Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom klinis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dari 14 tahun. Kasus SN lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. nefrotik yang tidak mencapai remisi atau perbaikan pada pengobatan prednison

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) adalah salah satu klasifikasi

BAB IV METODE PENELITIAN

PENGARUH SUPLEMENTASI KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR ALBUMIN DAN BERAT BADAN PADA ANAK DENGAN SINDROM NEFROTIK

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

Pengaruh Lama Pengobatan Awal Sindrom Nefrotik terhadap Terjadinya Kekambuhan

PENGARUH SUPLEMENTASI KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR KOLESTEROL DAN BERAT BADAN PADA ANAK DENGAN SINDROM NEFROTIK JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

PENGARUH SUPLEMENTASI KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP KADAR ALBUMIN DAN BERAT BADAN PADA ANAK DENGAN SINDROM NEFROTIK JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan mulai

BAB I PENDAHULUAN. Malnutrisi merupakan salah satu permasalahan yang banyak dialami

KADAR KOLESTEROL DARAH ANAK PENDERITA SINDROM NEFROTIK SENSITIF STEROID SEBELUM DAN SESUDAH TERAPI PREDNISON DOSIS PENUH ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma, sekitar 60% dari total

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan

EFEKTIFITAS DIET IKAN GABUS TERHADAP PENINGKATAN ALBUMIN ANAK PADA PERAWATAN PASCA PULANG PENDERITA NEFROTIK SINDROM DI RSUD DR. R. SOEDJATI PURWODADI

BAB 4 METODE PENELITIAN. Jenis penelitian adalah eksperimental dengan rancangan pre and post

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi dari 2-3 bulan hingga tahun (Price dan Wilson, 2006).

Perbedaan Kecepatan Kesembuhan Anak Gizi Buruk yang Diberi Modisco Susu Formula dan Modisco Susu Formula Elemental Di RSU dr.

Oleh : Fery Lusviana Widiany

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di SMF Ilmu Kesehatan Anak Sub Bagian Perinatologi dan. Nefrologi RSUP dr.kariadi/fk Undip Semarang.

PENGARUH SUPLEMENTASI KAPSUL EKSTRAK IKAN GABUS TERHADAP LAJU FILTRASI GLOMERULUS PADA SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID ANAK

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya semakin meningkat setiap tahun di negara-negara berkembang

BAB I KONSEP DASAR. menderita deferensiasi murni. Anak yang dengan defisiensi protein. dan Nelson membuat sinonim Malnutrisi Energi Protein dengan

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Protein Energi Malnutrisi (PEM) sering dijumpai dibangsal-bangsal bedah

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

BAB V HASIL PENELITIAN. Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi Semarang dan RSUD Kota

BAB I PENDAHULUAN. jaringan yang paling kering, memiliki kandungan H 2 O hanya 10%. Karena itu

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis. Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang mulai 1

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

Hubungan aspek klinis dan laboratorik dengan tipe sindrom nefrotik pada anak

BAB IV METODE PENELITIAN. Ginjal-Hipertensi, dan sub bagian Tropik Infeksi. RSUP Dr.Kariadi, Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Dr.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB I PENDAHULUAN. inap di rumah sakit. Pada penelitian Kusumayanti dkk (2004) di tiga Rumah

METODE PENELITIAN. Populasi penelitian = 51 orang. 21 orang keluar. Kriteria inklusi. 30 orang responden. Gambar 2 Cara penarikan contoh

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam. Semarang Jawa Tengah. Data diambil dari hasil rekam medik dan waktu

BAB IV METODE PENELITIAN. Dalam, Sub Bagian Gastroenterohepatologi.

THE RELATION OF OBESITY WITH LDL AND HDL LEVEL AT PRECLINIC STUDENT OF MEDICAL FACULTY LAMPUNG UNIVERSITY 2013

Penelitian ini merupakan penelitian observasional belah lintang ( ) dimana antara variabel bebas dan terikat diukur pada waktu yang. bersamaan. 3.2.

Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perdarahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Apa itu Darah? Plasma Vs. serum

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. hiperkolesterolemia >200 mg/dl, dan lipiduria 1. Lesi glomerulus primer

Oleh: Nurul Huda Clara Meliyanti Kusharto Merry Aitonami DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

KEBUTUHAN ENERGI SEHARI

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian ini melibatkan 61 orang subyek penelitian yang secara klinis diduga

PERUBAHAN KOMPOSISI TUBUH PADA LANJUT USIA Dr. Nur Asiah, MS dan Dr. Francisca A. Tjakradidjaja, MS

BAB IV MEDOTE PENELITIAN. 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Saraf (Neurologi).

BAB 4 METODA PENELITIAN. Populasi terjangkau adalah murid SMP Domenico Savio dengan hipertensi dan obesitas.

Pengaruh asupan energi dan protein terhadap perubahan status gizi pasien anak selama dirawat di rsup dr. kariadi semarang

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang terus mengalami perubahan, terutama di bidang

Pemberian Pakan Ayam KUB Berbasis Bahan Pakan Lokal

Kebutuhan cairan rumatan tidak hanya

Pengukuran Status Gizi pada Lanjut Usia

METODE PENELITIAN. Keterangan: N = besar populasi n = besar subyek d 2 = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (0.1) n = 1 + N (d 2 )

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan manifestasi

BAB IV METODE PENELITIAN. khususnya subbagian Perinatologi. Penelitian ini dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP/ RS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan global, penyebab utama dari kecacatan, dan

Skripsi Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Gizi. Disusun Oleh: Seno Astoko Putro J

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Waktu: Waktu penelitian dilaksanakan pada Maret-Juli 2013.

BAB 1 PENDAHULUAN. penunjang medik yang merupakan sub sistem dalam sistem pelayanan. mempunyai peranan penting dalam mempercepat tercapainya tingkat

CIRI-CIRI KARAKTERISTIK PENDERITA DIABETES MELITUS DENGAN OBESITAS DI POLIKLINIK ENDOKRIN RSUP DR KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Penyakit Dalam.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah Bagian Ilmu Kesehatan Anak khususnya bidang nutrisi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelainan fraksi lipid yang paling utama adalah kenaikan kadar kolesterol total,

HUBUNGAN ASUPAN PROTEIN NABATI DAN HEWANI DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS RAWAT JALAN DI RSUP

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bidang ilmu Kardiovaskuler.

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar masyarakat. Sampai saat ini produk-produk sumber protein

BAB V HASIL PENELITIAN. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Januari 2010 sampai dengan

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Hubungan Antara Index Masa Tubuh (Imt) Dan Kadar Hemoglobin Dengan Proses Penyembuhan Luka Post Operasi Laparatomi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cukup bulan (Reading et al., 1990). Definisi hipoalbuminemia pada neonatus berbeda

ASUHAN GIZI; NUTRITIONAL CARE PROCESS

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bagian Ilmu Penyakit Dalam, sub

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini kecenderungan pola makan yang serba praktis dan instant seperti makanan cepat

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang keilmuan Obstetri dan Ginekologi.

BAB 1 : PENDAHULUAN. mengancam hidup seperti penyakit kardiovaskuler.

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan kunci dari kehidupan, kesehatan adalah milik

MODUL GLOMERULONEFRITIS AKUT

METODE PENELITIAN. n =

BAB I PENDAHULUAN. penduduk usia lanjut di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup

ANALISIS MANFAAT PEMBERIAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN DHF DI SMF PENYAKIT DALAM RSUD DR. SOEBANDI JEMBER SKRIPSI

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/ m 2 / hari pada

Transkripsi:

Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3, Desember 2006: 251-256 Pemberian Diet Formula Tepung Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus) ) pada Sindrom Nefrotik Trully Kusumawardhani, M. Mexitalia, JC. Susanto, Lydia Kosnadi Latar belakang. Pemberian diet dengan protein seimbang pada sindrom nefrotik bertujuan untuk meningkatkan kadar albumin serum. Ikan gabus merupakan ikan air tawar yang banyak dijumpai di Indonesia dan memiliki kadar protein lebih tinggi dibandingkan ikan lainnya. Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemberian suplementasi formula tepung ikan gabus terhadap peningkatan kadar albumin serum pasien sindrom nefrotik. Metodologi. Penelitian uji klinik terbuka dilakukan di Bangsal Anak RS Dr. Kariadi Semarang, pada 36 anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal, yang terbagi dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kelompok perlakuan mendapatkan suplementasi ikan gabus, dengan cara mengganti 25% kebutuhan protein dengan tepung ikan gabus. Suplemntasi ikan gabus diberikan setiap hari selama 21 hari, dengan jumlah protein total yang diberikan sama dengan kelompok kontrol. Indeks masa tubuh (IMT), protein total, albumin dan globulin serum diukur setiap minggu, sedangkan akseptabilitas tepung ikan gabus dinilai setiap hari. Analisis statistik menggunakan uji t independent. Hasil. Pada kedua kelompok didapatkan peningkatan IMT, kadar protein total dan albumin serum pada akhir penelitian dibandingkan dengan data awal. Tidak didapatkan perbedaan kadar protein total dan globulin pada akhir penelitian antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Selisih kenaikan kadar albumin pada kelompok perlakuan (2,04 ± 1,47 g/dl) lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kelompok perlakuan (1,47 ± 0,82 g/dl) dengan nilai p = 0,018. Kesimpulan. Pemberian suplementasi tepung ikan gabus selama 21 hari pada pasien sindrom nefrotik kelainan minimal dapat meningkatkan kadar albumin serum. Kata kunci: tepung ikan gabus, albumin, sindrom nefrotik. Alamat korespondensi: Dr. M. Mexitalia, Sp.A(K) Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RS Dr. Kariadi. Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telepon/Fax. 021 8414296 E-mail : maria_mexitalia@yahoo.com Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan proteinuria, edem, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia. Sembilan puluh persen penyakit ini merupakan kasus anak dengan insidens diperkirakan 6 kasus tiap 100.000 anak per tahun yang terjadi pada usia kurang dari 14 tahun. 1 Rasio antara laki-laki dan 251

perempuan 2:1. 1,2 Pengobatan yang diberikan meliputi pengobatan medikamentosa dengan menggunakan preparat kortikosteroid dan pengobatan suportif yaitu pengelolaan dietetik, terutama masukan protein. 1 Dahulu dianjurkan pemberian diet tinggi protein untuk mengimbangi terjadinya proteinuria. Tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut dapat membahayakan fungsi ginjal karena akan meningkatkan proteinuria, menyebabkan hiperfiltrasi glomerular sehingga menyebabkan gangguan fungsi ginjal, sementara kadar albumin serum tidak meningkat. 3,4 Sebaliknya, pemberian diet rendah protein juga tidak dianjurkan karena akan menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif dan malnutrisi protein walaupun dapat menurunkan kejadian proteinuria. 1,3 Penelitian terkini menganjurkan pemberian diet dengan kadar protein seimbang sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan fungsi ginjal yang masih normal, dilihat dari kadar ureum dan kreatinin yang masih berada pada rentang normal. 4-5 Sumber protein makanan dapat berasal dari hewani maupun nabati. Protein hewani dinilai memiliki nilai biologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan protein nabati, karena protein hewani memiliki komposisi asam amino esensial yang sama dengan protein tubuh manusia. 6-7 Salah satu sumber protein hewani yang cukup baik adalah ikan. Salah satu jenis ikan air tawar di Indonesia yang kita kenal adalah ikan gabus (Ophiocephalus striatus) yang mempunyai potensi tinggi karena mengandung kadar protein yang tinggi, bahkan lebih tinggi daripada ikan lainnya. 8 Soemarko, 9 2002 melakukan penelitian pemberian nutrisi enteral dengan ekstrak albumin dari ikan gabus selama 16 hari pada pasien hipoalbuminemia dengan fistula enterokutan, didapatkan peningkatan bermakna kadar albumin serum sebelum dan sesudah perlakuan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian suplementasi formula tepung ikan gabus dalam meningkatkan kadar albumin serum pada pasien sindrom nefrotik. Metodologi Penelitian ini merupakan uji klinik terbuka dengan pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan. Penelitian dilakukan di Bangsal Kesehatan Anak RS Dr. Kariadi Semarang, sejak bulan Juni 2002 sampai Mei 2004. Kriteria inklusi adalah anak berusia 2 sampai 14 tahun yang menderita sindrom nefrotik kelainan minimal berdasarkan perhitungan formula Y (ISKDC 1978) dengan nilai > 0,85, 10 dan dapat menerima diet secara oral. Kriteria eksklusi apabila mendapat transfusi plasma/abumin, meninggal dunia selama pengamatan, dan akseptabilitas terhadap formula ikan gabus buruk atau mendapatkan diet tepung ikan gabus kurang dari 21 hari. Kelompok kontrol diambil dari penderita yang dirawat sebelumnya (data dari catatan medis) yang disebut sebagai historical control, yang memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok perlakuan (sesuai kriteria Pacock). 11 Besar sampel penelitian dihitung berdasarkan uji hipotesis terhadap rerata dua populasi dan didapatkan minimal jumlah subyek 16 pada tiap kelompok. 12 Kelompok perlakuan mendapatkan diet tepung ikan gabus yang dibuat oleh Puslitbang Gizi Depkes RI di Bogor. Diet yang diberikan berupa diet standar dengan protein dimulai dari 1,5 g/kg BB/hari. Dua puluh lima persen dari total kebutuhan protein diganti dengan tepung ikan gabus, dengan rumus (0,25 x BB x kebutuhan protein)/0,16, karena tiap 100 gram tepung ikan gabus mengandung 16 gram protein. 13 Tepung diolah oleh Bagian Gizi RS Dr. Kariadi menjadi 3 variasi lauk, dan diberikan selama 21 hari. Akseptabilitas dipantau oleh petugas gizi dan dicatat berapa banyak sisa atau tepung yang tidak dimakan. Data akseptabilitas diukur berdasarkan sisa lauk tepung ikan sesudah makan, dan dinyatakan akseptabilitas baik bila sisa lauk tepung ikan tidak lebih dari 50%. Data awal sebelum diberikan perlakuan diperiksa pada hari perawatan ke-7 (H+7), meliputi pemeriksaan berat badan dan tinggi badan, kemudian dihitung indeks masa tubuh (IMT). Pemeriksaan laboratorium terdiri dari pemeriksaan darah meliputi protein total, albumin, globulin, kolesterol, ureum, kreatinin, serta pemeriksaan proteinuria. Pemeriksaan antropometri dan laboratorium (protein total, albumin, globulin, kolesterol dan proteinuria) dilakukan setiap minggu sampai 21 hari setelah perlakuan (H+28). Kelompok kontrol diambil berdasarkan catatan medik yang mempunyai karakterisktik penyakit dan pemeriksaan yang sama dan hanya mendapatkan diet standar untuk sindrom nefrotik. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji t independent, dan nilai p < 0,05 dinyatakan bermakna secara statistik. 252

Hasil Penelitian Selama 2 tahun periode penelitian yaitu sejak bulan Mei 2002 sampai Juni 2004, telah dirawat 21 orang penderita sindrom nefrotik. Selama perawatan, 1 anak mendapatkan transfusi fresh frozen plasma (FFP) dan 2 anak dirawat kurang dari 28 hari, sehingga jumlah subyek yang menyelesaikan penelitian adalah 18 anak. Dari data catatan medis didapatkan 35 penderita sindrom nefrotik yang dirawat antara Januari 1999 sampai Desember 2002. Dilakukan pemilihan sesuai dengan kriteria inklusi dan didapatkan 18 anak dengan sindrom nefrotik sebagai kontrol, sehingga jumlah total subyek penelitian adalah 36 anak. Sebagian besar subyek (15 dari 18 anak) dapat menghabiskan tepung ikan yang diberikan, sedangkan pada 3 anak tepung ikan masih tersisa kurang dari 25%. Dengan demikian akseptabilitas anak terhadap tepung ikan gabus disimpulkan baik. Rerata umur pada kelompok perlakuan (71,5 bulan) lebih muda dibandingkan dengan kelompok kontrol (94,9 bulan), demikian pula rerata IMT pada kelompok perlakuan (13,9 kg/m 2 ) lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol (14,7 kg/m 2 ), namun secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna (Tabel 1). Tidak didapatkan perbedaan pada data awal laboratorium, kecuali pada kadar albumin kelompok kontrol yang lebih tinggi (1,75 ± 0,59 g/ dl) dibandingkan kelompok perlakuan ( 1,39 ± 0,30 g/dl). Karena kondisi tersebut maka dilakukan perhitungan dengan melihat perubahan (selisih D) kadar albumin pada pengamatan minggu berikutnya. Tabel 2 dan 3 memperlihatkan perbedaan IMT, kadar protein dan albumin pada akhir penelitian dibandingkan awal penelitian pada kelompok perlakuan. Didapatkan peningkatan bermakna IMT, kadar protein total dan albumin. Peningkatan IMT, Tabel 1. Karakteristik awal subyek penelitian Variabel Kelompok Kelompok Perlakuan Kontrol n= 18 n=18 Umur (bulan); rerata(sd) 71,5 (37,4) 94,9 (29,4) Jenis kelamin Laki-laki 4 3 Perempuan 14 15 Jenis kasus Kasus baru 10 10 Relaps 8 8 IMT (kg/m 2 ); rerata(sd) 13,9 (1,6) 14,8 (2,1) Laboratorium: Kadar protein serum total (mg/dl); rerata (SD) 3,82 (0,52) 4,12 (0,82) Kadar albumin serum total (mg/dl); rerata (SD) 1,39 (0,30) 1,75 (0,59) Kadar globulin serum total (mg/dl); rerata (SD) 2,44 (0,51) 2,37 (0,69) Kadar kolesterol serum (mg/dl); rerata (SD) 479,1 (175,1) 464,3 (166,0) Kadar ureum darah (mg/dl); rerata (SD) Kadar kreatinin darah (mg/dl); rerata (SD) 27,6 (14,9) 0,51 (0,22) 29,6 (18,1) 0,57 (0,17) Kadar proteinuria (g/dl); rerata (SD) 456,9 (126,0) 398,6 (169,0) Tabel 2. Rerata variabel pada awal dan akhir penelitian. Perlakuan Perlakuan Variabel Awal Akhir p Awal Akhir p (minggu I) (minggu IV) (minggu I) (minggu IV) IMT (kg/m 2 ); rerata(sd) 13,9 (1,6) 14,8 (1,9) 0,018 14,8 (2,1) 16,2 (2,7) 0,001 Kadar protein serum total 3,82 (0,52) 6,19 (0,76) 0,001 4,12 (0,82) 6,16 (0,67) 0,001 (mg/dl); rerata (SD) Kadar albumin serum total 1,39 (0,30) 3,43 (0,43) 0,001 1,75 (0,59) 3,21 (0,59) 0,001 (mg/dl); rerata (SD) 253

kadar protein dan albumin yang juga bermakna pada kelompok kontrol. Pada Tabel 3 tampak perbandingan kadar protein total, albumin, globulin dan kadar kolesterol antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada awal dan akhir penelitian. Pada kedua kelompok tidak didapatkan perbedaan yang bermakna. Pada kelompok perlakuan yang mendapatkan tepung ikan gabus didapatkan selisih kenaikan (D) albumin lebih tinggi secara bermakna (2,04 ± 1,47 g/dl) dibandingkan kelompok kontrol (1,47 ± 0,82 g/dl) dengan p=0,018 (Gambar 1) Pembahasan Pada akhir penelitian didapatkan adanya kenaikan (selisih) kadar albumin yang bermakna pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol, dengan rerata perubahan sebesar 2,04 1,47 g/dl pada kelompok Tabel 3. Rerata perubahan data laboratorium pada kelompok perlakuan dan kontrol Kelompok Kelompok Variabel Perlakuan Kontrol p n= 18 n=18 Kadar protein serum total (g/dl); rerata (SD) Awal 3,82 (0,52) 4,12 (0,82) 0,218 Akhir 6,19 (0,76) 6,16 (0,67) 0,871 Kadar albumin serum total (g/dl); rerata (SD) Awal 1,39 (0,30) 1,75 (0,59) 0,031* Akhir 3,43 (0,43) 3,21 (0,59) 0,216 Selisih kenaikan kadar albumin (g/dl); rerata (SD) 2,04 (1,47) 1,47 (0,82) 0,018^ Kadar globulin serum total (g/dl); rerata (SD) Awal 2,44 (0,51) 2,37 (0,69) 0,743 Akhir 2,77 (0,57) 2,89 (0,42) 0,469 Kadar kolesterol serum (mg/dl); rerata (SD) Awal 479,1 (175,1) 464,3 (166,0) 0,796 Akhir 296,8 (106,0) 300,4 (118,7) 0,925 Gambar 1. Grafik kenaikan kadar albumin pada kedua kelompok 254

perlakuan dibandingkan 1,75 ± 0,59 g/dl pada kelompok kontrol (p = 0,018). Sedangkan pada pengamatan minggu sebelumnya kenaikan tersebut belum tampak. Hal ini mungkin terjadi karena masukan protein dari diet dapat menstimulasi sintesis albumin, dengan masa paruh albumin sekitar 20 hari. 14,15 Penelitian Soemarko 9 2002 di RS Saiful Anwar, Malang menggunakan ekstrak albumin dari ikan gabus segar (ekstrak 2 kg/hari) ditambah dengan putih telur selama 6 hari pada pasien pasca operasi dengan fistula enterokutan disertai hipoalbuminemia, mendapatkan peningkatan kadar albumin serum sebesar 0,934 g/dl pada pemeriksaan sesudah dibandingkan dengan sebelum perlakuan. Penelitian Maroni BJ dkk 16 terhadap 5 pasien sindrom nefrotik dewasa yang mendapatkan diet rendah protein dan tinggi protein ternyata didapatkan keseimbangan nitrogen yang positif baik pada kelompok rendah maupun tinggi protein. Pada penelitian ini protein diberikan mulai dari 1,5 g/kgbb/ hari dan terbukti meningkatkan kadar protein dan albumin serum. Pemberian suplementasi tepung ikan gabus selama 21 hari terbukti meningkatkan albumin serum secara bermakna. Ikan gabus adalah salah satu sumber protein hewani yang memiliki kandungan protein lebih tinggi dibandingkan beberapa ikan lain. Kandungan protein ikan gabus segar mencapai 25,2% dan albumin ikan gabus bisa mencapai 6,224 g/100g daging ikan gabus. Sebagai perbandingan protein ikan bandeng (20,0%), ikan emas (16,0%), ikan kakap (20,0%), dan ikan sarden (21,1%). 8 Protein hewani memiliki kandungan asam amino esensial yang lebih tinggi dan memiliki digestibilitas yang lebih baik dibandingkan protein nabati karena tidak adanya kandungan serat. 18 Protein efficacy ratio (PER) merupakan salah satu penilai kualitas protein yang mencakup nilai biologis dan nilai cerna. 15 Formula tepung ikan gabus memiliki PER 2,81 lebih baik dibandingkan dengan PER kasein sebagai standar yaitu 2,5. 13 Juga didapatkan kandungan asam amino rantai cabang yang tinggi pada ikan gabus, 13 asam amino rantai cabang ini berperan dalam sintesis albumin di hepar. 19-20 Salah satu pengukuran untuk menilai penggunaan protein diet adalah dengan keseimbangan nitrogen. 15-16 Penelitian untuk mengetahui kinerja protein dari diet dengan menggunakan teknik N labeled protein didapatkan bahwa nitrogen diet lebih berperan pada jalur anabolisme yaitu sintesis protein. 21 Patogenesis sintesis protein pada sindrom nefrotik adalah multifaktorial dan dipengaruhi juga oleh kadar proteinuria. 22 Pada penelitian ini kadar proteinuria diukur pada awal penelitian tetapi hubungan kenaikan kadar albumin dengan proteinuria tidak diteliti lebih lanjut. Terjadinya kenaikan bermakna kadar serum albumin pada kelompok perlakuan mungkin disebabkan digestibilitas yang baik dan lebih tingginya kandungan asam amino esensial pada ikan gabus. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukan pengukuran keseimbangan nitrogen, 15,18 dan digunakannya historical control karena jumlah kasus sindrom nefrotik di klinik kami tidak mencukupi. Kesimpulan Pemberian suplementasi tepung ikan gabus selama 21 hari pada pasien sindrom nefrotik kelainan minimal dapat meningkatkan kadar albumin serum. Ketersediaan ikan gabus yang cukup berlimpah dengan harga yang relatif murah menjadikan tepung ikan gabus salah satu pilihan yang sangat patut untuk diperhitungkan dalam tata laksana hipoalbuminemia pada kasus sindrom nefrotik. Daftar Pustaka 1. Wirya W IGN. Sindrom Nefrotik. Dalam : Buku ajar nefrologi anak. Edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2002. h.381-426. 2. Orth S, Ritz E. The nephrotic syndrome. N Engl J Med 1998;338:1202-10. 3. Rodrigo R, Bravo I, Pino M. Proteinuria and albumin homeostasis in the nephrotic syndrome : effect of dietary protein intake. Nutr Rev 1996;54:337-47. 4. Mansy H, Goodship TH, Tapson JS, Hartley GH, Keavey P, Wilkinson R. Effect of high protein diet in patients with the nephrotic syndrome. Clin Sci 1989;77: 445-51. 5. Walser M, Hill S, Tomalis EA. Treatment of nephrotic adults with suplemented, very low protein diet. Am J Kidney Dis 1996;28: 354-64. 6. King FS, Burges A. Nutrition for developing Countries. Edisi kedua. London : Oxford University Press;1996. h.23-30. 7. Kleinman RE, penyunting. Pediatric nutrition hand- 255

book. Edisi keempat. Am Acad of Ped, 1998. 8. Santosa AH. Ekstraksi albumin ikan gabus (Ophiocephalus striatus). [skripsi]. Malang: Universitas Brawijaya, 2001. 9. Soemarko. Pemberian nutrisi enteral kaya albumin pada penderita fistula enterokutan. Maj Kedok Univ Braw 2002 ;18:32-5. 10. Kosnadi L, Widajat RR. Sindrom Nefrotik. Dalam : Hartantyo I, Susanto R, Tamam M,Kosim MS, Irawan PW, Wastoro D, Sudigbia I, penyunting. Pedoman pelayanan medik anak. Edisi kedua. Semarang : Bagian IKA FK Undip/ SMF Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi;1997. h.239-45. 11. Muchtar A. Beberapa aspek uji klinis (clinical trial). Dalam : Tjokronegoro A, Sudarsono S, penyunting. Metodologi penelitian bidang kedokteran.edisi pertama.jakarta : Balai Penerbit FKUI;2001.h.58-75. 12. Madyono B, Moeslichan Mz, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar - dasar metodologi klinis. Jakarta : Bina Rupa Aksara;1995. h.187-211. 13. Mien Karmini. Komposisi zat gizi makanan Indonesia. Bogor : P3Gizi Depkes Indonesia;2001. 14. Caso G. Albumin synthesis is diminished in men consuming a predominantly vegetarian diet. J Nutr 2000;130:528-33. 15. Gropper S, Smith JL, Groff JL, penyunting Advanced nutrition and human metabolism. Edisi ke-empat. Belmont: Thomson Wadsworth;2005. h.172-239. 16. Maroni BJ, Staffeld C, Young VR, Manatunga A, Tom K. Mechanisms permitting nephrotic patients to achieve nitrogen equilibrium with a protein restricted diet. Journal of Clinical Investigation 1997;99:2479-87 17. Protein metabolism. Dietary references intakes for energy, carbohydrates, fiber, fat, protein and amino acid (macronutrients).2002. Didapat dari : URL:http:// www.nap.edu/ openbook/0309085373/html/485.html 18. Lee RD, Nieman DC. Nutritional assessment. Edisi ketiga. New York : McGraw-Hill;2003. h.303-37. 19. Stoll B, Burrin DG, Henry J, Yu H, Jahoor F, Reeds PJ. Dietary amino acids are the preferential source of hepatic protein synthesis in piglets. J Nutr 1998; 128:1517-24 20. Tessari P, Barazzoni R, Kiwanuka E. Impairment of albumin synthesis and whole body postprandial protein synthesis in compensated liver chirrosis. Am J Physiol Endocrinol Metab 2002;282:E304-11 21. Tome D, Bos C. Dietary protein and nitrogen utilization. J Nutr 2000;130 Suppl:S1868-73 22. Zanetti M. Plasma protein synthesis in patients with low-grade nephrotic proteinuria. AJP-Endo 2001; 280:591-7 256