BAB II LANDASAN TEORI. organisasi di antara para ahli dan peneliti (Karim dan Noor, 2006). Sehingga

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Budaya perusahaan adalah aturan main yang ada di dalam perusahaan yang

BAB II LANDASAN TEORI. penting diketahui bahwa pada dasarnya dapat dibedakan pendekatan antara

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. berperan dalam mengelola urusan keluarga. Sedangkan dalam rumah tangga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Wanita karir mengacu pada sebuah profesi. Karir adalah karya. Jadi, ibu

BAB I PENDAHULUAN. diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh manusia yang bersangkutan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Ketakutan Sukses. Menurut Horner dalam Riyanti (2007) k etakutan untuk sukses adalah

BAB 2 LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan jaman, saat ini banyak wanita yang mengenyam

2016 WORK FAMILY CONFLICT - KONFLIK PERAN GANDA PADA PRAMUDI BIS WANITA

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan berdasarkan jenis kelamin yang sangat luas di semua Negara (Anker,

BAB2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. berbeda. Cara pertama diajukan oleh Mowday, Porter, dan Steers, 1982;

BAB I PENDAHULUAN. daya saing dalam dunia usaha. Hal ini merupakan suatu proses kegiatan ekonomi

BAB II LANDASAN TEORI. dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. organisasi tersebut (Mathis & Jackson, 2006). Menurut Velnampy (2013)

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan permintaan pasar. Apabila permintaan pasar mengalami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Work-Family Conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. masa depan keluarga menjadi fenomena yang sudah lazim terjadi pada era

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah

BAB I PENDAHULUAN. perubahan-perubahan yang terjadi di kedua domain (pekerjaan personal).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Komitmen Organisasi. Salim (dalam Martini dan Rostiana, 2003) bahwa komitmen organisasi di

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kepuasan kerja merupakan salah satu studi yang secara luas dipelajari

BAB I PENDAHULUAN. bertindak sebagai penopang ekonomi keluarga terpaksa menganggur. Oleh

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada jalur formal di Indonesia terbagi menjadi empat jenjang, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga dan anak-anaknya saja, kini mempunyai peran kedua yaitu

BAB I PENDAHULUAN. serta tanggung jawab sosial untuk pasangan (Seccombe & Warner, 2004). Pada

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan tertentu yang

BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berbagai pengaruh lingkungan seperti lingkungan psikologis, pengaruh sosial,

BAB I PENDAHULUAN. daripada apakah mereka tinggal (Allen dan Meyer, 1990). Maksudnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bekerja bukanlah suatu hal yang baru di kalangan masyarakat. Berbeda dari

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SIKAP TERHADAP KARAKTERISTIK PEKERJAAN DENGAN KETAKUTAN AKAN SUKSES PADA WANITA KARIR SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. wanita yang ikut dalam aktifitas bekerja. Wanita sudah mempunyai hak dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pernah dilakukan sebelumnya untuk semakin memperkuat kebenaran empiris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi. Komitmen organisasi menurut Allen dan Meyer (1990), adalah keadaan

Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Konflik Peran Ganda Pada Wanita Bekerja Yang Menyusui. Rizky Wijayanti

BAB I PENDAHULUAN. pembagian karyawan menjadi karyawan tetap dan karyawan kontrak, baik perusahaan

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB II LANDASAN TEORI. berkaitan dengan komitmen afektif dan budaya organisasi. karena mereka menginginkannya (Meyer dan Allen, 1997)

BAB II LANDASAN TEORI. Work-Family Conflict (WFC) adalah salah satu dari bentuk interrole

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Intention to quit adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemasyarakatan di Bali mewajibkan kepada seseorang yang telah berumah tangga dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. karyawan memihak organisasi tertentu beserta tujuan-tujuannya dan adanya

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori motivasi Vroom (1964) tentang cognitive of motivation menjelaskan mengapa

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Harman et al. (2009) mengemukakan teori tradisional turnover ini menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia seringkali terjadi konflik yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancang untuk

tujuan organisasi sebagai satu kesatuan yang akan dicapainya.

BAB I PENDAHULUAN. rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, lingkup penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memberikan pengetahuan kepada anak didik (Maksum, 2016). pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,

1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pekerjaan dan keluarga adalah dua area dimana manusia menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. selalu berubah sehingga menuntut perusahaan untuk mampu beradaptasi dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Komitmen organisasional menurut Rivai (2006:67) dapat diartikan sebagai identifikasi,

BAB II LANDASAN TEORI. kebutuhan ini tercermin dengan adanya dorongan untuk meraih kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi merupakan wadah yang menunjukkan adanya pembagian tugas

BAB I PENDAHULUAN. baik tidak akan pernah mengabaikan sumber daya manusia mereka, karena dengan

BAB II LANDASAN TEORI

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. bahwa secara kuantitas, pekerja wanita merupakan faktor tenaga kerja yang

LANDASAN TEORITIS. integritas kerja karyawan di PT.Istana Deli Kejayaan (IDK 2), terlebih

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kinerja merupakan salah satu alat ukur dari keberhasilan sebuah

#### Selamat Mengerjakan ####

BAB I PENDAHULUAN. bagi pegawai dimana perusahaan atau organisasi sekarang berusaha

BAB I PENDAHULUAN. sumber legitimasinya berasal dari masyarakat. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-hari. Akan tetapi wanita sendiri juga memiliki tugas

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Gaya Kepemimpinan Transaksional Definisi Gaya kepemimpinan Transaksional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah membuat sebagian besar wanita ikut

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kesuksesan organisasi di masa depan. Kemampuan perusahaan. efektif dan efisien (Djastuti, 2011:2).

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB II LANDASAN TEORI. dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang

BAB I PENDAHULUAN. dan meningkatkan keprihatinan tentang kesejahteraan psikologis perempuan dan

II. TINJAUAN PUSTAKA Modal Sosial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Komitmen Organisasi

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini Kota Bandung telah menjadi salah satu dari sekian banyak kota di

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2016 HUBUNGAN ANTARA WORK-FAMILY CONFLICT DENGAN KEPUASAN HIDUP PADA PERAWAT PEREMPUAN BAGIAN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM (RSU) A KOTA CIMAHI

BAB II LANDASAN TEORI. (2003), work-family conflict (WFC) merupakan suatu bentuk konflik peran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan seseorang dalam suatu bidang pekerjaan banyak ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. bagi wanita. Bekerja mengandung arti melaksanakan suatu tugas yang diakhiri

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengaruh konflik pekerjaan..., Sekar Adelina Rara, FPsi UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia mengalami perubahan dengan begitu cepatnya. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan wanita dalam dunia bisnis saat ini menunjukkan fenomena

Puji Hastuti F

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berbentuk perusahaan. Perusahaan merupakan badan usaha yang

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI II. A. Komitmen Organisasi Secara teoritis terdapat perbedaan dalam mendefinisikan konsep komitmen organisasi di antara para ahli dan peneliti (Karim dan Noor, 2006). Sehingga berkembang dan tercipta beberapa pengertian atau definisi yang berbeda mengenai konsep komitmen organisasi dari berbagai disiplin ilmu. II. A. 1. Pengertian Komitmen Organisasi Terdapat beberapa pendekatan yang berbeda untuk mendefinisikan komitmen organisasi. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain pendekatan perilaku, pendekatan sikap dan pendekatan multidimensional (Zangaro, 2001). Pendekatan sikap berfokus pada proses berpikir individu tentang hubungan mereka dengan organisasi (Mowday dalam Allen & Meyer,1991). Individu akan mempertimbangkan kesesuaian nilai dan tujuan mereka dengan organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi akan ditunjukkan dengan keyakinan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai-nilai serta tujuan dari organisasi tersebut. Sedangkan pendekatan perilaku berhubungan dengan proses dimana individu itu telah terikat dengan organisasi tertentu. Komitmen individu tersebut ditunjukkan dengan adanya tindakan. Contohnya individu dengan komitmen yang tinggi akan tetap berada di organisasi dan akan mempunyai pandangan yang positif tentang organisasinya. Selain itu individu akan menunjukkan perilaku yang 10

konsisten untuk tetap mempunyai persepsi diri yang positif (Mowday dalam Allen & Meyer, 1991). Menurut Zangaro (2001) ada beberapa tokoh yang menggunakan pendekatan perilaku untuk mendefinisikan komitmen organisasi, diantaranya adalah Salancik (dalam Noordin dan Zainuddin, 2004). Salancik mengartikan komitmen organisasi sebagai kekuatan yang menjadikan individu bersedia bertindak berdasarkan kepercayaan, yang dibuktikan dengan aktivitas dan keterlibatan. Komitmen organisasi itu sendiri memiliki dasar yang berbeda-beda secara psikologis. Untuk itu perlu meneliti komitmen organisasi dengan menggunakan pendekatan secara multidimensional. Allen & Meyer (1991) melakukan penelitian secara multidimensional tentang komitmen organisasi. Ia mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kondisi psikologis yang menunjukkan karakteristik hubungan antara pekerja dengan organisasi dan mempunyai pengaruh dalam keputusan untuk tetap melanjutkan keanggotaannya di dalam organisasi tersebut. II. A. 2. Komponen Komitmen Organisasi Menurut Allen dan Meyer (1991) terdapat tiga komponen dalam komitmen organisasi, yaitu: 1. Komponen affective Komponen ini menunjukkan kelekatan emosional pekerja, mengidentifikasikan dirinya dan menunjukkan keterlibatannya di dalam organisasi tersebut. Dimana pekerja yang memiliki komponen afektif yang tinggi melanjutkan 11

keanggotaannya ke dalam organiasi karena memang hal itulah yang mereka inginkan untuk tetap berada di organisasi. 2. Komponen continuance Komponen ini menunjukkan kesadaran tentang kerugian yang dihadapi seorang pekerja bila dia meninggalkan pekerjaannya. Pekerja yang mau tetap berada di organisasi berdasar komponen continuance karena memang mereka membutuhkan organisasi. 3. Komponen normative Komponen ini mencerminkan perasaan tentang kewajiban untuk tetap bekerja di organisasi. Pekerja dengan komponen normatif yang tinggi merasa mereka harus tetap berada di organisasi. II. A. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Komitmen di dalam suatu organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pendekatan multidimensional akan lebih menjelaskan hubungan pekerja dengan organisasi yang mempekerjakannya (Cetin, 2006). Van Dyne dan Graham (dalam Coetzee, 2005) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seseorang berdasarkan pendekatan multidimensional, yaitu: 1. Personal Factors Ada beberapa faktor personal yang mempengaruhi latar belakang pekerja, antara lain usia, latar belakang pekerja, sikap dan nilai serta kebutuhan intrinsik pekerja. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa beberapa tipe pekerja memiliki komitmen yang lebih tinggi pada organisasi yang mempekerjakannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pekerja yang lebih 12

teliti, ekstrovet, dan mempunyai pandangan positif terhadap hidupnya (optimis) cenderung lebih berkomitmen. Selain itu, pekerja yang berorientasi kepada kelompok, memiliki tujuan serta menunjukkan kepedulian terhadap kelompok, juga merupakan tipe pekerja yang lebih terikat kepada keanggotaannya. Sama halnya dengan pekerja yang berempati, mau menolong sesama (altruistic) juga lebih cenderung menunjukkan perilaku sebagai anggota kelompok pada pekerjaannya. 2. Situational Factors a. Workpace values Pembagian nilai merupakan komponen yang penting dalam setiap hubungan atau perjanjian. Nilai yang tidak terlalu kontroversial (kualitas, inovasi, kerjasama, partisipasi) akan lebih mudah dibagi dan akan membangun hubungan yang lebih dekat. Jika pekerja percaya pada nilai kualitas produk organisasi, mereka akan terikat pada perilaku yang berperan dalam meningkatkan kualitas. Jika pekerja yakin pada nilai partisipasi organisasi, mereka akan lebih merasakan bahwa partisipasi mereka akan membuat suatu perbedaan. Konsekuensinya, mereka akan lebih bersedia untuk mencari solusi dan membuat saran untuk kesuksesan suatu organisasi. b. Subordinate-supervisor interpersonal relationship Perilaku dari supervisor merupakan suatu hal yang mendasar dalam menentukan tingkat kepercayaan interpersonal dalam unit pekerjaan. Perilaku dari supervisor yang termasuk ke dalamnya seperti berbagi informasi yang penting, membuat pengaruh yang baik, menyadari dan menghargai unjuk kerja yang baik dan tidak melukai orang lain. Butler (dalam Coetzee, 2007) 13

mengidentifikasi 11 perilaku supervisor yaitu memfasilitasi kepercayaan interpersonal yaitu kesediaan, kompetensi, konsistensi, bijaksana, adil, jujur, loyalitas, terbuka, menepati janji, mau menerima, dan kepercayaan. Secara lebih luas apabila supervisor menunjukkan perilaku yang disebutkan ini maka akan memperngaruhi tingkat komitmen bawahannya. c. Job characteristics Berdasarkan Jernigan, Beggs dan Kohut (dalam Coetzee, 2007) kepuasan terhadap otonomi, status, dan kepuasan terhadap organisasi adalah prediktor yang signifikan terhadap komitmen organisasi. Hal inilah yang merupakan karakteristik pekerjaan yang dapat meningkatkan perasaan individu terhadap tanggung jawabnya, dan keterikatan terhadap organisasi. d. Organizational support Ada hubungan yang signifikan antara komitmen pekerja dan kepercayaan pekerja terhadap keterikatan dengan organisasinya. Berdasarkan penelitian, pekerja akan lebih bersedia untuk memenuhi panggilan di luar tugasnya ketika mereka bekerja di organisasi yang memberikan dukungan serta menjadikan keseimbangan tanggung jawab pekerjaan dan keluarga menjadi lebih mudah, mendampingi mereka menghadapi masa sulit, menyediakan keuntungan bagi mereka dan membantu anak mereka melakukan sesuatu yang mereka tidak dapat lakukan. 3. Positional Factors a. Organizational tenure Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara masa jabatan dan hubungan pekerja dengan organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa 14

pekerja yang telah lama bekerja di organisasi akan lebih mempunyai hubungan yang kuat dengan organisasi tersebut. b. Hierarchical job level Penelitian menunjukkan bahwa status sosial ekonomi menjadi satusatunya prediktor yang kuat dalam komitmen organisasi. Hal ini terjadi karena status yang tinggi akan merujuk pada peningkatan motivasi dan kemampuan untuk terlibat secara aktif. Secara umum, pekerja yang jabatannya lebih tinggi akan memiliki tingkat komitmen organisasi yang lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan para pekerja yang jabatannya lebih rendah. Ini dikarenakan posisi atau kedudukan yang tinggi membuat pekerja dapat mempengaruhi keputusan organisasi, mengindikasikan status yang tinggi, menyadari kekuasaan formal dan kompetensi yang mungkin, serta menunjukkan bahwa organisasi sadar bahwa para pekerjanya memiliki nilai dan kompetensi dalam kontribusi mereka. II. A. 4. Menciptakan Komitmen Menurut Martin dan Nicholas (dalam Kurniasari, 2004) ada tiga pilar besar yang membentuk komitmen organisasi. Ketiga pilar itu meliputi: 1. Adanya perasaan menjadi bagian dari organisasi (a sense of belonging to the organization). Untuk mencapai rasa memiliki tersebut, maka salah satu pihak dalam manajemen harus mampu membuat pekerja: a. Mampu mengidentifikasi dirinya terhadap organisasi. 15

b. Merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya/ pekerjaannya adalah berharga bagi organissi tersebut. c. Merasa nyaman dengan organisasi tersebut. d. Merasa mendapatkan dukungan yang penuh dari organisasi dalam bentuk misi yang jelas (apa yang direncanakan untuk dilakukan), nilainilai yang ada (apa yang diyakini sebagai hal yang penting oleh manajemen) dan norma-norma yang berlaku (cara-cara berperilaku yang bisa diterima oleh organisasi). 2. Perasaan bergairah terhadap pekerjaan (a sense of excaitement in the job) Perasaan seperti ini bisa dimunculkan dengan cara: a. Mengenali faktor-faktor motivasi instrinsik dalam mengatur desain pekerjaan (job design). b. Kualitas kepemimpinan c. Kemauan dari manajer dan supervisor untuk mengenali bahwa motivasi dan komitmen karyawan bisa meningkat jika ada perhatian yang terus menerus, memberi delegasi atas wewenang serta memberi kesempatan serta ruang yang cukup bagi karyawan untuk menggunakan keterampilan dan keahliannya secara maksimal. 3. Pentingnya rasa memiliki (ownership) Rasa memiliki bisa muncul jika pekerja merasa bahwa mereka benar-benar diterima menjadi bagian atau kunci penting dari organisasi. Konsep penting dari ownership akan meluas dalam bentuk partisipasi dalam membuat keputusan-keputusan dan mengubah praktek kerja, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keterlibatan pekerja. Jika pekerja merasa dirinya dilibatkan 16

dalam membuat keputusan dan jika mereka merasa idenya didengar serta kontribusi yang ada pada hasil yang dicapai, maka mereka akan cendrung menerima keputusan-keputusan atau perubahan-perubahan yang dilakukan. Hal ini dikarenakan mereka merasa dilibatkan, bukan karena dipaksa. II. B. Interrole Conflict Dalam mendefinisikan interrole conflict akan terdapat kaitan yang sangat erat dengan istilah role conflict (Hennesy, 2005). Hal ini dikarenakan interrole conflict merupakan salah satu bentuk dari role conflict. Konflik peran atau role conflict menurut Kahn dkk. (1964) adalah adanya ketidakcocokan antara, harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Dimana dalam kondisi yang cukup ekstrem, kehadiran dua atau lebih harapan peran atau tekanan akan sangat bertolak belakang sehingga peran yang lain tidak dapat dijalankan. Menurut Kahn dkk. (1964) terdapat empat bentuk dari role conflict. Bentuk-bentuk tersebut antara lain intra-sender conflict, terjadinya konflik ini dikarenakan adanya persepsi dan perintah yang berbeda dari salah satu pengirim harapan peran yang tidak sesuai. Bentuk yang kedua adalah inter-sender conflict yang terjadi akaibat tekanan dari salah satu pengirim harapan peran berlawanan dengan tekanan yang diberikan dari pengirim peran lainnya. Bentuk yang ketiga yaitu person-role conflict, terjadi ketika peran yang dijalankan bertentangan dengan nilai moral yang dianut seseorang. Dan bentuk yang terakhir dari role conflict adalah interrole conflict yang terjadi dikarenakan keanggotaan di salah 17

satu organisasi bertentangan dengan tekanan dari keanggotaan di organisasi lainnya. II. B. 1. Pengertian Interrole Conflict Greenhause dan Beutell (dalam Zatz dkk, 1996) mendefinisikan interrole conflict sebagai bentuk tekanan yang berlawanan yang berasal dari partisipasi pada peran yang berbeda, ketika salah satu tekanan peran meningkat akan terjadi ketidaksesuaian pada peran yang lainnya. Salah satu bentuk dari interrole conflict adalah work-family conflict, yaitu ketidaksesuaian antara tekanan peran dari pekerjaan dan keluarga. Partisipasi dalam peran pekerjaan akan membuat partisipasi peran dalam keluarga menjadi lebih sulit. II. B. 2. Dimensi-dimensi Interrole Conflict Menurut Greenhause dan Beutell (dalam O Driscoll dkk, 1997) ada 3 dimensi dari interrole conflict yaitu: 1. Time-based conflict Yaitu konflik yang terjadi karena permintaan waktu dari peran yang lainnya, sehingga individu tidak mampu melaksanakan tugas perannya. Ketidakmampuan ini ditunjukkan secara fisik maupun secara kognitif. 2. Strain-based conflict Yaitu konflik yang dialami individu ketika permintaan dari satu peran menimbulkan ketegangan sehingga menyebabkan terganggunya pelaksanaan peran yang kedua secara adekwat. 18

3. Behavior-based conflict Yaitu konflik yang terjadi karena perilaku spesifik dari satu peran tidak sesuai dengan perilaku yang harus ditunjukkan pada peran kedua. Ketidaksesuaian terjadi karena perbedaan norma dan harapan antara kedua peran tersebut. II. B. 3. Konsekuensi Interrole Conflict Menurut O Driscoll dkk (1997), ada beberapa konsekuensi pekerja yang mengalami interrole conflict, di antaranya yaitu: 1. Ketidakhadiran Interrole conflict berhubungan positif dengan ketidakhadiran dan intensitas turnover. Hal ini disebabkan karena kesulitan membagi waktu untuk memenuhi dua tuntutan peran yang berbeda. 2. Kepuasan Penelitian menunjukkan bahwa interrole conflict akan menurunkan kepuasan, baik kepuasan pekerjaan maupun kepuasan pernikahan. 3. Keadaan psikologis Hubungan antara interrole conflict dan stres psikologis telah menyebar secara luas dan diketahui bahwa peningkatan konflik berkaitan dengan peningkatan stres psikologis. 4. Kesehatan fisik Penelitian terbaru menemukan adanya asosiasi negatif antara interrole conflict dengan kesehatan fisik. Dilaporkan bahwa orang dengan interrole conflict mengalami penurunan berat badan, insomnia, sakit kepala, sakit jantung, serta hilangnya energi. 19

5. Konsekuensi lainnya Konsekuensi lain yang mungkin akan timbul dari interrole conflict adalah akan meningkatnya kosumsi alkohol di antara orang yang mengalaminya. II. C. Wanita Bekerja Menurut Beneria, wanita yang bekerja adalah wanita yang menjalankan peran produktifnya (dalam Rini, 2002). Wanita memiliki dua kategori peran, yaitu peranan reproduktif dan peranan produktif. Peranan reproduktif mencakup peranan reproduksi biologis (pelahiran), sedangkan peranan produktif adalah peranan dalam bekerja yang menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis (economically actives). Menurut Sayogyo dan Hubeis (dalam Wasito, 2004) Dari perkembangan dalam organisasi ekonomi yang tradisional, terdapat dua tipe peranan perempuan yaitu : 1. Peranan perempuan seluruhnya hanya dalam pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan pemeliharaan kebutuhan hidup semua anggota keluarga dan rumah tangganya (peran tradisi). Peran-peran tersebut antara lain sebagai: - Pendamping suami - Pengasuh bagi anak-anaknya. - Memperhatikan kebutuhan anak (perhatian/ atensi, kasih sayang, penerimaan/ acceptance, perawatan/care, dan lain-lain) - Melaksanakan peran pendamping terhadap anak, baik dalam belajar, bermain dan bergaul, serta menegakkan disiplin dalam rumah, membina kepatuhan dan ketaatan pada aturan keluarga. Mencurahkan kasih sayang 20

namun tidak memanjakan, melaksanakan kondisi yang ketat dan tegas namun bukan tidak percaya atau mengekang anggota keluarga. - Berperan sebagai kawan terhadap anak-anaknya, sehingga dapat membantu mencari jalan keluar dari kesulitan yang dialami anak-anaknya. - Memotivasi anak dan mendorong untuk meraih prestasi yang setinggi tingginya. - Mengatur kelancaran rumah tangga. - Mengatur dan mengusahakan suasana rumah yang nyaman. - Menjadi sumber informasi bagi anak: memberikan pengetahuan, pengertian dan penerangan. 2. Perempuan mempunyai dua peranan (peran transisi), yaitu dalam pekerjaan rumah tangga dan perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan sumberdaya pembangunan. Wanita dituntut untuk dapat berpartisipasi dan berperan di masyarakat. Ketika berada di tempat bekerja wanita dituntut untuk berupaya mengembangkan diri seluas-luasnya untuk mencapai hasil maksimal dalam pekerjaannya. II.C.1. Faktor-faktor Yang Melandasi Wanita Bekerja Menurut Jacinta F. Rini (2002), faktor-faktor yang mendasari kebutuhan wanita untuk bekerja di luar rumah adalah: 1. Kebutuhan finansial Seringkali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak, membuat suami dan istri harus bekerja untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari- 21

hari. Kondisi tersebut membuat sang istri tidak punya pilihan lain kecuali ikut mencari pekerjaan di luar rumah, meskipun hati nya tidak ingin bekerja. 2. Kebutuhan sosial-relasional Ada pula wanita-wanita yang tetap memilih untuk bekerja, karena mempunyai kebutuhan sosial-relasional yang tinggi, dan tempat kerja mereka sangat mencukupi kebutuhan mereka tersebut. Dalam diri mereka tersimpan suatu kebutuhan akan penerimaan sosial, akan adanya identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja. Bergaul dengan rekan-rekan di kantor, menjadi agenda yang lebih menyenangkan dari pada tinggal di rumah. Faktor psikologis seseorang serta keadaan internal keluarga, turut mempengaruhi seorang wanita untuk tetap mempertahankan pekerjaannya. 3. Kebutuhan aktualisasi diri Abraham Maslow (1960) mengembangkan teori hirarki kebutuhan, yang salah satunya mengungkapkan bahwa manusia mempunyai kebutuhan akan aktualisasi diri, dan menemukan makna hidupnya melalui aktivitas yang dijalaninya. Bekerja adalah salah satu sarana atau jalan yang dapat dipergunakan oleh manusia dalam menemukan makna hidupnya. Dengan berkarya, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan diri dan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menemukan sesuatu, menghasilkan sesuatu, serta mendapatkan penghargaan, penerimaan, prestasi adalah bagian dari proses penemuan dan pencapaian kepenuhan diri. Kebutuhan akan aktualiasai diri melalui profesi atau pun karir, merupakan salah satu pilihan yang banyak diambil oleh para wanita di jaman sekarang ini terutama dengan makin terbukanya kesempatan yang sama pada wanita untuk meraih jenjang karir yang tinggi. Bagi 22

wanita yang sejak sebelum menikah sudah bekerja karena dilandasi oleh kebutuhan aktualisasi diri yang tinggi, maka ia akan cenderung kembali bekerja setelah menikah dan mempunyai anak. Mereka merasa bekerja dan pekerjaan adalah hal yang sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, menyokong sense of self dan kebanggaan diri selain mendapatkan kemandirian secara finansial. 4. Lain-lain Pada beberapa kasus, ada pula wanita bekerja yang memang jauh lebih menyukai dunia kerja ketimbang hidup dalam keluarga. Mereka merasa lebih rileks dan nyaman jika sedang bekerja dari pada di rumah sendiri. Dan pada kenyataannya, mereka bekerja agar dapat pergi dan menghindar dari keluarga. Kasus ini memang dilandasi oleh persoalan psikologis yang lebih mendalam, baik terjadi di dalam diri orang yang bersangkutan maupun dalam hubungan antara anggota keluarga. II. D. Dinamika Hubungan Interrole Conflict dengan Komitmen Organisasi Menurut Allen dan Meyer (1991) komitmen organisasi diartikan sebagai kondisi psikologis yang menunjukkan karakteristik hubungan antara pekerja dengan organisasi dan mempunyai pengaruh dalam keputusan untuk tetap melanjutkan keanggotaannya di dalam organisasi tersebut. Seseorang yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan berusaha menerima semua tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Van Dyne dan Graham (dalam Coetzee, 2005) ada beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seseorang. Faktor-faktor yang 23

mempengaruhi komitmen organisasi tersebut antara lain faktor personal, situasional, dan positional. Dalam faktor situasional terdapat beberapa hal yang disebutkan mempengaruhi komitmen organisasi yaitu karakteristik pekerjaan dan dukungan organisasi. Sedangkan Menurut Beggs dan Kohut (dalam Coetzee, 2005) ada beberapa karakteristik pekerjaan yang membuat pekerja berkomitmen tinggi terhadap organisasi. Karakteristik pekerjaan tersebut antara lain kepuasan tehadap otonomi, status dan kepuasan pada permintaan organisasi, sehingga seorang pekerja akan merasa bertanggung jawab dan keterikatan dengan organisasinya. Sedangkan karakteristik pekerjaan yang menunjukkan adanya komitmen yang rendah adalah pekerjaan yang memiliki rutinitas yang tinggi. Dukungan organisasi sendiri menurut Coetzee (2007) sangat penting agar pekerja mau memberikan waktu yang lebih untuk organisasi. Dukungan yang dapat diberikan oleh organisasi kepada pekerjanya dapat berupa kemudahan untuk menyeimbangan antara tanggung jawab pekerjaan dan tanggung jawab keluarga mereka. Dengan kata lain apabila pekerja merasa bahwa perannya di dalam suatu organisasi tidak akan mengganggu perannya didalam keluarga, maka pekerja tersebut akan memiliki komitmen organisasi yang tinggi. Menurut Chusmir (1986) berdasarkan faktor personal, maka pekerja akan dihadapkan pada dua situasi yang mempengaruhi proses tebentuknya komitmen organisasi, yaitu situasi keluarga dan situasi pekerjaan. Situasi ini diakibatkan oleh latar belakang pekerja dan keluargannya. Selain itu juga sikap dan nilai pekerja juga mempengaruhi terbentuknya komitmen organisasi. 24

Apabila seorang pekerja mengalami dua tuntutan peran yang berbeda yang membuat mereka kesulitan dalam melaksanakan peran yang lainnya maka pekerja tersebut mengalami intrerrole conflict (Kahn, 1964). Greenhaus dan Beutell (dalam O Driscoll dkk, 2007) mengatakan bahwa interrole conflict ini terjadi dikarenakan peran pekerjaan dan peran keluarga membutuhkan perhatian yang sama. Lebih lanjut dikatakan bahwa interrole conflict ini akan lebih dirasakan oleh wanita dari pada laki-laki. Wanita sering menghadapi konflik di dalam hidupnya yang bersumber dari perbedaan peran. Peran yang sering menjadi sumber konflik adalah peran sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurusi kebutuhan suami dan anak-anaknya serta peran sebagai wanita karir (Ancok dalam Hamid, 1989). Menurut Arinta dan Azwar (1993) hal yang menjadi penyebab munculnya interrole conflict pada wanita dikarenakan wanita yang telah berumah tangga dan bekerja dituntut untuk berhasil dalam dua peran yang bertentangan. Di rumah wanita dituntut untuk selalu siap memberikan bantuan kepada keluarganya, sedangkan di tempat kerja mereka diharapkan menjadi seorang yang agresif. Kligler (dalam Arinta dan Azwar, 1993) mengatakan banyak wanita bekerja yang menunjukkan kecemasan dan perasaan bersalah terhadap perannya di keluarga. Hal ini dikarenakan mereka merasa tidak dapat menjalankan perannya di keluarga dengan baik akibat partisipasinya pada perannya di tempat kerja. Berdasarkan pemaparan diatas penulis berasumsi apabila seorang wanita bekerja yang telah menikah, berdasarkan faktor personal akan mengalami dua situasi yang berbeda yaitu situasi keluarga dan situasi pekerjaan. Maka mereka 25

harus menyeimbangkan peran mereka sebagai pekerja dan peran mereka dalam keluarga. Apabila terjadi ketidaksesuaian antara peran keluarga dan peran di tempat kerja mereka akan mengalami interrole conflict yang tinggi yang berhubungan dengan rendahnya komitmen organisasi. II. E. Hipotesa Berdasarkan teori-teori yang dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesa sebagai berikut: Ada hubungan negatif antara interrole conflict dengan komitmen organisasi. Semakin tinggi interrole conflict, menyebabkan semakin rendah komitmen organisasi. Sebaliknya semakin rendah interrole conflict maka semakin tinggi komitmen organisasi. 26