BAB II KAJIAN TEORITIS. II.1 Dinamika Konversi Lahan Dalam Perkembangan Kota

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB VII PEMBAHASAN ATAS HASIL ANALISIS KEBIJAKAN. VII.1 Pembahasan Hasil Analisis Kebijakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir

BAB V MODEL DINAMIKA KOTA TANGERANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Perubahan Fungsi Lahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

DINAMIKA LAHAN PERTANIAN DALAM PEREKONOMIAN KOTA TANGERANG : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

ISSN DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

II. LANDASAN TEORI. A. Alih Fungsi Lahan. kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi.

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

1.1 Latar Belakang Hasalah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI PENGADAAN RUMAH SWADAYA OLEH MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH DI KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

Tahun Penduduk menurut Kecamatan dan Agama Kabupaten Jeneponto

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian telah. masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PERMEN/M/2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

I. PENDAHULUAN. Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, menyatakan bahwa. bersama akan maksimal, dengan demikian kemakmuran sebuah bangsa dapat

I. PENDAHULUAN. Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, persaingan yang kuat di pusat kota, terutama di kawasan yang paling

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

I. PENDAHULUAN. komunitas mengubah ekosistem hutan atau lahan kering menjadi sawah adalah

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

MODEL DINAMIS BANGKITAN DAN TARIKAN PERGERAKAN BERDASARKAN PERKEMBANGAN GUNA LAHAN (STUDI KASUS KOTA SEMARANG) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang

PENDAHULUAN ,87 Milyar atau senilai 14,99 % dari Produk Domestik Bruto

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

Pemahaman atas pentingnya Manual Penyusunan RP4D Kabupaten menjadi pengantar dari Buku II - Manual Penyusunan RP4D, untuk memberikan pemahaman awal

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertanian adalah suatu usaha untuk menghimpun pabrik-pabrik alami biologis

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Transkripsi:

BAB II KAJIAN TEORITIS II.1 Dinamika Konversi Lahan Dalam Perkembangan Kota Pengertian konversi, alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Namun, sebagai suatu terminologi dalam kajian-kajian Land Economics, pengertiannya terutama difokuskan pada proses dialihgunakannya lahan dari lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian. Proses konversi ini melibatkan, baik reorganisasi struktur fisik kota secara internal maupun ekspansinya ke arah luar (Pierce, John T., 1981). Menurut Arief Budiman (1995) bahwa proses pembangunan saat ini seringkali menimbulkan kontradiksi antara kepentingan pemanfaatan lahan untuk sektor industri dengan sektor pertanian, terlebih untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan memperlancar investasi disektor industri dan non pertanian lainnya dalam rangka lepas landas untuk mengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Pembangunan merupakan upaya memajukan dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, yang keberhasilannya sangat ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, azas keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Pembangunan yang berhasil memiliki unsur-unsur pertumbuhan ekonomi serta berkesinambungan, yaitu tidak terjadinya kerusakan sosial maupun kelestarian alam. Menurut Sasmojo (1995:1-1) menjelaskan bahwa akan selalu terjadi proses perubahan, baik dengan sendirinya maupun atas perubahan yang diinginkan (desired). Oleh karena itu, pembangunan adalah suatu proses (fenomena) perubahan. Pada umumnya perubahan terjadi karena adanya intervensi. Dalam pembangunan suatu masyarakat bangsa, dengan merujuk kepada keinginan-keinginan yang disepakati masyarakat bangsa tersebut, dilakukan intervensi ke berbagai bidang agar tujuan yang disepakati dapat tercapai. 17

Seiring dengan proses pembangunan di Indonesia, masalah ketersediaan sumber daya lahan makin terbatas saja. Prioritas kebijakan pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan investasi justru makin memacu proses industrialisasi dan memarjinalkan sektor pertanian. Karena ada anggapan pembangunan sektor industri lebih menguntungkan untuk berinvestasi dan memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat, sehingga pembangunan sektor pertanian terabaikan dan dianggap sektor yang inferior yang kurang menguntungkan. Saat ini, pembangunan di sektor industri mengurangi lahan pertanian dan mendesak lahan perdesaan maupun di pinggiran perkotaan dikonversi untuk sektor nonpertanian. Laju konversi lahan pertanian dan ladang menjadi lahan untuk kegiatan industri sekitar 60% yang terjadi di Indonesia. Di Kota Tangerang tahun 2000-2005 laju konversi mencapai sekitar 50% dari total konversi 70% di provinsi Banten. Pertumbuhan ekonomi sangat diperlukan sebagai konsekuensi dari semakin meningkatnya jumlah penduduk dan standar hidup masyarakat. Meningkatnya jumlah penduduk berakibat meluasnya lahan permukiman dan lahan kegiatan ekonomi. Aktivitas pertumbuhan ekonomi pun mempengaruhi pergeseran struktur penggunaan lahan. Pergeseran struktur penggunaan lahan yang ideal adalah pergeseran struktur penggunaan lahan yang sejalan dengan pergeseran struktur perekonomian. Namun yang menjadi persoalan nyata bahwa ketersediaan sumber daya lahan bersifat tetap, sehingga akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan. Meningkatnya pertumbuhan industri mendorong jumlah orang yang terserap menjadi tenaga kerja (karyawan), sehingga mendorong pula tumbuhnya permukiman baru dan berbagai layanan jasa di kawasan sekitarnya. Kondisi inilah yang menjadi faktor dorongan terjadinya konversi lahan pertanian di wilayah/kawasan tersebut. Faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan jenis penggunaan lahan ditinjau dari aspek sosial ekonomi penduduk antara lain : lokasi tempat tinggal penduduk, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan/ pendapatan, luas kepemilikan lahan, dan mata pencaharian (Alamsyah, 1995). 18

Perubahan pemanfaatan lahan yang merupakan akibat dari perubahan fungsi ruang kota, salah satunya adalah perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian yang berciri sebagai lahan perkotaan, seperti : jaringan jalan, kawasan perdagangan, kawasan insdustri maupun perumahan (Yeates, 1998). Menurut Yunus (2000), kota selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, baik menyangkut aspek politik, sosial, budaya, ekonomi, teknologi, maupun fisik. Untuk aspek yang berkaitan langsung dengan penggunaan lahan adalah perkembangan fisik, khususnya perubahan arealnya. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya kebutuhan dan kegiatan dalam segala aspek kehidupan manusia, pada gilirannya mengakibatkan meningkatnya ruang yang besar pula. Di satu sisi ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, sedangkan di sisi kebutuhan akan ruang selalu meningkat, maka penyediaan ruang tersebut selalu mengambil ruang di daerah pinggiran kota., terutama areal lahan pertanian. Sementara perkembangan kota-kota di Indonesia pada dekade1980-an sangat dipengaruhi oleh perkembangan kebijakan-kebijakan deregulasi, debirokratisasi dan desentralisasi (Anwar, 1994). Kebijakan tersebut telah menyebabkan terjadinya perkembangan yang sangat pesat pada sektor riil seperti industri, perdagangan, pariwisata, dan perhubungan yang umumnya sangat berorientasi lokasi di kota-kota metropolitan, kota besar dan menengah yang mempunyai tingkat pelayanan jasa yang lebih tinggi. II.2 Komponen-komponen Dinamika Perkotaan Komponen-komponen perkotaan yang saling berinteraksi secara dinamis dalam menggambarkan pola perkembangan suatu kota dalam lingkup metropolitan menurut Study on new and imroved techniques for Spatial Planning in metropolitan areas tahun 2002, Model Dinamika Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil, dapat dikelompokkan sebagai berikut. 19

a. Penduduk dan Tenaga Kerja Penduduk merupakan komponen penting yang harus dipertimbangkan dalam kegiatan pembangunan kota. Rencana pembangunan kota harus dapat mengakomodasi kebutuhan penduduk kota, dan realisasi pembangunan kota hendaknya dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan seluruh penduduk kota. Jumlah penduduk perkotaan cenderung bertambah seiring dengan berjalannya waktu, sementara ketersediaan lahan kota cenderung tetap. Pertumbuhan penduduk, selain dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan alami (kelahiran dan kematian), dipengaruhi pula oleh faktor migrasi. Faktor migrasi ini dipengaruhi oleh daya tarik kota, semakin kuat daya tarik yang ditawarkan suatu kota akan semakin banyak penduduk yang datang untuk bermukim, demikian pula sebaliknya. Penduduk sangat terkait dengan tenaga kerja, dan tenaga kerja berkaitan erat dengan faktor ketersediaan kesempatan kerja. Kesempatan kerja merupakan salah satu faktor yang menjadi daya tarik bagi penduduk untuk pindah dan bermukim di suatu kota. Semakin tinggi tenaga kerja yang dapat terserap, artinya semakin rendahnya tingkat pengangguran yang terjadi, akan menyebabkan semakin tingginya tingkat migrasi masuk, demikian pula sebaliknya. b. Urbanisasi dan perekonomian kota Urbanisasi terjadi karena adanya ketimpangan yang sangat jauh antara daerah perkotaan dengan daerah non perkotaan, di mana terjadi pemusatan berbagai jenis fasilitas di daerah perkotaan. Ketersediaan berbagai sarana, prasarana dan fasilitas kehidupan ini mendorong banyak orang untuk berimigrasi dari daerah non perkotaan ke daerah perkotaan. Sebagai akibatnya terjadi peningkatan kepadatan penduduk di daerah-daerah tertentu perkotaan. Terdapat kaitan yang erat antara tingkat perkembangan perekonomian negara dengan tingkat urbanisasi (Study on new and imroved techniques for Spatial Planning in metropolitan areas tahun 2002, Model Dinamika Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil, dari World Bank, 1998). Tingkat urbanisasi naik bersamaan dengan naiknya income dan berpindahnya sumberdaya 20

andalan dari pertanian di pedesaan ke sektor industri dan jasa di perkotaan. Tingkat urbanisasi yang tinggi terjadi pada saat perekonomian negara bergerak dari kategori negara miskin menjadi kategori negara berpenghasilan menengah. Kesimpulan ini terbukti dalam grafik trend line fungsi antara PDRB perkapita dengan persentase jumlah penduduk negara yang tinggal di perkotaan.. Di negara maju, tingkat perkembangan urbanisasi relatif sama atau sedikit lebih rendah dibandingkan laju perekonomian negara; sedangkan di negara sedang berkembang, laju urbanisasi lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi (Study on new and imroved techniques for Spatial Planning in metropolitan areas tahun 2002, Model Dinamika Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil, dari World Bank, 1998). c. Perumahan Hasil penelitian di negara maju maupun sedang berkembang menunjukkan bahwa makin tinggi rata-rata pendapatan penduduk kota, maka makin tinggi proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk perumahan. (Study on new and imroved techniques for Spatial Planning in metropolitan areas tahun 2002, Model Dinamika Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil, Mayo et, al, 1986, Malpezzl & Mayo, 1987). Dalam jargon ekonomi, dikatakan bahwa permintaan akan perumahan tidak elastis terhadap tingkat penghasil pada suatu waktu, tetapi elastis terhadap waktu seiring dengan kenaikan pendapatan. Ketsersediaan lahan perumahan merupakan salah satu faktor yang menjadi daya tarik suatu kota. Semakin banyak ketersediaan lahan perumahan akan semakin besar ketertarikan terhadap kota tersebut. d. Industri Pertumbuhan industri juga merupakan salah satu daya tarik kota, karena pertumbuhan industri berarti pula pertumbuhan kesempatan kerja, sehingga menarik bagi penduduk pedalaman/pinggiran untuk berurbanisasi. Industri cenderung mengambil tempat di perkotaan karena adanya efisiensi skala ekonomi produksi yang diperoleh dari murahnya biaya transportasi karena adanya : - Aglomerasi dengan kegiatan lain, pelabuhan dan bandara - Eksternalitas antara perusahaan (penggunaan informasi bersama, aglomerasi 21

produk antara) - Ketersediaan infrastruktur Di negara sedang berkembang, pertumbuhan kesempatan kerja di bidang industri benar-benar menunjukkan gejala desentralisasi (K.S. Lee,1989, Lee dan Choe,1989, Y.J. Lee, 1985, Hamer,1985). Hal ini disebabkan karena pada saat industri di negara sedang berkembang sampai pada saat untuk melakukan pemekaran, sudah tidak dijumpai lahan dalam kota, jumlah yang mencukupi, sehingga keputusan untuk melakukan relokasi lebih ekonomis. Di samping itu berkembangnya konsep dekonsentrasi planologis merupakan usaha yang diarahkan untuk menyebarkan kegiatan yang telah beraglomerasi ke luar kota sehingga dapat digantikan oleh kegiatan perkotaan yang lebih produktif. Sedangkan di Amerika serikat diteliti bahwa industri tertarik untuk memilih lokasi di luar kota karena adanya fasilitas jalan bebas hambatan, fasilitas airport dan sebagainya, dan bukan karena adanya pemusatan kegiatan (Skhla dan Wadel, 1991). e. Lahan Sebagai implikasi dari perkembangan komponen-komponen perkotaan di atas serta perkembangan interaksi yang terjadi diantara komponen-komponen tersebut terhadap ruang perkotaan adalah terjadinya alih fungsi lahan. Alihfungsi lahan ini tertutama terjadi pada lahan-lahan pertanian dan lahan belum terpakai menjadi lahan kegiatan perkotaan (perumahan, jasa perdagangan, industri, transportasi, dan sebagainya). Semakin berkembang suatu kota, maka terjadi pula alihfungsi lahan perkotaan dengan intensitas kegiatan rendah menjadi lahan kegiatan perkotaan dengan intensitas yang relatif lebih tinggi, misalnya lahan lahan pertanian atau belum terpakai menjadi lahan perumahan, lahan industri, lahan jasa dan perdagangan. Lahan perumahan berubah menjadi lahan jasa dan perdagangan, lahan industri, dan sebagainya. Perubahan intensitas penggunaan lahan tersebut merupakan dampak dari meningkatnya jumlah penduduk karena daya tarik kota sehingga tertarik untuk migrasi masuk ke kota tersebut. Akibatnya pada harga lahan semakin meningkat relatif menjadi tinggi di kawasan tersebut. Pertumbuhan ekonomi suatu kota yang semakin berkembang dan maju mendorong migrasi masuk dan berpengaruh terhadap perubahan fungsi lahannya. 22

Keterkaitan yang terjadi diantara 5 (lima) komponen tersebut di atas, akan menjadi bahan pertimbangan dalam membangun model/sub model dinamika lahan pertanian dalam perekonomian kota Tangerang. II.3 Peraturan Perundang-undangan Terkait Untuk Tetap Mempertahankan Keberadaan Lahan Pertanian Kegiatan konversi lahan, terutama yang beririgasi teknis / semi teknis, telah menimbulkan kerugian hilangnya produksi padi serta kerugian prasarana irigasi yang sudah dibangun dan tidak dimanfaatkan atau kehilangan investasi yang telah ditanam. Dalam konteks inilah, maka perlu ditetapkan kebijaksanaan untuk mencegah atau mengendalikan konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Dalam Keputusan Presiden No. 53 tahun 1989 tentang kawasan industri pada pasal 7, dinyatakan bahwa pembangunan kawasan industri tidak boleh mengurangi areal tanah pertanian dan tidak dilakukan di atas tanah yang memiliki fungsi utama untuk melindungi sumber daya alam dan warisan budaya. Keputusan Presiden ini telah disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 98 tahun 1993, kemudian disempurnakan lagi dengan Keputusan Presiden No. 41 tahun 1996 mengenai larangan secara tegas agar tidak mempergunakan lahan pertanian untuk pembangunan kawasan industri. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2007 menyatakan bahwa Tata Ruang Hijau Perkotaan di dalamnya termasuk unsur lahan pertanian perkotaan. Lebih lanjut ditegaskan dalam Keputusan Presiden No. 33 tahun 1990 bahwa pencadangan tanah dan/atau pemberian ijin pembebasan tanah bagi setiap perusahaan kawasan industri dilakukan dengan ketentuan antara lain : Tidak mengurangi areal pertanian Tidak dilakukan di atas tanah yang mempunyai fungsi utama untuk melindungi sumber daya alam dan warisan budaya Sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Bagi Pemerintah Daerah adalah hal yang dilematis antara memacu pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan memberikan kemudahan untuk memberikan ijin lokasi 23

bagi pembangunan kawasan industri dengan tujuan untuk mempertahankan keberadaan kawasan pertanian produktif. Berdasarkan kondisi inilah diperlukan kebijakan yang lebih operasional untuk dapat mencegah dan/atau mengendalikan konversi lahan pertanian Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 1 Tahun 2007 mensyaratkan adanya ketersediaan lahan pertanian perkotaan dalam Ruang Terbuka Hijau di Perkotaan. Dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pada pasal 48 menyatakan bahwa penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan untuk : (a) pemberdayaan masyarakat perdesaan, (b) pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah pendukungnya, (c) konservasi sumber daya alam, (d), pelestarian warisan budaya lokal, (e) pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan, dan (f) penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan. Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan diatur dengan Undang-Undang (sampai dengan saat penulisan tesis masih dalam proses pembahasan di DPR). Impelementasi Undang-Undang Penataan Ruang ini khususnya pernyataan pasal 50 belum ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah Tingkat Kabupaten/Kota agar terjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang antara lain terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan dan akibat pemanfaatan ruang, melalui kegiatan pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang pada tingkat kecamatan. Kebijaksanaan terakhir menyangkut pengendalian konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian tertuang dalam Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam rangka pelaksanaan Pakto-23, yang menyatakan larangan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya untuk mengeluarkan izin lokasi sawah irigasi teknis bagi keperluan non-pertanian, walaupun menurut Rencana Tata Ruang Wilayah diperuntukan bagi non pertanian. 24

Pencegahan dan/atau pengendalian konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian cukup dapat dilakukan secara dini melalui mekanisme izin lokasi. Di mana izin lokasi merupakan izin yang diberikan kepada perusahaan (investor/private) untuk memperoleh tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak. Ditinjau dari prosedurnya, izin lokasi diputuskan melalui pembahasan antar instansi/sektor terkait sehingga diharapkan dapat dicapai koordinasi lintas sektoral dan sinkronisasi dalam pencapaian sasaran pembangunan, dengan mempertimbangkan aspek-aspek (Baryadi, 1996) : Kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah atau rencana lainnya sebagai pedoman/arahan pembangunan Tidak menggunakan tanah produktif untuk pertanian (sawah) Dihindari pemindahan penduduk Kemungkinan terjadinya tumpang tindih Kepastian lokasi dan luas tanah yang dapat diberikan Status penguasan tanah yang dimohon. Berdasarkan konteks tersebut di atas, konversi lahan sawah beririgasi teknis/semi teknis secara dini sebenarnya dapat dicegah pada tahap pemberian izin lokasi. Memang, hambatan dalam kondisi nyata, implementasinya seringkali tidak berjalan semestinya. II.4 Manfaat Keberadaan Lahan Pertanian Berbagai klasifikasi manfaat yang dapat diperoleh masyarakat dari keberadaan lahan pertanian misalnya dapat dilihat di dalam buku Munasinghe (1992), Callaghan (1992), Sogo Kenkyu (1998), dan Yoshida (1994). Rincian manfaat yang dikemukakan oleh para penulis tersebut dapat berbeda satu sama lain, tetapi secara umum mereka membagi manfaat lahan pertanian dalam beberapa kategori. Namun secara garis besar dibagi ata 2 (dua) kategori, yaitu : pertama, use values atau nilai penggunaan yang dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usaha tani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. Kedua, non-use values yang dapat pula disebut sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan, yaitu berbagai manfaat yang tercipta 25

dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik lahan. Salah satu contohnya adalah terpeliharanya keragaman biologis atau keberadaan species tertentu, yang pada saat ini belum diketahui manfaatnya, tapi di masa yang akan datang mungkin akan sangat berguna memenuhi kebutuhan manusia. Kategori manfaat nilai penggunaan (use values) dibedakan atas manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat Langsung yang diperoleh dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan pada lahan pertanian berupa : 1) Output yang dapat dipasarkan atau marketed output, yaitu berbagai jenis barang yang nilainya dapat terukur secara empirik dan diekspresikan dalam harga output. Contoh jenis manfaat ini adalah berbagai produk pertanian yang dihasilkan dari kegiatan eksploitasi termasuk daun, jerami, dan kayu yang dapat dimanfaatkan sebagai Biomass. Jenis manfaat ini bersifat individual, artinya manfaat legal hanya diperoleh oleh para pemilik lahan. 2) Manfaat yang nilainya tidak terukur secara empirik atau harganya tidak dapat ditentukan secara eksplisit (unpriced benefit). Jenis manfaat ini tidak hanya dapat dinikmati oleh pemilik lahan, tetapi dapat pula dimiliki oleh masyarakat luas (komunal). Contohnya adalah tersedianya lahan pangan, sarana rekreasi, wahana bagi berkembangnya tradisi dan budaya lingkungan alami perdesaan dan tersedianya lapangan pekerjaan di sektor pertanian yang seringkali menimbulkan berbagai masalah sosial di perkotaaan. Sedangkan manfaat tidak langsung dari keberadaan lahan pertanian umumnya lebih terkait dengan aspek lingkungan. Yoshida (1994) dan Sogo Kenkyu (1998) menyatakan bahwa keberadaan lahan pertanian dari aspek lingkungan dapat memberikan 5 (lima) jenis manfaat, yaitu : 1) Mencegah terjadinya banjir, 2) Sebagai pengendali keseimbangan tata air, 3) Mencegah terjadinya erosi, 4) Mengurangi pencemaran lingkungan dari limbah rumah tangga, 5) Mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. 26

Seluruh jenis manfaat tersebut bersifat komunal dengan cakupan masyarakat yang lebih luas, karena masalah yang ditimbulkan dapat bersifat lintas daerah. Konversi lahan pertanian di wilayah kota dan kabupaten Tangerang dapat berakibat pada persoalan di wilayah Jakarta, sedangkan masalah yang timbul di wilayah kota itu sendiri adalah meningkatnya jumlah penduduk dan persoalan sosial ekonomi dan lingkungannya. II.5 Kebijakan Efisiensi Lahan Permukiman Setiap tahun terjadi penambahan kebutuhan rumah akibat penambahan keluarga baru rata-rata sekitar 820.000 unit rumah. Hal ini dampak dari pesatnya urbanisasi di kota-kota besar dan metropolitan telah menyebabkan permasalahan ketersediaan bagi perumahan. Akibat langka dan makin mahalnya tanah bangunan untuk pembangunan perumahan baru. Keadaan ini menimbulkan ketidakteraturan penataan ruang dan kawasan. Sesuai landasan hukum penyusunan kebijakan dan rencana strategis pembangunan rumah susun di kawasan yaitu Undang-undang No.16 tahun 1985 tentang rumah susun dan Undang-Undang Penataan Ruang tahun 2007, serta Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka diperlukan perbandingan yang tepat meliputi luas peruntukan, kepadatan bangunan, luas satuan rumah susun. Mengacu pada Peraturan Presiden RI No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, serta Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.4 tahun 2006 tentang Rencana Strategis Kementerian Negara Perumahan Rakyat Tahun 2005-2009, maka untuk memberikan kebijakan dan rencana strategis pembangunan rumah susun di kawasan dipersyaratkan bahwa luas satuan rumah susun sebagai upaya solusi mengatasi ketersediaan lahan permukiman agar lebih efesien dan berdaya guna minimun adalah 21m2, dengan fungsi utama sebagai ruang tidur/ruang serbaguna dan dilengkapi dengan kamar mandi dan dapur. Peraturan Daerah Kota Malang No.7 Tahun 2001 tentang bangunan pada pasal 29, bahwa bentuk rumah kecil dengan kriteria ukuran 150 meter sampai dengan 300 meter persegi. Untuk bentuk rumah 27

sedang antara 300 meter sampai dengan 500 meter persegi. Kriteria ini memberikan peluang untuk rencana pembangunan rumah rusun yang bersyarat sebagai solusi pemenuhan kebutuhan rumah dengan meminimumkan luas lahan permukiman. II.6 Istilah Model Dinamika Perkotaan a. Model lahan dan Perubahannya Menurut Study on new and imroved techniques for Spatial Planning in metropolitan areas tahun 2002, Model Dinamika Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil dapat digambarkan mengenai Diagram Alir Kemungkinan Alih Fungsi Lahan di Perkotaan berikut ini. Lahan Tak Terpakai/Belum Terpakai Lahan Permukiman Lahan Industri Lahan Transportasi Lahan Pertanian Lahan Perdagangan & Jasa Gambar II.1 Diagram alir mengenai kemungkinan alih fungsi lahan di perkotaan Sumber : Hasil modifikasi sendiri dari Model Dinamika Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang Departemen Kimprawil tahun 2002 28

Keterangan Gambar II.1 : Menunjukkan laju, aliran. Garis tebal menunjukkan bahwa alih fungsi lahan tersebut sangat besar kemungkinan terjadinya. Menunjukkan laju, aliran. Garis tebal agak tipis ini menunjukkan bahwa pertambahan untuk lahan tersebut hampir selalu terjadi karena pertambahannya selalu terkait dengan perkembangan aktivitas lain. Di dalam model di atas hanya berlaku untuk lahan transportasi. Menunjukkan laju, aliran. Garis tipis menunjukkan bahwa perubahan tersebut mungkin saja terjadi, tetapi kemungkinannya sangat kecil karena kemungkinan ada hal-hal yang membatasi terjadinya peralihan tersebut. Berdasarkan gambaran umum mengenai lahan seperti yang diperlihatkan Gambar II.1 di atas, beberapa hal yang bisa diuraikan dari model tersebut sebagai berikut. 1) Bahwa Lahan Tak Terpakai/Belum Terpakai bisa bertambah atau berkurang jumlahnya dan seandainya kebijakan yang ada memungkinkan terjadinya alih fungsi lahan, maka kemungkinan terjadi adalah : a) Perubahan lahan tak/belum terpakai menjadi lahan permukiman, transportasi, industri sangat besar kemungkinan terjadinya. b) Perubahan lahan tak/belum terpakai menjadi lahan pertanian kemungkinan besar hampir selalu terjadi, meski fraksinya kecil. 2) Bahwa lahan pertanian mungkin saja bertambah dari lahan tak/belum terpakai (misalnya pemanfaatan lahan tidur menjadi perkebunan) dan selebihnya adalah kemungkinan terpakai untuk transportasi, permukiman, industri, jasa dan perdagangan. Jika kebijakannya memungkinkan, maka perubahan yang terjadi sebagai berikut : a) Perubahan lahan pertanian menjadi lahan industri dan permukiman, sangat besar kemungkinannya. b) Perubahan lahan pertanian menjadi lahan transportasi, hampir selalu dan sangat mungkin terjadi. c) Perubahan lahan pertanian secara langsung menjadi lahan jasa dan perdagangan kemungkinannya sangat kecil, karena aktivitas jasa dan perdagangan lebih banyak mengikuti pertumbuhan permukiman dan industri. Meskipun kecil, kemungkinan ini tetap ditampung dalam model, dengan pertimbangan beberapa kasus perkotaan, dijumpai adanya perubahan lahan 29

pertanian yang secara langsung digunakan untuk aktivitas jasa. 3) Lahan permukiman (urban) bisa berasal dari lahan pertanian dan lahan belum terpakai dan dipergunakan untuk industri, transportasi, dan jasa perdagangan. a) Perubahan lahan permukiman menjadi lahan transportasi hampir selalu terjadi. b) Perubahan lahan permukiman menjadi lahan industri dan lahan jasa dan perdagangan, sangat besar kemungkinan terjadi. 4) Bahwa sumber perubahan lahan industri bisa berasal dari lahan belum terpakai, permukiman dan pertanian. Kemungkinannya : a) Perubahan lahan industri menjadi lahan transport hampir selalu terjadi (unsur ini mengikuti kegiatan pertumbuhan kegiatan industri tersebut). b) Perubahan lainnya telah diuraikan sebelumnya. 5) Sumber perubahan lahan jasa dan perdagangan dapat berasal dari lahan pertanian dan lahan permukiman, sementara sumber pengurangannya adalah karena digunakan untuk lahan transportasi. a) Perubahan lahan jasa dan perdagangan menjadi lahan transport hampir selalu terjadi, sebagaimana halnya lahan industri. b) Perubahan lainnya telah diuraikan sebelumnya. 6) Sumber perubahan lahan transportasi adalah dari semua sumber lahan lainnya. Untuk tesis ini menggunakan istilah sebagai berikut. Lahan urban industri = lahan urban + lahan industri - Lahan permukiman = lahan urban - Lahan industri = lahan transportasi + lahan jasa perdagangan + lahan industri Lahan belum terpakai Lahan pertanian Lahan bandara Soekarno Hatta b. Istilah model dalam penataan ruang pada proses pengembangannya 30

Berdasarkan Buku Study on new and imroved techniques for Spatial Planning in metropolitan areas tahun 2002, Model Dinamika Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil (model system dynamics) dinyatakan bahwa dalam membahas mengenai model alih fungsi lahan digunakan beberapa istilah, pengertian dan istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak asing lagi dalam kegiatan penataan ruang, tetapi mungkin saja disebut dengan istilah yang berbeda. Berikut pengertian dari istilah yang digunakan, agar diperoleh pemahaman yang sama. 1) Alih fungsi lahan : Perubahan-perubahan yang terjadi pada pemanfaatan lahan (fungsi lahan), yang semula diperuntukan bagi suatu aktivitas tertentu kemudian pada perkembangannya dipergunakan untuk aktivitas lain (misal lahan pertanian uang berubah menjadi lahan permukiman, lahan permukiman yang berubah menjadi lahan industri, dst.). 2) Lahan : Menunjukkan besaran lahan yang terpakai/dipergunakan untuk aktivitas tertentu. Dalam model ada yang disebut sebagai lahan Belum Terpakai, Lahan Pertanian, Lahan Urban Industri (Lahan Urban atau Permukiman dan Lahan Industri atau Aktivitas Ekonomi Non Pertanian), dan Lahan Bandara Soekarno Hatta). (Luas, Ha). Istilah ini untuk menunjukkan luas lahan yang terpakai/dipergunakan dan apakah cukup untuk menampung/melakukan aktivitas yang dikehendaki dan perkembangan aktivitas, sehingga memerlukan pertambahan lahan yang mungkin berasal dari lahan lain atau justru ada lahan lain yang berkurang untuk menambah ketersediaan lahan aktivitas lain yang berkembang pesat. 3) Lahan Yang Dikehendaki : Menunjukkan besaran lahan yang direncanakan atau telah ditentukan untuk aktivitas tertentu. Dalam model misalnya, ada yang disebut dengan lahan industri yang dikehendaki, lahan urban atau permukiman yang dikehendaki, lahan urban industri yang dikehendaki.. Istilah ini juga dimaksudkan agar kita bisa mengetahui hal-hal berikut : Seberapa jauh lahan rencana telah dipergunakan sesuai peruntukkannya. Apakah lahan rencana telah terisi dengan aktivitas yang dikehendaki. Apakah ketersediaan lahan rencana masih memadai/cukup untuk menampung perkembangan aktivitas yang dialokasikan, atau sebaliknya. 31

Jika ternyata ada satu aktivitas guna lahan yang berkembang pesat (misalnya alokasi lahan industri atau urban/permukiman), sehingga memerlukan pertambahan lahan yang mungkin berasal dari lahan lain di luar alokasi lahan industri atau urban/permukiman yang telah direncanakan/ditentukan. 4) Pertambahan Lahan : Merupakan suatu rate (laju, aliran) yang menunjukkan besarnya pertambahan guna lahan tertentu, yang diambil dari guna lahan lain, atau besarnya lahan yang telah berubah fungsi. misalnya besarnya alih fungsi lahan yang terjadi pada lahan pertanian, yang dialokasikan bagi lahan permukiman, atau besarnya pertambahan lahan permukiman yang berasal dari lahan pertanian. 5) Kecukupan Lahan... : Menunjukkan ketersediaan besaran lahan apakah masih mencukupi untuk menampung perkembangan aktivitas yang dialokasikan. 6) Inmigrasi : Pertambahan penduduk yang masuk berasal dari luar wilayah yang mempengaruhi jumlah penduduk akan bertambah. 7) Outmigrasi : Penduduk yang keluar wilayah tersebut yang mempengaruhi jumlah penduduk akan berkurang. 8) Laju Pertambahan Penduduk : Menunjukkan perubahan jumlah penduduk yang dipengaruhi oleh inmigrasi, outmigrasi, tingkat kelahiran dan kematian. 9) PDRB : Menunjukkan nilai Produk Domestik Regional Bruto kota Tangerang dari 2 (dua) sektor yakni sektor non pertanian dan sektor pertanian. Pada model nilai tersebut diperoleh dari hasil perkalian antara output dengan rasio nilai tambah terhadap output masing-masing sektor tersebut. Dalam tesis ini PDRB diperoleh dari hasil perkalian antara output dengan rasio nilai tambah terhadap output sektor non pertanian dan sektor pertanian 10) PDRB Perkapita : Merupakan pembagian antara nilai PDRB suatu kota dengan jumlah penduduknya. 11) PDRB Non Pertanian : Merupakan pembagian antara nilai PDRB Non Pertanian dengan jumlah tenaga kerja non pertaniannya. 12) PDRB Pertanian : Merupakan pembagian antara nilai PDRB Pertanian dengan 32

jumlah tenaga kerja pertaniannya. 13) Output : Diperoleh dari hasil pembagian kapital dengan KOR (Kapital Output Rasio) sektor non pertanian. Sedangkan untuk sektor pertanian dihitung berdasarkan dari produktivitas lahan pertanian dikalikan dengan lahan pertaniannya. 14) KOR : Menunjukkan Kapital Output Rasio yang merupakan sebuah ukuran yang menunjukkan besarnya kapital yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat output tertentu. 15) Rasio...Nilai Tambah Terhadap Output : Menunjukkan perbandingan antara nilai tambah bruto terhadap output masing-masing sektor. 16) Produktivitas : Menunjukkan Output yang dihasilkan per tenaga kerja. Produktivitas dalam model dibuat pada sektor pertanian yang didasarkan pada produktivitas lahan (output per hektar lahan) 17) Fraksi : Menunjukkan besarnya prosentase suatu hal. Misalnya fraksi kelahiran, fraksi inmigrasi, fraksi outmigrasi. 18) Waktu Konversi Lahan : Adalah suatu konstanta berupa satuan waktu yang menunjukkan berapa lama suatu proses konversi (alihfungs lahan) terjadi. 19) Waktu Pentahapan : Adalah suatu konstanta berupa satuan waktu yang diperlukan untuk melakukan pentahapan suatu keadaan (actual) menuju keadaan yang diinginkan (desired). 20) Waktu Trend (Wkt Trend...) : Adalah suatu konstanta berupa satuan waktu yang dibutuhkan untuk membuat trend keadaan suatu variabel. Misalnya waktu trend tenaga kerja menunjukkan trend tenaga kerja setiap dua tahun. 21) Waktu Prakiraan Naker : Adalah suatu konstanta berupa satuan waktu yang dibutuhkan untuk memperkirakan keadaan jumlah tenaga kerja. Menunjukkan jumlah tenaga kerja diprakirakan setiap dua tahun. 22) Waktu Rata-Rata : Adalah suatu konstanta berupa satuan waktu yang dibutuhkan untuk membuat rata-rata keadaan suatu variabel. Misalnya Waktu Rata-Rata Non Pertanian menunjukkan Sektor Non Pertanian dirata-ratakan 33

setiap dua tahun. 23) Lahan... Awal : Untuk menunjukkan berapa luasan lahan awal pada waktu dilakukan simulasi atau lahan historis pada tahun awal dilakukan penelitian. 24) (...) Normal : Beberapa istilah dalam model, disambungkan dengan kata normal, misalnya Fraksi Inmigrasi Normal. Kata Normal digunakan untuk menjelaskan berapa besar jumlah orang/jiwa yang layak/lazim/memenuhi syarat (wajar). Untuk membandingkan antara inmigrasi yang terjadi dengan besaran inmigrasi yang normalnya (wajar). 25) Rasio : Adalah suatu ukuran perbandingan antara satu variabel terhadap variabel lainnya atau menunjukkan prosentase suatu variabel terhadap variabel lainnya. 26) Efek : Menunjukkan besarnya suatu pengaruh terhadap suatu variabel. Ukuran efek dalam model ditentukan oleh suatu rasio atau perbandingan antara satu variabel dengan variabel lainnnya, yang digambarkan dalam bentuk grafik atau fungsi tabel. 27) Standar (Std...) : Adalah konstanta yang menujukkan ukuran standar suatu variabel yang ditentukan berdasarkan ketentuan-ketentuan (standar-standar) dalam penataan ruang. Misalnya Standar Lahan Industri Awal adalah ukuran yang menunjukkan standar luasan lahan industri awal/batasan tahun pertama dilakukan simulasi (tahun awal dilakukan penelitian) untuk setiap tenaga kerja. Standar Lahan Urban Awal menunjukkan ukuran yang menunjukkan standar luasan lahan awal permukiman / urban untuk setiap penduduk. 34