BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam dan tersedia secara cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional (UU Kes.RI.1996). Manusia mengkonsumsi pangan dengan tujuan untuk menjaga agar tubuh menjadi sehat. Tetapi makanan juga bias menjadi sumber penyakit. Penyakit yang sisebabkan oleh konsumsi pangan yang tidak aman disebut food borne illness. Kebutuhan akan pangan bisa berasal dari dalam maupun dari luar rumah. Mengkonsumsi pangan yang berasal dari hasil produksi sendiri, kebersihan dan keamananya bisa dijaga, tetapi apabila konsumsi itu berasal dari luar, maka tidak dapat dijamin keamanan pangannya. Oleh karena itu, aspek keamanan pangan sangatlah penting untuk diperhatikan (Thaheer,2005). Seiring perkembangan teknologi di Indonesia khususnya teknologi pangan, semakin banyak makanan yang dikonsumsi manusia sehari-hari pada umumnya memerlukan pengolahan. Pada pengolahan makanan dalam jumlah besar, biasanya yang diperlukan suatu bahan yang disebut Bahan Tambahan Makanan atau yang sering disebut BTM. (Depkes RI dan Dirjen POM, 1988). Pengolahan dan
pengawetan bahan makanan memiliki Interelasi terhadap pemenuhan gizi masyarakat, maka tidak mengherankan jika semua negara baik negara maju maupun berkembang selalu berusaha untuk unutk menyediakan suplai pangan yang cukup, aman dan bergizi. Salah satunya dengan melakukan berbagia cara pengolahan dan pengawetan yang dapat memberikan perlindungan terhadap bahan pangan yangakan dikonsumsi. (Dekes RI dan Dirjen POM,1988). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia No.722/MENKES/PER/IX/88, tentang Bahan Tambahan Makanan (BTM) didefinisikan sebagai bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai zat gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyimpanan atau pengangkutan makanan yang bertujuan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu komponen makanan atau mempengaruhi sifat khas makan (Dekes RI dan Dirjen POM,1988). Dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi makanan, semakin banyak intervensi manusia dalam pembuatan atau pengolahan bahan makanan yang mendorong penambahan bahan-bahan lain kedalam makanan. Bahan-bahan yang ditambahkan tersebut dapat berasal dari bahan alami yang dipisahkan dan dimurnikan ataupun hasil buatan secara kimiawi secar sintetis. Tujuan dari penambahan makanan tersebut, yaitu sebagai pengawet, pewarna, pengering, dan sebagai pemanis buatan (Sinaga,1993).
Bahan makanan yang diawetkan dengan formalin biasanya adalah mie basah (mie aceh, mie sagu, mie kuning), tahu, bakso, ikan asin, dan lain-lain, mengapa formalin sering disalahgunakan. Selain harganya yang sangat murah dan mudah didapatkan, produsen seringkali tidak tahu kalau penggunaan formalin sebagai pengawet makanan tidaklah tepat karena bisa menimbulkan berbagai gangguan kesehatan bagi konsumen yang memakannya. Formalin juga tidak bisa hilang dengan pemanasan. Oleh karena bahayanya bagi manusia makan pengguanaan formalin dalam makanan tidak dapat ditoleransi dalam jumlah sekecil apapun (Yuliarti,2007). Ada beberapa hal yang menyebabkan pemakaian formalin untuk bahan tambahan makanan (pengawet) meningkat, antara lain harganya yang jaih lebih murah dibanding pengawet lainnya, seperti natrium benzoate atau natrium sorbat. Selai itu, jumlah yang digunakan tidak terlalu sebesar pengawet lainnya, mudah digunakan untuk proses pengawetan karna bentuknya larutan, waktu pemerosesan pengawetan lebih singkat, mudah didapatkan ditoko bahan kimia dalam jumlah besar, dan rendahnya pengetahuan masyarakat produsen tentang bahaya formalin (Murtini dan Widyaningsih,2006). Pewarna makanan merupakan bahan makanan tambahan pangan yang dapat memperbaiki penampilan makanan. Penambahan bahan pewarna makanan mempunyai beberapa tujuan, diantranya adalah memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta meutupi perubahan warna akibat proses pengolahan dan penyimanan. Secara garis besar pewarna dibedakan menjadi dua yaitu pewarna alami dan sintetik. Pewarna alami yang dikenal diantaranya adalah daun suji (warna hijau), daun jambu/daun jati (warna merah), dan
kunyit untuk pewarna kuning. Kelemahan pewarna alami ini adalah warna yang tidak homogen sehingga sulit mengjasilkan warna yang stabil serta ketersediaannya yang terbatas, serta kelebihannya adalah aman untuk dikonsumsi. (Syah, 2005) Jenis lain adalah pewarna sintetik. Peawrna jenis ini mempunyai kelebihan, yaitu warnanya homogen dan penggunaannya sangat efisien karena hanya memerlukan jumlah yang sangat sedikit. Akan tetapi, kekurangannya adalah jika pada saat proses terkontaminasi logam berat, pewarna jenis ini akan berbahaya, selain itu, khusus untuk makanan di Indonesia, terutama industri kecil dan industri rumah tangga, makanan masih sangat banyak menggunakan pewarna non makanan (pewarna untuk pembuatan cat dan tekstil). (Mudjajanto, 2005) Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan suatu pangan berwarna antara lain dengan penambahan zat pewarna (Cahyadi, 2006). Peraturan mengenai oenggunaan zat pewarna yang diizinkan dan yang dilarang untuk pangan diatur melalui SK Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 mengenai Bahan Tambahan Makanan. Akan tetapi sering sekali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut. Timbulnya penyalahgunaan zat pewarna tersebut antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan juga karena zat pewarna untuk industri relatif jauh lebih murah dibandingkan dengan zat pewarna untuk pangan (Hidayati, 2006) Berdasarkan adanya kasus penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM) Pada 10 maret 2011 pada mie sagu yang di temukan dipasar tradisional kota
Bengkalis, Riau. Yaitu menggunakan formalin yang digunakan untuk bahan pengawet mie sagu, padahal formalin merupakan salah satu bahan tambahan sintetik yang penggunaannya dilarang. Selain itu, peneliti ingin mengetahui selain formalin sebagai bahan pengawet apakah zat pewarna sintetis juga terdapat pada mie sagu yang di jual di pasar tradisional kota Bengkalis Riau Tahun 2012. Alasan inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap penggunaan kadar formalin dan zat pewarna pada mie sagu. Mengingat mie merupakan makanan yang sangat digemari oleh masyarakat. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka perumusan masalah yang dapat di kembangkan bagaimana Analisis Kadar Formalin dan Zat Pewarna Pada Mie Sagu di Pasar Tradisional Bengkalis Riau Tahun 2012. Diketahui penggunaan Formalin pada makanan sangat dilarang oleh Pemerintah, dan zat Pewarna ada yang diperbolehkan dan ada yang dilarang oleh pemerintah. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui kandungan kadar formalin dan zat pewarna pada mie sagu yang dijual di Pasar Tradisional di Bengkalis Riau Tahun 2012. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya formalin yang terkandung dalam mie sagu yang dijual di pasar tradisional Bengkalis Riau Tahun 2012. 2. Untuk mengetahui ada atau tidaknya zat pewarna dan jenisnya yang terkandung dalam mie sagu yang dijual di pasar tradisional Bengkalis Riau Tahun 2012
3. Untuk mengetahui kadar formalin yang terkandung dalam mie sagu yang di jual di pasar tradisional Bengkalis Riau Tahun 2012 kemudian disesuaikan dengan Permenkes RI No.1168/Menkes/X/1999 tentang formalin. 4. Untuk mengetahui jenis dan kadar zat pewarna yang terkandung dalam mie sagu yang di jual di pasar tradisional Bengkalis Riau Tahun 2012 kemudian disesuaikan dengan Permenkes No. 722/Menkes/Per/1988. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat mengenai mie sagu yang mengandung formalin dan zat pewarna 2. Sebagai bahan bagi masyarakat mengenai bahaya mengkonsumsi formalin dan zat pewarna pada mie sagu. 3. Sebagai masukan kepala Dinas Kesehatan dan Pengawasa Obat dan Makanan (BPOM) mengenai formalin dan zat pewarna yang terdapat pada mie sagu yang dijual dipasar tradisional kota Bengkalis Riau.