BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

dokumen-dokumen yang mirip
CONTOH SURAT PERJANJIAN KREDIT

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

PERJANJIAN KREDIT MODAL KERJA. Nomor: 114/VI.PKMK/A /28/11/2012 ANTARA PT.BANK MANDIRI DENGAN PT.SERJO COAL SEJAHTERA

SYARAT DAN KETENTUAN

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

SYARAT DAN KETENTUAN DANA BANTUAN SAHABAT

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

PERJANJIAN KREDIT No:

Syarat dan Ketentuan Umum Fasilitas Commonwealth KTA PT Bank Commonwealth

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

Pasal 12 ayat (1) dan (2)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

SYARAT DAN KETENTUAN DANA BANTUAN SAHABAT

PERJANJIAN PINJAMAN. (Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman selanjutnya secara bersama disebut sebagai Para Pihak )

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan dapat didefinisikan sebagai suatu badan usaha yang menghimpun

PERATURAN NOMOR VI.A.3 : REKENING EFEK PADA KUSTODIAN Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor : Kep- /PM/1997 Tanggal : Desember

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

Syarat dan Ketentuan Umum PermataKTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERJANJIAN KERJASAMA PEMBERIAN KREDIT USAHA KECIL (KUK) ANTARA PT BANK SKR JRENG DENGAN PT SKR JOS FINANCE. Nomor...

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR: 1/POJK.07/2013 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

Berikut ini adalah beberapa istilah dalam Syarat dan Ketentuan di bawah ini akan memiliki arti sebagai berikut:


SYARAT DAN KETENTUAN FASILITAS DANA BANTUAN SAHABAT

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

KAJIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN KENDARAAN BERMOTOR PADA PT. BUSSAN AUTO FINANCE SURAKARTA. Oleh:

KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL NOMOR KEP- 48/PM/1997 TENTANG REKENING EFEK PADA KUSTODIAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL,

CONTOH SURAT PERJANJIAN SEWA BELI RUMAH

KETENTUAN DAN PERSYARATAN KHUSUS PEMBUKAAN REKENING INVESTOR

Awal/Kepala Akta Perjanjian Kredit

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

SYARAT DAN KETENTUAN UMUM PEMBERIAN FASILITAS KREDIT RUMAH

PP 9/1999, PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

Kecuali konteksnya menentukan lain, istilah istilah dalam Syarat dan Ketentuan di bawah ini akan memiliki arti sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB IV PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR. A. Pelaksanaan Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1.11. Nasabah adalah orang atau individu selaku peminjam Citibank Ready Credit.

KETENTUAN-KETENTUAN DAN SYARAT-SYARAT PPJB

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA TAKE OVER PEMBIAYAAN DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BENTUK SURAT PERINTAH KERJA (SPK) [kop surat K/L/D/I] SATUAN KERJA PPK: NOMOR DAN TANGGAL SPK NOMOR DAN TANGGAL DOKUMEN PENGADAAN :

Persyaratan dan Ketentuan Pasal 1. DEFINISI

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

1 KETENTUAN MENDAPATKAN FASILITAS PINJAMAN

Perjanjian Agen Pembayaran Nomor: SP- /AP/KSEI/mmyy

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN GADAI PADA PT. PEGADAIAN (PERSERO) 1 Oleh: Sartika Anggriani Djaman 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN TENTANG PENGELOLAAN, PENATAUSAHAAN, SERTA PENCATATAN ASET DAN KEWAJIBAN D

loket). Biaya tersebut dialihkan secara sepihak kepada konsumen.

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB III PEMBAHASAN. Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang diartikan buruk,

BAB I PENDAHULUAN. disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

Perjanjian Pendaftaran Obligasi Di KSEI Nomor: SP- /PO/KSEI/mmyy

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

BAB V PENUTUP. peraturan-peraturan dan teori-teori yang ada, dapat ditarik kesimpulan sebagai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PP 17/1999, BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.04/2016 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Syarat dan ketentuan 1. Definisi Dalam syarat dan ketentuan ini, kecuali apabila konteksnya menentukan lain, istilah-istilah berikut ini memiliki arti

RINGKASAN INFORMASI PRODUK DANA INSTANT

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG]


UU No. 8/1995 : Pasar Modal

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1996 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat) dimana

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Penggunaan Klausula Baku pada Perjanjian Kredit

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

Transkripsi:

44 BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X 4.1 Kedudukan Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Perjanjian yang akan dianalisis di dalam penulisan skripsi ini adalah perjanjian kredit yang menggunakan perjanjian baku atau standard contract yang bersifat sepihak yaitu telah disediakan oleh bank, di mana pihak debitur akan mengikatkan dirinya kepada bank sebagai penyedia sarana peminjaman uang. Standard Contract ini dibuat atas dasar take it or leave it yang artinya pihak pembuat formulir kontrak perjanjian yaitu bank dengan menetapkan terlebih dahulu syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian telah memaksa pihak lainnya yang bermaksud untuk melakukan transaksi dengannya untuk menerima dan menyetujui syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian itu, atau tidak sama sekali, di mana dalam hal ini tidak ada tempat bagi tawar menawar yang dimaksudkan untuk merubah syarat-syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh bank. Penggunaan Standard Contract dimaksudkan untuk mengantisipasi ketidakpastian ketika bank berhubungan dengan pihak luar. Dengan pembuatan serta penggunaan standard contract, maka biaya pembuatan suatu perjanjian akan lebih murah karena mempersingkat proses perundingan dan bahkan dapat menghapuskannya sama sekali. Selain itu ketidakpastian mengenai tanggung jawab atas kewajiban ganti rugi yang mungkin timbul dapat dikurangi sekecil mungkin. Sehingga jika terjadi perselisihan dengan pihak yang mengikatkan diri, pihak pembuat perjanjian standar akan selalu berada dalam kedudukan yang lebih kuat. Hal inilah yang membuat terdapat sejumlah keterbatasan dalam pelaksanaan standard contract. Berdasarkan Perjanjian Kredit ini, yang menjadi hak dari kreditur adalah: 1. Sehubungan dengan pemberian fasilitas kredit, PT. Bank X berdasarkan pertimbangannya berhak untuk menatausahakan fasilitas kredit melalui kantor cabangnya di manapun berada, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur. (Pasal 2 butir 4)

45 2. Besarnya suku bunga tersebut dapat ditinjau kembali oleh PT. Bank X pada setiap saat sesuai perkembangan moneter. (Pasal 4 butir 3) 3. PT. Bank X berhak mendebet rekening debitur yang ada pada PT. Bank X atau dengan cara lain yang disepakati untuk pembayaran provisi atau komisi. (Pasal 4 butir 5) 4. PT. Bank X tidak berkewajiban untuk membayar kembali kepada debitur provisi yang telah dibayar oleh debitur kepada PT. Bank X apabila perjanjian kredit telah ditandatangani namun fasilitas kredit tidak digunakan oleh debitur atau utang menjadi jatuh waktu karena yang tercantum dalam Pasal 14.3 perjanjian kredit atau terjadi kejadian sebagaimana diuraikan dalam Pasal 18.3 perjanjian kredit. (Pasal 4 butir 8) 5. PT. Bank X berhak menyatakan utang menjadi jatuh waktu dengan seketika dan wajib dibayar sekaligus lunas oleh debitur kepada PT. Bank X tanpa memperhatikan ketentuan pembayaran utang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 perjanjian kredit, dengan ketentuan kewajiban-kewajiban debitur yang timbul dari perjanjian kredit tetap wajib dipenuhi jika terjadi kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 14.1 perjanjian kredit dan para pihak menyatakan tidak berlaku Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya yang mengatur keharusan untuk mengajukan permohonan pembatalan perjanjian melalui pengadilan. (Pasal 14 butir 3) 6. PT. Bank X berhak untuk melaksanakan hak-haknya selaku kreditur untuk memperoleh pengembalian utang dengan jalan pelaksanaan hak-haknya terhadap debitur dan/atau harta kekayaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada pelaksanaan/eksekusi hak-hak PT. Bank X terhadap agunan dan/atau penjamin berdasarkan dokumen agunan serta akta pemberian jaminan jika utang menjadi waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.3 perjanjian kredit. (Pasal 14 butir 4) 7. PT. Bank X berhak, tanpa persetujuan terlebih dahulu dari debitur, memindahkan atau mengalihkan dengan cara apa pun sebagian atau seluruh hak dan/atau kewajiban PT. Bank X dalam memberikan fasilitas kredit berdasarkan perjanjian kredit kepada lembaga keuangan, bank atau kreditur

46 lainnya yang pelaksanaannya cukup dengan memberitahukan secara tertulis kepada debitur. (Pasal 18 butir 1) 8. PT. Bank X berhak, tanpa persetujuan terlebih dahulu dari debitur, memblokir/membekukan dan/atau mencairkan dan/atau mendebet dana yang terdapat dalam rekening-rekening debitur pada PT. Bank X dan menggunakan hasilnya untuk diperhitungkan atau dikompensasikan dengan utang dalam hal terjadi kejadian kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 14.1 perjanjian kredit. (Pasal 18 butir 2) 9. Debitur dengan ini menyetujui dalam hal terjadi perubahan dalam bidang moneter, keuangan, ekonomi atau politik yang mempengaruhi secara material likuiditas PT. Bank X, baik secara langsung maupun tidak langsung, PT. Bank X berhak: (Pasal 18 butir 3) i. Menunda tanggal penarikan dan/atau penggunaan fasilitas kredit yang diajukan oleh debitur; dan/atau ii. Menurunkan jumlah fasilitas kredit; dan/atau iii. Mengganti pemberian fasilitas kredit sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.1 perjanjian kredit dengan mata uang lain yang tersedia pada PT. Bank X; dan/atau iv. Menghentikan pemberian fasilitas kredit. 10. Untuk keperluan pelaksanaan pembayaran utang sesuai perjanjian kredit, dengan ini debitur memberi kuasa dan wewenang kepada PT. Bank X untuk dari waktu ke waktu melaksanakan pendebetan atas dana yang terdapat dalam setiap rekening debitur pada PT. Bank X. (Pasal 19 butir 1) 11. Untuk memastikan ketertiban pembayaran kembali utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.2 perjanjian kredit, debitur, sekarang ini untuk nanti pada waktunya, memberi kuasa kepada PT. Bank X untuk dan atas nama debitur mencairkan dan/atau dengan cara lain mendebet dana yang terdapat dalam setiap rekening debitur pada PT. Bank X. (Pasal 19 butir 2) Adapun yang menjadi kewajiban kreditur dalam perjanjian kredit ini adalah :

47 1. Memberikan fasilitas kredit sebesar nominal tertentu kepada debitur, dengan mengindahkan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian kredit. (Pasal 2 butir 1) 2. Apabila setelah semua kewajiban yang menjadi beban debitur dibayar lunas dan ternyata masih terdapat kelebihan uang maka PT. Bank X akan menyerahkan kelebihan uang tersebut kepada debitur atau pihak yang berhak atas kelebihan uang tersebut. (Pasal 15 butir 2) Sedangkan yang menjadi hak debitur berdasarkan perjanjian kredit ini adalah: 1. Debitur mendapatkan pinjaman kredit dari kreditur sejumlah nominal tertentu yang sudah disetujui. (Pasal 2 butir 2) 2. Penarikan dana/atau fasilitas kredit dapat dilakukan oleh debitur pada setiap hari kerja apabila debitur telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. (Pasal 6 butir 1) Adapun yang menjadi kewajiban debitur menurut perjanjian kredit ini adalah: 1. Debitur wajib membayar bunga sebesar... (sesuai kesepakatan) persen per tahun, yang dihitung dari tanggal yang ditentukan atas setiap pinjaman uang yang terutang berdasarkan perjanjian kredit kecuali untuk fasilitas bank garansi dan/atau fasilitas letter of credit (L/C) yang diatur secara khusus dalam lampiran. (Pasal 4 butir 1) 2. Debitur wajib membayar bunga sebelum melampaui tanggal fasilitas kredit wajib dibayar lunas. (Pasal 4 butir 2) 3. Debitur wajib membayar provisi atau komisi kepada PT. Bank X sebesar... (sesuai kesepakatan) persen per tahun. Provisi tersebut wajib dibayar pada tanggal yang sama dengan tanggal penandatanganan perjanjian kredit atau tanggal lain yang dsetujui oleh PT. Bank X. (Pasal 4 butir 4) 4. Apabila tanggal pembayaran bungan dan/atau tanggal pembayaran provisi atau komisi jatuh pada hari yang bukan merupakan hari kerja maka debitur wajib menyediakan dana dalam rekeningnya pada PT. Bank X untuk keperluan pembayaran bunga atau provisi atau komisi pada hari kerja sebelumnya. (Pasal 4 butir 7)

48 5. Debitur memenuhi ketentuan-ketentuan khusus mengenai cara penarikan dan/atau cara penggunaan bagi fasilitas kredit tertentu sebagaimana diatur lebih lanjut dalam lampiran. (Pasal 6 butir 2) 6. Pembayaran utang wajib dilakukan oleh debitur dalam mata uang yang sama dengan fasilitas kredit yang diberikan PT. Bank X dan harus sudah efektif diterima PT. Bank X di kantor cabangnya di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat selambat-lambatnya pukul 11.00 waktu setempat. (Pasal 7 butir 1) 7. Apabila tanggal pembayaran utang jatuh pada hari yang bukan merupakan hari kerja maka debitur wajib menyediakan dana dalam rekeningnya pada PT. Bank X untuk keperluan tersebut pada hari kerja sebelumnya. (Pasal 7 butir 2) 8. Jika debitur lalai membayar utang karena sebab apapun pada tanggal jatuh waktunya maka debitur wajib membayar denda atas jumlah uang yang lalai dibayar itu terhitung sejak tanggal jumlah tersebut wajib dibayar sampai jumlah tersebut dibayar seluruhnya sebesar nominal yang ditentukan. (Pasal 8 butir 1) 9. Debitur wajib mengasuransikan agunan yang sifatnya dapat diasuransikan terhadap bahaya kebakaran, kecurian atau bahaya-bahaya lainnya yang dianggap perlu oleh PT. Bank X pada perusahaan asuransi yang disetujui oleh PT. Bank X, untuk jumlah dan syarat-syarat yang dianggap baik oleh PT. Bank X selama debitur belum mambayar lunas utang atau batas waktu penarikan dan/atau penggunaan fasilitas kredit belum berakhir. (Pasal 10 butir 1) 10. Debitur wajib mentaati semua undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan pemerintah, petunjuk atau instruksi dari pemerintah yang berlaku terhadap debitur. (Pasal 12 butir a) 11. Debitur wajib untuk segera memberitahukan kepada PT. Bank X secara tertulis tentang adanya setiap perkara yang menyangkut debitur, baik perdata, tata usaha negara, tuntutan pajak, penyidikan maupun perkara pidana yang akan mempengaruhi usaha maupun harta kekayaan debitur. (Pasal 12 butir b) 12. Debitur wajib untuk segera memberitahukan kepada PT. Bank X secara tertulis dengan melampirkan dokumen pendukung setiap kali terjadi perubahan anggaran dasar serta perubahan susunan direksi, komisaris dan/atau

49 pemegang saham debitur (apabila debitur berbentuk badan usaha). (Pasal 12 butir c) 13. Debitur wajib untuk membayar semua biaya yang timbul dan berhubungan dengan pemberian fasilitas kredit serta pelaksanaan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian kredit meskipun fasilitas kredit tidak digunakan dan/atau perjanjian kredit dibatalkan. (Pasal 12 butir d) 14. Debitur wajib untuk memberikan segala keterangan yang diminta oleh PT. Bank X yang berhubungan dengan pemberian fasilitas kredit dan agunan. (Pasal 12 butir e) 15. Debitur wajib untuk mempertahankan hak atas kekayaan intelektual, antara lain hak cipta, paten dan merek yang telah atau akan dimiliki oleh debitur. (Pasal 12 butir f) 16. Debitur wajib untuk menyerahkan laporan keuangan setiap bulan, dalam hal fasilitas kredit yang diberikan PT. Bank X kepada debitur dalam jumlah yang sama atau lebih dari nominal yang ditentukan. (Pasal 12 butir g) 17. Jika debitur diwajibkan oleh Undang-Undang atau peraturan hukum yang berlaku untuk melakukan pemotongan atau pengurangan atas jumlah uang yang wajib dibayarnya berdasarkan perjanjian kredit maka debitur wajib membayar suatu jumlah tambahan kepada PT. Bank X yang besarnya sedemikian rupa sehingga setelah dilakukan pemotongan atau pengurangan tersebut PT. Bank X akan menerima dari debitur suatu jumlah uang yang sama besarnya seakan-akan tidak pernah dilakukan pemotongan atau pengurangan tersebut. (Pasal 16 butir 2) Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, dapat terlihat bahwa terdapat ketidakseimbangan kedudukan antara pihak kreditur dengan pihak debitur. Kedudukan yang tidak seimbang tersebut dapat dilihat dari hal-hal berikut ini: 1. Bahwa terdapat 11 hak yang dimiliki oleh pihak bank dan 2 kewajiban yang dimiliki pihak bank sedangkan hanya terdapat 2 hak yang dimiliki oleh pihak debitur dan 17 kewajiban pihak debitur. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan dan ketidaksetaraan antara pihak kreditur dan pihak debitur, di mana pihak kreditur memiliki hak yang lebih banyak jumlahnya

50 dibandingkan dengan hak yang dimiliki oleh pihak debitur dan pihak debitur memiliki kewajiban yang lebih banyak daripada kewajiban yang dimiliki oleh pihak kreditur. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam perjanjian kredit ini terjadi ketidaksetaraan serta terdapat keadaan yang berat sebelah yang lebih menguntungkan pihak kreditur dan merugikan pihak debitur. 2. Kurang adanya atau bahkan tidak adanya kesempatan bagi debitur untuk melakukan tawar-menawar, sehingga pihak debitur tidak banyak memiliki kesempatan dan waktu untuk mengetahui isi dari perjanjian kredit tersebut, apalagi terdapat klausula dalam perjanjian kredit yang ditulis dengan perkataan yang sulit dimengerti. 3. Karena penyusunan perjanjian kredit yang dilakukan secara sepihak, maka pihak penyedia kredit dalam hal ini pihak bank biasanya memiliki cukup banyak waktu untuk memikirkan mengenai klausula-klausula dalam perjanjian kredit tersebut, bahkan mungkin saja telah terlebih dahulu berkonsultasi dengan para ahli, sedangkan pihak yang diberikan perjanjian kredit dalam hal ini pihak debitur tidak banyak memiliki kesempatan dan sering kali merasa awam atau tidak paham dengan klausula-klausula tersebut 4. Pihak yang diberikan perjanjian kredit dalam hal ini pihak debitur menempati kedudukan yang tidak seimbang dibandingkan dengan kedudukan pihak kreditur, sehingga hanya dapat bersikap take it or leave it terhadap perjanjian kredit tersebut. Pihak debitur harus menyepakati dan menandatangani perjanjian kredit tersebut dan menerima segala hal yang telah diatur oleh pihak kreditur dalam perjanjian kredit tersebut yang tentunya sangat menguntungkan pihak kreditur sebagai pembuat dari kontrak baku dalam perjanjian kredit tersebut apabila hendak meminjam uang tersebut. 5. Bahwa terdapat klausula-klausula yang memungkinkan pihak kreditur melakukan tindakan secara sepihak. Klausula-klausula tersebut adalah: a. Pasal 18-Lain-lain Pasal 18.1. PT. Bank X berhak tanpa persetujuan terlebih dahulu dari debitur, memindahkan atau mengalihkan dengan cara apa pun sebagian atau seluruh hak dan/atau kewajiban PT. Bank X dalam memberikan fasilitas kredit berdasarkan Perjanjian Kredit kepada lembaga keuangan,

51 bank atau kreditor lainnya yang pelaksanaannya cukup dengan memberitahukan secara tertulis kepada debitur. b. Pasal 4-Bunga dan provisi atau komisi Pasal 4.3. Besarnya suku bunga tersebut dapat ditinjau kembali oleh PT. Bank X pada setiap saat sesuai dengan perkembangan moneter. Dari ketentuan ini tercermin ketidakseimbangan hak dan kewajiban dimana secara sepihak ditentukan hak pengalihan hanya ada pada pihak bank saja, yang mungkin untuk alasan kepraktisan mengurangi kewajibannya, tanpa diiringi dengan kewajiban bank untuk meminta persetujuan kepada debitur mengenai pengalihan dan memberikan pilihan kepada debitur untuk mempertimbangkan apakah pengalihan kepada pihak lain tidak merugikan kepentingan debitur. Menurut penulis, konsumen seharusnya masih dapat diberi pilihan untuk mempertimbangkan dan menilai apakah tindakan pengalihan oleh bank tidak memberatkan debitur, jika debitur kemudian menemukan pihak lain yang memberikan keringanan dan menurut pertimbangannya lebih baik dibandingkan pihak yang ditunjuk bank. Dengan adanya klausula ini memberi peluang kepada bank untuk menentukan berapapun bunga pinjaman dan debitur wajib untuk menerimanya. Ketergantungan konsumen yang kuat terhadap bank untuk memenuhi kebutuhan finansial, mendorong konsumen untuk menerima persyaratan walaupun konsumen akhirnya menjadi dirugikan karena beban yang semakin bertumpuk selain utang pokoknya, dan juga kemungkinan untuk membayar tingkat bunga yang bisa saja sangat tinggi yang tidak diperkirakan. Klausula tersebut juga melanggar ketentuan dalam UUPK yang sepenuhnya bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen yaitu debitur sebagai pengguna jasa perbankan. Dalam hal terjadi kenaikan bunga yang dibebankan kepada nasabah, maka selayaknya debitur dapat melakukan upaya lainnya untuk mengurangi kerugian yang mungkin dialami dengan kenaikan bunga, misalnya bila dikehendaki, mengakhiri

52 perjanjian kredit tersebut dan mencari jasa atau fasilitas perbankan yang sesuai dengan yang diinginkannya. Upaya memberikan keseimbangan hak dan kewajiban kreditur dan debitur dituangkan dalam Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 35 RUU Perkreditan Perbankan, dimana penentuan tingkat suku bunga ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan bila terjadi penyesuaian tingkat suku bunga kredit yang harus dilakukan bank karena alasan tertentu wajib diberitahukan kepada debitur. Dalam hal ini debitur dapat mengajukan keberatan atas kenaikan tersebut, hal ini dilakukan untuk tidak menutup upaya debitur untuk melakukan negosiasi. Dalam RUU ini sangat jelas dikatakan bahwa tidak diperhatikannya larangan mengenai penambahan adanya ketentuan baru atau tambahan peraturan dari perjanjian kredit dapat mengakibatkan perjanjian batal demi hukum. Tidak terlindunginya kepentingan konsumen akan hak-haknya dengan dilanggarnya UUPK dengan klausula baku ini dapat mengakibatkan batal demi hukum dan klasula ini tidak berlaku. Menurut penulis, kekuasaan bank yang sedemikian besarnya untuk menentukan secara sepihak tingkat suku bunga yang akan diberlakukan seharusnya diberikan pembatasan agar debitur tidak menanggung beban suku bunga yang tidak rasional, yang dapat mengakibatkan kerugian pada debitur dan bank bila sampai terjadi kredit macet. c. Pasal 19.1. Untuk keperluan pelaksanaan pembayaran utang sesuai perjanjian kredit, dengan ini debitur memberikan kuasa dan wewenang kepada PT. Bank X untuk dari waktu ke waktu melaksanakan pendebetan atas dana yang terdapat dalam setiap rekening debitur pada PT. Bank X. d. Pasal 19.2. Untuk memastikan ketertiban pembayaran kembali utang sebagaimana dimaksud dalam pasal 18.2 perjanjian kredit, debitur, sekarang ini untuk nanti pada waktunya, member kuasa kepada PT. Bank X, untuk dan atas nama debitur, mencairkan dan/atau dengan cara lain

53 mendebet dana yang terdapat dalam setiap rekening debitur pada PT. Bank X. Tindakan pemberian kuasa kepada pelaku usaha untuk melakukan tindakan sepihak tersebut dapat merugikan konsumen. Namun konsumen yang membutuhkan kredit dalam keadaan terpaksa menerima persyaratan yang memberikan kuasa kepada bank untuk mendebet rekening konsumen untuk membayar cicilan kredit. Tindakan bank yang demikian memanfaatkan kedudukannya yang lebih kuat dibanding debitur yang dapat memaksa debitur menerima ketentuan baku secara sepihak dalam perjanjian kredit menurut penulis merupakan pelanggaran terhadap jaminan kelangsungan transaksi yang fair bagi konsumen dan dapat menimbulkan kerugian pada konsumen. Adanya resiko kerugian bagi konsumen dapat timbul dikarenakan kesalahan bank dalam menghitung jumlah cicilan dan kewajiban pembayaran lainnya (angsuran pokok, bunga dan biaya) yang harus didebet dari rekening konsumen. Konsumen yang dirugikan dapat mengajukan keberatan, akan tetapi tidak mudah bagi konsumen untuk dapat mengetahui pembukuan bank. Pemberian kuasa dalam Pasal 1792 KUHPerdata disebutkan sebagai suatu persetujuan dengan mana seseorang memberi kekuasaan kepada orang lain, yang menerimannya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Menurut Subekti menyelenggarakan suatu urusan yaitu melakukan perbuatan hukum. 95 Pemberian kuasa dapat bersifat khusus dan umum, dalam hal ini kuasa yang diberikan kepada bank hanya untuk melakukan pendebetan rekening debitur dan menggunakannya untuk membayar cicilan. Walaupun dalam kuasa bank dapat menetapkan sendiri besarnya jumlah yang akan didebet dari rekening debitur, kreditur harus dengan itikad baik menjalankan kuasa dan tidak melakukan hak yang merugikan debitur. 95 Subekti, op. cit., hal. 45.

54 Prinsip itikad baik sangat penting dalam pembuatan suatu kontrak sehingga pelanggaran terhadapnya dapat mengakibatkan perjanjian batal demi hukum. Bank sebagai penerima kuasa tidak boleh melakukan perbuatan lain melampaui kuasa yang telah diberikan berdasarkan Pasal 1797 KUHPerdata, pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakan perbuatan melawan hukum yang bila menimbulkan kerugian pada debitur dapat digugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, yang memenuhi unsur-unsur berikut: 1) adanya perbuatan yang melawan hukum; 2) ada kerugian; 3) ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian; 4) adanya kesalahan. 4.2 Analisis Perjanjian Kredit Yang Dibakukan Pada PT. Bank X Berdasarkan Pasal 18 UUPK 4.2.1 Substansi Klausula Baku yang Dilarang Pasal 18 ayat (1) UUPK 1. Klausula baku yang mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen. a. Pasal 14.1 f Perjanjian Kredit. Menurut penilaian PT. Bank X, keadaan keuangan, bonafiditas dan solvabilitas debitur dan/atau penjamin mundur sedemikian rupa sehingga mempengaruhi kemampuan debitur dan/atau penjamin dalam melakukan pembayaran utang. b. Pasal 14.2 Perjanjian Kredit. Apabila debitur berkewajiban untuk melakukan suatu kewajiban berdasarkan perjanjian kredit dalam suatu waktu yang ditetapkan dan debitur lalai melaksanakannya maka dengan lewatnya waktu saja sudah merupakan bukti yang sah dan cukup untuk kelalaian debitur sehingga tidak diperlukan suatu pemeberitahuan (somasi) atau surat lain yang serupa dengan itu serta surat peringatan dari juru sita. c. Pasal 14.3 Perjanjian Kredit. Jika terjadi kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 14.1 perjanjian kredit, para pihak menyatakan tidak berlaku Pasal 1266 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya yang mengatur keharusan untuk mengajukan permohonan pembatalan

55 perjanjian melalui pengadilan negeri, dan PT. Bank X berhak menyatakan utang menjadi jatuh waktu dengan seketika dan wajib dibayar sekaligus lunas oleh debitur kepada PT. Bank X tanpa memperhatikan ketentuan pembayaran utang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 perjanjian kredit, dengan ketentuan kewajiban-kewajiban debitur yang timbul dari perjanjian kredit tetap wajib dipenuhi. d. Pasal 14.4 Perjanjian Kredit. Jika utang menjadi jatuh waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.3 perjanjian kredit maka PT. Bank X berhak untuk melaksanakan hak-haknya selaku kreditur untuk memperoleh pengembalian utang dengan jalan pelaksanaan hak-haknya terhadap debitur dan/atau harta kekayaannya, termasuk tetapi tidak terbatas pada pelaksanaan/eksekusi hak-hak PT. Bank X terhadap agunan dan/atau penjamin berdasarkan dokumen agunan serta akta pemberi jaminan. Klausula-klausula tersebut menunjukkan bahwa debitur dapat dianggap lalai hanya dengan penilaian sepihak oleh pihak bank. Hal ini sangat merugikan konsumen dan juga melanggar ketentuan UUPK Pasal 18 ayat (1) butir e. Dengan dinyatakannya debitur lalai maka bank dapat mengakhiri perjanjian kredit tersebut yang berarti hilangnya pemanfaatan jasa tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Dalam perjanjian kredit ini pihak bank tidak memberikan kualifikasi mengenai apa yang mengakibatkan tidak dipenuhinya kewajiban pembayaran oleh pihak bank. Menjadi pertanyaan apakah tidak dibayarnya tagihan cicilan kredit karena memang debitur lalai tidak melakukan pembayaran atau pembayaran cicilan sudah dilakukan tetapi terjadi hal-hal di luar kuasanya dan berasal dari bank, misalnya gangguan transmisi elektronik pada bank yang mengakibatkan gangguan sistem sehingga tidak dapat dilakukannya pendebetan rekening atau transfer rekening atau karena kesalahan petugas bank, atau juga bisa dikarenakan saja tidak dibayarnya karena keterlambatan untuk waktu tertentu tetapi ia masih dapat memenuhi di kemudian hari.

56 Dalam hal ini diperlukan pembuktian, akan tetapi untuk membuktikan bahwa kelalaian tidak terjadi dari sisi konsumen tidak dimungkinkan karena terbatasnya akses dan pengetahuan konsumen akan sistem elektronik di perbankan, oleh karena itu beban pembuktian seharusnya berada pada pihak bank. Pengaturan mengenai beban pembuktian yang diatur dalam UUPK dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20 dan Pasal 21 UUPK hanya mengatur pembuktian dalam adanya tuntutan pidana yaitu ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana yang merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi, tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Dengan tidak adanya kesempatan bagi konsumen untuk melakukan pembuktian dalam perjanjian kredit, maka ketentuan pasal-pasal tersebut, merupakan pelanggaran terhadap pengaturan perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen. Penulis berpendapat bahwa dengan dicantumkannya klausula demikian merugikan konsumen karena konsumen dianggap lalai dan karenanya menanggung resiko adanya tindakan bank untuk menagih pelunasan seketika serta eksekusi terhadap barang yang di jaminkan. Dalam kondisi ini tidak ada keseimbangan prestasi antara bank dan debitur, dan ketidakseimbangan ini disebabkan bank telah melakukan penyalahgunaan keadaan atas keunggulan ekonominya dalam perjanjian kredit dengan memanfaatkan kedudukannya yang lebih kuat secara ekonomi dan ketergantungan ekonomi konsumen yang dalam kondisinya terdesak akan kebutuhannya uang tersebut, sehingga menerima syarat yang tidak patut karena mengatur kesempatan konsumen untuk meminta pembuktian. Menurut penulis, tidak diberikan waktu tenggang untuk memenuhi kewajiban pembayaran untuk debitur memperbaiki kesalahan dan melakukan pembayaran berikutnya merupakan hal yang tidak fair bagi konsumen. Bank semestinya memiliki tanggung jawab untuk mencaritahu kendala yang dihadapi debitur, melakukan somasi atau peringatan kepada

57 debitur terlebih dahulu, memberikan waktu tenggang untuk debitur memenuhi kewajibannya dan melakukan negosiasi ulang tanpa harus langsung memutuskan konsumen dalam keadaan lalai dan kemudian berhak menuntut pelunasan utang dan melakukan eksekusi terhadap agunan. Menurut Mariam Badrulzaman, kenyataan dalam praktek pengadilan (yurisprudensi) bila kreditur menuntut pemenuhan, lembaga penetapan lalai juga diperlukan. Peringatan atau pernyataan lalai diperlukan untuk memberikan kesempatan kepada konsumen bilamana debitur masih bersedia memenuhi prestasi namun terlambat memenuhinya. Sebaiknya untuk penciptaan keseimbangan dalam hubungan bank dengan debitur dapat lebih baik dapat mengikuti RUU Perbankan dimana dalam hal debitur mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya, Pasal 19 ayat (1) menawarkan penyelesaian melalui restrukturisasi kredit terlebih dahulu kepada debitur. Dan apabila tindakan penyelamatan kredit dengan restrukturisasi tidak berhasil, maka kreditur dapat melakukan penyelesaian kredit salah satunya dengan eksekusi jaminan. Selanjutnya bilamana dilakukan eksekusi terhadap jaminan, klausula tersebut memberikan keleluasaan bagi pihak bank untuk sewaktuwaktu mengambil jaminan, tanpa ada kewajiban pemberitahuan sebelumnya, dan tanpa ada tanggung jawab dari pihak bank untuk membuktikan terlebih dahulu pelanggaran atau kelalaian debitur. Klausula tersebut ditafsirkan bahwa kesalahan ada pada pihak debitur yang dianggap telah terjadi pada saat tidak atau belum dipenuhinya cicilan kredit tanpa didahului oleh pemberian tenggang waktu untuk proses pembuktian kelalaian tersebut sebelum diperkarakan di muka hakim di pengadilan. 2. Klausula Baku yang Memberi Hak kepada Pelaku Usaha untuk Mengurangi Manfaat Jasa atau Mengurangi Harta Kekayaan Konsumen yang Menjadi Obyek Jual Beli Jasa a. Pasal 18.3 Perjanjian Kredit. Debitur dengan ini menyetujui dalam hal terjadi perubahan dalam bidang moneter, keuangan, ekonomi atau politik

58 yang mempengaruhi secara material likuiditas PT. Bank X, baik secara langsung maupun tidak langsung, PT. Bank X berhak: i. Menunda tanggal penarikan dan/atau penggunaan fasilitas kredit yang diajukan oleh debitur; dan/atau ii. Menurunkan jumlah fasilitas kredit; dan/atau iii. Mengganti pemberian fasilitas kredit sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.1 perjanjian kredit dengan mata uang lain yang tersedia pada PT. Bank X; dan/atau iv. Menghentikan pemberian fasilitas kredit. Klausula dalam perjanjian kredit tersebut melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) butir f UUPK, karena klausula tersebut bertujuan untuk memberikan hak kepada PT. Bank X untuk melakukan tindakan-tindakan yang mengurangi manfaat jasa bagi konsumen. Dengan adanya klausula tersebut, kreditur memaksa pihak debitur untuk menyetujui pemberian hak kepada pelaku usaha untuk melakukan tindakan yang mengurangi manfaat jasa yang dapat berupa pengurangan fasilitas kredit hingga menghentikan pemberian fasilitas kredit yang disebabkan oleh keadaan moneter, keuangan, ekonomi atau politik tanpa adanya kesepakatan dari debitur terlebih dahulu, sehingga pihak kreditur dapat melakukan tindakantindakan tersebut secara sepihak. Seharusnya sebab-sebab tersebut menjadi tanggung jawab dan resiko dari pelaku usaha karena hal-hal tersebut bukan berasal dari kesalahan debitur. Selain itu pihak bank seharusnya bisa lebih memahami dan mengantisipasi sebab-sebab tersebut karena bank selaku lembaga keuangan yang lebih mengerti mengenai keadaan moneter dibandingkan konsumen yang tidak mengerti akan hal tersebut. Dengan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan pihak bank tersebut seperti menurunkan jumlah fasilitas kredit serta menghentikan pemberian fasilitas kredit maka pelaku usaha sudah mengurangi manfaat jasa bagi konsumen.

59 3. Klausula Baku yang Menyatakan Tunduknya Konsumen kepada Peraturan yang Berupa Aturan Baru, Tambahan, Lanjutan dan/atau Pengubahan Lanjutan yang Dibuat Sepihak oleh Pelaku Usaha dalam Masa Konsumen Memanfaatkan Jasa yang Dibelinya a. Pasal 4.3 Perjanjian Kredit Besarnya suku bunga tersebut dapat ditinjau kembali oleh PT. Bank X pada setiap saat sesuai dengan perkembangan moneter. Pada Pasal 4 butir 3 Perjanjian Kredit dinyatakan bahwa debitur sepakat untuk menyesuaikan tingkat suku bunga berikut besarnya angsuran kredit sebagai akibat perubahan suku bunga. Menurut penulis, dalam hal ini ada bentuk penekanan kepada debitur, yaitu debitur harus menyetujui terlebih dahulu mengenai adanya perubahan terhadap suku bunga yang berlaku, namun tidak diatur mengenai pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak debitur untuk menyetujui atau tidak perubahan tingkat suku bunga tersebut. Tindakan bank menundukkan konsumen pada peraturan tambahan atau perubahan ketentuan yang telah disepakati akan biaya-biaya yang menjadi bebannya dalam perjanjian kredit, dapat merugikan debitur karena debitur langsung terikat terhadap ketentuan itu pada saat menerima pemberitahuan. Berdasarkan asas kepatutan, suatu pihak dari perjanjian hanya terikat pada ketentuan dan syarat-syarat yang sebelumnya telah diketahui dan dipahami oleh yang bersangkutan. Pemberitahuan yang disampaikan pihak bank harus terlebih dahulu dipahami oleh debitur dan debitur memiliki hak untuk menyetujui atau tidak menyetujuinya. Tanpa adanya konsensualisme, peraturan tambahan tersebut dianggap tidak sah dan tidak bisa dianggap menjadi bagian dari perjanjian kredit yang telah ditandatangani. Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan juga. Menurut Mariam Darus, melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa

60 keadilan dalam masyarakat. 96 Dengan demikian tindakan bank mengubah ketentuan mengenai biaya dan bunga diperbolehkan selama memperhitungkan asas kepatutan, misalnya dengan memberi waktu bagi debitur setelah meneirma pemberitahuan untuk memahami, mempertimbangkan dan menyetujui atau menolaknya. Dalam hal ini, menurut Sutan Remy syarat adanya hal tertentu telah dilanggar karena tingkat suku yang akan berubah kemudian tidak dapat ditetapkan secara pasti besarnya saat ini dan nasabah debitur seharusnya tidak dapat terikat terhadap ketentuan yang belum dapat dipastikan dulu saat ini. Selain itu, pelanggaran atas syarat adanya hal tertentu menyebabkan batalnya klausula tersebut demi hukum. 97 Menurut penulis, ketentuan mengenai tunduknya nasabah debitur terhadap bunga yang akan berlaku kemudian adalah terlarang karena merupakan pelanggaran atas ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang melarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang menyatakan tunduknya konsumen (dalam hal ini nasabah debitur) kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Nampaknya konsekuensi hukum yang diberikan UUPK atas tindakan bank sewaktu-waktu menyesuaikan tingkat suku bunga sejalan dengan usulan dalam Pasal 63 ayat (2) RUU Perkreditan Perbankan yang melarang perjanjian kredit mencatumkan ketentuan yang mewajibkan pemohon kredit atau debitur tunduk pada syarat-syarat yang akan ditetapkan kemudian, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas ditetapkan dalam undang-undang ini. 96 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit., hal. 115. 97 Sutan Remy Sjahdeini, 1993. op. cit., hal. 208.

61 4.2.2 Penempatan Klausula Baku yang Dilarang Pasal 18 ayat (2) UUPK Menurut penulis, tidak ada pelanggaran terhadap ketentuan pasal ini dalam perjanjian kredit PT Bank X. Karena dapat dilihat bahwa klausula-klausula baku yang ada di dalam perjanjian kredit PT. Bank X tidak ada yang letaknya atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas. Semua klausulaklasula baku tersebut dapat dilihat dan dibaca dengan jelas serta tidak ada juga pengungkapan klausula baku yang sulit dimengerti.