Oleh: DUSKI SAMAD. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol

dokumen-dokumen yang mirip
otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

Memilih Calon Anggota DPR RI yang Cermat (Cerdas dan Bermanfaat) (16/U)

PELANGGARAN ASAS KEPASTIAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR. Tengku Erwinsyahbana

BAHAN TAYANG MODUL 9

BAB I PENDAHULUAN. kualitas kepribadian serta kesadaran sebagai warga negara yang baik.

akibatnya fenomena seperti ini menjadi hal yang berdampak sistemik. Tawuran pelajar yang

SOENARJO-ALI MASCHAN MUSA (SALAM): Sebuah Desa yang Teratur

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 25/PER/M.KOMINFO/12/2011 TENTANG

Pembahasan 1. Norma 2. Etika 3. Moral 4. Pengertian Etika Profesi 5. Fungsi Kode Etik Profesi

PENGARUH PENILAIAN KINERJA TERHADAP DISIPLIN KERJA PEGAWAI PADA SUB BAGIAN KEPEGAWAIAN DAN UMUM DI DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 42 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK INSAN OMBUDSMAN KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA,

OLEH : DR. SURANTO DOSEN JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN UMY

01FEB. Template Standar Business Ethics and Good Governance

Tinjauan Umum Etika Profesi

KABUPATEN WAY KANAN PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR 02 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN WALIKOTA SEMARANG NOMOR : 7 TAHUN 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal ini dapat dibuktikan dalam Pasal

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PEDAHULUAN. Negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG

2 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan

BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan sektor pelayanan jasa publik yang saat ini semakin berkembang,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

*40931 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 32 TAHUN 2004 (32/2004) TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

KODE ETIK GERAKAN NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA ( GNPK-RI ) MUKADIMAH

ETOS KERJA PELATIHAN OPERATOR WHEEL LOADER MODUL : WLO - 01 PUSAT PEMBINAAN KOMPETENSI DAN PELATIHAN KONSTRUKSI

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB I Pastikan Pilihan Anda Adalah Peserta Pemilu dan Calon Yang Memiliki Rekam Jejak Yang Baik

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 75 TAHUN 2017 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. maupun nonlitigasi. Sejak dulu keberadaan advokat selalu ada semacam. penguasa, pejabat bahkan rakyat miskin sekalipun.

KODE ETIK PEDOMAN PERILAKU HAKIM. Oleh: Suparman Marzuki

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai bentuk konkret dari konsep

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Sebagai makhluk sosial manusia tumbuh bersama-sama dan mengadakan

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 47 TAHUN 2010 TENTANG KODE ETIK APARAT PENGAWAS INTERN PEMERINTAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MALANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SELAMAT MEMBACA, MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI MATERI ELEARNING RENTANG PERKEMBANGAN MANUSIA I

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan utama yang dihadapi bangsa Indonesia adalah minimnya nilainilai

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMASI REPUBLIK INDONESIA

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BAB V PENUTUP. 1) Kriteria-kriteria pelanggaran hukum dalam promosi produk digital yang

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan negara. Di negara-negara maju, pendidikan sangat

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan

BAB II LANDASAN TEORI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KODE ETIK DOSEN, TENAGA KEPENDIDIKAN & MAHASISWA UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

I. PENDAHULUAN. demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam

2 Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengga

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 151 TAHUN 2000 TENTANG

ETIKA BISNIS FAKULTAS HUKUM UPN JATIM. 10 Maret 2011 By. Fauzul

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

ETIKA ADMINISTRASI HENDRA WIJAYANTO

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambaha

HERU SASONGKO, S.FARM.,APT.

Etika Profesi. Mia Fitriawati, M.Kom. 17/03/2016. Konsep. Etika Profesi merupakan pedoman nilai berperilaku yang disepakati pada tatanan suatu profesi

BAB I PENDAHULUAN. Mitra Pustaka, 2006), hlm 165. Rhineka Cipta,2008), hlm 5. 1 Imam Musbikiin, Mendidik Anak Kreatif ala Einstein, (Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB III ASPEK-ASPEK KAWASAN MORAL

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5493

PERATURAN BADAN AUDIT KEMAHASISWAAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG KODE ETIK BADAN AUDIT KEMAHASISWAAN

ETIKA JURNALISTIK IJTI JURNALISME POSITIF

BAGIAN 3 TELAAH NORMATIF

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang...

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPil DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lantas, bagaimanakah mencari sosok-sosok pemimpin terbaik yang akan berkumpul. DPR, Para Pemimpin Terbaik Untuk Kemajuan Indonesia (322/S)

BAB I PENDAHULUAN. Kebebasan Pers. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa kebebasan bukanlah semata-mata

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

BAB I. melanggar dimensi moral dan etika bisnis itu sendiri, termasuk profesi. Masalah etika menjadi perhatian yang sangat penting bagi masyarakat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGERTIAN ETIKA ETIKA,

KODE ETIK PENYELENGGARA NEGARA SEBAGAI UPAYA PENEGAKAN ETIKA BAGI PENYELENGGARA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai cara yang sekiranya bisa menarik masyarakat untuk memilih. calonnya, calon pasangan kepala daerah untuk Wilayah Kabupaten

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 /PM.4/2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. suatu masyarakat karena dapat menjadi suatu rambu-rambu dalam kehidupan serta

mens wordt eerst mens door samenleving met anderen yang artinya manusia itu baru

MAKALAH. Peranan Pers Dalam Mengawasi Penegakan Hukum dan HAM

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pelaksanaannya (Bandung: Citra Umbara, 2010), h. 6.

Visi & Misi Kepemimpinan Nasional dalam Pembangunan

PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5)

Transkripsi:

Oleh: DUSKI SAMAD Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak yang sudah berjalan proses saat ini adalah sarana demokrasi untuk melahirkan pemimpin daerah. Pemilihan pemimpin daerah propinsi, kabupaten dan kota adalah kegiatan strategis dan menentukan bagi kemajuan bangsa. Pemimpin daerah, khususnya pemimpin formal yang dipilih melalui suara rakyat, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota adalah sosok yang besar konstribusinya bagi kebaikan, kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Pemilihan langsung yang dikatakan sebagai demokrasi yang didukung oleh syarat-syarat formal, dan prosudural dalam realitasnya belum cukup kuat menghadirkan pemimpin yang dapat memenuhi tuntutan pemilih. Fakta menunjukkan di era pemilihan langsung para pemimpin pemegang amanah rakyat di akhir jabatannya berurusan dengan aparat penegak hukum, menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana dalam kasus korupsi dengan segala modus operandinya. Pertanyaan yang sulit diberikan jawaban yang tuntas adalah mengapa orang-orang terbaik yang dipilih rakyat ternyata diujung pengabdiannya menjadi orang tercela. Di antara analisis yang mungkin patut ditelisik adalah berkaitannya kapasitas moral sang pemimpin. Moralitas sang pemimpin yang dari kemasannya baik, mulia dan terpuji dalam perjalanannya menjadi rusak dan membawa kekecewaan pemilihnya. Bukan tidak mungkin pula gagalnya pemilihan langsung menghadirkan pemimpin yang baik disebabkan kurang cermatnya pemilih dalam menentukan ukuran moral. MORAL OTONOM PEMIMPIN 1 / 5

Pandangan Kant tentang otonomi moral adalah kebebasan bertindak, memutuskan memilih dan menentukan diri sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan atau campur-tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari manusia. Pandangan J. Stuart Mill tentang otonomi moral adalah otonomi individu, yakni kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan (merealisasikan keputusan dan kemampuan melaksanakannya), hak penentuan diri dari sisi pandang pribadi. Pada dasarnya otonomi moral memungkinkan individu bersikap dan berperilaku seturut kontrol dirinya. Manusia tidak menimbang sikap dan perilakunya dari kendali eksternal tapi dari pertimbangan moral yang tumbuh dari kesadaran sendiri. Adanya otonomi moral mendorong individu menimbang ulang sikap dan perilaku yang akan dilakukan. Lebih jauh dapat pula dikatakan bahwa moral otonom atau kehendak otonom merupakan paham dan tolak ukur tertinggi dari segala tindakan moral. Otonomi kehendak berarti pemenuhan kehendak memungkinkan pemenuhan pemenuhan tuntutan. Dimana kehendak berarti bahwa kehendak sendiri memberikan hukuman. Dalam metafisika kesusilaan Kant (1979) ditemukan perbedaan antara legalitas dan moralitas. Legalitas menurut Kant dipahami sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka. Kesesuaian dan ketidaksesuaian belumlah dianggap memiliki nilai-nilai moral, sebab nilai-nilai baru dapat ditemukan dalam moralitas. Moralitas dalam pandangan Kant selanjutnya dipahami sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah, yakni apa yang dipandang sebagai kewajiban. Moralitas barulah dapat diukur ketika seseorang menaati hukum secara lahiriah karena kesadaran bahwa hukum itu adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum. Moralitas sendiri dalam pandangan Kant dibedakan atas moralitas heteronom dan moralitas otonom. Moralitas heteronom diartikan sebagai sikap dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan lebih karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku. Dalam konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa dependensi manusia menunjukkan inkonsistensi oleh seseorang tersebut. Moralitas otonom, di sisi lain digambarkan sebagai kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai sesuatu dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai sesuatu yang baik. Seseorang menerima dan mengikuti hukum lahiriah bukan lantaran mau mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya ataupun karena takut terhadap pemberi hukuman, melainkan 2 / 5

karena itu dijadikan kewajibannya sendiri berkat nilainya yang baik. [1] Nucci & Narvaes (2008) menyatakan bahwa moral merupakan faktor determinan atau penentu pembentukan karakter seseorang. Menurutnya, indikator manusia yang bermoral otonom adalah: (1).Personal improvement (pengembangan kepribadian); yaitu individu yang mempunyai kepribadian yang teguh terhadap nilai atau aturan yang diinternalisasi dalam dirinya. Ia tidak mudah goyah dengan pengaruh lingkungan sosial yang dianggapnya tidak sesuai dengan nilai atau aturan yang diinternalisasi tersebut. Ciri kepribadian tersebut secara kontemporer diistilahkan sebagai integritas. Individu yang mempunyai integritas yang tinggi terhadap nilai dan aturan yang dia junjung tidak akan melakukan tindakan amoral. Sebagai contoh, individu yang menjunjung tinggi nilai agamanya tidak akan terpengaruh oleh lingkungan sosial untuk turut melakukan korupsi-manipulasi dan praktek mafia birokrasi. Dengan demikian, nilai atau aturan yang diinternalisasikan tersebut menjadi tameng bagi dirinya supaya tidak terpengaruh oleh perilaku sosial yang menyimpang dari aturan tersebut. Faktor intrinsik inilah yang dalam terminologi Islam disebut sebagai istiqomah (konsisten dengan ajaran Tuhan). (2). Social skill (kemampuan bersosialisasi); yaitu mempunyai kepekaan sosial yang tinggi sehingga mampu mengutamakan kepentingan orang lain. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan sosialnya yang harmonis. Setiap nilai atau aturan universal tentunya akan mengarahkan manusia untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain dengan mengutamakan kepentingan orang banyak. Contohnya, individu yang religius pasti akan berbuat baik untuk orang lain atau mengutamakan kepentingan ummat. Orang yang mempunyai moralitas yang baik tentunya tidak akan egois, narsistik dan memperkaya diri sendiri dengan perilaku yang amoral seperti korupsi-manipulasi dan praktek mafia birokrasi. Dia akan lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan orang lain maupun kepentingan generasi berikutnya. Orang yang bermoral cenderung akan mencari lingkungan sosial yang baik bagi perkembangan moralitasnya. Bahkan ketika ia berada di lingkungan sosial yang kurang bermoral maka moralitasnya tetap terjaga dan bersinar karena internalisasi nilai-nilai intrinsiknya tersebut. Dalam mengambil keputusan untuk kepentingan orang lain pun ia akan merujuk kepada nilai-nilai intrinsik tersebut. Inilah yang menyebabkan ia mampu mewarnai lingkungan sosialnya dengan sinaran moralitas dirinya. Dalam konteks Islam, faktor ini disebut sebagai muamallah (hubungan sosial yang baik). (3)Comprehensive problem solving (solusi yang kompleks); yaitu sejauhmana individu dapat mengatasi konflik dilematis antara pengaruh lingkungan sosial yang tidak sesuai dengan nilai atau aturan dengan integritas pribadinya terhadap nilai atau aturan tersebut. Dalam arti, individu mempunyai pemahaman terhadap tindakan orang lain (perspektif lain) yang menyimpang tetapi individu tersebut tetap mendasarkan keputusan, sikap dan tindakannya kepada nilai atau aturan yang telah diinternalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh, seseorang tidak mau mengikuti lingkungan sosialnya untuk korupsi karena ia tetap menjunjung tinggi nilai atau aturan yang 3 / 5

berlaku (kejujuran). Meskipun sebenarnya ia mampu memahami penyebab perilaku orang lain yang korupsi. Keluwesan dalam berfikir dan memahami inilah dibutuhkan untuk menilai suatu perbuatan tersebut benar atau salah. Konsep ini yang disebut dalam terminologi Islam sebagai hikmah (mengambil pelajaran yang berharga dari perspektif yang berbeda). [2] Dari tiga ciri di atas dapat dipahami bahwa sosok pemimpin yang bermoral adalah pemimpin yang mampu menjunjung tinggi nilai-nilai ketakwaannya dalam setiap pemikiran dan pengambilan keputusannya untuk kepentingan publik. Jika seorang pemimpin mengaku bermoral maka segala tindakannya diarahkan untuk kepentingan dan kesejahteraan sosial. Apabila kesejahteraan sosial menjadi tujuan utama pemimpin maka sang pemimpin tidak perlu lagi memoles diri dan bibirnya dengan urusan politik pencitraan. Sebab seorang pemimpin yang bermoral otonom dan mengutamakan kepentingan sosial secara otomatis akan terangkat citranya di mata masyarakat dan dihadapan Tuhannya. Citra seorang pemimpin akan lebih terangkat lagi ketika ia mampu mengambil hikmah dari fenomena-fenomena amoral yang ditemui di masyarakat. Citra seorang pemimpin akan meningkat ketika ia mampu mengambil solusi yang tegas dalam menerapkan aturan untuk menentukan benar atau salah. Dengan demikian, secara tidak langsung moralitas pemimpin menjadi amunisi yang kuat untuk mendorong keberaniannya dalam menegakkan aturan dan tatanan nilai yang ada. Tentunya, seorang pemimpin akan berani menegakkan aturan ketika ia sendiri tidak melanggar aturan yang telah disepakati bersama. Hal inilah yang menjadikan seorang pemimpin wajib menjadi rol e model dalam penegakan aturan. Akhirnya patut direnungkan bagi pemimpin dan calon pemimpin adalah, Sudahkah Anda mempunyai ketiga indikator pemimpin yang bermoral otonom tersebut? Dan refleksi bagi masyarakat adalah, Sudahkan Anda memilih pemimpin yang bermoral otonom? Serta yang terakhir bagi semua, Adakah pemimpin yang bermoral otonom saat ini? Padahal dalam degradasi moral saat ini, kita tidak lagi membutuhkan pemimpin yang pintar dan kaya tetapi kita lebih membutuhkan pemimpin yang bermoral otonom. Asli, orisinil tidak imitasi dan pencitraan. Selamat memilih pemimpin bermoral otonom. Ds. 05082015. [1] S.P. Lili Tjahjadi. 1991, Hukum dan Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius, hlm. 47. [2] Dr. M. Ghazali Bagus Ani Putra, psi*. Dicari Pemimpin Bermoral, Penulis adalah kader 4 / 5

Muhammadiyah dan Pendidik di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya. 5 / 5