BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V. IMPLIKASI PENTING. B. Kebijakan: Pelurusan kerangka pikir, melepas hegemoni

I. KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN

KERANGKA PIKIR DIBALIK KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS DISKURSUS. Azis Khan

BAB IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian

Movement mudah diterima oleh masyarakat global, sehingga setiap individu diajak untuk berpikir kembali tentang kemampuannya dalam mempengaruhi

BAB V PENUTUP. kebangkitan gerakan perempuan yang mewujud dalam bentuk jaringan. Meski

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. dilengkapi dengan hasil wawancara, implikasi, keterbatasan, dan saran-saran

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

VI. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI. 1. TVRI Stasiun Sulawesi Tenggara sebagai televisi publik lokal dan Sindo TV

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan.

BAB IX MANAJEMEN PERUBAHAN SISTEM PEMASYARAKATAN

BAB V KESIMPULAN: ADAT ISTIADAT SEBAGAI LANDASAN GERAKAN SOSIAL SUKU DAYAK IBAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN, KETERBATASAN DAN REKOMENDASI. dan rekomendasi. Pembahasan dari masing-masing dijelaskan secara runtut sebagai

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian yang bermakna sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar

I. PENDAHULUAN. penerima program pembangunan karena hanya dengan adanya partisipasi dari

BAB VI PENUTUP. terkait dengan judul penelitian serta rumusan masalah penelitian. yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya.

Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

A. Simpulan Peran public relations dalam organisasi semakin signifikan dalam kurun beberapa tahun terakhir. Divisi public relations yang mulanya hanya

IMPLEMENTASI PENGEMBANGAN PEMBANGKIT LISTRIK PANAS BUMI BERDASARKAN UU NO. 21 TAHUN 2014 TENTANG PANAS BUMI SEBAGAI PILIHAN TEKNOKRATIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB 9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 9.I Kesimpulan Hasil penelitian ini menjawab beberapa hal, sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian tesis ini,

PERAN ANGGARAN PARTISIPATIF

Review Buku : Rozaqul Arif

KERANGKA ACUAN KERJA SARASEHAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN INDONESIA Jakarta, 4 Februari 2009

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

IDQAN FAHMI BUDI SUHARDJO

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. pergeseran. Penyusunan kebijakan publik tidak lagi murni top down, tetapi lebih

RINGKASAN. vii. Ringkasan

BAB I PENDAHULUAN. Keberlanjutan pembangunan didekati dengan tiga nilai utama (Todaro dan Smith,

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan. Bab Sembilan

IMPLIKASI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007 TERHADAP PERAN PERENCANA DAN ASOSIASI PROFESI PERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun evaluasi.

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

PENGUATAN KERJA SAMA PENEGAKAN HUKUM GLOBAL DAN REGIONAL Oleh: Viona Wijaya * Naskah diterima: 23 Agustus 2017; disetujui: 31 Agustus 2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi dewasa ini, sebuah perusahaan bertaraf nasional maupun

Grafik 1. Area Bencana

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pertama Kedua

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2012 TENTANG

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi yang memberikan kebebasan dan

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi diawal 1998 dapat dikatakan tonggak perubahan bangsa Indonesia.

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. pertimbangan-pertimbangan subjektif masing-masing masyarakat berupa filosofi, nilai-nilai,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. demi stabilitas keamanan dan ketertiban, sehingga tidak ada lagi larangan. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang mencakup:

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

WORKSHOP Penyusunan Buku Kelompok Rentan. Yogyakarta, Juni 2010 MAKALAH. Otda & Konflik Tata Ruang Publik. Oleh: Wawan Mas udi JPP Fisipol UGM

PENERAPAN HUKUM PADA E COMMERCE

1 Universitas Indonesia

BAB 9 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN GARUT TAHUN

Keputusan Dewan Kehutanan Nasional. tentang Protokol Konsultasi Publik. Nomor : SKN.02/DKN-KP/2012

KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada era-era yang lalu tidak luput dari

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di

BAB III TEMUAN PENELITIAN

Pengantar: Kebijakan Berbasis Bukti

BULETIN ORGANISASI DAN APARATUR

I. PENDAHULUAN. manusia menjadi semakin beragam dan kompleks sifatnya. Berbagai hal sebisa

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuh kembangkan

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan kebenaran secara fairness. Yaitu salah satu syarat objektivitas

8 KESIMPULAN DAN SARAN

MEMBANGUN E-LEGISLASI DI INDONESIA Oleh: Arfan Faiz Muhlizi*

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah menyebar ke seluruh pelosok negeri dan telah merambah


kinerja DPR-GR mengalami perubahan, manakala ada keberanian dari lembaga legislatif untuk kritis terhadap kinerja eksekutif. Pada masa Orde Baru,

Widiyanto, HuMa

Mencari Format Kerangka Kebijakan yang Ramah Bagi Masyarakat Lokal : Sebuah Diskusi Awal. Indriaswati Dyah Saptaningrum

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sofware dalam hidup dan kehidupan manusia darinya manusia hidup, tumbuh

B. Maksud dan Tujuan Maksud

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA. A. Lukman Irwan, SIP Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan Fisip UNHAS

BAB I PENDAHULUAN. progresifitas yang amat pesat. Hal ini bisa diidentifikasikan melalui eksistensi

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH PENELITIAN. Isu globalisasi saat ini menuntut sumberdaya manusia yang berkualitas dan

Penjaminan Mutu Pada Pendidikan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

Ringkasan Eksekutif. Inisiatif Tata Kelola Kehutanan Indonesia. Proses dan Hasil Penelitian Kondisi Tata Kelola Kehutanan Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang rendah dan cenderung mengalami tekanan fiskal yang lebih kuat,

Transkripsi:

BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN A. Ringkasan Temuan Beberapa temuan pokok penelitian setiap bab telah disajikan dalam ringkasan di bagian akhir masing-masing bab. Berikut, intisari temuan pokok tersebut. 1. Dari mulai masa penjajahan sampai era pasca kemerdekaan, pengelolaan hutan alam di Indonesia mengalami beragam pendekatan dan orientasi pengelolaan yang berbeda yang pada hakekatnya menyiratkan seolah-olah ada keragaman dalam kerangka berpikir dan landasan pengelolaan yang digunakan. Sekalipun, keseluruhannya sama-sama berpijak pada landasan konstitutional, yakni menjalankan mandat keramat Pasal 33 UUD 1945. Dalam kurun itu pula, semangat eksploitatif begitu dominan dan konsisten, bahkan ditengah kondisi dan situasi hutan alam yang telah mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun. Konsistensi ini begitu kuat, sekalipun penurunan kondisi tersebut telah menjadi keprihatinan publik yang meluas dan bahkan telah menjadi perhatian dunia internasional. 2. Usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa secara sosial ekonomi dan lingkungan dipandang kurang berhasil untuk tidak mengatakan gagal dalam menjalankan mandat keramat pasal 33 UUD 45. Usaha kehutanan itu bahkan di klaim tidak lestari, tidak mensejahterakan, dan tidak adil. 3. Sekalipun seolah-olah ada keragaman dalam kerangka berpikir dan landasan pengelolaan yang digunakan, peta diskursus yang dibangkitkan dari teks perundangan menunjukkan bahwa aliran pemikiran yang ada dan dominan mengerucut ke satu bentuk aliran pemikiran yang stagnan dalam kurun itu, bahkan sampai saat ini. Tidak tampak ada perubahan kerangka pikir yang berarti dalam kurun yang sama, bahkan terindikasi lebih tidak menentu. 4. Dari unsur-unsur bagaimana hutan alam diposisikan, kelestarian dimaknai, usaha kehutanan ditetapkan, dan kebijakan untuk semua itu dikonstruksi, tampak bahwa aliran pemikiran yang stagnan itu memperlihatkan ciri-ciri atau karakteristik (a) memosisikan sistem alami hutan alam sebagai faktor utama, dan karenanya (b) kelestarian hutan dimaknai lebih sebagai daftar kewajiban dan atau aturan kerja yang harus dijalankan, (c) ikhtiar pencapaian kelestarian

192 direduksi sebatas menjalankan silvikultur, (d) hasil hutan kayu menjadi orientasi pokok kebijakan usaha kehutanan, dan (e) substansi kebijakan didominasi perspektif dan bangunan logika pemerintah yang cenderung teknikal, administratif prosedural, jangka pendek, dan lawas menukik pada unit manajemen, (f) proses konstruksi kebijakan dimonopoli pemerintah, tidak tampak ada proses interaksi para pemangku kepentingan lain yang bersifat transaksi, negosiasi, dan kontestasi ide-pemikiran-pengalaman praktis. 5. Ciri dan karakteristik aliran diatas merupakan juga ciri aliran pemikiran the forest first (FF) yang dimaksud Sfeir-Younis (1991), dimana sistem alami hutan diposisikan sebagai faktor utama, sehingga pengelolaan hutan dan usaha kehutanan bersifat monolitik, yakni hal-hal diluar sistem alami hutan dianggap sebagai faktor eksogen; dengan ciri yang juga lebih beorientasi kayu dengan konsep pengaturan hasil lestari dalam perspektif jangka panjang, maka aliran itu pun identik dengan doktrin yang diprihatinkan Gluck (1987) sebagai doktrin usang; 6. Lepasnya aspek sosial politik dari aliran pemikiran itu, terutama dalam mendefinisikan kelestarian hutan telah dipermasalahkan pula oleh Kaivo-Oja et al (tt) dan MacCleery (tt); mereka menyebut aliran demikian sangat terpusat pada aspek biologi (bio-centris) yang steril dari unsur sosial kemanusia an (human being) dan jauh dari konsep kemandirian (self-sustaining) 7. Kalaupun teks peraturan-perundangan memperlihatkan menyebut dan memasukan aspek-aspek sosial, politik dan ekonomi, maka dengan menggunakan pendekataan Bolman and Deal (1984) dapat diperlihatkan bahwa itu semua hanya sekedar symbol yang penyebabnya dipertegas dalam pendekatan Alvessoon dan Karreman (2000) sebagai lepasnya makna dari diskursus. 8. Diskursus yang dibangkitkan dari wawancara mendalam dan internet on-line polling menunjukkan hasil serupa. Para pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam penelitian ini memperlihatkan menganut aliran dengan ciri dan karakteristik yang sama. Ini diperlihatkan terutama dari komponen pemerintah dan praktisi bisnis; hanya komponen akademisi dan masyarakat sipil/lsm yang mengusung pula isu-isu sosial-politik kedalam diskursusnya; menimbang dan mengusung isu-isu ini dalam pendekatan Sfeir-Younis (1991)

193 disebut sebagai aliran pemikiran the forest second (FS), yang sekaligus merupakan opsi penting dalam menyoal aliran pemikiran the forest first (FF). 9. Bagaimanapun, diskursus yang diusung kalangan komponen akademisi dan masyarakat sipil ini dapat merupakan representasi dari ruang publik dalam kurun dimana berbagai peraturan perundangan itu dikonstruksi. Bila hal ini dilacak dari substansi peraturan perundangan usaha kehutanan yang ada, yang notabene dilandasi aliran pemikiran berciri the forest first, maka dapat dikatakan bahwa komponen akademisi dan masyarakat sipil tergolong pihak yang kalah dalam kontestasi ide kalau proses kontestasi itu ada! 10. Kekalahan komponen akademisi dan masyarakat sipil dimungkinkan setidaknya oleh dua hal: proses konstruksi kebijakan yang tertutup dan statebased sifatnya dan kualitas diskursus yang lemah. Meminjam pemikiran IDS (2006) rendahnya kualitas diskursus ini mencerminkan sempitnya ruang kebijakan, minimnya jaringan aktor para pembuat kebijakan, sehingga tidak terkontestasikannya secara memadai keseluruhan kepentingan dan politik kedalam ruang transaksi dan negosiasi dalam proses konstruksi kebijakan. 11. Berbagai temuan pokok di atas menegaskan, bahwa aliran pemikiran usaha kehutanan adalah situasi masalah yang penting dan luput dari perhatian para pemangku kepentingan kehutanan. Situasi masalah aliran pemikiran sangat mungkin disebabkan karena rendahnya kualitas diskursus. Rendahnya kualitas diskursus sangat ditentukan setidaknya dua hal terkait pengetahuan dan pengalaman masyarakat dan absennya mekanisme konstruksi kebijakan yang terbuka, transparan dan bertanggung gugat. 12. Tingkat pengetahuan dan pengalaman masyarakat, dapat dilihat dari sempit dan terbatasnya kosa-kata dan perbendaharaan isu yang diusung dalam diskursus. Dari perbendaharaan isu dan kosa kata yang ada dan digunakan dalam dunia pendidikan, riset, dan keorganisasian (Fahutan IPB, Litbang Kemenhut dan Ditjen BUK) terindikasi kuat bahwa kesempatan membincang aspek-aspek sosial ekonomi politik dalam kaitan usaha kehutanan dan hutan secara umum kecil sekali. 13. Fenomena di atas berimplikasi kepada kenyataan bahwa tingkat kebenaran yang mengemuka dalam diskursus lebih didominasi oleh kebenaran teknikal dan hukum, padahal kebenaran yang plausible menurut Dunn (2000) perlu juga dukungan kebenaran dari sisi ekonomi, politik dan penerimaan sosial.

194 Fenomena ini telah menyebabkan absennya sejumlah pengetahuan dan pemanfaatan pengetahuan dalam tataran praktis (the absence of knowledge in practice) manakala kebijakan dikonstruksi. 14. Persoalan absennya sejumlah pengetahuan dan pemanfaatannya dalam tataran praktis merupakan persoalan besar, karena berkaitan erat dengan persoalan kompetensi kepepimpinan (leadership competence) 15. Di atas itu semua (top of the top) dan manakala keseluruhan butir-butir temuan pokok diatas, ditempatkan pada pemikiran Foucault tentang diskursus dan kekuasaan, dimana diskursus adalah proses siklik memproduksi pengetahuan dan regime kebenaran untuk tujuan melanggengkan kekuasaan (Mills, 1997), maka baik substansi maupun proses konstruksi kebijakan dan sekaligus aliran pemikiran yang berkembang merupakan produk kekuasaan dan sekaligus proses dominasi dan hegemoni kekuasaan dalam pemahaman Gramsci. Maka, dengan akumulasi pengetahuan ini, aliran pemikiran yang tejadi yang terindikasi kuat the forest first dan sekaligus kualitas diskursus dan pengetahuan para pemangku kepentingan yang minim sejauh ini, tidak lain adalah produk dari hegemoni kekuasaan. Dengan argumentasi ini, boleh dikatakan bahwa kerusakan hutan alam dan ketidak lestariannya pun adalah produk kekuasaan. 16. Temuan sebagaimana dideskripsikan dalam butir 15 itu pada dasarnya menegaskan bahwa berbagai langkah dan ikhtiar perbaikan dan pembaruan sebagaimana telah teridentifikasi dalam butir-butir temuan pokok diatas hampir mustahil dapat dijalankan efektif, tanpa diawali ikhtiar untuk mengurai dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan. Sebagai salah satu implikasi penting dari penegasan ini antara lain adalah bahwa praktisi usaha kehutanan dan rimbawan harus segera keluar dari kotak pemikirannnya yang biasa. B. Kesimpulan 1. Peta diskursus yang dibangkitkan dari teks perundangan menunjukkan bahwa aliran pemikiran yang ada secara dominan mengerucut ke satu bentuk aliran pemikiran yang memperlihatkan ciri-ciri atau karakteristik yang identik dengan aliran pemikiran the forest first; peta diskursus yang sama juga identik

195 dengan empat doktrin yang dianggap usang antara lain beorientasi kayu dengan konsep pengaturan hasil lestari dalam perspektif jangka panjang. 2. Lepasnya aspek sosial politik ekonomi dari aliran pemikiran itu memosisikan dan menegaskan aliran pemikiran itu sebagai sangat bio-centris dan steril dari human being dan jauh dari konsep self-sustaining. Pemanfaatan aliran ini menjadi persoalan, antara lain karena berpontensi menyebabkan kehancuran hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible). Sementara, fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan Indonesia sejauh ini seolah menggenapkan pembuktian hal potensial ini menjadi hal yang aktual. 3. Diskursus yang dibangkitkan dari wawancara mendalam dan internet on-line polling menunjukkan hasil serupa: menganut aliran dengan ciri dan karakteristik yang sama, yakni FF, terutama yang diperlihatkan komponen pemerintah dan praktisi bisnis. Komponen akademisi dan masyarakat sipil yang mengusung diskursus FS tergolong pihak yang kalah dalam kontestasi ide. 4. Proses konstruksi kebijakan dan kualitas diskursus yang lemah terindikasi sebagai penyebab kekalahan ini cerminan sempitnya ruang kebijakan, minimnya jaringan aktor pembuat kebijakan, sehingga tidak semua kepentingan dan politik terkontestasikan secara memadai. 5. Aliran pemikiran usaha kehutanan adalah situasi masalah yang penting dan luput dari perhatian para pemangku kepentingan kehutanan selama ini. Hal ini dimungkinkan karena rendahnya kualitas diskursus sebagai akibat minimnya pengetahuan dan pengalaman masyarakat dan absennya mekanisme konstruksi kebijakan yang terbuka, transparan dan betanggung gugat. 6. Keseluruhan butir kesimpulan di atas, bila ditempatkan pada pemikiran Foucault tentang diskursus dan kekuasaan, maka baik substansi maupun proses konstruksi kebijakan dan sekaligus aliran pemikiran yang telah berkembang sejauh ini merupakan produk kekuasaan. Dalam pemahaman Gramsci hal itu juga merupakan proses dominasi dan hegemoni kekuasaan. Dengan argumentasi ini pula, boleh dikatakan bahwa kerusakan hutan alam dan ketidak lestariannya selama ini adalah produk kekuasaan. 7. Maka, agar berjalan efektif, berbagai langkah dan ikhtiar perbaikan dan pembaruan yang telah teridentifikasi dalam penelitian ini perlu diawali ikhtiar

196 untuk mengurai dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan. Implikasinya, praktisi usaha kehutanan dan rimbawan pada umumnya harus keluar dari kotak pemikirannnya yang biasa. C. Saran 1. Perlu agenda pembaruan dan atau perubahan kebijakan yang diorientasikan pada pelurusan aliran pemikiran; ini mencakup perbaikan kebijakan dari sisi substansi dan proses serta perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan menata aliran pemikiran. 2. Substansi kebijakan perlu diarahkan agar dapat menggambarkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai, siapa yang diharapkan harus berubah perilaku, sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Perubahan substansi semacam ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan ke hilir. 3. Pembaruan proses perlu ditekankan pada keterbukaan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan, masalah dan solusi. Artinya, proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan. 4. Perbaikan kualitas diskursus perlu menyentuh ikhtiar peningkatan kualitas pengetahuan dan pengalaman para pihak pemangku kepentingan. Karenanya, perlu menyentuh sampai pada aspek-aspek pendidikan, riset dan keorganisasian kehutanan, dengan sasaran akhir ditekankan kepada memperkaya ruang diskursus sekaligus ruang kebijakan, dan memperlebar jejaring aktor, sehingga dapat membuka ruang transaksi, negosiasi dan kontestasi lebih memadai. 5. Sekalipun beberapa kelemahan riset ini diyakini juga sebagai poin kekuatan karena menunjukkan unsur kebaruan, pelurusan kelemahan ini oleh riset-riset lain yang serupa di masa datang perlu dilakukan dengan semangat continuously improvement. Ini mencakup antara lain tapi tidak terbatas pada: penetapan lawas, ketepatan pilihan dan keluasan nara sumber dalam melakukan wawancara mendalam dan pemanfaatan internet online polling.

197 6. Di atas itu semua (top of the top), perlu agenda konkret mengurai sekaligus melepas dulu hegemoni kekuasaan.