BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Halitosis, fetor oris, oral malodor atau bad breath adalah istilah yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Halitosis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan nafas tidak sedap

PREVALENSI HALITOSIS PADA PASIEN YANG BERKUNJUNG KE RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2015

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses penuaan adalah perubahan morfologi dan fungsional pada suatu

BAB VI PEMBAHASAN. pseudohalitosis, halitophobia dan psychogenic halitosis. 6,7,8

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perhatian. Penyakit gigi dan mulut dapat menjadi faktor resiko dan fokal infeksi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berupa alat cekat dan alat lepasan (Susetyo, 2000). Alat ortodontik cekat adalah

CLINICAL SCIENCE SESSION HALITOSIS. Disusun oleh: Nikkita Ike Ernawati

METODE MENGATASI BAU MULUT. Yulia Rachma Wijayanti. Staf Pengajar Laboratorium Periodonsia FKG UPDM(B)

EPIDEMIOLOGI Sejarah : Islam nafas yg segar oral hygiene yg baik Untuk menyegarkan nafas : cengkeh (Irak), kulit jambu biji (Thailand). Kulit telur (C

BAB 2 LATAR BELAKANG TERAPI AMOKSISILIN DAN METRONIDAZOLE SEBAGAI PENUNJANG TERAPI PERIODONTAL

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan kesehatan gigi dan mulut di Indonesia masih perlu mendapat

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM... i PRASYARAT... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii LEMBAR PENGUJI... iv

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. pada kesehatan umum dan kualitas hidup (WHO, 2012). Kesehatan gigi dan mulut

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan ilmu mikrobiologi, lidah menjadi tempat tinggal utama bagi berbagai

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari harapan. Hal ini terlihat dari penyakit gigi dan mulut masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sering ditemukan pada orang dewasa, merupakan penyakit inflamasi akibat

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Tabel 1 : Data ph plak dan ph saliva sebelum dan sesudah berkumur Chlorhexidine Mean ± SD

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kesehatan dan mempunyai faktor risiko terjadinya beberapa jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Kanker leher kepala telah tercatat sebanyak 10% dari kanker ganas di

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. gigi, jaringan pendukung gigi, rahang, sendi temporomandibuler, otot mastikasi,

BAB I PENDAHULUAN. kepercayaan diri seseorangyang kita kenal sebagai halitosis.halitosismerupakan

Komplikasi Diabetes Mellitus Pada Kesehatan Gigi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan rongga mulut merupakan salah satu bagian yang tidak dapat

Manifestasi Infeksi HIV-AIDS Di Mulut. goeno subagyo

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menimbulkan masalah kesehatan gigi dan mulut. Penyakit periodontal yang sering

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. dengan migrasi epitel jungsional ke arah apikal, kehilangan perlekatan tulang

Kenali Penyakit Periodontal Pada Anjing

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan sosialnya (Monica, 2007). Perawatan ortodontik merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah kesehatan terutama pada kesehatan gigi dan mulut semakin kompleks

BAB IV METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masih merupakan masalah di masyarakat (Wahyukundari, 2009). Penyakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. imunitas gingiva yang salah satu penyebabnya adalah infeksi. Infeksi disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. mikroba pada gigi dan permukaan gingiva yang berdekatan. 1,2

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan adalah hal yang penting di kehidupan manusia. Rasulullah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal (Berg, 1986). Adanya perbedaan

BAB 1 PENDAHULUAN 3,4

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengganggu kesehatan organ tubuh lainnya (Kemenkes, 2013).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 PERAN BAKTERI DALAM PATOGENESIS PENYAKIT PERIODONTAL. Dalam bab ini akan dibahas bakteri-bakteri patogen yang terlibat dan berbagai cara

PERBEDAAN SKOR BAU MULUT SEBELUM DAN SETELAH SKELING PADA PASIENGINGIVITIS DIINDUKSI PLAK DI INSTALASI PERIODONSIA RSGM FKG USU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PERIODONTITIS Definisi Periodontitis merupakan penyakit inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang

PERAWATAN PERIODONTAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit tertinggi ke enam yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pencegahan dan manajemen yang efektif untuk penyakit sistemik. Pembangunan

LAPORAN PRAKTIKUM. Oleh : Ichda Nabiela Amiria Asykarie J Dosen Pembimbing : Drg. Nilasary Rochmanita FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. semua orang tidak mengenal usia, golongan dan jenis kelamin. Orang yang sehat

Dry Socket Elsie Stephanie DRY SOCKET. Patogenesis Trauma dan infeksi adalah penyebab utama dari timbulnya dry soket.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Manusia

PERAWATAN INISIAL. Perawatan Fase I Perawatan fase higienik

BAB I PENDAHULUAN. pada umumnya berkaitan dengan kebersihan gigi dan mulut. Faktor penyebab dari

BAB I PENDAHULUAN. Mulut sangat selektif terhadap berbagai macam mikroorganisme, lebih dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyebab utama terjadinya kehilangan gigi. Faktor bukan penyakit yaitu sosiodemografi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi akibat akumulasi bakteri plak. Gingivitis dan periodontitis merupakan dua jenis

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi

BAB I PENDAHULUAN. yang predominan. Bakteri dapat dibagi menjadi bakteri aerob, bakteri anaerob dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. American Association of Orthodontists menyatakan bahwa Ortodonsia

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS Bahan Kemoterapeutik yang Diberikan Secara Lokal dalam Bidang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengandung mikroba normal mulut yang berkoloni dan terus bertahan dengan

Identifikasi Penyakit Halitosis dengan Sensor Gas menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Metode Pembelajaran Backpropagation

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Usia harapan hidup perempuan Indonesia semakin meningkat dari waktu ke

BAB I PENDAHULUAN. menduduki peringkat kedua setelah karies (Amalina, 2011). Periodontitis

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. dalam perkembangan kesehatan anak, salah satunya disebabkan oleh rentannya

BAB I PENDAHULUAN. Kismis adalah buah anggur (Vitis vinivera L.) yang dikeringkan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kedokteran gigi adalah karies dan penyakit jaringan periodontal. Penyakit tersebut

BAB I PENDAHULUAN. seperti kesehatan, kenyamanan, dan rasa percaya diri. Namun, perawatan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit periodontal adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan gejala yang semakin memprihatinkan. 1

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Subyek penelitian yang didapatkan pada penelitian ini adalah sebanyak 32

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah mikroorganisme yang ditemukan pada plak gigi, dan sekitar 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan hubungan oklusi yang baik (Dika et al., 2011). dua, yaitu ortodontik lepasan (removable) dan ortodontik cekat (fixed).

REINFORECEMENT BLOK 11 Pemicu 2. DR.Harum Sasanti, drg, SpPM KaDep. Ilmu Penyakit Mulut FKGUI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 90% yaitu kelenjar parotis memproduksi sekresi cairan serosa, kelenjar

BAB I PENDAHULUAN. cepat di masa yang akan datang terutama di negara-negara berkembang, seperti

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam bidang kedokteran gigi, masalah kesehatan gigi yang umum terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. Gigi yang sehat adalah gigi yang rapi, bersih, didukung oleh gusi yang kuat dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang mempunyai plak, kalkulus dan peradangan gingiva. Penyakit periodontal

BAB 2 PENGARUH PLAK TERHADAP GIGI DAN MULUT. Karies dinyatakan sebagai penyakit multifactorial yaitu adanya beberapa faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. (D = decayed (gigi yang karies), M = missing (gigi yang hilang), F = failed (gigi

Pengelolaan Pasien Dengan Angular cheilitis

BAB I PENDAHULUAN. Dinas Kesehatan Kota Padang tahun 2013 menunjukkan urutan pertama pasien

OTC (OVER THE COUNTER DRUGS)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih merupakan hal yang

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

Transkripsi:

6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Halitosis 2.1.1 Defenisi Halitosis yang berasal dari bahasa Latin, halitus (nafas) dan osis (keadaan) adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan bau nafas tidak sedap yang berasal dari dalam rongga mulut maupun luar rongga mulut serta dapat melibatkan kesehatan dan kehidupan sosial seseorang. Halitosis juga dikenal dengan beberapa nama lain, seperti mouth odor, bad breath, oral malodour, fetor ex ore atau fetor oris. 9,10 Halitosis merupakan salah satu penyakit yang sudah ada sejak dulu dan tercatat dalam literatur sejak ribuan tahun lalu. Nabi Muhammad SAW pernah berkata bahwa Beliau akan mengeluarkan orang dari mesjid bila mencium bau bawang dari mulut orang tersebut. 11 2.1.2 Etipatogenesis Halitosis Teori yang paling sering berkaitan dengan halitosis adalah volatile sulfur compounds (VSCs). 10 VSCs merupakan hasil produksi dari aktivitas bakteri-bakteri anaerob di dalam mulut berupa senyawa berbau tidak sedap dan mudah menguap sehingga menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang di sekitarnya. 13,14 Terdapat tiga asam amino utama yang membentuk VSCs, yaitu: cysteine yang menghasilkan hidrogen sulfida (H 2 S), methionine yang menghasilkan metil mercaptan (CH 3 SH) dan cystine yang menghasilkan dimethil sulfida (CH 3 SCH 3 ). 13 VSCs terutama dihasilkan dari pembusukan bakteri yang ada dalam saliva, celah gingiva, permukaan lidah dan pada bagian lainnya. 15 Substrat yang mengandung sulfur asam amino seperti cysteine, cystine dan methionine yang ditemukan bebas dalam saliva, cairan sulkus gingiva atau hasil protelisis dari substrat protein (Gambar 1). 9,10

7 Protein dalam diet Protein dalam saliva Protein cairan gingiva Bakteri protease Host protease Peptida Asam amino lainnya Sulfur yang mengandung asam amino Katabolisme Bakteri Anaerob Gram (-) Volatile Sulphur Compounds Halitosis Gambar 1. Produksi Volatile Sulphur Compounds (VSCs). 10 Halitosis dihasilkan oleh bakteri yang hidup secara normal pada permukaan lidah dan dalam kerongkongan. Bakteri tersebut secara normal ada di permukaan lidah dan dalam kerongkongan karena bakteri tersebut membantu proses pencernaan manusia dengan cara memecah protein. Spesies bakteri yang terdapat pada permukaan oral dapat bersifat sakarolitik, yaitu menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik atau proteolitik, yaitu menggunakan

8 protein, peptida atau asam amino sebagai sumber utamanya. Kebanyakan bakteri gram positif bersifat sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat asakarolitik atau proteolitik. Pada halitosis bakteri yang berperan adalah bakteri anaerob gram negatif dan juga termasuk bakteri porphyromonas gingivalis, provotella intermedia, fusobacterium nucleatum, bacteroides (tannerella) forsythensis dan treponema denticola. Bakteri gram negatif merupakan penghuni utama plak supragingival termasuk plak yang menutupi lidah dan permukaan mukosa lainnya yang dapat memproduksi bahan kimia seperti VSCs yang menyebabkan timbulnya halitosis. 13,16 2.1.3 Klasifikasi 2.1.3.1 Genuine Halitosis Genuine halitosis adalah halitosis sejati atau halitosis yang sebenarnya. 10 Halitosis tipe ini dapat dibedakan lagi atas halitosis fisiologis dan patologis. A. Fisiologis Halitosis fisiologis atau yang juga disebut halitosis transien adalah halitosis yang disebabkan oleh faktor fisiologis yang bersifat sementara, seperti morning halitosis. 9 Halitosis ini terjadi pada saat bangun tidur di pagi hari dan bersifat sementara. 17 Hal ini dikarenakan kurangnya aliran saliva pada saat tidur dan membuat pembusukan sel epitel dan debris lainnya tertahan, yang menyebabkan timbulnya halitosis. 18 Halitosis ini dapat dengan mudah dihilangkan dengan melakukan pembersihan mulut, makan dan berkumur dengan air bersih. 17 Halitosis fisologis juga dapat timbul setelah seseorang mengonsumsi makanan yang mengeluarkan bau khas seperti bawang, rempah-rempah dan durian. Halitosis akan dipengaruhi oleh makanan tersebut dan dapat berlangsung selama beberapa jam. Selain itu, tembakau dan alkohol juga dapat menimbulkan bau mulut yang berbeda dan dapat bertahan selama beberapa jam. Halitosis yang timbul disebabkan karena penurunan laju alir saliva pad saat merokok. 19

9 B. Patologis Halitosis patologis merupakan halitosis permanen yang tidak dapat dihilangkan dengan metode pembersihan mulut biasa. Pada halitosis patologis harus dilakukan perawatan dan perawatannya bergantung pada faktor penyebab halitosis tersebut. 10 Halitosis patologis dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu : 1. Intra Oral Penyebab halitosis yang utama adalah buruknya kebersihan mulut dan penyakit periodontal. Tindakan pembersihan gigi yang tidak adekuat menyebabkan masih banyaknya sisa makanan yang tertinggal pada gigi. 10 Halitosis dapat disebabkan karena adanya lesi karies yang dalam dengan impaksi dan pembusukan makanan. Dapat juga disebabkan karena impaksi makanan pada interdental yang lebar dan akumulasi debris pada gigi berjejal. 17 Penyakit periodontal seperti Gingivitis Ulseratif Nekrosis (GUN), periodontitis, perikoronitis dan ulser juga berkaitan dengan terjadinya halitosis. 9 Literatur menunjukkan bahwa ada hubungan antara halitosis dengan gingivitis atau penyakit periodontal. Produksi Volatile Sulphur Compounds (VSCs) dalam saliva dijumpai meningkat pada gingiva yang mengalami inflamasi dan sebaliknya menurun apabila gingiva sehat. 10 Selain karies dan penyakit periodontal, tongue coating juga menjadi salah satu penyebab halitosis. Coated tongue merupakan akumulasi dari deskuamasi dan pengelupasan sel-sel epitel yang bercampur dengan sel-sel darah, sisa makanan dan bakteri. Menurut sebuah studi mengenai distribusi topografi jenis bakteri pada permukaan lidah, paling banyak ditemukan pada daerah posterior dorsal lidah sampai ke papila sirkumvalata. Beberapa penelitian juga telah mengidentifikasi permukaan posterior dorsal lidah sebagai kontributor utama untuk bau mulut pada orang sehat. 1 Gigitiruan juga termasuk faktor penyebab halitosis, terutama jika di pakai sepanjang malam. Biasanya bau memiliki karakter yang khas dan dapat benar-benar teridentifikasi, terutama jika gigitiruan ditempatkan didalam tempat penyimpanannya dan akan mengeluarkan bau beberapa menit kemudian. 20

10 2. Ekstra Oral Penyakit saluran pernafasan seperti abses paru-paru, pneumonia nekrosis dan karsinoma saluran pernapasan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang mengarah keproduksi VSCs. Penyakit pernafasan yang terkait lainnya seperti tonsillitis, sinusitis atau polip hidung dapat juga menyebabkan timbulnya halitosis. 17 Faktor penyebab halitosis yang berasal dari ekstra oral dapat juga disebabkan manifestasi dari penyakit sistemik seperti hiatus hernia, sirosis hati dan diabetes mellitus. 1 Halitosis kadang menjadi gejala pertama dari penyakit saluran pernafasan seperti abses paru-paru yang juga disertai dengan demam, batuk dan nyeri pleuritik. Beberapa organisme, yang kebanyakan anaerob yang menimbulkan abses tersebut. Penyakit saluran pernafasan lainnya seperti karsinoma yang biasanya terjadi pada salah satu bronkus besar mengakibatkan kerusakan jaringan dan infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri anaerob yang menghasilkan bau mulut. Penyakit pernafasan lainnya yang juga terkait dengan halitosis seperti sinusitis yang dapat menghasilkan debit purulen yang menghasilkan bau busuk. Jika sinusitis adalah sekunder yang disebabkan oleh abses pada salah satu gigi pada rahang atas, maka debit akan hadir pada awal penyakit. 18 Manifestasi dari penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dapat menimbulkan bau tertentu seperti bau keton dalam nafas. 6 Penyakit sistemik lainnya seperti gagal hati menghasilkan bau amina dan azotemia yang menghasilkan bau seperti bau amoniak. 18 Gangguan lainnya yang menyebabkan bau mulut adalah trimethylaminuria atau sindrom bau ikan yaitu gangguan langka yang ditandai dengan bau yang berasal dari mulut dan tubuh yang disebabkan oleh kelebihan trimetilamina yang menghasilkan bau amonia tajam seperti ikan busuk. 6,19 2.1.3.2 Pseudo Halitosis Pasien yang mengeluhkan menderita halitosis, tetapi sebenarnya tidak mengalaminya maka pasien tersebut dinyatakan mengalami pseudo halitosis. 21 Jika

11 pada pemeriksaan awal tidak ditemukan adanya halitosis, maka pemeriksaan dapat diulang pada dua atau tiga hari berbeda. Setelah itu, jika tetap juga tidak ditemukan adanya halitosis berdasarkan pemeriksaan, maka pasien dapat disimpulkan mengalami pseudo halitosis. 17 2.1.3.3 Halitopobia Apabila setelah melakukan perawatan baik untuk genuine halitosis ataupun pseudo halitosis, tetapi pasien masih mengeluhkan adanya halitosis, maka pasien tersebut dikategorikan sebagai halitophobia. 9,10 2.1.4 Diagnosa Terdapat beberapa macam cara untuk mendiagnosis halitosis, tetapi riwayat pasien dan pemeriksaan fisik adalah yang utama. Pertanyaan yang ditujukan kepada pasien seharusnya langsung berkaitan dengan halitosis yang dideritanya, seperti durasi dari halitosis tersebut, pada saat kapan halitosis tersebut terjadi, adakah orang lain yang memberitahukan, menyadari ada tidaknya halitosis tersebut, apakah pasien mengonsumsi obat yang menyebabkan mulut menjadi kering. 11 Pemeriksaan fisik dengan teliti dapat menentukan penyebab halitosis. Pada kebanyakan kasus pemeriksaan harus terlebih dahulu diarahkan pada rongga mulut dan faring. Semua bagian rongga mulut termasuk bagian bukal, dasar mulut, aspekaspek lateral lidah dan palatum, harus diperiksa secara hati-hati. Pemeriksaan tambahan seperti palpasi dengan menggunakan jari telunjuk, berguna untuk mengevaluasi adanya lesi yang terlihat pada pemeriksaan awal dan juga dapat mendeteksi lesi yang tidak terlihat. 18 Selain riwayat pasien dan pemeriksaan fisik, diagnosa halitosis dapat dilakukan dengan pengukuran halitosis. Pengukuran halitosis dapat dibedakan menjadi metode langsung dan metode tidak langsung.

12 2.1.4.1 Metode Langsung 2.1.4.1.1 Organoleptik Pengukuran organoleptik dianggap sebagai metode terbaik dan paling umum yang dilakukan untuk mendiagnosis halitosis. 11 Alasan mengapa organoleptik menjadi standar terbaik untuk pengukuran halitosis bergantung pada kenyataan bahwa hidung manusia mampu mencium dan mendefinisikan bau, tidak hanya VSCs tetapi juga senyawa organik lain yang berasal dari pernafasan. 22 Pengukuran dengan organoleptik dapat dilakukan dengan mencium nafas pasien dan menentukan tingkat halitosisnya. 17,23,24 Sebelum melakukan pengukuran tingkat halitosis dengan metode organoleptik, pasien terlebih dahulu diinstruksikan untuk tidak mengonsumsi antibiotik 3 minggu sebelum prosedur. Pasien juga harus diinstruksikan untuk menahan diri dari mengonsumsi bawang putih, bawang merah dan makanan pedas selama 48 jam sebelum pengukuran. 23,24 Beberapa persyaratan lainnya termasuk menghindari penggunaan parfum dan deodoran selama 24 jam sebelum pengukuran, tidak merokok dan mengonsumsi alkohol, kopi, teh atau jus 12 jam sebelum prosedur. Pasien juga harus bersedia untuk tidak menggunakan penyegar nafas dan mulut 12 jam sebelum pengukuran. 9,17,23,24 Pengukuran halitosis dengan menggunakan metode organoleptik dilakukan dengan cara memasukkan sebuah tabung transparan berdiameter 2,5 cm dan panjang 10cm kedalam mulut pasien dan menginstruksikan untuk menghembuskan nafas secara perlahan kedalam tabung (Gambar 2). Setelah itu di evaluasi dan di berikan skor sesuai dengan skala pengukuran organoleptik (Tabel 1). 23 Gambar 2. Metode organoleptik 25

13 Tabel 1. Skala pengukuran organoleptik 25 Kategori Deskripsi 0 : Tidak ada halitosis Bau tidak terdeteksi 1 : Ada sedikit halitosis yang sulit terdeteksi Bau terdeteksi, meskipun pemeriksa tidak mengenalinya sebagai halitosis 2 : Ada sedikit halitosis Bau terdeteksi sebagai sedikit halitosis 3 : Halitosis sedang Bau terdeteksi sebagai halitosis pasti 4 : Halitosis kuat (bau mulut yang menyengat) 5 : Halitosis ekstrim (bau mulut yang sangat menyengat) Bau dapat terdeteksi jelas tetapi masih dapat ditoleransi oleh pemeriksa Bau terdeteksi dengan sangat jelas dan tidak dapat ditoleransi oleh pemeriksa Jika memungkinkan, untuk mendapatkan diagnosis yang lebih akurat pengukuran halitosis dapat dilakukan kembali pada dua atau tiga hari berikutnya. Hal ini penting dilakukan, terutama bila pada pemeriksaan diduga adanya pseudo halitosis atau halitipobia. 23 2.1.4.1.2 Gas Kromatografi Gas kromatografi adalah metode yang tepat dalam pengukuran gas. Alat ini dilengkapi dengan detektor fotometri khusus untuk medeteksi gas sulfur di dalam rongga mulut. Metode ini dianggap sebagai metode terbaik untuk mengukur tingkat halitosis yang dikarenakan Volatile Sulphur Compounds (VSCs). 15 Metode gas kromatografi sangat sensitif dan spesifik dengan deteksi fotometri yang telah diadaptasi untuk pengukuran langsung dari ketiga VSCs yaitu CH 3 SH, H 2 S dan (CH 3 ) 2 S. Metode ini dapat mendeteksi 90 persen VSCs dalam mulut. Selain itu, gas lain seperti kadaverin, putresin dan skatole juga dapat dideteksi. 24,26 Oral Chroma adalah salah satu gas kromatografi portable yang dapat menganalisis VSCs seperti hidrogen sulfida, metal marcaptan dan dimetil sulfida dengan menampilkan konsentrasi senyawa tersebut pada layar (Gambar 3). 10,24

14 Gambar 3. Oral Chroma 10 Langkah dasar menggunakan Oral Chroma sebagai berikut : 10 1. Sebuah jarum plastik dimasukkan ke dalam rongga mulut dan ditempatkan di antara bibir, jangan sampai menyentuh lidah. Kemudian plunger ditarik secara perlahan, lalu didorong kembali dan tarik plunger untuk kedua kalinya sebelum jarum ditarik keluar dari mulut. 2. Keringkan ujung jarum plastik apabila permukaan luarnya basah. Lekatkan jarum tersebut dan tekan plunger untuk mengeluarkan gas 0,5cc (1/2 kalibrasi). 3. Sisa gas yang ada di dalam jarum, dimasukkan ke dalam alat oral chroma dengan menekan plunger. Setelah selesai, hasil pengukuran akan keluar secara otomatis. 2.1.4.1.3 Sulphide Monitor A. Halimeter Halimeter adalah monitor gas portable menggunakan sensor elektrokimia untuk mendeteksi keberadaan VSCs di dalam rongga mulut (Gambar 4). 24 Halimeter memiliki sensitivitas tinggi terhadap hidrogen sulfida, tetapi sensitivitas rendah terhadap metil mercaptan yang merupakan kontributor yang signifikan untuk halitosis yang disebabkan oleh penyakit periodontal. 9 Makanan tertentu seperti bawang putih dan bawang merah dapat menghasilkan senyawa sulfur dalam nafas selama 48 jam sehingga dapat mengakibatkan bias pada saat pengukuran. Halimeter juga sangat

15 sensitif terhadap alkohol, sehingga harus menghindari mengonsumsi minuman beralkohol ataupun menggunakan obat kumur yang mengandung alkohol selama 12 jam sebelum pengukuran. 27 Gambar 4. Portable sulphide monitor : Halimeter (Interscan Co. Chatsworth, CA) 17 Monitor pada halimeter dilengkapi dengan sensor elektrokimia. 21,24 Halimeter perlu dikalibrasi ke nol sebelum melakukan pengukuran. 27 Pasien diinstruksikan untuk menghembuskan nafas ke dalam tabung transparan yang membawa nafas ke pompa hisap yang pada nantinya akan membawa udara ke dalam monitor. 17,24 Kemudian pasien diminta untuk menutup mulut selama 1 menit, setelah itu pasien di minta untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah. Lalu selang ditempatkan di pertengahan posterior dorsal bagian lidah dan tetap dibiarkan sampai nilai maksimum VSCs tercatat. 27 Monitor akan menganalisis total kandungan sulfur dalam nafas. 17,24 Tingkat VSCs tercatat dalam parts per billion (ppb). 27 B. Breath Checker Breath checker adalah monitor inovatif yang mendeteksi dan mengukur tingkat VSCs pada udara yang ada di dalam rongga mulut (Gambar 5). 15 Tingkat VSCs diukur dengan cara menghembuskan nafas pada alat tersebut. 28 Monitor akan menampilkan tingkat bau dalam lima tingkatan tergantung pada jumlah VSCs yang diukur dalam rongga mulut. 29

16 Gambar 5. Tanita Breath Checker 30 Tata cara pemakaian breath checker yaitu sebagai berikut: 31 1. Tarik penutup ke atas dan sensor akan menyala (Gambar 6). Nomor pada layar akan menghitung mundur 5 sampai 1. Kocok alat perlahan 4 sampai 5 kali untuk menghapus bau atau uap air yang tersisa di alat tersebut. Gambar 6. Bagian-bagian pada Breath Checker 31 2. Sensor harus sekitar 1 cm dari mulut pasien. Ibu jari menyentuh ke dagu pasien sehingga sensor tepat berada di depan mulut pasien. Ketika start di tampilkan, pasien mulai menghembuskan nafas ke arah sensor sampai terdengar bunyi bip atau sekitar 4 detik (Gambar 7).

17 3. Jika pasien berhenti menghembuskan nafas sebelum terdengar bunyi bip atau tidak menghembuskan nafas selama 6 detik, maka alat akan mati secara otomatis. Gambar 7. Penggunaan Breath Checker 32 4. Tingkat pengukuran akan muncul pada monitor (Gambar 8). Setelah selesai sensor ditutup kembali, maka alat tersebut akan mati secara otomatis. Gambar 8. Skala pengukuran pada Breath Checker 31 Pada layar monitor Breath Checker akan menunjukkan skor 0 sampai 5, yang berarti 0 (tidak ada bau mulut), 1 (adanya sedikit bau mulut), 2 (adanya bau mulut terdeteksi sedang), 3 (adanya bau mulut yang terdeteksi sangat jelas), 4 (adanya bau mulut yang terdeteksi kuat) dan 5 (adanya bau mulut yang sangat tajam). 30 Pengukuran halitosis menggunakan Breath Checker menunjukkan seseorang benar memiliki halitosis apabila pada monitor Breath Checker menunjukkan skor 2, yang berarti orang tersebut memiliki halitosis yang terdeteksi jelas. 7,29

18 2.1.4.2 Metode Tidak Langsung 2.1.4.2.1 Tes BANA Tes BANA adalah uji berbasis enzim yang digunakan untuk menentukan aktivitas proteolitik oral anaerob tertentu yang berkontribusi terhadap halitosis dan dianggap sebagai produsen H 2 SO 4 aktif. 15 Tes ini adalah tes strip yang terdiri dari benzoil-dl-argini-anaphthylamide yang mendeteksi asam lemak dan gram negatif anaerob obligat proteolitik, yang menghidrolisis substrat tripsin sintetis dan menyebabkan halitosis (Gambar 9). Dengan menggunakan tes BANA, tidak hanya dapat mendeteksi halitosis tetapi juga menjadi penilaian risiko periodontal. 33 Gambar 9. BANA test 34 Pada tes BANA dengan uji strip plastik terdapat dua reagen matriks terpisah: 35 1. Semakin rendah reagen putih matriks diresapi dengan N-benzoyl- DL-arginin-B-napthylamide (BANA). Sampel plak subgingiva diterapkan matriks yang lebih rendah ini. 2. Matriks reagen atas berisi reagen diazo kromogenik, yang bereaksi dengan produk hidrolitik dari reaksi enzim membentuk warna biru. Warna biru muncul dalam buff matriks atas dan bersifat permanen. Intensitas warna menentukan apakah itu adalah reaksi positif atau lemah.

19 2.1.5 Penatalaksanaan Sebelum pengobatan diberikan, etiologi halitosis harus teridentifikasi terlebih dahulu sehingga pengobatan sesuai dengan sumber yang ditujukan. 11 Oleh karena itu, langkah pertama adalah menentukan diagnosis yang tepat dengan mengidentifikasi etiologi dan sebagian besar etiologinya berasal dari dalam rongga mulut. 1 Dalam praktek dokter gigi, kebutuhan pengobatan untuk halitosis terbagi menjadi 5 kategori (Tabel 2) untuk memberikan pedoman dalam mengobati pasien halitosis. Pedoman ini berkaitan langsung dengan diagnosis awal halitosis. 9 Tabel 2. Treatment needs (TN) for breath malodor 21 Kategori Deskripsi TN-1 Penjelasan halitosis dan instruksi untuk kesehatan mulut (dukungan dan penguatan perawatan diri pasien sendiri untuk perbaikan lebih lanjut dari kebersihan mulut mereka) TN-2 Oral profilaksis, pembersihan dan perawatan profesional untuk penyakit mulut, penyakit periodontal khususnya. TN-3 Rujukan ke dokter atau dokter spesialis. TN-4 Penjelasan data pemeriksaan, instruksi lanjut dari tenaga profesional, edukasi dan jaminan. TN-5 Rujukan ke psikolog klinis,psikiater atau lainnya spesialis psikologis. Treatment needs (TN) halitosis dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi halitosis (Tabel 3). Pengobatan halitosis fisiologis (TN-1), halitosis patologis (TN-1 dan TN-2) dan pseudo halitosis (TN-1 dan TN-4) menjadi tanggung jawab dokter gigi. Namun, pengobatan halitosis patologis eksrtra oral (TN-3) atau halitophobia (TN5) menjadi tanggung jawab seorang dokter spesialis seperti psikiater atau psikolog. 9,22

20 Tabel 3. Klasifikasi halitosis dengan treatment needs (TN) 21 Klasifikasi Treatment needs 1. Genuine halitosis A. Halitosis fisiologis TN-1 B. Halitosis patologis i. Oral TN-1 dan TN-2 ii. Ekstra oral TN-1 dan TN-3 2. Pseudo halitosis TN-1 dan TN-4 3. Halitophobia TN-1 dan TN-5

21 2.2 Kerangka Teori Faktor Patologis Faktor Fisiologis Intra Oral Ekstra Oral Volatile Sulphur Compounds Genuine Halitosis Pseudo Halitosis Halitophobia Penatalaksanaan berdasarkan Treatment Needs

22 2.3 Kerangka Konsep Pasien RSGM USU Faktor penyebab : *Fisiologis *Patologis : - Intra Oral -Ekstra Oral HALITOSIS