kreditor. Bab ini dimulai dengan pembahasan mengenai hakikat dan tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kemudian dilanjutkan dengan uraian syarat dan jenis Penundaan Kewajiban Pembayaran utang, pihak-pihak yang dapat memohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan ditutup dengan pembahasan filosofi kewenangan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh kreditor. Bab III memuat pembahasan utama mengenai upaya hukum debitor terhadap Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan kreditor. Bab

18 ini dimulai dengan pemamparan upaya-upaya hukum dalam kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara umum. Kemudian dilanjutkan dengan uraian upaya hukum terhadap pernyataan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan upaya hukum atas pernyataan pailit yang berasal dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor. Bab ini ditutup dengan penjelasan melalui kasus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bab IV merupakan bab penutup yang terdiri atas dua sub-bab, yaitu kesimpulan, yaitu uraian singkat dari jawaban yang diperoleh atas rumusan masalah di Bab I dan saran yang berisi rekomendasi penulis untuk membantu penyelesaian permasalahan yang ada.