BAB I PENDAHULUAN. dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan umum UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. melalui otonomidaerah.pemberian otonomi daerah tersebut bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada tahun 2000, Banten merupakan wilayah pemekaran dari Jawa

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya demokratisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

PENGARUH DAU, DAK, PAD, DAN PDRB TERHADAP BELANJA MODAL PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu wujud dari amanah yang diemban pemerintah dan menjadi faktor utama dalam mengevaluasi kinerja masing-masing satuan perangkat daerah. Hal ini dipertegas dalam undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara pasal 19 (1) dan (2) yaitu, pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Dengan membangun suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan perencanaan kinerja dengan anggaran Tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan. Demikian pula dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ditegaskan bahwa pemerintah daerah diberi kesempatan secara luas untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing, termasuk dalam hal penyusunan dan pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. dimiliki dengan cara yang efisien dan efektif, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada

2 masyarakat. Sejalan dengan pembagian kewenangan yang disebutkan di atas maka pengaturan pembiayaan Daerah dilakukan berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan azas desentralisasi dilakukan atas beban APBD, pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelaksanaan azas dekonsentrasi dilakukan atas beban APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban anggaran tingkat pemerintahan yang menugaskan. Manajemen keuangan daerah yang tercermin dalam APBD merupakan media utama pemerintah daerah dalam melakukan alokasi sumberdaya daerah secara optimal, sekaligus merupakan media yang dapat digunakan untuk mengevaluasi prestasi pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan di daerah. Sebagai media utama maka setiap pengeluaran pemerintah harus diperuntukan untuk kepentingan publik dan wajib dipertanggungjawabkan. Artinya pengelolaan dalam bentuk alokasi anggaran publik diharapkan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat agar dapat mandiri secara ekonomis. Dari sisi keuangan negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah menimbulkan implikasi yang mendasar dalam peta pengelolaan fiskal. Artinya dengan adanya desentralisasi fiskal pemerintah daerah diharapkan mampu mengoptimalkan potensi sumberdaya daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengotimalan tersebut harus secara tegas dicantumkan dalam APBD sebagai salah satu media utama dalam perencanaan penerimaan dan pembiayaan pembangunan di daerah. Ini berarti pengalokasian anggaran publik harus lebih diperuntukan pada bagi kepentingan publik, misalnya dalam hal belanja modal. Sebagai anggaran publik,

3 pengelolaan dan pengalokasian anggaran menempati posisi strategis dalam pembangunan suatu negara, termasuk anggaran daerah. Anggaran publik yang dikelola oleh pemerintah memiliki tiga fungsi utama, yaitu; alokasi, distribusi dan stabilitas. Dalam fungsi alokasi, anggaran publik memainkan peranan dalam pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik atau penyelanggaraan pemerintahan yang pada gilirannya dapat meningkatkan pelayanan publik. Fungsi distribusi tercermin dari pemerataan pendapatan dan pengetasan kemiskinan. Fungsi stabilitas tercermin dari penciptaan lingkungan makroekonomi yang kondusif. Ketiga fungsi tersebut menjadi landasan utama kebijakan fiskal pemerintah, baik dari sisi pendapatan, pembiyaaan maupun belanja negara, termasuk kebijakan pemerintah daerah dalam pengalokasian anggaran publik. Di sisi lain, dalam proses penyusunan sampai implementasinya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memiliki berbagai permasalahan, salah satunya adalah pengalokasian sumber-sumber pendapatan daerah yang diperuntukan untuk kepentingan publik, baik alokasi dana untuk belanja langsung maupun tidak langsung. Fozzard (2001) menunjukkan bahwa pengalokasian sumberdaya merupakan permasalahan mendasar dalam anggaran sektor publik. Hal ini menenujukkan perlu adanya suatu desain sistem pengeluaran yang mampu mengendalikan pola konsumsi sumberdaya ekonomi, khususnya anggaran publik yang tidak tepat sasaran. Salah satu pendekatan yang dipandang relevan dewasa ini adalah manajemen pengeluaran sektor publik. Hal ini penting karena selama ini banyak pengeluaran pemerintah terutama pemerintah daerah, misalnya untuk belanja modal rata-rata masih dibawah 30% dari yang disyaratkan. Permasalahan seputar alokasi belanja tersebut menjadi lebih parah bila kewenangan pemerintah

4 daerah secara mandiri dalam pengelolaan keuangan daerah tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan azas desentralisasi, kepala Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah. Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan undangundang nomor 34 tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari undangundang nomor 18 tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaan-nya dengan peraturan pemerintahn nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan peraturan pemerintah nomor 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Sejak diberlakukan reformasi keuangan daerah dan sejalan dengan implementasi Otonomi daerah, tampak kita cermati sejumlah daerah tertentu tidak mampu membiayai rumah tangga daerahnya sebagai akibat kapasitas fiskal yang rendah. Hal ini tentunya berdampak pada pelaporan keuangan pemerintah daerah yang diharus disajikan dan diperiksa setiap tahun. Ini berarti struktur belanja setiap

5 pemerintah daerah perlu diperkuat agar dapat mendorong perekonomian daerah. Halim (2004) menegaskan bahwa tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah. Penegasan ini menunjukkan bahwa bagi daerah-daerah yang memiliki celah fiskal yang tinggi perlu memperkuat struktur anggaran belanjanya, ini bukan berarti daerah-daerah yang celah fiskal yang rendah tidak perlu memperkuat struktur belanja. Dengan memperkuat struktur belanja daerah dapat meningkatkan kepercayaan publik. Hal ini penting karena anggaran yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam menjalankan aktivitas pembangunan daearah merupakan anggaran publik. Alokasi belanja yang dilakukan oleh pemerintah daerah setiap tahun harus betul-betul dimanfaatkan untuk aktivitasaktivitas yang produktif. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk melakukan aktivitas pembangunan. Sejalan dengan Saragih, Stine (1994) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan publik. Gagasan yang dikemukakan baik oleh Saragih maupun Stine menunjukkan bahwa pengalokasikan belanja untuk berbagai kepentingan publik merupakan hal yang sangat penting dan strategis dalam mendorong perekonomian daerah. Dikatakan penting dan strategis karena, dengan peningkatan sarana publik, misalnya membangun jembatan dan jalan dapat mempermudah akses masyarakat dalam melakukan aktvitas bisnis maupun non bisnis. Di sisi lain, bagi daerahdaerah yang memiliki potensi sumberdaya yang dapat diandalkan, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam kebijakan Otonomi daerah disambut baik, karena terbuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola

6 daerahnya secara mandiri termasuk dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Salah satu harapan dari kebijakan tersebut adalah daerah diberi kesempatan untuk mempercepat pertumbuhan ekonominya dan memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya bagi daerah-daerah yang memiliki keterbatasan sumberdaya, kebijakan demikian akan memberatkan. Daerah yang tidak memiliki potensi sumberdaya dalam hal sumber keuangan atau dana yang melimpah akan mengalami kesulitan dalam membiayai belanja daerahnya. Dengan adanya otonomi daerah pula, maka dengan tegas terjadi pemisahan fungsi antara fungsi Pemerintahan Daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut, menunjukkan bahwa antara legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan, eksekutif melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran daerah, yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik, sedangkan legislatif berperan aktif dalam melaksanakan legislasi, penganggaran, dan pengawasan (Halim, 2006). Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Situngkir (2009). Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan variabel yang ada pada penelitian yang dilakukan oleh Situngkir (2009). Variabel-variabel yang digunakan diantaranya pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Namun dalam tesis ini peneliti menambahkan variabel independen lain dalam penelitiannya,yaitu Dana Bagi Hasil (DBH), karena pada penelitian yang dilakukan oleh Harahap (2009) variabel tersebut berpengaruh signifikan terhadap

7 belanja modal. 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh terhadap Anggaran Belanja Modal? 1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris pada Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap alokasi Anggaran Belanja Modal. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten/kota se-lampung tentang Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DBH, DAU, DAK dan Belanja Modal. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten/Kota se-lampung dalam penyusunan Anggaran Belanja Modal. 3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti tentang Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DBH, DAU, DAK dan Anggaran Belanja Modal.