1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan dinilai sangat penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara (World Bank, 1980; Barro, 1998; Barro dan Sala-i-Martin, 2004). Beberapa peneliti terdahulu banyak yang telah membuktikan pentingnya pendidikan bagi masyarakat di antaranya berkaitan dengan pengurangan kemiskinan, peningkatan status kesehatan, peningkatan partisipasi sosial dan politik, dan sebagainya (Stromquist, 1989; Ross dan Wu, 1995; Hill dan King, 1991). Becker (1964) dalam studinya Human Capital, bahkan menyebutkan bahwa pendidikan menjadi salah satu bentuk investasi. Pendidikan dikatakan dapat mempengaruhi pendapatan seseorang dimasa yang akan datang dan dipercaya menjadi kunci dari suatu pembangunan ekonomi (Vos, 1996). Pendidikan memiliki peran dalam menanggulangi kemiskinan melalui peningkatan pendapatan, peningkatan kesehatan dan nutrisi, dan menurunkan jumlah anggota keluarga (World Bank, 1980). Ross dan Wu (1995) membuktikan pula bahwa pendidikan dan kesehatan memiliki hubungan positif dan signifikan. Pendidikan dapat meningkatkan kesehatan secara langsung dan tidak langsung melalui pekerjaan, kondisi ekonomi yang lebih baik, sumber daya fisik dan psikis yang lebih baik serta melalui gaya hidup yang lebih sehat. Selain itu pendidikan juga dapat memudahkan dalam berpartisipasi di bidang sosial dan politik (Hill dan King, 1991).
2 Menyadari pentingnya pendidikan bagi suatu individu dan masyarakat, pemerintah Indonesia telah mengatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) pada pasal 31 ayat (1) dan (2) bahwa semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan serta wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib untuk membiayainya. Diamanatkan pula dalam pasal 31 ayat (4) bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Anggaran tersebut diwujudkan pemerintah di antaranya dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS), penyediaan beasiswa, rehabilitasi kelas, serta pembangunan sekolah. Dalam mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu, negara menyelenggarakan program wajib belajar untuk pendidikan dasar. Pendidikan dasar yang dimaksud terdiri dari pendidikan tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan minimal bagi warga negara Indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kewenangannya berkewajiban menyelenggarakan program wajib belajar. Hal ini ditindaklanjuti oleh seluruh pemerintah daerah dengan menuangkan program wajib belajar ke dalam rencana pembangunan jangka
3 menengah daerah (RPJMD) berikut alokasi anggarannya ke dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Beberapa indikator dapat menjadi ukuran dari tingkat kemajuan serta keberhasilan program wajib belajar yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Indikator tersebut di antaranya adalah angka partisipasi sekolah yaitu mengukur banyaknya masyarakat yang dapat diserap dalam pendidikan, serta angka putus sekolah yang menunjukkan banyaknya siswa yang tidak bersekolah lagi dengan berbagai penyebab. Namun demikian, berdasarkan berbagai studi empiris, perubahan pada kedua indikator tersebut ternyata tidak hanya didorong oleh program-progam pemerintah saja, namun juga terdapat faktor-faktor lain yang mendorong terjadinya perubahan besaran dari kedua indikator tersebut. Faktorfaktor tersebut di antaranya berasal dari lingkungan pemerintah, sekolah, rumah tangga, dan karakteristik suatu daerah (Chernichovsky and Meesook, 1985, Handa, 2002; Filmer, 2000; Dreher, et al, 2006). Beberapa studi di antaranya yaitu studi dari Filmer (2000) yang melakukan penelitian mengenai pengaruh variabel-variabel yang termasuk dalam sisi penawaran dan permintaan terhadap angka partisipasi sekolah. Studi tersebut menggunakan data dari 21 negara sedang berkembang dan ditemukan bahwa pembangunan sekolah di daerah yang belum ada sekolah, yang juga mempengaruhi adanya penurunan biaya perjalanan dan waktu tempuh ke sekolah, memang akan meningkatkan partisipasi sekolah namun pengaruhnya sangat kecil. Di samping itu, Chernichovsky dan Meesook (1985) mengaitkan hubungan antara partisipasi sekolah dengan karakteristik ekonomi dan keberadaan sekolah dengan
4 menggunakan data Susenas 1978 dan Fasdes 1976/1977. Dalam studinya ditemukan bahwa setelah tingkat sekolah dasar, partisipasi sekolah ditentukan oleh faktor-faktor demand, yaitu pendapatan rumah tangga dan sikap terhadap pendidikan, walaupun ketersediaan sekolah juga menunjukkan pengaruh yang positif. Di samping itu, Dreher, et al. (2006) menyimpulkan dari berbagai studi bahwa terdapat faktor-faktor demand dan supply yang sangat kuat mempengaruhi school attandance (partisipasi sekolah, tingkat memenuhi seluruh level pendidikan) dan school attainment (nilai ujian, tingkat melek huruf usia muda). Beberapa faktor permintaan di antaranya pendapatan per kapita (mewakili kesejahteraan rumah tangga), tingkat melek huruf usia dewasa (mewakili tingkat pendidikan orang tua), jumlah sekolah relatif, dan tingkat urbanisasi. Sedangkan dari faktor penawaran yaitu rasio guru murid, biaya pendidikan per unit, pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan. Pada studi ini akan dilakukan pengujian untuk faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi angka partisipasi sekolah, berupa angka partisipasi kasar (APK), dan angka putus sekolah (APS) di tingkat SD dan SMP. Data panel 33 provinsi di Indonesia digunakan untuk melakukan pengujian tersebut. Di samping itu, dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi APK dan APS, beberapa aspek akan diperhitungkan mulai dari aspek pemerintah (provinsi), rumah tangga, sekolah, hingga karakteristik daerah yang diduga bersama-sama mempengaruhi suatu capaian kinerja program pendidikan. Aspek-aspek tersebut diperoleh melalui studi literatur serta studi empiris sebelumnya. Dengan demikian,
5 meskipun pemerintah memiliki program wajib belajar 9 tahun yang bertujuan untuk mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu, hal tersebut bukan satu-satunya aspek yang dapat mendorong perubahan capaian pendidikan berupa APK dan APS suatu provinsi. Angka partisipasi sekolah terdiri dari 2 jenis pengukuran yaitu angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK). Perbedaan dari kedua hal tersebut yaitu bila APM mengukur perbandingan antara proporsi penduduk pada kelompok umur jenjang pendidikan tertentu yang masih bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan kelompok umurnya terhadap penduduk pada kelompok umur tersebut. Sedangkan APK mengukur proporsi penduduk pada kelompok umur jenjang pendidikan tertentu yang masih bersekolah terhadap penduduk pada kelompok umur tertentu (BPS, 2013). Dengan demikian, data APK SD merupakan data yang menghitung jumlah penduduk yang berpartisipasi tidak hanya di sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtida iyah (MI), namun juga yang berpartisipasi pada paket A yang muridnya dapat berusia di atas usia sekolah dasar. Pada studi ini data partisipasi sekolah yang digunakan adalah data APK agar mencakup secara keseluruhan penduduk yang berpartisipasi pada tingkat pendidikan dasar (SD, SMP, dan sederajat). APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan dan merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masingmasing jenjang pendidikan. APK juga merupakan salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan
6 dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. Gambar 1.1 menunjukkan data rata-rata APK SD dan SMP dari 33 provinsi di Indonesia tahun 2006 hingga 2011. Pada data tersebut menunjukkan bahwa APK SD sudah sangat tinggi dengan rata-rata seluruh provinsi yaitu 110,65 persen. Namun demikian hal tersebut menurun secara signifikan untuk APK tingkat SMP dengan rata-rata 83,3 persen. Angka APK dapat melampaui 100 persen karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan tertentu mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan tersebut. Gambar 1.1 Rata-Rata APK Tingkat SD dan SMP dari 33 Provinsi di Indonesia, 2006-2011 (persen) 120.0 110.8 113.3 112.6 111.4 112.4 103.4 APK (persen) 80.0 40.0 82.1 84.7 85.2 79.7 79.2 88.8 0.0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 SMP 82.1 84.7 85.2 79.7 79.2 88.8 SD 110.8 113.3 112.6 111.4 112.4 103.4 Sumber: www.bps.go.id Tahun Di samping itu, yang dimaksud dengan APS atau tidak bersekolah lagi adalah persentase anak menurut jenjang pendidikan tertentu yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu
7 terhadap seluruh jumlah siswa di jenjang pendidikan tertentu. APS digunakan untuk mengukur kemajuan pembangunan di bidang pendidikan dan untuk melihat keterjangkauan pendidikan maupun pemerataan pendidikan pada masing-masing jenjang pendidikan (SD dan SMP). Semakin tinggi APS menggambarkan kondisi pendidikan yang tidak baik dan tidak merata. Begitu sebaliknya jika APS semakin kecil maka kondisi pendidikan di suatu wilayah semakin baik (sirusa.bps.go.id). Gambar 1.2 berikut ini menunjukkan data rata-rata APS dari 33 provinsi di Indonesia tahun 2006 hingga 2008. Walaupun angka APS menunjukkan angka persentase yang cukup kecil, misalnya tahun 2006 rata-rata APS SD sebesar 1,6%, namun ternyata angka tersebut setara dengan rata-rata 1433 siswa dari setiap provinsi mengalami putus sekolah. Tentu saja angka yang cukup besar bagi siswa yang tidak bisa lagi melanjutkan sekolah dengan berbagai alasan. Gambar 1.2 Rata-Rata Angka Putus Sekolah Tingkat SD dan SMP dari 33 Provinsi di Indonesia, 2006-2008 (persen) 2.40% 1.60% 1.60% APS 0.80% 0.78% 0.51% 0.39% 0.33% 0.46% 0.00% 2006 2007 2008 SMP 0.39% 0.33% 0.51% SD 1.60% 0.78% 0.46% Tahun Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Beberapa studi terdahulu banyak yang telah menguji mengenai hal-hal yang mempengaruhi angka partisipasi sekolah maupun angka putus sekolah. Dari
8 sisi pemerintah, pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan ternyata memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap suatu capaian pendidikan. Pengaruh positif ditunjukkan oleh beberapa studi di antaranya oleh Guryan (2001), Dauda (2001), serta Litsching dan Morrinson (2013). Namun demikian hasil yang sebaliknya ditunjukkan dalam studi Al-Samarrai (2003) dan Rajkumar dan Swaroop (2008) bahwa terdapat hubungan yang lemah antara belanja pemerintah di bidang pendidikan dengan capaian pendidikan. Handa (2002) menyimpulkan dalam studinya, intervensi dalam hal peningkatan partisipasi sekolah di tingkat dasar merupakan suatu kebijakan pembangunan yang sangat penting, walaupun kebijakan peningkatan angka partisipasi tidak dapat langsung dilaksanakan dan akan berbeda-beda antarnegara. Di samping itu, penulis juga melakukan simulasi atas hubungan antara angka partisipasi sekolah dengan beberapa variabel independen yang dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu demand-side (berupa pendapatan rumah tangga dan tingkat melek huruf usia dewasa) dan supply-side (berupa waktu tempuh dari tempat tinggal ke sekolah dan jumlah sekolah). Hasil yang diperoleh yaitu intervensi yang berkaitan dengan peningkatan jumlah sekolah serta peningkatan angka melek huruf usia dewasa akan memberikan pengaruh yang cukup besar (sebesar 13% dan 8%) pada tingkat partisipasi sekolah daripada kebijakan yang mendorong peningkatan pendapatan rumah tangga (hanya 2%). Akses ke sekolah juga menjadi hal yang cukup penting dalam meningkatkan angka partisipasi sekolah yaitu semakin dekat suatu sekolah dengan tempat tinggal, maka angka partisipasi sekolah akan meningkat sekitar 17 hingga 20%. Kemudian interaksi
9 antara indikator supply (waktu tempuh dari tempat tinggal ke sekolah) dan karakteristik rumah tangga (pendapatan rumah tangga) menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut bersubtitusi, yaitu pembangunan sekolah di pedesaan akan meningkatkan angka partisipasi sekolah yang lebih besar bagi rumah tangga yang lebih miskin. Bommier dan Lambert (2000) juga melakukan pengujian serupa yaitu menguji hubungan antara kualitas sekolah dan biaya pendidikan terhadap angka partisipasi sekolah di Tanzania. Kualitas sekolah ternyata memiliki pengaruh yang lemah sebagai salah satu pertimbangan atas keputusan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Kemudian sudah dapat dipastikan bahwa biaya pendidikan menjadi hal yang cukup penting diperhitungkan dalam keputusan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Berkenaan dengan hal tersebut, menjadi suatu hal yang lumrah jika orang tua menyekolahkan anaknya lebih cepat ataupun lebih lama dari usia sekolah yang ditetapkan. Saat biaya pendidikan semakin tinggi, maka orang tua akan memilih untuk menunda dalam mendaftarkan anaknya ke sekolah. Namun demikian hal ini tidak terjadi bagi anak perempuan. Bahkan anak perempuan akan disekolahkan lebih cepat dari usia sekolah yang ditetapkan. Hal ini dilakukan karena return of schooling anak perempuan dewasa akan lebih rendah jika terlambat untuk sekolah. Selain itu perempuan yang berpartisipasi di sekolah lebih cepat, maka orang tuanya akan tertarik untuk secepat mungkin mempersiapkan anaknya siap masuk dalam pasar pernikahan. Di sisi lain, Rumberger (2001) menyebutkan bahwa penyebab terjadinya putus sekolah dipengaruhi oleh 2 faktor utama yaitu faktor individu dan
10 kelembagaan. Tinjauan literatur Rumberger yang dilakukan secara teoritis maupun empiris, menghasilkan kesimpulan yang mengungkapkan suatu pandangan mengenai pokok permasalahan dari putus sekolah serta solusi yang dapat dilakukan. Pertama, putus sekolah tidak hanya semata-mata hasil dari suatu kegagalan akademik saja namun juga merupakan gabungan dari permasalahan sosial dan akademik di sekolah. Kedua, permasalahan biasanya muncul pada awal tingkat pendidikan siswa, menunjukkan perlunya intervensi pada pendidikan tingkat dasar. Ketiga, permasalahan tersebut merupakan hasil dari kurangnya dukungan dan ketersediaan sumberdaya dari keluarga, sekolah dan komunitas. Maka untuk menurunkan angka putus sekolah diperlukan pendekatan yang komprehensif yaitu untuk membantu anak-anak menghadapi risiko dari permasalahan sosial dan akademis yang mereka hadapi dalam kehidupannya dan untuk membantu mengatasi risiko yang timbul dari permasalahan tersebut. Dari berbagai studi tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi APK dan APS di suatu daerah. Aspek-aspek tersebut di antaranya terdiri dari pemerintah, rumah tangga, sekolah, dan karakteristik daerah. Hal tersebut dapat digambarkan dalam gambar 3 sebagai berikut.
11 Gambar 1.3 Kerangka Aspek Penentu Capaian Pendidikan Suatu Daerah Pemerintah Sekolah Angka Partisipasi Sekolah & Angka Putus Sekolah Rumah Tangga Karakteristik Daerah Sumber: Berbagai sumber (diolah) Dilatarbelakangi oleh data serta beberapa studi empiris sebelumnya, maka studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi APK dan APS tingkat SD dan SMP. Studi ini menggunakan data panel dengan crosssection 33 propinsi di Indonesia dan time-series tahun 2006 hingga 2011 untuk variabel APK sedangkan untuk variabel APS menggunakan time-series tahun 2006 hingga 2008. Model yang diestimasi merupakan model berulang (recursive model) dengan menggunakan alat analisis ordinary least squares (OLS). Studi ini merupakan pengembangan dari studi-studi sebelumnya yaitu pengembangan berupa penggunaan variabel yang berasal dari 4 aspek yang digunakan dalam model ekonometri. Hasil studi ini diharapkan dapat memberikan analisis yang lebih lengkap dibandingkan dengan studi serupa.
12 1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan data serta studi sebelumnya sebagaimana diuraikan di latar belakang, maka pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dari studi ini di antaranya adalah: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi angka partisipasi sekolah tingkat SD? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi angka partisipasi sekolah tingkat SMP? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi angka putus sekolah tingkat SD? 4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi angka putus sekolah tingkat SMP? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi angka partisipasi sekolah tingkat SD, 2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi angka partisipasi sekolah tingkat SMP, 3. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi angka putus sekolah tingkat SD, 4. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi angka putus sekolah tingkat SMP.
13 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan suatu manfaat berupa: 1. Pembanding dari studi sejenis di masa yang akan datang, 2. Masukan atas kebijakan pendidikan bagi pemerintah pusat maupun daerah, 3. Masukan atas kebijakan pengeluaran pemerintah tidak hanya di tingkat provinsi namun juga tingkat yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan studi ini yaitu: BAB I PENDAHULUAN Berisi penjelasan singkat tentang penelitian yang akan dilakukan. Latar belakang, rumusan dan pembatasan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan akan diuraikan dalam bagian ini. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berisi uraian tentang dasar-dasar teori serta studi terdahulu mengenai pentingnya pendidikan dalam perekonomian suatu negara serta studi empiris mengenai halhal yang mempengaruhi pendidikan sebagai pendukung atas penelitian ini. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Berisi tentang metodologi penelitian yang berkaitan dengan jenis data, sumber data, strategi empiris, definisi variabel dan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini. Model ekonometri serta hipotesis penelitian akan diuraikan pada bagian ini.
14 BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Menguraikan hasil estimasi serta analisis mengenai studi faktor-faktor yang mempengaruhi angka partisipasi sekolah dan angka putus sekolah yang menjadi topik utama studi ini. BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN Menguraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil studi dan bagaimana implikasinya terhadap kebijakan serta saran untuk penelitian selanjutnya.