BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PEMBAHASAN. kelamin pria dipilih karena mayoritas populasi sampel di BBKPM adalah pria dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek

BAB 1 PENDAHULUAN. polusi udara baik dalam maupun luar ruangan, serta polusi di tempat kerja. 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara umum terkait

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diatasi, dikarakterisir dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll

PENGARUH PURSED LIPS BREATHING

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya

BAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang

Sistem Pernapasan - 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan terjadinya inflamasi disebabkan respon paru- paru terhadap partikel atau

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

HUBUNGAN ANTARA KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA DAN DERAJAT ASMA PADA PASIEN ASMA BRONKIAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Task Reading: ASBES TOSIS

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB 4 METODE PENELITIAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012)

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

Faktor Risiko Terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat memicu terjadi PPOK ini, yaitu: a. Kebiasaan merokok

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

SUMMARY GAMBARAN KAPASITAS PARU PADA REMAJA PEROKOK DI DESA TULADENGGI KECAMATAN TELAGA BIRU. Dwi Purnamasari Zees

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang

Anatomi dan Fisiologi saluran pernafasan. 1/9/2009 Zullies Ikawati's Lecture Notes 1

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

ANALISIS JURNAL PENGARUH LATIHAN NAFAS DIAFRAGMA TERHADAP FUNGSI PERNAFASAN PADA PASIEN

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis

I. PENDAHULUAN. membentuk suatu asam yang harus dibuang dari tubuh (Corwin, 2001). duktus alveolaris dan alveoli (Plopper, 2007).

INSUFISIENSI PERNAFASAN. Ikbal Gentar Alam ( )

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN. nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance base dan

BAB I PENDAHULUAN. Batik merupakan kain tradisional dari Indonesia yang telah diakui oleh

HUBUNGAN ANTARA OBESITAS DENGAN VOLUME PARU PADA ANAK USIA 9-11 TAHUN SKRIPSI

BAB 1. Pendahuluan. Faktor perinatal menjadi faktor risiko gangguan respiratorik kronis masa

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK EKSASERBASI AKUT PADA LAKI-LAKI LANSIA. Damayanti A. 1)

BAB I PENDAHULUAN. prevalensi perokok dewasa per hari. Menurut data Global Adult Tobacco Survey

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perokok pasif atau second hand smoke (SHS) istilah pada orang lain bukan

BAB I PENDAHULUAN. Laennec di tahun 1819, kemudian diperinci oleh Sir William Osler pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

commit to user BAB V PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 18. SISTEM PERNAPASANLATIHAN SOAL BAB 18

BAB I PENDAHULUAN. dari penyebab kasus mortalitas dan morbiditas di negara-negara dengan. pendapatan tinggi dan pendapatan rendah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

BAB I PENDAHULUAN. Amerika dan mengakibatkan kematian jiwa pertahun, peringkat ke-empat

BAB I PENDAHULUAN. biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik

PENGARUH KEBIASAAN MEROKOK TERHADAP DAYA TAHAN JANTUNG PARU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan dasar pembuatan batik adalah lilin batik. Lilin batik ini akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat

I. PENDAHULUAN. Rokok adalah gulungan tembakau yang dibalut dengan kertas atau daun. nipah. Menurut Purnama (1998) dalam Alamsyah (2009), rokok

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB I PENDAHULUAN. Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) di Indonesia tahun mendapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik a. Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang bersifat menetap dan progresif yang disebabkan oleh respon inflamasi pernafasan dan jaringan paru akibat paparan dari zat maupun gas berbahaya (Global Inisiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2014). b. Faktor Risiko 1) Rokok Rokok merupakan faktor risiko utama kematian oleh karena bronkitis kronis dan emfisema (Naik dan Cucullo, 2015). Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya penurunan volume udara ekspirasi pada detik pertama (FEV1) pada pasien yang merokok. Secara histologis, makrofag secara normal berada pada bronkiolus respiratori hingga alveolus, akan tetapi hasil dari bronchoalveolar lavage fluid menunjukkan bahwa makrofag terakumulasi 5 kali lebih banyak pada perokok. (Reilly et al., 2012). 5

6 2) Pekerjaan Sebagai akibat dari globalisasi, regulasi yang mengatur tentang keselamatan pekerja semakin terabaikan oleh karena mahalnya biaya kesehatan. Paparan debu, asap dan material berbahaya merupakan suatu faktor risiko yang sulit untuk dihindari saat bekerja, sehingga beberapa pekerjaan seperti penambang emas, pekerja pabrik kapas, penambang batu bara, dan lain-lain merupakan faktor resiko terjadinya kerusakan pada bronkiolus respiratori hingga alveolus seperti pada perokok (Krisztina et al., 2010). 3) Polusi Udara Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pasien dengan penyakit-penyakit respiratorik lebih banyak terjadi pada daerah perkotaan daripada pedesaan. Para warga kota yang sering terpapar polusi udara terbukti memilki risiko lebih besar terkena penyakit paru obstruksi kronis (Reilly et al., 2012). 4) Genetik Defisiensi alpha-1 antitrypsin merupakan sebuah kondisi kelainan genetik yang menyebabkan penyakit PPOK pada beberapa pasien. Pasien dengan defisiensi alpha-1 antitrypsin dapat mengalami PPOK meskipun pasien tidak pernah merokok dan tidak sering terpapar polusi zat berbahaya ( National Heart, Lung and Blood Institute, 2015).

7 c. Patogenesis PPOK Perubahan abnormal pada pasien PPOK terjadi pada saluran nafas besar dan kecil, parenkim paru, dan jaringan pembuluh darah pada paru oleh karena proses kerusakan berulang. Respon inflamasi dapat disebabkan oleh kelainan genetik maupun pajanan partikel berbahaya, seperti asap rokok. Akan tetapi, beberapa pasien PPOK tidak memiliki riwayat merokok. Adanya ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease, yang memiliki fungsi protektif terhadap jaringan ikat paru akan memperbesar respon inflamasi pada pasien. Respon inflamasi semakin diperparah oleh kehadiran sel sitotoksik CD8+ dan mediator inflamasi (faktor kemotaktik, sitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan) (Papandrinopoulou et al., 2012). Meskipun tidak semua penderita PPOK memiliki riwayat merokok, akan tetapi paparan zat berbahaya merupakan faktor risiko terbesar dan utama yang dapat menyebabkan kerusakan DNA pada Lung Epithelial Barrier Cell (LEBC). Kerusakan DNA dapat menyebabkan mutasi DNA pada LEBC yang menyebabkan sel dendritik merespon LEBC sebagai benda asing dan mempresentasikan antigen melalui MHC di nodus limfatikus. Hal tersebut menyebabkan adanya proliferasi dari sel sitotoksik CD8+ yang akan mensekresi perforin dan granzymes untuk menghancurkan LEBC yang mengalami mutasi DNA. Semakin

8 banyak LEBC yang hancur menyebabkan jaringan parenkim paru semakin rentan mengalami kerusakan dan menyebabkan orang tersebut menderita PPOK (Papandrinopoulou et al., 2012). d. Aspek Patofisiologi 1) Obstruksi Aliran Udara Aliran udara saat ekspirasi dipengaruhi elastic recoil paru dan resistensi jalan nafas yang mempengaruhi aliran udara pada jalan nafas. Kehilangan elastic recoil paru oleh karena berkurangnya jaringan elastis pada parenkim paru berdampak pada berkurangnya aliran udara saat ekspirasi seperti pada emfisema. Sedangkan resistensi pada jalan nafas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan obstruksi lumen di antaranya sekret yang berlebihan di dalam saluran nafas, bertambahnya tonus sel otot polos bronkus dan hipertrofi kelenjar submukosa. Akibatnya proses pengosongan udara/ekspirasi menjadi tidak tuntas dan volume residual paru bertambah (Papandrinopoulou et al., 2012). 2) Hiperinflasi Hilangnya elastic recoil pada pasien PPOK membuat pasien harus bernafas di atas volume Functional Residual Capacity (FRC), untuk mempertahankan terbukanya jalan nafas

9 oleh karena udara berlebih yang terperangkap dalam paru (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006). Pada orang normal, volume udara di dalam paru pada saat akhir respirasi normal seharusnya mendekati FRC. Akan tetapi, pada pasien PPOK volume akhir respirasi paru (EELV) dapat jauh melebihi FRC. Oleh sebab itu, proses pengosongan udara melambat dan proses ekspirasi terganggu oleh proses inspirasi selanjutnya sebelum pasien mencapai FRC, di mana FRC merupakan titk equilibrium antara elastic recoil paru dan elastic recoil dinding dada (Papandrinopoulou et al., 2012). Hiperinflasi memiliki dua efek negatif yang menganggu fungsi otot diafragma. Yang pertama, diafragma akan tertekan oleh paru dan mengurangi zone of apposition antara rongga thoraks dan rongga abdomen. Yang kedua, serabut otot diafragma akan menjadi lebih pendek dan menjadi kurang efisien dalam proses inspirasi. Diafragma yang tertekan oleh karena proses hiperinflasi paru akan beradaptasi untuk mempertahankan fungsinya dengan cara menambah serabut otot tipe 1, yang tidak mudah lelah, menambah konsentrasi mitokondria dan meningkatkan efisiensi transport elektron (Papandrinopoulou et al., 2012). Akan tetapi, proses adaptasi yang dilakukan diafragma memiliki batas, di mana diafragam sudah tidak bisa

10 mengkompensasi hiperinflasi paru yang bersifat kronis. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi kegagalan inspirasi seperti pada proses eksaserbasi pasien PPOK yang berakibat fatal (Papandrinopoulou et al., 2012). e. Diagnosis Untuk diagnosis secara formal, para klinisi biasanya menggunakan spirometri sebagai alat untuk mengukur adanya obstruksi aliran udara. Dari pemeriksaan spirometri tersebut, para klinisi dapat mengetahui nilai dari forced expiratory volume in 1 second (FEV1). Pada pasien PPOK, nilai dari FEV1 akan menurun di bawah angka 80% (Miller et al., 2011). Studi radiografi juga dapat membantu untuk menentukan derajat keparahan dari PPOK. Studi ini dapat dilakukan dengan foto toraks dan CT-SCAN. Pada foto toraks dapat ditemukan adanya flattening pada diafragma, adanya peningkatan ruang udara retrosternal, bayangan jantung sempit dan hiperlusensi paru. Untuk studi radiografi yang lebih sensitif, para klinisi menggunakan CT- SCAN (Institute for Clinical Systems Improvement, 2011). Untuk keperluan tes tambahan, biasanya para klinisi melakukan tes hematokrit, serum kalium, evaluasi sputum, elektrokardiografi, kadar AAT dan tes 6MWT (Celli et al., 2004). Analisa gas darah juga dapat dilakukan untuk mendeteksi tingkat

11 keparahan dari PPOK, status asam-basa dan mendeteksi adanya hipoksemia (Institute for Clinical Systems Improvement, 2011). f. PPOK Stabil Definisi dari PPOK stabil adalah suatu kondisi pasien PPOK di mana pasien tidak dalam keadaan eksaserbasi. Keadaan eksaserbasi pada pasien PPOK ditandai dengan adanya perubahan keadaan umum pasien, di mana pasien membutuhkan penanganan khusus oleh rumah sakit (American Academy of Family Physician, 2015). Pasien PPOK memasuki keadaan eksaserbasi bila ditemukan adanya kondisi seperti berikut : 1) Meningkatnya intensitas dan tingkat keparahan gejala pasien (perubahan pada produksi sputum, dyspneu, malaise, berkurangnya toleransi untuk melakukan aktivitas, demam, wheezing, berkurangnya suara napas) 2) Adanya penyakit ko-morbid (pneumonia, aritmia, gagal jantung kongestif, diabetes, gagal ginjal dan gangguan liver) Untuk PPOK stabil sendiri dibagi menjadi 3 kategori yakni: 1) PPOK stabil derajat ringan (FEV1 bernilai 60%-80%) 2) PPOK stabil derajat sedang (FEV1 bernilai 40%-59%) 3) PPOK stabil derajat berat (FEV1 bernilai kurang dari 40%)

12 2. Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1) adalah udara (liter) yang dapat diekspirasikan secara maksimal dalam satu detik pertama (Tortora dan Derrickson, 2014). Nilai dari FEV1 (liter) secara normal akan menurun sebesar 30 ml/tahun karena proses aging dan akan menurun lebih signifikan pada pasien PPOK (Wise, 2006). Nilai dari FEV1 juga sangat dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu usia, tinggi badan, ras dan jenis kelamin. Faktor yang paling mempengaruhi adalah usia dan tinggi badan. Oleh karena itu, Association for Respiratory Technology and Physiology (ARTP) mempublikasikan rumus nilai normal FEV1 (liter) prediksi yang didapat dari studi cohort (Wise, 2006). FEV1{liter} = 4.30*tinggi badan{meter}-0.029*age{usia} -2.49 Gambar 2.1 Rumus Menghitung Nilai FEV1 (Liter) Prediksi (Wise, 2006) Namun untuk menentukan derajat keparahan PPOK dibutuhkan nilai FEV1 (%) prediksi yang didapat dari perbandingan antara nilai FEV1 (liter) yang diukur pada pasien dengan nilai FEV1 (liter) prediksi dikali 100%. Nilai normal FEV1 (%) prediksi adalah sekitar 80% (Qaseem et al., 2011).

13 3. Sesak Napas pada Pasien PPOK dan Borg Category-ratio (CR-10) scale Menurut American Thoracic Society, sesak napas atau yang dikenal dengan sebutan dyspnea adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan perasaan subyektif mengenai ketidaknyamanan dalam bernapas yang menunjukkan adanya perbedaan secara kualitatif dalam berbagai intensitas. Sesak napas merupakan keluhan yang umum dalam praktek klinis, serta menjadi faktor utama yang membatasi kualitas hidup pada PPOK (Wise, 2006). Terdapat metode pemeriksaan secara kualitatif dan kuantitatif untuk menentukan tingkat keparahan sesak napas. Salah satu metode kualitatif yang paling sering digunakan adalah Borg Category-ratio (CR- 10) scale. Borg Scale adalah sebuah pengukuran dengan 10 skala numerik dari 0 sampai 10, di mana 0 menunjukkan tidak adanya gejala sedangkan skala 10 menujukkan munculnya gejala yang paling maksimal. Pada pengukuran ini, para pasien dinilai derajat ketidaknyamanan dalam bernapas setelah dilakukannya tes berjalan ditempat selama 6 menit atau yang dikenal dengan sebutan 6-minute walk test. Borg Scale sudah sering digunakan oleh banyak peneliti, namun para klinisi masih jarang menggunakannya. Akan tetapi, skala pengukuran ini sangat berguna untuk mengetahui derajat sesak napas pasien PPOK karena pasien dapat dengan mudah menentukan batas kemampuan bernapasnya setelah dilakukan tes berjalan ditempat selama 6 menit (Satake et al.,2015). Uji

14 Borg sendiri memiliki tingkat sensitivitas sebesar 83% dan spesifisitas sebesar 91%. Tingginya tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang dimiliki oleh uji Borg membuat uji ini dapat dijadikan suatu indikator derajat sesak napas yang dimiliki oleh pasien dengan kelainan paru dan para atlet (Tanchoco et al., 2008). Tes berjalan ditempat selama 6 menit merupakan salah satu metode diagnosis untuk menentukan adanya sesak napas pada pasien PPOK. Tes ini memiliki cara yang mudah dan tidak memerlukan adanya peralatan yang canggih. Tujuan dari tes ini adalah untuk memancing proses dynamic hyperinflation yang muncul pada pasien PPOK karena dynamic hyperinflation merupakan salah satu penyebab sesak napas (Satake et al., 2015). 4. Hubungan FEV1 dengan Derajat Sesak Napas Penyakit Paru Obstruksi Kronis memiliki 2 aspek patofisiologi, yaitu obstruksi aliran udara dan hiperinflasi. Obstruksi aliran udara disebabkan oleh adanya proliferasi makrofag, neutrofil dan fibroblas yang akan meningkatkan kadar mediator proinflamasi seperti interleukin- 8 (IL-8), Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-α) dan Colony Stimulating Factor (CSF). Mediator proinflamasi tersebut menyebabkan kelenjar mukus dan sel otot polos pada saluran napas besar maupun kecil mengalami hipertrofi. Hipersekresis mukus dan bertambahnya ukuran sel otot polos akan membuat saluran napas menjadi sempit dan pada akhirnya menimbulkan obstruksi aliran udara. Sedangkan hiperinflasi

15 paru disebabkan oleh kerusakan DNA sel LEBC secara progresif dan menyebabkan sel dendritik meresponnya sebagai antigen asing. Setelah sel dendritik menuju ke limfonodi sekitar dan mempresentasikan antigen sel LEBC yang rusak melalui Major Histocompatibilty Class I (MHC-1) maka akan terjadi prolferasi sel T CD-8+ dan akan mendestruksi sel LEBC yang masih sehat. Sel LEBC yang berguna sebagai protektor paru, lama-kelamaan akan berkurang dan proses kerusakan parenkim paru dan jaringan elastin akan semakin mudah terjadi. Bila kerusakan tersebut terjadi secara terus-menerus maka elastic recoil paru akan menurun dan menyebabkan hiperinflasi paru. Kedua aspek di atas menyebabkan FEV1 pada pasien PPOK menurun sehingga menyebabkan volume akhir ekspirasi (EELV) meningkat dan dapat melebihi Functional Residual Capacity (FRC). Seperti yang diketahui, FRC merupakan titik dimana tidak terjadi proses kontraksi maupun relaksasi otot-otot pernapasan dan titik dimana tidak terdapat perbedaan tekanan antara udara di trakea dan tekanan intrapulmonal. Meningkatnya volume akhir ekspirasi (EELV) menyebabkan tekanan intrapulmonal menjadi lebih positif, yang pada akhirnya menyebabkan pasien harus berusaha lebih keras pada saat proses inspirasi. Sehingga semakin meningkatnya EELV maka pasien akan merasakan sesak napas yang semakin bertambah parah (Papandrinopoulou et al., 2012).

16 Namun, pada pasien PPOK stabil derajat ringan sering kali fenomena sesak napas tidak muncul terutama pada saat pasien tidak melakukan aktivitas fisik meskipun nilai FEV1 sudah menurun. Hal tersebut mungkin terjadi karena peningkatan EELV tidak begitu signifikan dan volume FRC masih mendekati nilai normal. Akan tetapi, volume akhir ekspirasi (EELV) dapat meningkat secara drastis dan lebih cepat saat pasien melakukan aktivitas. Hal ini menyebabkan kecepatan ventilasi per menit meningkat secara drastis dan membuat pasien menjadi kesulitan saat bernapas. Proses di atas dikenal dengan sebutan dynamic hyperinflation. Adanya proses tersebut menyebabkan pasien menjadi sesak napas terutama saat melakukan aktivitas (Calverley, 2006).

17 B. Kerangka Pemikiran PPOK FAKTOR RISIKO rokok, pekerjaan,polusi udara, perokok pasif, genetik (defisiensi alpha-1 antitripsin dan mutasi gen MMP 12) kerusakan DNA LEBC proliferasi makrofag, neutrofil dan fibroblas sel dendritik merespon LEBC yang rusak sebagai antigen asing meningkatnya mediator proinflamasi (IL-8, CSF) apoptosis LEBC oleh CD8+ sehingga sel protektor paru berkurang hipertrofi kelenjar mukus dan sel otot polos saluran nafas kerusakan parenkim dan elastin elastic recoil hiperinflasi paru penyempitan saluran nafas dan produksi sputum berlebihan obstruksi aliran udara oleh karena meningkatnya resistensi jalan nafas FEV1 derajat sesak napas Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran

18 C. Hipotesis Terdapat hubungan antara FEV1(%) prediksi dengan derajat sesak napas pada pasien PPOK stabil derajat ringan.