BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Rumus bangun parasetamol (dapat dilihat pada Gambar 2.1)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masuknya molekul-molekul obat ke dalam tubuh atau menuju peredaran darah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam buku British pharmacopoeia (The Departemen of Health, 2006) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibuprofen ((±)-2-(p-isobutilfenil) asam propionat) dengan rumus molekul

LAPORAN PRAKTIKUM PENGANTAR KIMIA MEDISINAL SEMESTER GANJIL PENGARUH ph DAN PKa TERHADAP IONISASI DAN KELARUTAN OBAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ditjen BKAK (2014), uraian mengenai teofilin adalah sebagai. Gambar 2.1 Struktur Teofilin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

PENENTUAN TETAPAN PENGIONAN INDIKATOR METIL MERAH SECARA SPEKTROFOTOMETRI

Lampiran 1. Flowsheet Rancangan Percobaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyembuhkan atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan. Meskipun

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alat-alat yang digunakan adalah alat permeasi in vitro Crane dan Wilson

TUGAS II REGULER C AKADEMI ANALIS KESEHATAN NASIONAL SURAKARTA TAHUN AKADEMIK 2011/2012

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Minuman energi adalah minuman ringan non-alkohol yang dirancang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan dapat digolongkan sebagai tablet

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ditjen BKAK., (2014) uraian tentang parasetamol sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asetaminofen. Kandungan : tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0 %

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FARMAKOKINETIKA. Oleh Isnaini

Toksikokinetik racun

MEKANISME TRANSPOR PADA MEMBRAN SEL

Laporan Praktikum Analisis Sediaan Farmasi Penentuan kadar Asam salisilat dalam sediaan Bedak salicyl

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sehingga kosmetika menjadi stabil (Wasitaatmadja,1997).

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II PERCOBAAN IV PENENTUAN KOMPOSISI ION KOMPLEKS

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS ANALISIS FARMASI ANALISIS OBAT DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN UV-VIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

abc A abc a = koefisien ekstingsi (absorpsivitas molar) yakni tetap b = lebar kuvet (jarak tempuh optik)

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR

parakor (P), tetapan sterik Es Taft, tetapan sterik U Charton dan tetapan sterimol Verloop (Siswandono & Susilowati, 2000). Dalam proses perubahan

ANALISIS SPEKTROSKOPI UV-VIS. PENENTUAN KONSENTRASI PERMANGANAT (KMnO 4 )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA H N. :-asam benzeneasetat, 2-[(2,6-diklorofenil)amino]- monosodium. -sodium [o-(dikloroanilino)fenil]asetat

ANALISIS INSTRUMEN SPEKTROSKOPI UV-VIS

II. TINJAUAN PUSTAKA. berasal dari ber.ua Amerika, selanjutnya berkembang meiuas di se'.uiuh dur.ia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

PENENTUAN RUMUS ION KOMPLEKS BESI DENGAN ASAM SALISILAT

PENETAPAN KADAR PARASETAMOL DALAM TABLET DENGAN SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT

UJI KUANTITATIF DNA. Oleh : Nur Fatimah, S.TP PBT Ahli Pertama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Gambar 1 Ilustrasi hukum Lambert Beer (Sabrina 2012) Absorbsi sinar oleh larutan mengikuti hukum lambert Beer, yaitu:

Bab II Pemodelan. Gambar 2.1: Pembuluh Darah. (Sumber:

KIMIA ANALISIS ORGANIK (2 SKS)

PENENTUAN STRUKTUR MENGGUNAKAN SPEKTROFOTOMETER UV- VIS

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sifat Fisikokimia Sifat fisikokimia menurut Ditjen POM (1995) adalah sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Antimikroba ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan

NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt

ANALISIS DUA KOMPONEN TANPA PEMISAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. makanan dan biasanya bukan merupakan ingredient khas makanan, mempunyai

BAB IV ANALISIS DENGAN SPEKTROFOTOMETER

I. KONSEP DASAR SPEKTROSKOPI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

LAPORAN PRAKTIKUM III PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI)

Berdasarkan interaksi yang terjadi, dikembangkan teknik-teknik analisis kimia yang memanfaatkan sifat dari interaksi.

BAB II. pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat pembasah.

Spektrofotometri uv & vis

Laporan Kimia Analitik KI-3121

HKSA DENGAN SIFAT MEMBRAN SEL

HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES ABSORPSI, DISTRIBUSI DAN EKSKRESI OBAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

HASIL DAN PEMBAHASAN y = x R 2 = Absorban

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, TRIGLISERIDA, DAN UREA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI)

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI/TERAPI KEDOKTERAN I ABSORBSI DAN EKSKRESI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN STRUKTUR, SIFAT KIMIA FISIKA DENGAN PROSES ABSORPSI, DISTRIBUSI DAN EKSKRESI OBAT

3.1 Membran Sel (Book 1A, p. 3-3)

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

PENGANTAR FARMAKOLOGI

LAPORAN PRAKTIKUM METABOLISME GLUKOSA, UREA, DAN TRIGLISERIDA (TEKNIK SPEKTROFOTOMETRI)

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA PROSES PEMBUATAN KURVA STANDAR DARI LARUTAN - KAROTEN HAIRUNNISA E1F109041

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Karakterisasi Fisik Vitamin C

4 Hasil dan Pembahasan

Paradigma dalam pengembangan obat. Pertimbangan terapeutik Pertimbangan biofarmasetik Pendekatan fisikokimia 4/16/2013 1

4 Hasil dan Pembahasan

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SIFAT FISIKA KIMIA terhadap FARMAKOKINETIK (Absorbsi Distribusi Ekskresi)

Pertukaran cairan tubuh sehari-hari (antar kompartemen) Keseimbangan cairan dan elektrolit:

JURNAL PRAKTIKUM ANALITIK III SPEKTROSKOPI UV-VIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Fungsi Sistem Pencernaan Pada Manusia

Oleh: Dhadhang Wahyu Kurniawan 4/16/2013 1

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bahan 2.1.1 Parasetamol a. Rumus bangun parasetamol (dapat dilihat pada Gambar 2.1) Gambar 2.1 Rumus bangun parasetamol (Ditjen POM, 1995). b. Rumus molekul : C 8 H 9 NO 2 c. Berat molekul : 151,16 d. Sifat fisika - Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit. - Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1N, mudah larut dalam etanol (Ditjen POM,1995). e. Farmakologi - Kegunaan : analgetik dan antipiretik (Tan dan Kirana, 2007). - Efek Samping : reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronis dapat terjadi kerusakan hati. Overdosis dapat menimbulkan mual, muntah dan anoreksia (Tan dan Kirana, 2007).

2.1.2 Aspirin a. Rumus bangun aspirin (dapat dilihat pada Gambar 2.2) Gambar 2.2 Rumus bangun aspirin (Ditjen POM, 1995). b. Rumus molekul : C 9 H 8 O 4 c. Berat molekul : 180,16 d. Sifat fisika - Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, rasa asam. - Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95%) P, larut dalam kloroform P dan dalam eter P. (Ditjen POM,1995). e. Farmakologi - Kegunaan : analgetik dan antipiretik (Tan dan Kirana, 2007). - Efek Samping : reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronis dapat terjadi kerusakan hati. Overdosis dapat menimbulkan mual, muntah dan anoreksia (Tan dan Kirana, 2007).

2.2 Absorbsi Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah setelah melewati sawar biologik (Aiache, dkk, 1993). Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati berbagai membran sel. Pada umumnya, membran sel mempunyai struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel (Shargel dan Yu, 1985). Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan (serta cepat-lambatnya melarut) menentukan banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama adalah cairan gastrointestinal; dari sini melalui membran biologis obat masuk ke peredaran sistemik. Disolusi obat didahului oleh pembebasan obat dari bentuk sediaannya. Secara ringkas proses biofarmasetik dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Joenoes, 2002). Gambar 2.3 Fase Biofarmasetik Obat (Joenoes, 2002). Obat yang terbebaskan dari bentuk sediaannya belum tentu diabsorpsi: kalau obat tersebut terikat pada kulit atau mukosa disebut adsorpsi. Kalau obat sampai tembus ke dalam kulit, tetapi belum masuk ke kapiler disebut penetrasi. Hanya kalau obat meresap/menembus dinding kapiler dan masuk ke dalam

saluran darah baru itu disebut absorpsi (Joenoes, 2002). Berarti suksesnya perpindahan obat dari suatu bentuk sediaan dosis oral kedalam sirkulasi umum bisa dicapai dengan empat langkah proses yaitu : 1. Penghantaran obat pada tempat absorpsinya 2. Keberadaan obat dalam bentuk larutan 3. Pergerakan dari obat larut melalui membran saluran cerna 4. Pergerakan obat dari tempat absorpsi ke dalam sirkulasi umum (Syukri, 2002). Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh dari sistem LADME (Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi). Bila pembebasan obat dari bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka disolusi dan absorpsinya juga lama, sehingga dapat mempengaruhi efektivitas obat secara keseluruhan (Joenoes, 2002). 2.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat 1. Pengaruh besar-kecilnya partikel obat Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan yang kontak dengan cairan/pelarut; bertambah kecil partikel, bertambah luas permukaan total, bertambah mudah larut (Joenoes, 2002). 2. Pengaruh daya larut obat Pengaruh daya larut obat/bahan aktif tergantung pada: a. Sifat kimia: modifikasi kimiawi obat b. Sifat fisik: modifikasi fisik obat c. Prosedur dan teknik pembuatan obat d. Formulasi bentuk sediaan dan penambahan eksipien (Joenoes, 2002).

3. Beberapa faktor lain fisiko-kimia obat a. pka dan derajat ionisasi obat b. Koefisien partisi lemak/air (Joenoes, 2002). 2.2.2 Mekanisme Lintas Membran Mekanisme pasif dan aktif (termasuk pembentukan membran) bersaing dalam proses perlintasan zat aktif melalui membran (Aiache, dkk, 1993). a. Filtrasi Filtrasi atau yang disebut juga difusi secara konvensi adalah mekanisme penembusan pasif melalui pori-pori suatu membran. Semua senyawa yang berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal membran. Sebagian besar membran (membran seluler epitel usus halus dan lain-lain) berukuran kecil (4-7 Å) dan hanya dapat dilalui oleh molekul dengan bobot molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk senyawa yang bulat, atau lebih kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang (Syukri, 2002). Difusi pasif melalui pori dapat dilihat pada Gambar 2.4 Gambar 2.4 Transpor trans membran transpor konvektif (Joenoes, 2002).

b. Difusi pasif ph partisi hipotesis Difusi pasif menyangkut senyawa yang larut dalam komponen penyusun membran. Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan dikedua sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut mengikuti hukum difusi Fick (Syukri, 2002). V = P (C e C i ) Dimana P adalah tetapan permeabilitas, sedangkan C e dan C i adalah konsentrasi pada kedua kompartemen. Jadi konsentrasi (C) senyawa di kedua sisi membran berpengaruh pada proses penembusan, tetapi perlu ditekankan bahwa hanya fraksi bebas dari zat aktif yang diperhitungkan dalam perbedaan konsentrasi. Kombinasi zat aktifprotein yang terbentuk tersebut tidak dapat terdifusi karena alasan bobot molekulnya. Dalam hal ini hanya fraksi bebas yang dapat berdifusi, rantai protein merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi laju difusi melalui membran (Syukri, 2002). Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Jika ukuran molekul tidak dapat melalui kanal-kanal membran, maka polaritas yang kuat dari bentuk terionkan akan menghambat proses difusi transmembran. Hanya fraksi zat aktif yang tak terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif. Pentingnya faktor-faktor yang berpengaruh pada difusi transmembran dari suatu molekul

(derajat ionisasi molekul, ph kompartemen) digarisbawahi dalam Teori Difusi Non Ionik atau Hipotesa ph Partisi (Syukri, 2002). Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari suatu asam kuat atau basa kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melalui membran tergantung kelarutan bentuk tak terionkan (satu-satunya yang berpengaruh pada konsentrasi), serta derajat ionisasi molekul (Syukri, 2002). Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson Hasselbach) yaitu: a. Tetapan ionisasi dari suatu senyawa atau pka b. ph cairan dimana terdapat molekul zat aktif Untuk asam : ph = pka + log konsentrasibentukterionkan konsentrasibentuktakterionkan Untuk basa : ph = pka + log konsentrasibentuktakterionkan konsentrasibentukterionkan Karakteristik fisiko-kimia sebagian besar molekul (polaritas, ukuran molekul, dan sebagainya) merupakan hambatan penembusan transmembran oleh mekanisme pasif secara filtrasi dan difusi. Pengikutsertaan proses aktif dapat menjelaskan perjalanan obat yang kadang-kadang melintasi membran sel dengan sangat cepat (Syukri, 2002). Transport transmembran difusi pasif dapat dilihat pada Gambar 2.5

Gambar 2.5 Transpor trans membran difusi pasif (Joenoes, 2002). c. Transpor aktif Transpor aktif suatu molekul merupakan cara pelintasan transmembran sangat berbeda dengan difusi pasif. Pada transpor aktif diperlukan adanya pembawa. Pembawa ini dengan molekul yang dapat membentuk kompleks pada permukaan membran. Kompleks tersebut melintasi membran dan selanjutnya molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu pembawa kembali menuju ke permukaan asalnya (Syukri, 2002). Sistem transpor aktif bersifat jenuh. Sistem ini menunjukkan adanya suatu kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas tinggi dapat menghambat kompetisi transpor dari molekul yang berafinitas lebih rendah. Transpor dari satu sisi membran ke sisi membran yang lain dapat terjadi dengan mekanisme perbedaan konsentrasi. Tranpor ini memerlukan energi yang diperoleh dari hidrolisa adenosin trifosfat (ATP) dibawah pengaruh suatu ATP-ase (Syukri, 2002). Transport aktif dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Transpor aktif (Joenoes, 2002). d. Difusi sederhana Difusi ini merupakan cara pelintasan membran yang memerlukan suatu pembawa dengan karakteristik tertentu (kejenuhan, spesifik dan kompetitif). Pembawa tersebut bertanggungjawab terhadap transpor aktif, tetapi di sini perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi (Syukri, 2002). Difusi sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.7. Gambar 2.7 Difusi sederhana (Joenoes, 2002). e. Pinositosis Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekulmolekul besar dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran (Syukri, 2002). Pinositosis dapat dilihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Transpor trans membran pinositosis (Joenoes, 2002). f. Transpor oleh pasangan ion Transpor oleh pasangan ion adalah suatu cara perlintasan membran dari suatu senyawa yang sangat mudah terionkan pada ph fisiologik. Perlintasan terjadi dengan pembentukan kompleks yang netral (pasangan ion) dengan senyawa endogen seperti musin, dengan demikian memungkinkan terjadinya difusi pasif kompleks tersebut melalui membran (Syukri, 2002). Transport oleh pasangan ion dapat dilihat pada Gambar 2.9. 2002). Gambar 2.9 Transpor trans membran transpor pasangan ion (Joenoes,

2.3 Usus Halus Usus halus adalah tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan penyerapan. Dengan panjang sekitar 6,3 m dengan diameter yang kecil yaitu 2,5cm/1 inch. Bergulung di rongga abdomen dan terbentang dari lambung sampai usus besar. Usus halus terdiri dari tiga bagian, yaitu: a. Duodenum Duodenum disebut juga usus dua belas jari. Bagian pertama usus halus yang berbentuk sepatu kuda melingkari pankreas. b. Jejunum Disebut juga usus kosong. Terjadi pencernaan secara kimia, menghasilkan enzim pencernaan. c. Ileum Ileum disebut juga usus penyerapan. Terjadi penyerapan makanan (absorpsi) (Fawcett, 1994). Bagian pertama duodenum memegang peranan yang sangat penting pada proses penyerapan. Bagian lain dari usus halus juga merupakan tempat terjadinya perlintasan membran dengan intensitas yang besar, dan disini lebih banyak terjadi difusi pasif. Difusi pasif terutama terjadi pada bagian pertama usus halus, karena konsentrasi obat-obat yang tinggi dalam liang usus akan meningkatkan gradient difusi, hal yang sama terjadi pula pada bagian usus sebelah bawah dan pada penyerapan susjacent (Aiache, dkk, 1993).

Anatomi usus halus dapat dilihat pada Gambar 2.10. Gambar 2.10 Usus Halus (Deferme, et al, 2008). Duodenum, dengan panjang sekitar 25 cm, terikat erat pada dinding dorsal abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal. Jalannya berbentuk-c, mengitari kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum, yang terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Kelokankelokan jejunum menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati bagian bawah rongga. Terdapat perbedaan kecil dalam histologi mukosa ketiga segmen usus halus itu, namun batas di antara ketiganya tidak jelas. Dinding usus halus terdiri atas empat lapis konsentris: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa (Fawcett, 1994). Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum; fungsi utama duodenum dan bagian pertama jejunum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua dari jejunum dan ileum ialah untuk absorpsi. ph usus halus meningkat dari

duodenum 4-6, jejunum 6-7, ileum 7-8. Usus halus merupakan tempat absorpsi yang penting untuk obat-obat karena phnya yang cocok dan permukaan yang luas (Ansel, 1989). 2.4 Kinetika Laju Absorbsi a. Persamaan Michaelis Menten (Inui, et al, 1988) V = V K maks m [ C] + Kd [C] + [ C] Dimana; V = Kecepatan absorpsi awal (mcg/ml.menit) V maks = Kecepatan absorpsi maksimum (mcg/ml.menit) K m [C] Kd = Tetapan Michaelis Mentens (M) = Konsentrasi (M) = Koefisien Difusi b. Lineweaver Burk Kurva hubungan konsentrasi [C] dan kecepatan absorpsi [V] yang dikemukakan oleh Michaelis mentens dapat diubah ke dalam kurva garis lurus apabila digunakan harga resiproknya (1/V dan 1/C) (Armstrong, 1995). Persamaannya adalah: 1/v = V K m maks 1 1 + C Vmaks

2.5 Spektrofotometri Ultraviolet-visibel Spektrofotometer UV-vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UVvis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004). Ketika suatu atom atau molekul menyerap cahaya maka energi tersebut akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung pada panjang gelombang cahaya yang diserap. Sinar ultraviolet dan sinar tampak akan menyebabkan elektron tereksitasi ke orbital yang lebih tingi. Sistem yang bertanggung jawab terhadap absorpsi cahaya disebut dengan kromofor (Dachriyanus, 2004). Kromofor merupakan semua gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak (Rohman, 2007). Hukum Lambert-Beer (Beer s law) adalah hubungan linieritas antara absorban dengan konsentrasi larutan analit. Biasanya hukum Lambert-Beer ditulis dengan:

A = ε. b. C A = absorban (serapan) ε = koefisien ekstingsi molar (M-1cm-1) b = tebal kuvet (cm) C = konsentrasi (M) Pada beberapa buku ditulis juga: A = E. b. C E = koefisien ekstingsi spesifik (ml g-1cm-1) b = tebal kuvet (cm) C = konsentrasi (gram/100 ml) Hubungan antara E dan ε adalah: E= 10. ε massa molar Pada percobaan, yang terukur adalah transmitan (T), yang didefinisikan sebagai berikut: T = I/Io I = intensitas cahaya setelah melewati sampel Io = intensitas cahaya awal Hubungan antara A dan T adalah: A = -log T = -log (I/Io) Jika absorbansi suatu seri konsentrasi larutan diukur pada panjang gelombang, suhu, kondisi pelarut yang sama; dan absorbansi masing-masing larutan diplotkan terhadap konsentrasinya maka suatu garis lurus akan teramati sesuai dengan persamaan A = abc. Grafik ini disebut dengan plot hukum Lambert-

Beer dan jika garis yang dihasilkan merupakan suatu garis lurus maka dapat dikatakan bahwa hukum Lambert-Beer dipenuhi pada kisaran konsentrasi yang diamati (Rohman, 2007).