BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

Ekspor Nonmigas Agustus 2010 Mencapai US$ 11,8 Miliar, Tertinggi Sepanjang Sejarah

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. cara yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

PENDAHULUAN. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perdagangan internasional telah

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan luar negeri yang mempunyai peranan penting bagi suatu negara,

BAB. I PENDAHULUAN. akan mengembangkan pasar dan perdagangan, menyebabkan penurunan harga

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk. meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. terpuruk. Konsekuensi dari terjadinya krisis di Amerika tersebut berdampak pada

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

MEDIA BRIEFING Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Tel: /Fax:

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

Kinerja Ekspor Nonmigas November 2010 Memperkuat Optimisme Pencapaian Target Ekspor 2010

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. anggota ASEAN pada ASEAN Summit di Singapura pada Juni Pertemuan tersebut mendeklarasikan pembentukan Asian Free Trade Area

Analisis Perkembangan Industri

BAB I PENDAHULUAN. yang penuh patriotisme, Indonesia berusaha membangun perekonomiannya. Sistem perekonomian Indonesia yang terbuka membuat kondisi

Ekspor Nonmigas 2010 Mencapai Rekor Tertinggi

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

BAB I PENDAHULUAN. industri di sebuah negara. Perkembangan industri manufaktur di sebuah

BAB I PENDAHULUAN. dalam Todaro dan Smith (2003:91-92) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

BAB VI. KESIMPULAN. integrasi ekonomi ASEAN menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: perdagangan di kawasan ASEAN dan negara anggotanya.

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan sangat berarti dalam upaya pemeliharaan dan kestabilan harga bahan pokok,

ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) Lola Liestiandi & Primadona Dutika B.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, nilai serta norma masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. Sektor industri merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang berperan

SIARAN PERS Pusat Hubungan Masyarakat Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Telp: /Fax:

1.1. Latar Belakang. dengan laju pertumbuhan sektor lainnya. Dengan menggunakan harga konstan 1973, dalam periode

BPS PROVINSI JAWA BARAT

Perkembangan Ekspor Indonesia Biro Riset LMFEUI

BAB I PENDAHULUAN. tidak ada hambatan. Hal tersebut memberi kemudahan bagi berbagai negara untuk

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

BAB I PENDAHULUAN. samping komponen konsumsi (C), investasi (I) dan pengeluaran pemerintah (G).

BPS PROVINSI JAWA BARAT

Ekspor Indonesia Masih Sesuai Target 2008: Pemerintah Ambil Berbagai Langkah Guna Antisipasi Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Dunia

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

Kinerja Ekspor Nonmigas Indonesia Bulan September 2011 Masih Menguat, Naik 35% Dibanding September 2010

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2016

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT OKTOBER 2015

KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DALAM MENGHADAPI PEMBERLAKUAN KESEPAKATAN ASEAN Free Trade Area (AFTA)

BAB I PENDAHULUAN. tinggi (suprime mortgage) di AS secara tiba-tiba berkembang menjadi krisis

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI FEBRUARI 2015

BPS PROVINSI JAWA BARAT

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI 2016

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kerjasama perdagangan Indonesia dengan Thailand. AFTA, dimana Indonesia dengan Thailand telah menerapkan skema

BAB I PENDAHULUAN. internasional untuk memasarkan produk suatu negara. Ekspor dapat diartikan

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI APRIL 2015

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI MARET 2015

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. Nilai tukar mata uang mencerminkan kuatnya perekonomian suatu negara. Jika

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015

BAB V ALIRAN PERDAGANGAN, KONDISI TARIF DAN PERFORMA EKSPOR INDONESIA DI PASAR ASEAN PLUS THREE

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

SIARAN PERS Pusat HUMAS Kementerian Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Telp: /Fax:

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

Kinerja Ekspor Bulan Agustus Mencapai Rekor Tertinggi di Tengah Kekhawatiran Dampak Krisis Global

I. PENDAHULUAN. Ekonomi merupakan salah satu sektor yang memainkan peranan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. negara yang saling membutuhkan satu sama lain. Kegiatan ini diperlukan oleh

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAMBI 2016

Nilai ekspor Jawa Barat Desember 2015 mencapai US$2,15 milyar naik 5,54 persen dibanding November 2015.

BPS PROVINSI JAWA BARAT

SIARAN PERS Pusat HUMAS Kementerian Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Telp: /Fax:

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI AGUSTUS 2014

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WTO (World Trade Organization) tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan

V. PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN MAKROEKONOMI INDONESIA. Asia Tenggara, yang pemicunya adalah krisis ekonomi di Thailand.

Transkripsi:

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN Disepakatinya suatu kesepakatan liberalisasi perdagangan, sesungguhnya bukan hanya bertujuan untuk mempermudah kegiatan perdagangan di antara negara-negara yang ikut dalam kesepakatan tersebut. Lebih jauh lagi, kemudahan-kemudahan yang terdapat dalam kesepakatan tersebut diharapkan dapat semakin mendorong terciptanya kegiatan perdagangan di antara negara-negara tersebut. Demikian pula halnya dengan pembentukan AFTA, yang kehadirannya diharapkan dapat semakin mendorong berkembangnya kegiatan perdagangan di antara sesama negara-negara ASEAN. Dalam sub-bab ini secara khusus akan ditinjau gambaran tentang kondisi perdagangan intra-asean, baik sebelum maupun sesudah diberlakukannya AFTA. Dari gambaran tersebut kita akan dapat melihat bagaimana sesungguhnya kondisi perdagangan intra-asean yang mendasari para pemimpin negara-negara ASEAN untuk membentuk kesepakatan AFTA ini. Dan juga bagaimana perkembangan aktifitas perdagangan intra-asean tersebut pasca diberlakukannya AFTA ini. Selanjutnya dalam sub-bab ini akan ditinjau pula kondisi aktifitas perdagangan Indonesia ke kawasan ASEAN, baik sebelum maupun sesudah diberlakukannya AFTA, sehingga kita dapat melihat bagaimana pengaruh dari pemberlakuan kesepakatan AFTA terhadap kondisi aktifitas perdagangan Indonesia ke kawasan ASEAN. 3.1. Perdagangan Intra-ASEAN Sebagaimana telah disinggung dalam bab 1, lahirnya kesepakatan AFTA berawal dari kegundahan para pemimpin negara-negara ASEAN terhadap kondisi perdagangan intra-asean yang ada pada saat itu. Selama lebih kurang 25 tahun sejak didirikannya ASEAN (mulai dari ditandatanganinya Deklarasi Bangkok tahun 1967 sampai dengan ditandatanganinya kesepakatan AFTA tahun 1992) nyatanya kondisi Strategi kebijakan..., Haka Avesina 46 Asykur, FISIP UI, 2010. Universitas Indonesia

47 perdagangan intra-asean masih menunjukkan gambaran yang kurang menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari besar persentase perdagangan intra-asean terhadap total perdagangan luar negeri ASEAN yang belum menunjukkan nilai yang signifikan, dengan tingkat pertumbuhan yang juga cenderung stagnan. Pada periode 1970-1990 pangsa perdagangan intra-asean hampir selalu berada di bawah angka 20%. Bahkan untuk periode 1975-1979 pangsanya hanya mencapai angka 16%. Memang tercatat bahwa pada periode 1980-1990 pangsa ekspor intra-asean meningkat cukup tinggi, yaitu dari 16.7% menjadi 18,5%. Demikian pula dengan pangsa impor intra-asean pada periode yang sama meningkat dari 13,2% menjadi 16,3%. Namun lagi-lagi peningkatan tersebut tidak mampu menembus angka 20,2%. Orientasi perdagangan luar negeri negara-negara ASEAN sendiri pada pada periode 1970-1990 tersebut (baik ekspor maupun impor) umumnya memang masih berpusat dari dan ke tiga tujuan tradisional, yaitu Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Selain persentasenya yang kecil, kondisi perdagangan intra- ASEAN juga diwarnai oleh besarnya ketergantungan terhadap nilai perdagangan Singapura dan Malaysia ke kawasan ASEAN4. Sebagai gambaran pada tahun 1990 kontribusi Singapura dan Malaysia terhadap perdagangan intra-asean masing-masing sebesar 47,5% dan 26,4%. Indonesia sendiri pada tahun 1990 tersebut kontribusinya hanya sebesar 8,5%. Lebih ironisnya lagi, mayoritas perdagangan Singapura dan Malaysia ke kawasan ASEAN tersebut didominasi oleh perdagangan di antara kedua negara itu sendiri. Maka setiap ada kenaikan nilai perdagangan intra-asean, dapat diduga bahwa hal itu sebagian besar diakibatkan oleh kenaikan nilai perdagangan antara Singapura dan Malaysia. Memang harus diakui bahwa di antara negara-negara ASEAN lainnya, Singapura dan Malaysia merupakan negara ASEAN yang nilai perdagangan luar negerinya paling tinggi. Selain itu rasio nilai perdagangan luar negeri terhadap GDP-nya juga tercatat yang paling tinggi

48 dimana rasio tersebut telah melebihi angka 100%, yang berarti nilai perdagangan luar negeri kedua negara tersebut telah lebih besar dari produk domestik bruto yang dihasilkannya. Bila dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Judith M. Dean, Seema Desai, dan James Riedel tentang tingkat orientasi keluar (outward orientation) yang dimiliki oleh suatu negara dalam bidang perdagangan internasional, dimana salah satu parameternya adalah keterbukaan (openess) yang diukur melalui tinggirendahnya rasio nilai perdagangan luar negeri terhadap GDP, maka di antara semua negara ASEAN hanya dua negara inilah yang dapat dikatakan memiliki orientasi keluar (outward orientation) yang memadai. Bila ditelusuri lebih lanjut, kita akan dapat melihat bahwa paling tidak ada 3 faktor utama yang menyebabkan lambatnya perkembangan aktifitas perdagangan intra-asean tersebut. Yang pertama, struktur ekonomi negara-negara ASEAN (khususnya pada masa awal berdirinya ASEAN) masih didominasi oleh sektor pertanian. Dua negara yang paling besar kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomiannya adalah Indonesia dan Filipina. Sektor pertanian ini selain tingkat efisiensinya rendah, hasil produksinya umumnya juga masih ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, sehingga hanya sedikit yang dapat diperdagangkan ke negara lain. Yang kedua, barang-barang yang diproduksi oleh negara-negara ASEAN pada umumnya adalah barang-barang yang sejenis, sehingga yang terjadi bukanlah perdagangan antar negara ASEAN yang saling melengkapi, melainkan justru persaingan di antara negara-negara ASEAN tersebut. Dan yang ketiga, masih banyaknya terdapat hambatan baik tarif maupun non-tarif, dalam kegiatan perdagangan intra-asean. Sehingga mempersulit berlangsungnya kegiatan perdagangan di antara negara-negara ASEAN. Sejalan dengan kemajuan teknologi serta derasnya arus investasi asing dan proses relokasi industri yang masuk ke kawasan ASEAN pada dekade 1980-an, maka dua permasalahan yang pertama mulai dapat teratasi. Dalam hal ini struktur ekonomi negara-negara ASEAN mulai mengalami perubahan, dimana dominasi sektor pertanian perlahan mulai

49 berkurang dan digantikan oleh sektor industri. Selain itu, produk-produk yang dihasilkan oleh masing-masing negara pun semakin bervariasi. sehingga perdagangan antar negara ASEAN yang sifatnya saling melengkapi dapat semakin berkembang. Namun demikian, faktor yang ketiga, yaitu adanya berbagai hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif, masih tetap menyulitkan kelancaran aktifitas perdagangan intra- ASEAN tersebut. Hal inilah yang kemudian mendorong para pemimpin negara-negara ASEAN untuk melahirkan kesepakatan liberalisasi perdagangan AFTA ini. Sejak ditandatanganinya kesepakatan AFTA ini pada tahun 1992, perdagangan intra-asean telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat baik dilihat dari volume, nilai, maupun persentasenya terhadap total perdagangan luar negeri ASEAN. Bila sebelum diberlakukannya AFTA pangsa perdagangan intra-asean hampir selalu berada di bawah angka 20%, maka sesudah diberlakukannya AFTA pangsa tersebut menjadi selalu di atas angka 20%. Bahkan pada tahun 2006 persentasenya telah menembus angka 25%, sehingga menjadikan kawasan ASEAN saat ini menjadi tujuan utama bagi kegiatan perdagangan luar negeri negara-negara ASEAN menggantikan tujuan tradisional seperti Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa barat. Meski demikian banyak pihak menganggap bahwa kontribusi AFTA dalam meningkatkan pangsa perdagangan intra-asean masihlah belum optimal. Nyatanya dari tahun 1990-1998 kenaikan pangsa perdagangan intra-asean baru mencapai kurang-lebih 5 %. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan kenaikan perdagangan intra-mercosur (kelompok negara-negara Amerika Selatan) pada periode yang sama yang mencapai angka 16% (dari 8,9% menjadi 24,8%). Selain itu, dalam bentuk yang lebih keras lagi banyak pula pihak yang masih meragukan tentang pengaruh keberadaan AFTA ini terhadap perkembangan kegiatan perdagangan intra-asean. Mereka yang tidak setuju tersebut berpendapat bahwa sesungguhnya ada faktor-faktor lain, di luar keberadaan AFTA ini, yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan perdagangan intra-

50 ASEAN tersebut. Namun demikan, ada satu hal yang sulit untuk dibantah, yaitu kenyataan bahwa sejak diberlakukannya AFTA ini aktifitas perdagangan intra-asean telah berkembang semakin pesat sehingga bagaimana pun harus diakui bahwa ada korelasi, baik besar ataupun kecil antara pemberlakuan AFTA ini dengan perkembangan aktifitas perdagangan intra-asean tersebut. 3.2. Perdagangan Indonesia Dengan Kawasan ASEAN Sama seperti kondisi perdagangan intra-asean pada umumnya. kondisi perdagangan Indonesia dengan kawasan ASEAN selama lebih kurang 25 tahun sejak berdirinya ASEAN sampai disepakatinya AFTA, masih menunjukkan gambaran yang kurang menggembirakan. Persentase nilai perdagangan Indonesia dengan negara-negara ASEAN pada periode 1967-1992 rata-rata hanya sebesar 15% dari total nilai perdagangan luar negeri Indonesia. Angka tersebut bahkan lebih kecil dari rata-rata persentase nilai perdagangan intra-asean terhadap total nilai perdagangan luar negeri ASEAN yang sebesar 18%. Dan seperti yang terjadi pada negara-negara ASEAN lainnya, kegiatan perdagangan luar negeri Indonesia pada periode tersebut (baik ekspor maupun impor) mayoritas masih berpusat dari dan ke tiga tujuan tradisional, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa Barat. Kondisi perdagangan luar negeri Indonesia dengan kawasan ASEAN sendiri dari waktu ke waktu memang banyak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian Indonesia dan kondisi perekonomian kawasan ASEAN secara keseluruhan. Ketika ASEAN didirikan tahun 1967, ekonomi Indonesia masih dalam masa pemulihan pasca terjadinya kegawatan ekonomi dan pergantian rezim kepemimpinan nasional. Jika pada masa rezim orde lama perhatian pemerintah lebih banyak tertuju pada masalah ideologi dan politik negeri, maka pada masa rezim orde baru perhatian pemerintah mulai beralih pada masalah pembangunan. Meski demikian, struktur ekonomi nasional pada saat itu masih didominasi oleh sektor pertanian yang orientasi utamanya adalah untuk

51 pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Dengan kondisi seperti itu maka nilai perdagangan luar negeri Indonesia, termasuk dengan kawasan ASEAN, dapat dikatakan relatif sangat kecil. Perubahan kemudian terjadi ketika disahkannya Undang-undang (UU) tentang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 dan UU tentang Penanaman. Modal Dalam Negeri pada tahun 1968. Meski struktur ekonomi masih didominasi oleh sektor pertanian, namun pengesahan kedua UU tersebut telah mendorong berkembangnya sektor industri melalui kegiatan penanaman modal. Terlebih ketika Indonesia mendapat pemasukan devisa yang sangat besar sebagai akibat dari oil booming yang terjadi di awal tahun 1970-an. Meski demikian berkembangnya sektor industri ini tidak serta merta meningkatkan nilai ekspor Indonesia, sebab industri yang didirikan tersebut umumnya masih merupakan industri subtitusi impor, sehingga orientasi utamanya adalah untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Yang terjadi pada saat itu justru adalah meningkatnya nilai impor barang-barang modal untuk pembangunan industri tersebut yang berasal dari negara-negara maju. Perubahan selanjutnya kemudian terjadi pada dekade 1980-an. ketika investasi asing di sektor industri, khususnya manufaktur masuk secara besar-besaran ke Indonesia dan ke negara-negara ASEAN lainnya. Industri yang didirikan tersebut umumnya merupakan hasil relokasi dari negara-negara industri maju (misalnya Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa Barat) dan negara-negara industri baru (misalnya Korea Selatan dan Taiwan), dalam rangka mencari lokasi produksi baru yang lebih kompetitif. Dalam hal ini mereka mencari negara-negara yang memiliki comparative advantage berupa sumber daya alam yang melimpah dan tenaga kerja tak terampil dalam jumlah besar. Berkembang pesatnya kegiatan industri hasil relokasi ini sendiri telah meningkatkan nilai perdagangan luar negeri Indonesia, khususnya nilai impor barang modal, bahan baku, dan bahan penolong dari negara asal investasi, serta nilai ekspor barang-barang hasil produksi industri tersebut ke negara asal investasi. Selain itu, komposisi produk yang

52 diperdagangkan pun mulai mengalami perubahan dari yang sebelumnya mayoritas adalah produk-produk pertanian, beralih menjadi mayoritas adalah produk-produk industri. Indonesia sendiri yang pada masa itu dikenal memiliki ketergantungan yang besar terhadap eskpor minyak juga telah melakukan diversifikasi ekspor ke produk-produk industri seperti tekstil dan produk tekstil, produk kayu, peralatan elektronik, dan alas kaki. Pada periode ini nilai maupun persentase perdagangan luar negeri Indonesia ke kawasan ASEAN juga ikut tumbuh meski jumlahnya relatif tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan paling tidak oleh 2 hal. Pertama, negara-negara ASEAN umumnya bukanlah negara asal investasi asing yang masuk ke Indonesia secara besar-besaran tersebut. Padahal perdagangan luar negeri Indonesia pada masa itu sebagian besar terkait dengan investasi asing yang masuk tersebut. Kedua, walaupun pada masa itu sektor industri di Indonesia dan juga di negara-negara ASEAN lainnya berkembang pesat namun industri-industri tersebut umumnya menghasilkan barang-barang yang sejenis relatif sama, sehingga tidak dapat mendorong meningkatnya perdagangan intra-asean. Selanjutnya, memasuki akhir dekade 1980-an, kegiatan industri yang tumbuh di kawasan ASEAN tidak lagi didominasi oleh industri hasil relokasi. Kegiatan investasi yang dilakukan oleh investor asing di suatu negara ASEAN sudah lebih didasarkan pada perubahan strategi perusahaan yang ingin menjadikan negara ASEAN tersebut sebagai pusat produksinya untuk memenuhi permintaan pasar ASEAN. Hasilnya, industri yang ada di masing-masing negara ASEAN termasuk Indonesia, sudah mulai memproduksi barang-barang yang tidak sejenis/ bervariasi sehingga memungkinkan berkembangnya kegiatan perdagangan intra- ASEAN. Selain itu, nilai ekspor ASEAN pada periode 1985-1991 meningkat lebih 2 kali lipat yaitu dari US$ 71 milyar pada tahun 1985 menjadi US$ 162 milyar pada tahun 1991.

53 Meski pada periode ini perdagangan luar negeri ASEAN berkembang pesat namun untuk perdagangan intra-asean pertumbuhannya masih dirasakan kurang optimal. Ini misalnya dapat dilihat dari penurunan pangsa perdagangan inta-asean pada periode 1985-1991. Meski nilai perdagangan luar negeri ASEAN pada periode tersebut tumbuh rata-rata 17,3% pertahun, namun pangsa perdagangan intra-asean turun dari 19,7% (tahun 1985) menjadi 17,7 % (tahun 1991). Hal ini terutama disebabkan karena masih banyaknya hambatan, baik tarif maupun non-tarif yang ada dalam kegiatan perdagangan intra- ASEAN tersebut. Berangkat dari kenyataan ini, maka pada tahun 1992 para pemimpin negara-negara ASEAN sepakat untuk membentuk AFTA yang merupakan kesepakatan liberalisasi perdagangan di kawasan ASEAN dan bertujuan untuk menghapus berbagai hambatan tarif dan non-tarif yang selama ini ada dalam kegiatan perdagangan intra-asean. Lahirnya kesepakatan AFTA ini telah mampu meningkatkan nilai maupun pangsa perdagangan intra-asean. Dalam kurun waktu 3 tahun sejak dimulainya AFTA, nilai ekspor intra-asean telah meningkat dari US$ 43,26 milyar (tahun 1993) menjadi hampir US$ 80 milyar (tahun 1996), dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 28,3 % pertahun. Pangsa perdagangan intra-asean terhadap total perdagangan luar negeri ASEAN pun juga tumbuh dari 20 % menjadi hampir 25 %. Sedangkan dalam jangka yang lebih panjang lagi (periode 1993-2000), perdagangan intra-asean telah meningkat dari US$ 44.2 milyar menjadi US$ 95,2 milyar, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 11,6 % pertahun. Melemahnya tingkat pertumbuhan dalam jangka yang lebih panjang ini sendiri dapat dimaklumi, mengingat pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi yang sangat parah yang melanda kawasan Asia Tenggara. Khusus untuk periode 1994-1995, ekspor intra-asean meningkat dari US$ 57,4 milyar (tahun 1994) menjadi US$ 68,8 milyar (tahun 1995). Dari nilai ekspor intra-asean tersebut nilai ekspor produk CEPT pada tahun 1994 tercatat sebesar US$ 47,4 milyar (82,51%),

54 sedangkan pada tahun 1995 tercatat sebesar US$ 56,3 milyar (81,76%). Ini berarti AFTA tersebut telah mencakup hampir keseluruhan produk yang diperdagangkan dalam perdagangan intra-asean, sehingga pemberlakuannya tentu akan berpengaruh terhadap perdagangan intra- ASEAN. Munculnya kesepakatan AFTA dan juga kesepakatan-kesepakatan ekonomi lainnya (misalnya AICO & AFAS), di kawasan ASEAN tersebut telah menjadi daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di kawasan ASEAN. Maka pasca disepakatinya AFTA tersebut, investasi asing yang masuk ke kawasan ASEAN menjadi semakin meningkat. Indonesia sendiri merupakan salah satu tujuan utama dari aliran investasi yang masuk tersebut. Hasilnya, sektor industri yang ada di Indonesia tumbuh semakin pesat. Selain itu nilai perdagangan luar negeri-indonesia juga meningkat pesat dimana porsi ASEAN dalam kegiatan perdagangan luar negeri tersebut juga semakin besar. Sebagai gambaran, nilai ekspor Indonesia pada periode 1996-2001 rata-rata adalah sebesar US$ 53,5 milyar, sedangkan nilai impornya rata-rata adalah sebesar US$ 34 milyar. Pada periode tersebut nilai ekspor Indonesia ke ASEAN rata-rata adalah sebesar US$ 9,2 milyar (17,2 % dari total ekspor Indonesia) dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,73 % pertahun, sedangkan nilai impornya rata-rata adalah sebesar US$ 5,3 milyar (15,8 % dari total impor Indonesia) dengan tingkat pertumbuhan rata-rata -0,32 % pertahun. Pada periode 1996-2001 tersebut, neraca perdagangan Indonesia dengan ASEAN juga selalu mengalami surplus dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 7,94 % per tahun, yaitu dari US$ 2,1 milyar pada tahun 1996 menjadi US$ 4,1 milyar pada tahun 2001. Namun situasi ini berubah drastis ketika terjadi krisis ekonomi parah yang melanda kawasan Asia Tenggara, dan juga Asia Timur, pada tahun 1997. Perdagangan luar negeri ASEAN termasuk perdagangan intra-asean mengalami penurunan drastis. Sebagai gambaran, pangsa perdagangan intra-asean yang pada pertengahan tahun 1997 (sesaat

55 sebelum terjadinya krisis) mencapai angka 29,6 %, merosot tajam menjadi hanya 23,3 % pada tahun 2001. Indonesia sendiri pada saat itu merupakan negara yang mengalami dampak terparah. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tersebut diikuti pula oleh krisis politik dan kepemimpinan nasional serta terjadinya ketidakstabilan keamanan. Kondisi ini menyebabkan perekonomian Indonesia, termasuk di sektor industri dan perdagangan, menjadi terpuruk. Terlebih ketika kemudian banyak investor asing yang menarik investasinya dari Indonesia. Akibatnya nilai perdagangan luar negeri Indonesia merosot drastis jika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Demikian pula halnya dengan aktifitas perdagangan Indonesia ke kawasan ASEAN baik nilai maupun persentasenya mengalami penurunan yang drastis. Setelah puncak krisis ekonomi tahun 1997 tersebut berlalu, negara-negara ASEAN memasuki masa pemulihan ekonominya. Para pemimpin negara-negara ASEAN kemudian menyadari bahwa peningkatan aktifitas ekonomi intra-asean, termasuk di bidang perdagangan, dapat membantu upaya pemulihan ekonomi tersebut, dan juga mendorong bergairahnya kembali perekonomian ASEAN. Untuk itu berbagai kesepakatan ekonomi yang selama terjadinya krisis mengalami mati suri, selanjutnya mulai diaktifkan kembali. Selain itu diluncurkan pula berbagai kesepakatan baru di bidang ekonomi. Tujuannya, tidak lain adalah untuk semakin memperlancar berlangsungnya aktifitas ekonomi di antara negara-negara ASEAN. Hasilnya aktifitas ekonomi intra-asean, khususnya di bidang perdagangan, kembali mengalami perkembangan pesat. Bila pada masa krisis nilai maupun pangsa perdagangan intra- ASEAN mengalami penurunan, maka 5 tahun sesudahnya nilai maupun pangsa perdagangan intra-asean tersebut kembali meningkat dan pada tahun 2006 telah menembus angka 25% dari total perdagangan luar negeri ASEAN. Hal ini menjadikan kawasan ASEAN saat ini sebagai tujuan utama bagi kegiatan perdagangan luar negeri negara-negara ASEAN. Suatu kondisi yang belum pernah dicapai sebelumnya, bahkan sebelum terjadinya krisis.

56 Indonesia sendiri, meski masih dibayang-bayangi oleh trauma terjadinya krisis, saat ini terus berupaya untuk membangkitkan kembali perekonomiannya. khususnya di sektor perdagangan luar negeri. Hasilnya cukup menggembirakan dimana dari tahun ke tahun nilai ekspor Indonesia terus meningkat, dan pada tahun 2006 untuk pertama kalinya nilai ekspor Indonesia berhasil menembus angka US$ 100 milyar dengan tingkat pertumbuhan sebesar 17%. Selain itu, neraca perdagangan luar negeri Indonesia saat ini juga tetap menunjukkan saldo yang positif, yang berarti terjadi surplus bagi Indonesia dari kegiatan perdagangan luar negeri tersebut. Dengan kawasan ASEAN sendiri nilai perdagangan Indonesia saat ini juga mengalami peningkatan yang berarti. Pangsa perdagangan Indonesia ke kawasan ASEAN baik ekspor maupun impor yang sebelumnya merosot saat ini ini telah kembali berada di atas angka 20% dari total perdagangan luar negeri Indonesia. Namun demikian ditengah upaya untuk meningkatkan kinerja sektor perdagangan luar negeri Indonesia ini sesungguhnya masih terdapat beberapa persoalan penting yang menyangkut perkembangan sektor perdagangan luar negeri tersebut. Persoalan yang pertama adalah masih rendahnya rasio nilai perdagangan luar negeri terhadap GDP yang dimiliki Indonesia. Sampai tahun 2006 besaran rasio tersebut masih berada di bawah angka 50%. Bandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang telah melebihi angka 100%. Maka bila dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Judith M. Dean, Seema Desai, dan James Riedei tentang tingkat outward orientation yang dimiliki oleh suatu negara dalam bidang perdagangan Internasional. Indonesia sesungguhnya masih tergolong sebagai Negara yang masih pada tingkat orientasi ke dalam (inward orientation). Sedangkan permasalahan yang kedua adalah kenyataan bahwa produk ekspor Indonesia sampai saat ini umumnya masih berupa barangbarang hasil alam yang belum diolah atau hanya mengalami sedikit pengolahan sehingga nilai tambah yang bisa didapat dari ekspor produk tersebut menjadi tidak optimal.

57 Selain persoalan yang terkait dengan pengembangan sektor perdagangan luar negeri secara umum terdapat juga persoalan lain yang terkait dengan aktifitas perdagangan Indonesia ke kawasan ASEAN. Persoalan yang pertama adalah kenyataan bahwa meski pangsa perdagangan Indonesia ke kawasan ASEAN saat ini sudah berada di atas angka 20%, namun angka tersebut sesungguhnya masih berada di bawah rata-rata pangsa perdagangan intra-asean yang mencapai angka 25%. Sehingga dapat dikatakan bahwa sampai saat ini pemanfaatan pasar ASEAN oleh Indonesia sesungguhnya masih kurang optimal jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN lainnya. Sedangkan permasalahan yang kedua adalah besarnya ketergantungan nilai perdagangan Indonesia ke kawasan ASEAN terhadap nilai perdagangan Indonesia dengan Singapura. Sampai saat ini hampir separuh nilai perdagangan Indonesia ke kawasan ASEAN (baik ekspor maupun impor) adalah dengan Singapura. Bila melihat jumlah penduduknya yang kecil, maka dapat diduga bahwa posisi Singapura dalam hal ini sebagian besar hanyalah sebagai pelabuhan transit bagi barang-barang Indonesia yang akan dijual lagi ke negara lain atau barangbarang dari negara lain yang akan dijual ke Indonesia, khususnya barangbarang dari dan ke negara-negara di luar kawasan ASEAN. Dengan kondisi seperti ini maka ada dua hal yang dapat dicatat, yang pertama adalah belum optimalnya upaya penetrasi yang dilakukan Indonesia ke pasar ASEAN selain Singapura, dan yang kedua adalah Indonesia sesungguhnya bisa memperoleh nilai tambah yang lebih besar lagi bila mampu melakukan sendiri kegiatan perdagangan luar negeri yang selama ini dilakukan melalui perantaraan Singapura.