KADAR KORTISOL, TRIIODOTIRONIN (T 3 ), DAN TIROKSIN (T 4 ) KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) SELAMA LIMA BELAS HARI PASCATRANSPORTASI

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sapi Bali relatif tersedia di pasaran. Sapi Bali juga memiliki potensi pasar yang luas

PENDAHULUAN. Latar Belakang. ventilasi tidak memadai, suhu dan kelembaban ekstrem serta kecepatan angin

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. sangat berpengaruh terhadap kehidupan ayam. Ayam merupakan ternak

THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY

TUGAS 3 SISTEM PORTAL

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Rijalul Fikri FISIOLOGI ENDOKRIN

5 KINERJA REPRODUKSI

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

Jenis hormon berdasarkan pembentuknya 1. Hormon steroid; struktur kimianya mirip dengan kolesterol. Contoh : kortisol, aldosteron, estrogen,

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

FISIOLOGI HORMON STRUKTUR KELENJAR ENDOKRIN STRUKTUR KELENJAR ENDOKRIN

I PENDAHULUAN. Itik mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki banyak

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena,

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

FISIOLOGI SISTEM ENDOKRIN

PERISTIWA KIMIAWI (SISTEM HORMON)

I. PENDAHULUAN. mengganggu dan atau dapat membahayakan kesehatan. Bising ini. merupakan kumpulan nada-nada dengan bermacam-macam intensitas yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang. Peningkatan cekaman panas yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. aktif dari hormon tiroksin memegang peranan penting dalam fungsi fisiologis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang strategis karena selain hasil daging dan bantuan tenaganya, ternyata ada

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Peralatan Prosedur

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

PENGARUH DEHIDRASI DENGAN PEMBERIAN BISACODYL TERHADAP GAMBARAN HEMATOKRIT TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

I. PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan konsumsi protein hewani pun meningkat setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses pemotongan/penyembelihan dapat mengakibatkan stres hewan,

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin pesat, permintaan produk

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes

HASIL DAN PEMBAHASAN

DETEKSI ANTIBODI ANTI- Escherichia coli K99 DI DALAM SERUM INDUK SAPI FRIESIAN HOLSTEIN BUNTING POST VAKSINASI E. coli DENGAN TEKNIK ELISA

HUBUNGAN STRES DAN BIOKIMIA NUTRISI PADA TERNAK OLEH : NOVI MAYASARI FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAD PADJADJARAN

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

HIPOTALAMUS DAN KELENJAR HIPOFISIS

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

PENDAHULUAN. relatif singkat, hanya 4 sampai 6 minggu sudah bisa dipanen. Populasi ayam

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

I PENDAHULUAN. Indonesia selama ini banyak dilakukan dengan sistem semi intensif.

Fungsi tubuh diatur oleh dua sistem pengatur utama: Sistem hormonal/sistem endokrin Sistem saraf

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Pemberian Minyak Buah Makasar terhadap Denyut Jantung Itik Cihateup Fase Grower

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

TINJAUAN PUSTAKA. (Setianto, 2009). Cahaya sangat di perlukan untuk ayam broiler terutama pada

HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

PENDAHULUAN. meningkatnya tekanan osmotik serta stres panas. Itik akan mengalami kesulitan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

III. METODE 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Aklimatisasi Domba

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin)

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. dipertahankan. Ayam memiliki kemampuan termoregulasi lebih baik dibanding

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V ENDOKRINOLOGI A. PENDAHULUAN

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Kandang dan Peralatan Ransum

BAB I PENDAHULUAN. yang membutuhkan perhatian lebih dalam setiap pendekatannya. Berdasarkan

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

PENDAHULUAN. sebagian hidupnya dilakukan ditempat berair. Hal ini ditunjukkan dari struktur fisik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. unggas air yang cocok untuk dikembangbiakkan di Indonesia. Sistem

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Pemberian Kitosan Iradiasi terhadap Kadar Glukosa Darah Itik Cihateup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mampu beradaptasi dengan pakan dan lingkungan yang kurang baik (Priyanto et

Lampiran 1 Kuesioner Tatalaksana Kesehatan Peternakan Sapi Perah Rakyat di KTTSP Baru Sireum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa lepas dari stres,

POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja

I. PENDAHULUAN. pernah mengalami masalah infertilitas ini semasa usia reproduksinya dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Hormon tiroid disintesis dan disekresi oleh kelenjar tiroid, sintesis dan sekresi

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen..

HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN SEL DARAH PUTIH (LEUKOSIT) DOMBA LOKAL (Ovis aries) YANG DIIMMUNISASI DENGAN EKSTRAK CAPLAK Rhipicephalus sanguineus SUTRISNO EKI PUTRA

Gambar 1. Mencit Putih (M. musculus)

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

Transkripsi:

KADAR KORTISOL, TRIIODOTIRONIN (T 3 ), DAN TIROKSIN (T 4 ) KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) SELAMA LIMA BELAS HARI PASCATRANSPORTASI MONIKA DANAPARAMITHA ANDRIANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kadar Kortisol, Triiodotironin (T 3 ), dan Tiroksin (T 4 ) Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Selama Lima Belas Hari Pascatransportasi adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya-karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2012 Monika Danaparamitha Andriani B04080059

ABSTRACT MONIKA DANAPARAMITHA ANDRIANI. Cortisol, Thyroxin (T 4 ), and Triiodothyronine (T 3 ) Measurement in Buffalo (Bubalus bubalis) After Transportation and in Fifteen Days Adaptation Periode. Supervised by HERA MAHESHWARI and ANDRYANTO. Livestock transportation plays an important role in the distribution of buffaloes. Livestock transport may cause stress and pressure that effects the livestock s health. This research was conducted to find information about the effect of transportation on the levels of cortisol, triiodotironin (T 3 ), and thyroxine (T 4 ) for 15 days post-transportation. The animal used in this research were four female 2-year-old swamp buffaloes. The swamp buffaloes were transported using a small truck. The travel distance was 15 kilometers and it took 2 hours. During acclimatization, buffaloes were given anthelmintic albendazole to eliminate egg worms. All animals were given grass everyday and fresh water was provided ad libitum. Blood was collected at the time of arrival and everyday for 15 days after transportation and measured using Radioimunoassay (RIA) method. Results showed a significant relation (p<0.05) between transport and an increase in cortisol and T 4 level on the first day post-transportation. The level of T 3 was also increased on the second day post-transportation. Transportation causes stress and therefore change in the metabolic process. After transportation, a decrease in T 4 indicates a conversion of T 4 to the more active form, T 3. Key words: swamp buffalo, cortisol, triiodothyronine, thyroxine, transportation stress

RINGKASAN MONIKA DANAPARAMITHA ANDRIANI. Kadar Kortisol, Triiodotironin (T 3 ), dan Tiroksin (T 4 ) Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Selama Lima Belas Hari Pascatransportasi. Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI dan ANDRYANTO. Transportasi mempunyai peranan penting dalam pendistribusian kerbau. Transportasi ternak dapat menyebabkan suatu kondisi stres dan tekanan yang berdampak pada kesehatan ternak. Tingkat stres dapat dilihat dari beberapa parameter, diantaranya melalui perubahan kadar hormon kortisol dan hormon tiroid dalam darah. Penelitian ini bertujuan untuk mencari informasi mengenai pengaruh transportasi terhadap kadar kortisol, T 3, dan T 4 selama lima belas hari pascatransportasi. Empat ekor kerbau lumpur betina berusia 2 tahun digunakan dalam penelitian ini. Kerbau lumpur mengalami transportasi menggunakan truk bak terbuka selama 2 jam sejauh 15 kilometer. Selama masa aklimatisasi, ternak kerbau kemudian diberikan anti-cacing albendazol untuk menghindari telur cacing dan diberikan vitamin B kompleks. Setiap hari semua ternak diberi pakan rumput dan air minum ad libitum. Darah kemudian diambil pada saat setelah transportasi sampai hari ke-15 dan diukur menggunakan metode radio-immunoassay (RIA). Pengukuran kortisol dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran T 3 dan T 4 dilakukan setiap dua hari sekali. Hasil pengukuran kadar kortisol serum menunjukkan adanya pengaruh transportasi terhadap kerbau penelitian yang ditunjukkan melalui kadar kortisol yang meningkat dari kadar kortisol normal literatur. Kadar kortisol tertinggi terjadi pada hari pertama yaitu pada saat hewan baru saja mengalami transportasi dan mulai menurun sejak hari kedua pascatransportasi. Hasil pengukuran kadar triiodotironin (T 3 ) pada serum kerbau menunjukkan hasil konsentrasi T 3 yang fluktuatif yaitu meningkat sejak pengukuran pertama sampai pengukuran ke-2 pascatransportasi dan mulai menurun pada pengukuran hari ke-3 dan seterusnya. Hasil pengukuran T 4 menunjukkan peningkatan pada hari pertama dan mulai terjadi penurunan kadar T 4 sejak pengukuran kedua pascatransportasi. Penurunan T 4 mengindikasikan adanya konversi dari T 4 menjadi T 3 dengan bentuk lebih aktif Kondisi demikian disebabkan oleh stres akibat transportasi sehingga proses metabolisme mengalami perubahan. Kata kunci: kerbau lumpur, kortisol, triiodotironin, tiroksin, stres transportasi

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KADAR KORTISOL, TRIIODOTIRONIN (T 3 ), DAN TIROKSIN (T 4 ) KERBAU LUMPUR (Bubalus bubalis) SELAMA LIMABELAS HARI PASCATRANSPORTASI MONIKA DANAPARAMITHA ANDRIANI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Judul skripsi Nama NIM : Kadar Kortisol, Triiodotironin (T 3 ), dan Tiroksin (T 4 ) Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Selama Lima Belas Hari Pascatransportasi : Monika Danaparamitha Andriani : B04080059 Disetujui oleh Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc., AIF Pembimbing I drh. Andriyanto, M.Si Pembimbing II Diketahui oleh drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan baik. Judul penelitian yang diambil adalah Kadar Kortisol, Triiodotironin (T 3 ), dan Tiroksin (T 4 ) Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) selama Lima Belas Hari Pascatransportasi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc., AIF dan drh. Andriyanto, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama berlangsungnya penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada kedua orangtua, Bapak drh. Buntaran, MM dan Ibu drh. Yulita Sukardiyanti serta adik Krishna Himawan Subiyanto. Selanjutnya ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Pak Kosasih, Bu Sri, Bu Ida, segenap pegawai di Unit Rehabilitasi Reproduksi FKH IPB dan kepada teman-teman sepenelitian kerbau (Jasmine, Sri, Ayu, Ana, Mato, Asep, Veky) serta kepada semua sahabat Avenzoar 45 yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si dan Ronald Tarigan atas bantuan dan dukungannya serta sahabat (Rio, Irin, Lynn, Yoha, Titus, Arca, Rosa, Melinda, Melisa, Wina, Gory, Ester, dan Yensen), tim Kenanga 14, teman-teman KEMAKI, KPMKB, HKSA, serta Persekutuan Fakultas FKH-IPB atas segala dukungan dan persahabatan selama penulis menempuh pendidikan di IPB. Penulis menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas semua masukan yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat di kemudian hari bagi segenap pihak yang membutuhkan. Bogor, September 2012 Monika Danaparamitha Andriani

RIWAYAT HIDUP Monika Danaparamitha Andriani dilahirkan di Kota Surakarta, Jawa Tengah pada 3 Oktober 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak drh. Buntaran, MM dan ibu drh. Yulita Sukardiyanti. Tahun 2002 penulis lulus SDN 20 Anjungan, tahun 2005 lulus SMPN 1 Mempawah, dan tahun 2008 lulus SMAN 1 Mempawah Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa progam sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan (FKH). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (Himpro HKSA). Pada tahun 2010-2011, penulis menjabat sebagai ketua Divisi Pendidikan Himpro HKSA. Pada tahun yang sama penulis juga merupakan ketua Divisi Dosen dan Alumni Keluarga Mahasiswa Katolik IPB. Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Embriologi dan Genetika Hewan, dan Fisiologi Veteriner. Penulis juga aktif dalam paduan suara Gita Klinika FKH IPB dan merupakan reporter dari majalah Vetzone FKH IPB.

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR Halaman PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Karakteristik Kerbau 3 Kelenjar Adrenal 4 Hormon Adrenokortikal 5 Kelenjar Tiroid 6 Stres 8 Transportasi Ternak 10 Cara Pengukuran Hormon di Darah 15 METODE 16 Waktu dan Tempat 16 Alat dan Bahan 16 Tahap Persiapan 16 Tahap Pelaksanaan 17 Parameter yang Diamati 18 Analisis Data 18 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 Kadar Kortisol Kerbau Penelitian selama Lima Belas Hari Pascatransportasi 19 Kadar Triiodotironin Kerbau Penelitian selama Lima Belas Hari Pascatransportasi 23 Kadar Tiroksin Kerbau Penelitian selama Lima Belas Hari Pascatransportasi 25 Respon Hormon Kortisol, Triiodotironin, dan Tiroksin pada Suhu dan Kelembaban Lingkungan yang Berbeda 28 SIMPULAN DAN SARAN 31 Simpulan 31 Saran 31 DAFTAR PUSTAKA 32 x xi ix

DAFTAR TABEL Halaman 1 Data Biologis Kerbau 4 2 Kepadatan Ternak Sapi dalam Kendaraan selama Transportasi 11 3 Kadar Metabolit Kortisol Kerbau Penelitian selama Lima Belas Hari Pascatransportasi 20 4 Kadar Hormon Triiodotironin Kerbau Penelitian selama Lima Belas Hari Pascatransportasi 24 5 Kadar Hormon Tiroksin Kerbau Penelitian selama Lima Belas Hari Pascatransportasi 26 6 Hormon Kortisol, Triiodotironin, dan Tiroksin pada Suhu dan Kelembaban Lingkungan Kandang selama Dua Minggu Pascatransportasi 28 x

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kadar Hormon Kortisol Serum selama Lima Belas Hari Pascatransportasi 21 2 Kadar Hormon Triiodotironin Serum selama Lima Belas Hari Pascatransportasi 24 3 Kadar Hormon Tiroksin Serum selama Lima Belas Hari Pascatransportasi 26 xi

PENDAHULUAN Latar Belakang Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan salah satu komoditas ternak penting Indonesia disamping sapi, kambing, ayam, dan domba. Berdasarkan hasil pendataan sapi potong, sapi perah, dan kerbau (PSPK), populasi kerbau di Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan sebanyak 1.305.016 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan 2011). Kerbau memiliki peran yang penting dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia diantaranya sebagai penghasil daging, susu, tenaga kerja, pupuk, dan kulit. Kepemilikan kerbau pada beberapa kalangan masyarakat tertentu juga dianggap sebagai penentu status sosial pemilik kerbau (Toelihere et al. 1995). Menurut Sariubang et al. (2003), hampir 95% dari total populasi kerbau di dunia ditemukan di wilayah tropis. Selain itu, kerbau dikenal juga sebagai ternak Asia karena sebagian besar penyebarannya terkonsentrasi di negara-negara Asia. Hal ini dikarenakan corak masyarakat Asia yang sebagian besar agraris sehingga membutuhkan kerbau sebagai ternak pekerja. Penyebaran kerbau yang tidak merata di setiap daerah ditambah dengan banyaknya permintaan baik dari pasar domestik, regional, maupun internasional menyebabkan sistem transportasi ternak mempunyai peranan penting dalam pendistribusian ternak. Transportasi ternak dapat menyebabkan suatu kondisi stres atau tercekam. Stres merupakan suatu kondisi pada ternak sebagai akibat dari satu atau lebih sumber stres (stressor) baik dari dalam tubuh ternak itu sendiri ataupun pengaruh dari luar. Transportasi dapat menyebabkan tekanan pada ternak dan dapat menimbulkan efek yang mengganggu pada kesehatan dan kesejahteraan ternak (Borell 2001). Untuk menghindari efek yang kurang baik dalam transportasi ternak, maka manajemen transportasi baik pada sebelum, saat, dan sesudah transportasi ke berbagai daerah tujuan harus diperhatikan. Tingkat stres dapat dilihat dari beberapa parameter, di antaranya dengan perubahan tingkah laku, perubahan jumlah neutrofil/limfosit, serta perubahan kadar hormon kortisol dan hormon tiroid dalam darah. Peningkatan hormon kortisol mengindikasikan terjadinya stres, sedangkan penurunan hormon kortisol

2 menyebabkan terjadinya lemah badan, muntah, hipoglikemia, dan diare (Adhiarta & Soetedjo 2009). Selain hormon kortisol, adanya stres juga dapat mempengaruhi sekresi hormon tiroid yaitu triiodotironin (T 3 ) dan tetraiodotironin / tiroksin (T 4 ) dengan berbagai mekanisme (Hangalapura et al. 2004). Kondisi stres menyebabkan peningkatan sekresi Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) dari kelenjar hipofise anterior yang diikuti dengan peningkatan sekresi hormon adrenokortikal seperti kortisol dari korteks adrenal. Rangsangan stres merupakan salah satu rangsangan terkuat yang dapat menghalangi umpan balik penghambat kortisol, sehingga akan menyebabkan timbulnya eksaserbasi periodik dari sekresi kortisol di berbagai waktu selama satu hari atau pemanjangan sekresi kortisol dalam keadaan stres kronik (Guyton & Hall 2007). Menurut Guyton dan Hall (2007), hormon tiroid dapat meningkatkan aktivitas metabolisme selular pada hampir semua jaringan tubuh. Bila seekor hewan diberikan hormon tiroid maka ukuran dan jumlah mitokondria di sebagian besar sel tubuh akan meningkat, sehingga terjadi peningkatan kecepatan pembentukan adenosin trifosfat (ATP) untuk meningkatkan fungsi sel. Pengukuran kadar hormon tiroid seringkali digunakan sebagai parameter metabolisme berkaitan dengan kondisi stres selain pengukuran hormon kortisol. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengukur kadar hormon kortisol dan hormon tiroid (T 3 dan T 4 ) sebagai parameter tingkat stres ternak setelah transportasi dan pengaruh lima belas hari pascatransportasi ke habitat baru terhadap kadar hormon kortisol dan hormon tiroid tubuh. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat mengumpulkan dan memberikan informasi ilmiah mengenai kondisi ternak pascatransportasi dan gambaran kadar hormon kortisol dan hormon tiroid (T 3 dan T 4 ) ternak yang mengalami stres akibat transportasi.

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Kerbau Dalam klasifikasi, kerbau digolongkan dalam kingdom Animalia, filum Chordata, dan kelas Mamalia. Selanjutnya, kerbau termasuk dalam ordo Artiodactyla, famili Bovidae dan genus Bubalus. Spesies kerbau secara umum dikenal sebagai Bubalus bubalis (Feldhamer et al. 1999). Kerbau di dunia ini dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe Afrika dan tipe Asia. Kerbau tipe Asia diklasifikasi lagi menjadi kerbau liar dan domestikasi. Domestikasi tipe Asia kemudian diklasifikasi menjadi tipe kerbau sungai (river buffalo) dan tipe kerbau lumpur (swamp buffalo). Morfologi dari kerbau lumpur tidak sama dengan kerbau sungai. Kerbau lumpur memiliki 48 kromosom, sedangkan tipe kerbau sungai memiliki 50 kromosom. Kerbau lumpur seringkali digunakan sebagai alat pembajak alami pada area sawah di negara-negara Asia Tenggara. Mereka merupakan ternak pekerja dan memegang peranan penting dalam mengurangi pengeluaran untuk bahan bakar. Kerbau lumpur banyak ditemukan di Thailand, Malaysia, Indonesia, Vietnam, dan Filipina, sedangkan kerbau sungai umumnya digunakan untuk menghasilkan susu (1500-3000 l/laktasi selama 300 hari) dan banyak ditemukan di India, Pakistan, Mesir, Italia, dan negara-negara Eropa Tenggara (Ranjhan & Pathak 1993). Pemanfaatan Kerbau Kerbau memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sosialekonomi di Indonesia. Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sapi. Diwyanto dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau dapat hidup di agroekosistem dengan ketersediaan pakan yang terbatas. Kerbau juga dapat berkembangbiak dalam rentang kawasan yang luas mulai dari daerah yang basah sampai daerah yang relatif kering. Dalam usaha pertanian tradisional, kerbau digunakan sebagai ternak pekerja untuk membantu membajak sawah. Selain itu, kerbau dapat menghasilkan daging sebagai sumber protein hewani dan dapat pula menghasilkan susu seperti kerbau Murrah yang banyak terdapat di daerah Sumatera Utara. Bahkan pada beberapa

4 masyarakat tertentu, kerbau juga dianggap sebagai komoditas yang dapat memberikan kedudukan sosial (social standing) bagi pemiliknya (Toelihere et al 1995). Data biologis kerbau disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Data biologis kerbau (Smith & Soesanto 1988) Lama hidup 20-30 tahun Lama kebuntingan 316 hari Umur dikawinkan 24-36 bulan Berat dewasa 300-700 kg Berat lahir 25-40 kg Suhu (rektal) 37,4 38,7 C Pernafasan 20-23/ menit Denyut jantung 55-70/menit Volume darah 50-55 ml/kg Eritrosit 6,4-11,2 10 6 /mm 3 Leukosit 7,6-13,8 10 6 /mm 3 Netrofil 24 44% Limfosit 43 61% Monosit 3-12% Eosinofil 1 10% Picked cell volume (PCV) 29 44% Protein plasma 6,4 6,1 g/100 ml Hb (g/ml) 9,5 16,2 g/ml Kolesterol serum 8 174 Kelenjar Adrenal Kelenjar adrenal memegang peranan penting dalam respon hormonal tubuh terhadap kondisi stres. Kelenjar adrenal terdiri atas dua bagian yang berbeda yaitu medulla adrenal dan korteks adrenal. Medulla adrenal mencakup 20% bagian kelenjar adrenal dan secara fungsional berkaitan dengan sistem saraf simpatis dan sekresi hormon-hormon epinefrin dan norepinefrin sebagai respon terhadap rangsangan simpatis. Korteks adrenal mensekresikan hormon adrenokortikoid

5 (mineralkortikoid, glukokortikoid, dan androgen). Korteks adrenal terdiri atas 3 lapisan yaitu: 1. Zona glomerulosa, mencakup 15% korteks adrenal dan satu-satunya sel yang dapat mensekresikan aldosteron karena mengandung enzim aldosterone synthase. 2. Zona fasciculata, mencakup 75% korteks adrenal dan mensekresikan kortisol dan kortikosteron, dan androgen serta estrogen dalam jumlah kecil. 3. Zona reticularis, lapis terdalam dan mensekresikan dehydroepiandrosterone (DHEA) dan androstenedione dalam jumlah besar serta estrogen dan ACTH dalam jumlah kecil (Guyton & Hall 2007). Hormon Adrenokortikal Ada dua jenis hormon adrenokortikal yang utama, yakni glukokortikoid dan mineralkortikoid, yang disekresi oleh korteks adrenal. Hormon kortisol mencakup kira-kira 95% dari seluruh aktivitas glukokortikoid. Menurut Guyton dan Hall (2007), korteks adrenal mensekresi kelompok hormon kortikosteroid yang seluruhnya disintesis dari kolesterol steroid dan dijelaskan sebagai berikut: a. Glukokortikoid Kortisol dan kortikosteron adalah glukokortikoid utama yang di produksi dan disekresi oleh korteks adrenal. Kortisol dimetabolisme di hati, yang merupakan tempat utama katabolisme glukokortikoid. Bila hewan atau manusia mendapat berbagai rangsangan yang mengganggu atau berpotensi untuk mengganggu, maka akan terjadi peningkatan adrenokortikotropik (ACTH), akibatnya terjadi peningkatan kadar glukokortikoid dalam darah. Selama stres berat, jumlah ACTH yang disekresikan melebihi jumlah yang diperlukan untuk menghasilkan pengeluaran glukokortikoid yang maksimal (Ganong 2002). Pada manusia dewasa, pelepasan kortisol maksimal di pagi hari (8.00 pagi) lalu menurun dan mencapai nilai minimun pada malam hari. Ritme ini dapat berubah akibat adanya asupan makanan pada siang hari yang menyebabkan peningkatan sekresi kortisol, namun tidak terganggu oleh asupan makanan pada malam hari serta perubahan waktu tidur. Pada hewan nokturnal seperti tikus

6 ritmenya terbalik (Norris 2010). Pola konsentrasi kortisol yang tidak konstans selama 24 jam (dalam satu hari) disebut sebagai ritme sirkadian (Guyton & Hall 2007). Ritme sirkadian harus diperhatikan dalam setiap pengukuran kadar hormon kortisol agar tidak terjadi kesalahan dalam interpretasi hasil data. Pada hewan yang mengalami perjalanan jauh seringkali menjadi stres karena mengalami perubahan temperatur yang ekstrim, keletihan, kekurangan makanan dan minuman, serta ketakutan. Faktor - faktor penyebab stres tersebut dapat merangsang peningkatan sekresi glukokortikoid. Glukokortikoid bersifat imunosupresan sehingga hewan menjadi rentan terinfeksi, penyakit demikian dikenal sebagai shipping fever atau transit fever (McDonald s 2003). Sekresi hormon ACTH akan menyebabkan pembesaran korteks adrenal dan produksi kortisol. Peningkatan kadar kortisol dalam darah selama stres adalah hasil dari peningkatan aktivitas ACTH. ACTH terkadang diistilahkan sebagai hormon adaptasi terhadap kondisi yang tidak biasa khususnya disekresi selama masa adaptasi atau adaptasi sementara (Williamms 1974). b. Sekresi dan Aksi Hormon Kortisol Pelepasan kortisol dari korteks adrenal distimulasi oleh ACTH yang dilepaskan oleh kelenjar hipofise anterior. Pelepasan ACTH dari kelenjar hipofise anterior diatur oleh corticotropin releasing hormone (CRH) yang diproduksi oleh hipotalamus dan dilepaskan dari median eminence. Kadar kortisol yang tinggi akan menghambat biosintesis dan sekresi CRH dan ACTH (mekanisme umpan balik negatif). Sistem pengaturan ini disebut hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Hati dan ginjal adalah tempat utama inaktivasi, eliminasi, dan katabolisme kortisol, kebanyakan dieliminasi dalam bentuk urin. Inti dari proses eliminasi adalah konversi kortisol dari lipofilik menjadi hidrofilik supaya dapat larut dalam urin (Molina 2010). Pada masa adaptasi yaitu beberapa hari setelah adanya rangsangan penyebab terjadinya stres, kadar hormon kortisol dalam tubuh akan kembali pada kondisi fisiologisnya (Zapata et al. 2004). Kelenjar Tiroid Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar endokrin terbesar dalam tubuh. Kelenjar ini terletak tepat di bawah laring pada kedua sisi dan sebelah

7 anterior trakea. Kelenjar tiroid mensekresi dua macam hormon utama yaitu triiodotironin (T 3 ) dan tiroksin (T 4 ). Kedua hormon ini sangat berpengaruh pada peningkatan kecepatan metabolisme tubuh. Sekresi kelenjar tiroid terutama diatur oleh tiroid stimulating hormone (TSH) yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior (Guyton & Hall 2007). Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid Sel-sel kelenjar tiroid merupakan sel kelenjar khas yang mensekresi protein. Retikulum endoplasma dan badan golgi mensintesis dan mensekresi molekul glikoprotein yang disebut tiroglobulin. Setiap molekul tiroglobulin mengandung sekitar 70 asam amino tirosin. Tiroglobulin merupakan substrat utama yang bergabung dengan iodida untuk membentuk hormon tiroid. Hormon tiroid terbentuk dalam molekul tiroglobulin. Hormon tiroksin dan triiodotironin dibentuk dari asam amino tirosin, yang merupakan sisa dari bagian molekul tiroglobulin selama sintesis hormon tiroid. Mayoritas hormon aktif metabolisme yang disekresikan oleh kelenjar tiroid adalah hormon tiroksin dan sisanya adalah triiodotironin. Namun pada akhirnya semua tiroksin akan diubah menjadi triiodotironin sehingga keduanya bersifat penting. Secara kualitas kedua hormon tersebut sama, tetapi keduanya berbeda dalam hal kecepatan dan intensitas kerjanya. Triiodotironin memiliki efek empat kali lebih kuat dibandingkan tiroksin, namun jumlahnya didalam darah jauh lebih sedikit dan keberadaannya dalam darah lebih singkat daripada tiroksin (Guyton & Hall 2007). Menurut Garriga et al. (2006), sekresi hormon tiroid dapat dipengaruhi oleh stres. Selain itu dapat dipengaruhi oleh adanya peningkatan temperatur, aktivitas, peningkatan pergantian kadar glukosa darah, penurunan bobot badan, katabolisme kolesterol, serta peningkatan rangsang pertumbuhan dan kematangan tubuh (Altiner 2006). Astuti et al. (2009) dalam penelitiannya mengatakan bahwa peningkatan kadar triiodotironin (T 3 ) akan diikuti dengan penurunan kadar tiroksin (T 4 ). Hal ini dimungkinkan karena terjadi peningkatan konversi dari tiroksin (T 4 ) menjadi triiodotironin (T 3 ) sebagai hormon aktif.

8 Fungsi Fisiologis Hormon Tiroid Efek yang umum dari hormon tiroid adalah untuk mengaktifkan transkripsi inti sejumlah besar gen sehingga meningkatkan sintesis protein, seperti enzim, protein struktural, dan protein transport yang pada akhirnya akan meningkatkan aktivitas fungsional di seluruh tubuh. Meningkatnya sekresi hormon tiroid akan meningkatkan kecepatan sekresi sebagian besar kelenjar endokrin lain. Hormon tiroid juga meningkatkan kecepatan inaktivasi hormon glukokortikoid adrenal oleh hati. Keadaan ini menyebabkan timbulnya peningkatan umpan balik produksi hormon adrenokortikotropik oleh kelenjar hipofisis anterior. Oleh karena itu proses ini pada akhirnya akan meningkatkan kecepatan sekresi glukokortikoid oleh kelenjar adrenal (Guyton & Hall 2007). Stres Stres merupakan suatu respons biologis atau fisiologis terhadap stimulus yang tidak menguntungkan baik fisik maupun psikis sehingga mengganggu kondisi homeostasis makhluk hidup. Respon tubuh terhadap stres dimediasi oleh kortisol. Menurut Norris (2010) terdapat tiga fase adaptasi terhadap rangsangan stres, yaitu: a. Alarm reaction Pada fase ini termasuk peningkatan stimulasi simpatis termasuk pada korteks adrenal yang diikuti sekresi glukokortikoid (kortisol). Karena adanya aktivasi sekresi glukokortikoid, alarm reaction tidak identik dengan emergency yang lebih menekankan sekresi epinefrin. b. Stage of resistance Fase ini ditandai dengan perpanjangan masa sekresi glukokortikoid dan sudah mulai beradaptasi terhadap keberadaan stresful stimuli secara kontinu. Fase ini juga sering ditandai dengan pembesaran kelenjar adrenal, terutama hipertrofi zona fasciculata dan zona reticularis sebagai respon terhadap peningkatan ACTH secara kontinu, hal ini secara umum mengganggu kemampuan sistem berfungsi secara normal. Stres yang kronis dan peningkatan kadar glukokortikoid dalam waktu lama ditandai dengan kehilangan berat badan, penurunan aktivitas reproduksi dan imunosupresi. Jika kondisi ini berlangsung

9 secara terus menerus dalam jangka waktu lama akan mengantar organisme memasuki fase terakhir yaitu stage of exhaustion. c. Stage of exhaustion Fase ini dapat berakhir pada kematian. Selanjutnya menurut Selye yang dikutip oleh Norris (2010) setiap stresor dapat menimbulkan respons stres yang spesifik, namun setiap stresor tidak mengakibatkan efek yang sama untuk setiap hewan. Contohnya saat beberapa orang mendapat stresor stimuli yang sama, setiap orang mempunyai respon individual yang bervariasi untuk mengatasinya. Beberapa orang diperiksa saat terdapat tekanan dalam dirinya sendiri, sedangkan beberapa orang lain mendapat tekanan dari luar. Kadar plasma epinefrin sama, namun kadar kortisol lebih tinggi pada orang yang mendapat tekanan dari luar. Status sosial (kedudukan dalam hirarki) mempengaruhi respon fisiologis terhadap stimuli stres. Hewan yang memiliki status sosial rendah memiliki kadar corticosterone yang lebih tinggi dibanding yang memiliki status sosial tinggi. Hewan dengan status sosial tinggi memiliki kadar katekolamin yang lebih tinggi sebagai akibat dari aktivitas enzim tyrosine hydroxylase. Enzim ini berperan dalam konversi asam amino tirosin menjadi DOPA, DOPA adalah prekursor dopamin, sedangkan dopamin sendiri adalah prekursor norepinefrin dan epinefrin. Jadi stres pada hewan, khususnya pada pengujian kadar kortisol atau kadar nutrien (asam amino, glukosa) adalah faktor yang harus diperhitungkan. Kondisi laboratorium sendiri dapat mempengaruhi adrenal axis dan hormon-hormon lainnya. Pelepasan ACTH dari kelenjar hipofise anterior akan ditekan saat kadar glukokortikoid meningkat (mekanisme umpan balik negatif). Namun pada kondisi stres hal ini tidak terjadi karena stresor dapat mengesampingkan mekanisme umpan balik negatif. Umpan balik negatif yang muncul pada awal stres mengurangi ketersediaan ion Ca 2+ di intraselular hipofise anterior sehingga pelepasan ACTH harusnya dihambat. Namun pelepasan arginine vasopresin (AVP) tidak terpengaruh oleh mekanisme umpan balik negatif tersebut, akibatnya kadar AVP tetap sehingga tetap merangsang sel-sel kortikotropik di pars distalis hipothalamus yang mengakibatkan pelepasan CRH ke kelenjar hipofise anterior

10 tetap berlangsung, akibatnya pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal juga tetap berlangsung (Norris 2010). Transportasi Ternak Transportasi ternak sangat penting dalam dunia peternakan. Transportasi ternak dilakukan antara lain untuk keperluan pemasaran dalam jumlah yang besar, pengangkutan ke tempat pemotongan, penyediaan bibit ternak ke daerah lain, pengangkutan dari daerah yang kering ke daerah yang memiliki pakan yang bagus, dan karena perubahan kepemilikan (Chambers & Grandin 2001). Alat Transportasi Menurut Code of Practice for the Transportation of Cattle in Western Australia pada tahun 2003, syarat-syarat kendaraan yang digunakan untuk transportasi ternak meliputi: a. Konstruksi Kendaraan dan segala kelengkapannya harus kuat untuk mengangkut ternak dan dapat melindungi dari lepasnya atau lompatnya ternak dari kendaraan. Selain itu, bagian kendaraan harus bebas dari halangan dan bahaya yang dapat menyebabkan ternak terluka. Jarak antar dek tempat ternak dalam kendaraan harus cukup untuk ternak, termasuk ternak bertanduk, untuk berdiri pada posisi normal. Beberapa bahan pada batas dek harus terbuat dari bahan yang tidak terlalu keras sehingga dapat mengurangi efek benturan terhadap ternak. Pada bagian permukaan kendaraan harus sesuai untuk pijakan kaki ternak dan tidak terbuat dari bahan licin sehingga tidak akam melukai kaki atau kuku ternak. b. Ventilasi Sistem ventilasi pada ruangan tempat ternak berada harus diperhatikan, sistem pembuangan gas pada kendaran tidak boleh mengotori ruangan ternak. Selain itu celah harus cukup untuk sirkulasi udara dalam ruangan sehingga dapat menghindari suhu panas.

11 Hal-hal yang Harus Diperhatikan dalam Transportasi Ternak a. Kepadatan Ternak Pemilihan kendaraan untuk transportasi ternak harus memperhitungkan ukuran ternak, jenis ternak, jumlah ternak, konstruksi kendaraan, dan luas bak kendaraan yang bertujuan untuk mengukur luasan lantai yang dibutuhkan untuk setiap ekor ternak atau dalam hal ini disebut kepadatan ternak. Pengetahuan mengenai ukuran ternak dan luasan lantai yang dibutuhkan sangat diperlukan dalam persiapan dan manajemen pengangkutan (Canadian Agri-Food Reseach Council 2001). Menurut Chambers and Grandin (2001), pengamatan secara visual terhadap perbandingan ukuran tubuh ternak dengan luas alat transportasi yang digunakan sangat penting untuk memperkirakan daya tampung pengangkutan. Umumnya daya tampung pengangkutan dihitung berdasarkan luas area per m 2 yang dibutuhkan oleh seekor ternak dengan bobot badan tertentu. Menurut Council of Europe Committee of Ministers (1990), terdapat beberapa pengaturan kepadatan dalam transportasi ternak yang dijelaskan pada Tabel 2. Tabel 2 Kepadatan ternak sapi dalam kendaraan selama transportasi darat Kategori Rataan Bobot Badan Luas Area (m 2 ) / Hewan Pedet ukuran kecil Pedet ukuran sedang Pedet ukuran besar Sapi ukuran sedang Sapi ukuran besar Sapi ukuran sangat besar 55 110 200 325 550 > 700 0,30-0,40 0,40-0,70 0,70-0,95 0,95-1,30 1,30-1,60 [> 1,60] b. Lama Perjalanan Menurut Chambers dan Grandin (2001) waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan merupakan faktor yang mempengaruhi proses transportasi ternak. Perjalanan lebih dari 6 jam perjalanan dapat menyebabkan gangguan pada ternak karena perubahan lingkungan dan dapat menyebabkan efek lingkungan seperti panas dan dingin. Menurut Canadian Agri-Food Reseach Council (2001) ternak

12 tidak dianjurkan untuk diangkut lebih dari 36 jam perjalanan dan harus diistirahatkan untuk pemberian pakan dan minum apabila perjalanan memerlukan waktu lebih 24 jam perjalanan. Ternak yang tidak diberi pakan dan minum selama transportasi akan mengalami penyusutan bobot badan. Semakin lama proses pengangkutan maka akan semakin besar penyustan bobot badannya, kecuali apabila mereka diistirahatkan dan diberi pakan. Penyusutan bobot badan ini dapat diperkecil dengan pemberian air setelah sampai di tempat tujuan sampai beberapa jam kemudian (Greenwood et al. 1993). c. Waktu Perjalanan Waktu dalam pengangkutan ternak sebaiknya pada sepanjang waktu malam dan pada awal pagi hari agar ternak tidak terganggu oleh kelembaban dan suhu lingkungan yang tinggi. Suhu lingkungan dapat meningkatkan resiko tekanan panas dan dapat menyebabkan kematian selama transportasi (Chambers & Grandin 2001). d. Penanganan dan Pengontrolan Kondisi Transportasi Penanganan dan pengaturan kondisi transportasi ternak yang baik akan meminimalisir kejadian stres akibat transportasi. Transportasi ternak akan lebih baik ketika mereka tenang dan juga ketika dipisahkan berdasarkan status tanduk, ukuran tubuh, dan umurnya. Pencampuran ternak yang bertanduk akan meningkatkan kehilangan dari memar atau bengkak. Penanganan yang baik pada ternak akan mengurangi perkelahian dan stres pada ternak, sehingga dibutuhkan kecakapan petugas dalam pengaturan ternak pada saat transportasi agar tidak menimbulkan keributan dan kegaduhan (Lampworth 2002). e. Kesejahteraan Hewan Menurut Undang-Undang No. 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan, definisi kesejahteraan hewan ialah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Menurut Dallas (2006), kesejahteraan hewan (animal welfare) dapat

13 diukur dengan lima indikator yaitu: bebas dari rasa haus dan lapar, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, luka, dan penyakit, bebas untuk mengekspresikan perilaku normal, dan bebas dari rasa takut dan stres. Untuk kepentingan kesejahteraan hewan, dilakukan tindakan yang baik dan layak berkaitan dengan penanganan, penempatan, dan pengangkutan hewan. Perlakuan yang kasar dalam penanganan hewan terutama sebelum waktu pemotongan menyebabkan terjadinya suatu kondisi stres pada hewan sehingga akan menghasilkan kualitas daging yang rendah. Penanganan hewan saat pemotongan harus diatur dengan baik untuk mempertahankan standar yang berkualitas karena kesejahteraan hewan merupakan bagian dari kualitas daging (Grandin 2001). Dalam pengangkutan hewan juga harus dilakukan dengan sebaikbaiknya sehingga hewan bebas dari rasa takut dan tertekan serta bebas dari segala bentuk penganiayaan. Hal-hal yang Dapat Ditimbulkan Akibat Proses Transportasi Ternak Transportasi dapat menyebabkan faktor emosi dan stres fisik pada ternak yang dapat mempengaruhi kesehatan ternak tersebut. Menurut Greenwood et al. (1993), tingkat tekanan stres disebabkan oleh lama perjalanan, penanganan selama perjalanan dan penurunan ternak, keterampilan pengemudi kendaraan, kondisi jalan, desain kandang pada kendaraan, kondisi cuaca dan kesehatan serta kondisi dari ternak yang diangkut. Pada kondisi stres transportasi, aktivitas adrenokortikoid meningkat dan ditunjukkan dengan adanya peningkatan kadar kortisol. Kadar glukokortikoid dalam darah merupakan salah satu indikator (good index) untuk melihat respon hewan terhadap perubahan lingkungan. Kenaikan kadar kortisol dalam darah sangat bervariasi sehingga sulit untuk menggunakan perbandingan yang mutlak dari berbagai hasil penelitian. Nilai tertinggi yang dicapai kortisol saat stres tergantung pada konsentrasi awalnya. Faktor stres transportasi ada dua macam yaitu faktor short-acting yang cenderung mempunyai efek emosional ternak dan faktor long-acting yang mengakibatkan efek fisik dan bersifat akumulatif dari waktu ke waktu. Faktor short-acting meliputi kondisi ternak yang ketakutan karena posisi berdiri yang terganggu, lingkungan yang tidak nyaman, pijakan ternak di lantai kendaraan

14 pengangkut tidak seimbang dan saat berpijak harus berdesakan dengan ternak lain. Faktor long-acting meliputi suara gaduh, getaran, kontak langsung dengan kendaraan pengangkut atau ternak lain, ternak yang berdiri lama karena lokasi tujuan yang jauh, tidak diberikan pakan dan air yang cukup, serta kelembapan dan temperatur lingkungan (Richardson 2005). Efek stres pada ternak dapat terjadi sejak proses transportasi dimulai sampai transportasi selesai. Semakin lama proses transportasi tanpa pemberian pakan pada ternak dapat meningkatkan efek stres tersebut dan mengakibatkan perubahan metabolik pada tubuh ternak. Penurunan sistem kekebalan tubuh akibat stres juga menunjukkan efek samping berupa perubahan sistem metabolisme tubuh seperti aktivitas plasma kreatin kinase, perubahan jumlah leukosit serta rasio neutrofil dan limfosit yang pada akhirnya menyebabkan penyusutan bobot badan (Kannan et al. 2000). Tidak hanya pada kerbau, stres akibat transportasi juga mempengaruhi sistem fisiologis ternak lain. Menurut Fachrulrozi (2008), semakin lama jarak maka akan semakin besar persentase penyusutan bobot badan ternak kambing selama transportasi. Penelitian lain menyebutkan bahwa stres transportasi mengakibatkan perubahan pada metabolisme otot dan kualitas daging sapi (Odore et al. 2011), serta meningkatkan kejadian penyakit bovine respiratory disease (Burdick 2011). Stres transportasi juga dapat berpengaruh pada reproduksi. Menurut Breen dan Karsch (2004), kortisol dapat menekan pulsatile luteinizing hormone. Hormon ini sangat mempengaruhi mekanisme siklus hormon estrogen dan progesteron yang berperan penting dalam siklus estrus, sehingga apabila terjadi ketidakseimbangan hormon dalam tubuh maka proses reproduksi juga akan terganggu. Studi lain menyebutkan bahwa stres pada masa neo-natal menyebakan terjadinya penurunan jumlah oosit dan folikel primodial serta perubahan ukuran pada folikel primodial pada mamalia (Manjula & Yajurvedi 2011).

15 Cara Pengukuran Hormon di Darah Radioimunoassay (RIA) Metode RIA menggunakan antibodi yang spesifik terhadap hormon, lalu antibodi ini dalam jumlah kecil dicampur dengan cairan tubuh yang mengandung hormon yang akan diuji. Setelah itu dicampur dengan hormon standar yang sudah dipurifikasi dan ditandai dengan isotop radioaktif. Antibodi yang seharusnya mengikat hormon standar dilabel dengan radioaktif dan hormon yang terdapat dalam cairan tubuh, sehingga ketiga zat ini harus bersaing untuk dapat berikatan dengan antibodi. Setelah ikatan yang terbentuk mencapai keseimbangan, kompleks antibodi-hormon dipisahkan dari larutan, dan jumlah hormon yang dilabel radioaktif yang berikatan dengan antibodi dihitung menggunakan radioactive counting technique. Jika jumlah hormon radioaktif yang berikatan dengan antibodi tinggi, maka konsentrasi hormon dalam cairan tubuh sedikit. Sedangkan apabila jumlah hormon radioaktif yang berikatan dengan antibodi rendah, maka konsentrasi hormon dalam cairan tubuh tinggi (Guyton & Hall 2007). Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ELISA mengkombinasikan spesifitas antibodi dengan spesifitas enzim. Setiap sumur (well) dilapis dengan antibodi yang spesifik dengan hormon yang ingin diuji (AB 1 ), lalu diikuti sampel atau standar, setelah itu antibodi yang spesifik terhadap hormon namun berikatan di binding sites yang lain (AB 2 ), lalu antibodi ketiga (AB 3 ) berlabel enzim yang mengenali AB 2 dan merubah substrat menjadi produk. Perubahan ini dapat dideteksi dengan calorimetric dan fluorescent optical method. Jumlah hormon yang terdapat pada sampel atau standar proporsional dengan jumlah produk yang dihasilkan. ELISA lebih banyak digunakan karena tidak menggunakan isotop radioaktif, dapat mengerjakan sampel dalam jumlah banyak sekaligus (96 whales) dan lebih ekonomis dan cukup akurat (Guyton & Hall 2007).

METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama dua bulan mulai bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2011 di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pengukuran kadar hormon kortisol dilakukan di Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Ciawi Bogor. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah spuid, jarum suntik, tabung, es batu, cool box, dan lemari pendingin. Selain itu juga menggunakan cortisol kit, T 3 kit, dan T 4 kit untuk mengetahui kadar hormon kortisol, hormon triiodotironin, dan hormon tiroksin dalam serum. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah serum dari darah kerbau. Tahap Persiapan Hewan Percobaan Hewan yang digunakan dalam penelitian ini ialah kerbau rawa (Bubalus bubalis) sebanyak empat ekor yang berjenis kelamin betina berumur sekitar 2 tahun. Kerbau penelitian diperoleh dari daerah Tenjolaya Kabupaten Bogor. Selama penelitian, kerbau percobaan dipelihara di Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor di Dramaga. Perkandangan, Pakan, dan Minum Kandang penelitian yang digunakan ialah kandang individual. Setiap ekor kerbau menempati kandang yang berukuran 2 x 3 m. Lantai kandang terbuat dari semen. Sekat antarindividu berupa pagar yang terbuat dari besi. Kandang dibersihkan dua kali sehari, yaitu setiap pagi dan sore hari. Pakan yang diberikan ialah rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang berasal dari sekitar kandang. Sementara itu, air minum yang diberikan berasal dari sumur wilayah URR. Pakan dan air minum diletakkan pada tempat khusus sehingga tidak bercampur dengan

17 kotoran dan urin kerbau-kerbau tersebut. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari (setelah kandang kerbau dibersihkan) sedangkan air minum diberikan ad libitum. Tahap Pelaksanaan Perlakuan Pada penelitian ini, kerbau penelitian mengalami transportasi sejauh 15 km selama 2 jam menggunakan truk bak terbuka berukuran 3 x 2 m. Selanjutnya selama lima belas hari pascatransportasi, kerbau dibiarkan beraktivitas normal di kandang URR sesuai dengan habitat aslinya di daerah Tenjolaya Bogor dan tidak diberikan perlakuan khusus (aklimatisasi). Aklimatisasi dilakukan untuk memberikan kesempatan bagi kerbau penelitian menyesuaikan diri terhadap perubahan habitat dan aktivitas. Pada tahap ini, kerbau penelitian diberikan obat cacing Albenz-10 (2,5%) peroral dengan dosis 30 ml/ekor dan vitamin B kompleks. Tujuan pemberian obat cacing ialah agar penelitian ini tidak terpengaruh oleh parasit cacing. Kerbau penelitian dirawat dengan sistem perkandangan individu. Selain itu, kerbau penelitian sesekali digembalakan ke padang rumput untuk mencari makan sendiri. Kerbau hanya dikeluarkan dari kandang saat pengambilan darah pada pagi hari, selama satu jam. Kerbau dimandikan setiap pagi dan sore hari untuk mencegah dehidrasi. Pengambilan Sampel Pengambilan darah dilakukan secara teratur setiap pagi hari pukul 07.00 08.00 WIB selama 15 hari. Darah diambil sebanyak 5 ml dari Vena jugularis dan dimasukan dalam tabung steril. Kerbau diambil darahnya tanpa perlakuan apapun. Darah didiamkan selama beberapa menit untuk diambil serumnya. Setiap sampel darah dari tabung yang sudah keluar serumnya disimpan dalam cool box berisi es batu. Pengujian sampel serum dilakukan setelah semua pengambilan darah selama 15 hari selesai.

18 Analisis Sampel Pengukuran kadar hormon menggunakan radioimunoassay (RIA) kit. Untuk mengetahui kadar hormon kortisol, maka serum dari sampel darah dianalisis dengan menggunakan cortisol [ 125 I] RIA kit. Kit terdiri dari 1 vial tracer (kortisol yang dilabel dengan yodium), 6 vial standar, 1 vial antiserum, 1 vial serum kontrol, dan 2 kotak tube untuk sampel serum. Untuk mengetahui kadar hormon triiodotironin, serum dianalisis dengan menggunakan T 3 [ 125 I] RIA kit. Kit ini terdiri dari 1 botol 125 I-tracer (dilabel dengan 125 I-labelled T 3 ), 1 botol antiserum, 6 vial standar, 1 vial serum kontrol, 2 kotak coated tube. Untuk mengetahui kadar hormon tiroksin, analisis serum menggunakan T 4 [ 125 I] RIA kit. Kit ini terdiri dari 1 botol 125 I-tracer (dilabel dengan 125 I-labelled T 4 ), 1 botol antiserum, 6 vial standar, 1 vial serum kontrol, 2 kotak coated tube. Pengujian dilakukan di Laboratorium Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pembacaan hasil cortisol, T 3, dan T 4 kit dilakukan di Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Ciawi Bogor. Parameter Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah kadar kortisol, kadar triiodotironin, dan kadar tiroksin dari serum darah empat kerbau betina mulai hari pertama sampai dengan hari kelima belas pascatransportasi. Untuk pengukuran hormon kortisol diukur setiap hari, sedangkan untuk pengukuran hormon triiodotironin dan tiroksin dilakukan pengukuran setiap dua hari sekali. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji analysis of variance (Anova) dan dilanjutkan uji Duncan.

19 HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Kortisol Kerbau Penelitian Selama Lima Belas Hari Pascatransportasi Ternak yang ditransportasikan akan terpapar oleh stressor psikologis (restraint, handling, dan keberadaan hewan lain) dan fisik (rasa lapar, haus, cedera, kepadatan dan kondisi cuaca). Menurut Hawari (2001), kondisi stres dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah dan emosi, peningkatan aktivitas syaraf simpatis, kekacauan psikologis, perubahan sistem hormonal, dan perubahan laju metabolisme. Berbagai stressor yang terdapat dalam transportasi ternak adalah handling, loading, saat perjalanan dalam kendaraan pengangkut, dan perpindahan ternak ke lingkungan baru. Salah satu indikator fisiologis yang umum dipakai dalam mengukur stres pascatransportasi adalah kadar hormon kortisol dalam darah. Hasil pengukuran kadar kortisol serum menggunakan metode RIA menunjukkan adanya pengaruh transportasi terhadap kerbau penelitian yang ditunjukkan melalui kadar kortisol yang meningkat dari kadar kortisol normal literatur yaitu sebesar 1,5 µg/dl (Khan et al. 2003). Hal ini sesuai dengan hasil analisis ragam terhadap kadar metabolit kortisol yang menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (p<0,05). Dari hasil pengukuran serum juga dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kadar kortisol selama lima belas hari pascatransportasi. Rataan dan simpangan baku kadar kortisol serum yang menggambarkan tingkat stres kerbau selama lima belas hari pascatransportasi disajikan dalam Tabel 3.

20 Tabel 3 Kadar metabolit kortisol empat kerbau penelitian selama lima belas hari pascatransportasi Hari Rataan Kadar Kortisol ± Simpangan Baku 1 2,23 a ± 1,06 2 0,59 cd ± 0,13 3 0,78 cd ± 0,29 4 1,02 cb ± 0,41 5 0,58 cd ± 0,10 6 0,52 cd ± 0,19 7 0,46 cd ± 0,13 8 0,56 cd ± 0,30 9 0,57 cd ± 0,16 10 0,44 cd ± 0,18 11 0,31 d ± 0,07 12 0,47 cd ± 0,13 13 0,91 cd ± 0,45 14 0,38 d ± 0,17 15 0,72 cd ± 0,51 Nilai Normal 1,5 b µg/dl (Khan et al. 2003) Keterangan: Huruf superscript berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai berbeda nyata (p<0,05) Berdasarkan Tabel 3, kerbau penelitian yang mengalami transportasi menunjukkan peningkatan kadar kortisol dibandingkan dengan kadar kortisol normal literatur yaitu sebesar 1,5 µg/dl (Khan et al. 2003). Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kadar kortisol tertinggi terjadi pada hari pertama yaitu pada saat hewan baru saja mengalami transportasi. Nilai kortisol pada hari pertama berbeda nyata bila dibandingkan dengan nilai normal kortisol dari literatur (Khan et al. 2003) dan bila dibandingkan terhadap hari-hari lain selama lima belas hari pascatransportasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Kannan et al. (2000) yang mengatakan bahwa nilai kortisol akan mulai meningkat sejak preload (ternak dimasukkan ke dalam truk) dan mencapai puncaknya pada jam ke-0 yaitu saat postload (saat tiba di tujuan), kadar kortisol lalu mulai menurun pada jam ke-1 dan mencapai level dasar 3 jam setelah transportasi. Selanjutnya hewan yang sudah dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan akan mengalami penurunan kadar kortisol (Puspitasari 2008).

21 Kadar Kortisol serum (µg/dl) 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Waktu (Hari) Gambar 1 Kadar kortisol serum kerbau selama lima belas pascatransportasi ( ) Peningkatan kadar kortisol darah disebabkan karena hewan merespon adanya stres transportasi meliputi jenis kendaraan yang digunakan, jumlah hewan yang ditransportasikan, jarak transportasi, panas, dan puasa. Keberadaan stressor non-thermal seperti suara bising, goncangan, kekurangan pakan dan minum saat transportasi juga akan meningkatkan kadar kortisol. Pada saat pengangkutan, 4 ekor kerbau penelitian diangkut menggunakan mobil bak terbuka berukuran 2 x 3 meter pada siang hari. Kerbau penelitian mengalami transportasi selama 2 jam dan menempuh jarak sejauh 15 kilometer. Proses transportasi demikian termasuk tipe short transportation dan dapat menyebabkan kondisi stres pada kerbau penelitian. Hal ini didukung oleh penelitian Honkavaara et al. (2003) yang menyatakan bahwa konsentrasi kortisol akan meningkat lebih tinggi dan turun secara signifikan pada transportasi dengan periode pendek (kurang lebih 1,5 jam) dibandingkan periode panjang (7-10 jam). Dalam kondisi stres, kadar kortisol akan menjadi sangat tinggi dikarenakan adanya pengiriman rangsangan ke hipotalamus sehingga hipotalamus akan mensekresi CRH yang dapat merangsang hipofise untuk melepaskan ACTH. Dengan adanya peningkatan sekresi ACTH maka akan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol. Selain itu, kortisol akan tetap meningkat karena adanya hambatan negative feedback ke hipotalamus dan hipofise sehingga sekresi CRH dan ACTH tetap berlangsung. Normalnya pelepasan ACTH dari kelenjar hipofise anterior akan ditekan saat kadar glukokortikoid meningkat (negative feedback mechanism). Namun pada kondisi

22 stres hal ini tidak terjadi karena stressor dapat mengesampingkan negative feedback mechanism. Negative feedback yang muncul saat awal-awal stres mengurangi ketersediaan Ca 2+ di intraselular hipofise anterior sehingga pelepasan ACTH harusnya dihambat, namun pelepasan AVP tidak terpengaruh oleh mekanisme negative feedback tersebut, akibatnya kadar AVP tetap sehingga tetap merangsang sel-sel kortikotropik di pars distalis hipothalamus yang mengakibatkan pelepasan CRH ke kelenjar hipofise anterior tetap berlangsung, akibatnya pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal tetap berlangsung (Norris 2010). Dari grafik juga dapat dilihat bahwa penurunan kortisol dimulai sejak hari kedua pascatransportasi. Penurunan kortisol pascatransportasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Pertama, hal ini dimungkinkan karena kerbau penelitian telah mengalami proses adaptasi sehingga sehingga tingkat stres menjadi menurun. Adaptasi merupakan suatu proses tanggapan fisiologis akibat adanya stimulus yang berulang (Clark et al. 1997). Dalam hal ini, kerbau penelitian mulai dapat beradaptasi terhadap lingkungan baru yakni dengan diberikan kandang individu sehingga setiap kerbau mulai menemukan zona nyamannya. Kedua, penurunan kadar kortisol disebabkan karena sekresi ß-endorphin sebagai respon terhadap stres. Mekanisme ini terjadi sebagai konsekuensi karena adanya mekanisme umpan balik untuk melawan rangsang yang terjadi berulang. Kondisi demikian menyebabkan hipofisis pars intermedia (Johnson & Everitt 1994) dan hipofisis pars anterior (Clark et al. 1997) mensekresikan ß-endorphin yang memiliki efek untuk menekan timbulnya stres (Brook & Marshall 1996). Ketiga, penurunan kortisol dikarenakan kerbau penelitian tidak mendapat stimulus stres yang berulang akibat transportasi. Stimulus akibat transportasi tersebut menyebabkan proses stres berlangsung cepat dan segera menurun kembali. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan kecepatan hipotalamus dalam menanggapi stimulus yang diberikan. Sutian (2005) menyatakan bahwa ketika stimulus tidak diberikan berulang maka sekresi kortisol akan menurun. Kadar kortisol pada hari ketiga dan keempat terlihat meningkat kembali. Peningkatan kadar kortisol setelah terjadi penurunan, kemungkinan disebabkan terjadinya perubahan lingkungan yang mendadak yang belum dapat diatasi dengan