Penentuan Tinggi Orthometrik Gunung Semeru Berdasarkan Data Survei GPS dan Model Geoid EGM 1996

dokumen-dokumen yang mirip
Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG SISTEM DAN KERANGKA REFERENSI KOORDINAT UNTUK DKI JAKARTA. Hasanuddin Z. Abidin

Datum dan Ellipsoida Referensi

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Gambaran ellipsoid, geoid dan permukaan topografi.

Pertemuan 3. Penentuan posisi titik horizontal dan vertikal

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2015

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Pemetaan Undulasi Kota Medan Menggunakan Hasil Pengukuran Tinggi Tahun 2010

GEODESI FISIS Isna Uswatun Khasanah

Jurnal Geodesi Undip April 2015

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS

Membandingkan Hasil Pengukuran Beda Tinggi dari Hasil Survei GPS dan Sipat Datar

BAB IV PENGOLAHAN DATA

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2013 /2001 TENTANG SISTEM REFERENSI GEOSPASIAL INDONESIA 2013

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS. 4.1 Nilai undulasi geoid dari koefisien geopotensial UTCSR

Sistem Geodetik Global 1984 (WGS 1984 ) Dalam Menentukan Nilai Gravitasi Normal (G n )

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

PENGGUNAAN EGM2008, EGM1996 DAN GPS-LEVELING UNTUK TINGGI UNDULASI GEOID DI SULAWESI

PENGGUNAAN EGM2008, EGM1996 DAN GPS-LEVELING UNTUK TINGGI UNDULASI GEOID DI SULAWESI

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

Karakteristik Deformasi Gunungapi Ijen dalam Periode Hasil Estimasi Metode Survei GPS

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

PENENTUAN MODEL GEOPOTENSIAL GLOBAL YANG OPTIMAL UNTUK PERHITUNGAN GEOID SUMATERA

STUDI KONDISI UDARA DI ATAS GUNUNGAPI BATUR DENGAN MENGGUNAKAN GPS

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

Studi Penurunan Tanah Kota Surabaya Menggunakan Global Positioning System

Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

GPS vs Terestris (1)

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

By. Y. Morsa Said RAMBE

Studi Anomali Gayaberat Free Air di Kota Surabaya

STRATEGI PENGOLAHAN DATA GPS UNTUK PEMANTAUAN PENURUNAN TANAH : STUDI PEREDUKSIAN BIAS ATMOSFIR

PRINSIP PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

STUDI DEFORMASI GUNUNG KELUT DENGAN METODE SURVEI GPS

Gambar 1.1b Area Delta Mahakam

PEMODELAN GEOID DARI DATA SATELIT GRACE

Analisis Perbedaan Perhitungan Arah Kiblat pada Bidang Spheroid dan Ellipsoid dengan Menggunakan Data Koordinat GPS

Deformasi Koseismik dan Pascaseismik Gempa Yogyakarta 2006 dari Hasil Survei GPS

Determinasi sumber tekanan dan analisis regangan utama di Gunung Api Papandayan untuk mengetahui korelasi dengan kegempaan

SATELIT ALTIMETRI DAN APLIKASINYA DALAM BIDANG KELAUTAN

DESAIN SEBARAN TITIK KERANGKA DASAR PEMETAAN DETAIL SITUASI KAMPUS UPI BANDUNG. Oleh: Jupri *), Dede Sugandi **), Nanin T. Sugito ***) Abtrak

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]:

Konsep Geodesi Data Spasial. Arif Basofi PENS 2013

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BENTUK BUMI DAN BIDANG REFERENSI

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

Pengaruh Penambahan Jumlah Titik Ikat Terhadap Peningkatan Ketelitian Posisi Titik pada Survei GPS

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

ANALISIS KETELITIAN AZIMUT PENGAMATAN MATAHARI DAN GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) (Studi Kasus: Kampus ITS Sukolilo, Surabaya)

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

Pengaruh Waktu Pengamatan Terhadap Ketelitian Posisi dalam Survei GPS

BAB II DASAR TEORI II.1 Sistem referensi koordinat

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari buah

Konsep Geodesi untuk Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

REKONSTRUKSI/RESTORASI REKONSTRUKSI/RESTORASI. Minggu 9: TAHAPAN ANALISIS CITRA. 1. Rekonstruksi (Destripe) SLC (Scan Line Corrector) off

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

Jurnal Geodesi Undip Agustus 2013

Pemodelan Aliran Lahar Menggunakan Perangkat Lunak LAHARZ Di Gunung Semeru, Jawa Timur

PEMANFAATAN TEKNOLOGI GPS UNTUK PEMANTAUAN PENURUNAN PADA JEMBATAN MERR II-C SURABAYA. Teguh Hariyanto 1, Achmad Frandik 1

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME

AKTIVITAS GUNUNGAPI SEMERU PADA NOVEMBER 2007

BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID. 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment).

ANALISIS KETELITIAN PENGUKURAN GAYABERAT MENGGUNAKAN METODE GRID TERATUR DAN GRID ACAK

ANALISIS TINGGI VERTIKAL SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN FASILITAS VITAL DAN PENANGGULANGAN BANJIR

MEMBACA DAN MENGGUNAKAN PETA RUPABUMI INDONESIA (RBI)

BAB III TEORI DASAR (3.1-1) dimana F : Gaya antara dua partikel bermassa m 1 dan m 2. r : jarak antara dua partikel

STUDI PENENTUAN TINGGI ORTHOMETRIK MENGGUNAKAN METODE GPS HEIGHTING DAN METODE GAYABERAT STUDI KASUS: KOTA SURABAYA

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Prinsip Dasar Pengukuran Satelit Altimetri =( )/2 (2.1)

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENENTUAN TINGGI TITIK DENGAN TEKNIK PERATAAN PARAMETER DAN TEKNIK PERATAAN BERSYARAT

PENERAPAN NAVSTAR GPS UNTUK PEMETAAN TOPOGRAFI

PENENTUAN LOKASI DENGAN NATURAL AREA CODING SYSTEM (NAC)

BAB I PENDAHULUAN. Patut dicatat bahwa beberapa faktor yang juga berlaku untuk aplikasi-aplikasi GPS yang

Sistem Koordinat Peta. Tujuan

PEMANTAUAN DAN SOSIALISASI ERUPSI G. SEMERU,MEI JUNI 2008

EVALUASI KETINGGIAN BANGUNAN DALAM RANGKA UPAYA MENJAGA ZONA KKOP BANDARA JUANDA. (Studi Kasus : Masjid Ar-Ridlo Sedati Sidoarjo)

7.4. G. KIE BESI, Maluku Utara

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

PEMANTAUAN POSISI ABSOLUT STASIUN IGS

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

ILMU UKUR WILAYAH DAN KARTOGRAFI. PWK 227, OLEH RAHMADI., M.Sc.M.Si

BAB I PENDAHULUAN. tujuan dan manfaat penelitian. Berikut ini uraian dari masing-masing sub bab. I.1. Latar Belakang

STUDI AWAL PEMANFAATAN METODE GPS GEODETIK UNTUK MEMANTAU GROUND DEFORMATION SEBAGAI DAMPAK PENGEMBANGAN LAPANGAN PANAS BUMI

BAB IV ANALISIS RUMUS TRIGONOMETRI DALAM PENERAPANNYA PADA TEORI PENENTUAN ARAH KIBLAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III DESKRIPSI TEMPAT PLA DAN PELAKASANAAN PLA

Evaluasi Spesifikasi Teknik pada Survei GPS

Transkripsi:

PROC. ITB Sains & Tek. Vol. 36 A, No. 2, 2004, 145-157 145 Penentuan Tinggi Orthometrik Gunung Semeru Berdasarkan Data Survei GPS dan Model Geoid EGM 1996 Hasanuddin Z. Abidin 1), Heri Andreas 1), Dinar Maulana 1), M. Hendrasto 2), M. Gamal 1) & Oni K. Suganda 2) 1) Departemen Teknik Geodesi, Institut Teknologi Bandung (ITB) Jl. Ganesha 10, Bandung 40132, e-mail: hzabidin@gd.itb.ac.id 2) Direktorat Vulkanologi and Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG), Jl. Diponegoro 57, Bandung 40122 Abstrak. Semeru merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian sekitar +3676 m di atas permukaan laut. Ketinggian ini ditentukan pada zaman penjajahan Belanda dengan menggunakan metode pengukuran Triangulasi, yang berbasiskan pada pengukuran sudut dengan menggunakan alat ukur theodolit pada titik-titik pengamatan. Saat ini dengan kemajuan teknologi penentuan posisi dan pemahaman yang lebih baik terhadap karakteristik fisis Bumi, tinggi orthometrik suatu gunung juga dapat ditentukan dengan memanfaatkan data pengamatan ke satelit GPS (Global Positioning System) dan model global gaya berat Bumi. Pada makalah ini akan dijelaskan dan didiskusikan metodologi, mekanisme dan hasil penentuan tinggi orthometrik Gunung Semeru berdasarkan data survei GPS yang telah dilaksanakan pada Agustus 2003 dan Agustus 2004, serta model geoid EGM 1996. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tinggi gunung Semeru saat ini adalah sekitar +3677 m di atas muka laut rata-rata. Makalah akan diakhiri dengan beberapa catatan penutup. Kata kunci: EGM 1996; Model Gayaberat; GPS; Semeru; Tinggi Orthometrik. Abstract. Semeru is the highest mountain in Java island with an altitude of about +3676 m above the sea level. This altitude was measured during the Dutch colonial times using the Triangulation method, which is based on angles measurements using a theodolite on the measurement points. At the present times, with the advancement in positioning technology and better knowledge on the Earth s gravity field, an orthometric altitude of a mountain can also be determined by utilizing GPS satellites observation data and a global geopotential model. In this paper, the methodology, mechanism and results of the altitude determination of Semeru mountain using the August 2003 and August 2004 GPS survey data and EGM 1996 geoid model will be described and discussed.the obtained results show that the altitude of Semeru at the present times is about +3677 m above the mean sea level.the paper will be sum up with some closing remarks. Keywords: EGM 1996; GPS; Gravity Model; Orthometric Height; Semeru,

146 Hasanuddin Z. Abidin, et al. 1 Pendahuluan Semeru adalah gunungapi yang terletak di wilayah Malang dan Lumajang, Jawa Timur, dan merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa (lihat Gambar 1). Mahameru yang merupakan puncak gunung Semeru dilaporkan mempunyai ketinggian +3676 m di atas permukaan laut. Semeru adalah gunungapi aktif tipe-a yang kerap meletus sampai saat ini. Sejarah letusan G. Semeru tercatat sejak 1818, dengan jumlah letusan sampai saat ini tercatat sudah sekitar 90 kali. Menurut {DVMBG, 2004] aktivitas G. Semeru terdapat di Kawah Jonggring Seloko yang terletak di sebelah tenggara puncak Mahameru. Letusan G. Semeru umumnya bertipe vulkanian dan strombolian. Letusan tipe vulkanian dicirikan dengan letusan eksplosif yang kadang-kadang menghancurkan kubah dan lidah lava yang telah terbentuk sebelumnya ; dan selanjutnya terjadi letusan bertipe strombolian yang biasanya diikuti dengan pembentukan kubah dan lidah lava baru. Stasion Tetap GPS BAKOSURTANAL G. SEMERU Gambar 1 Lokasi Gunung Semeru. Ketinggian G. semeru pertama kali ditentukan pada zaman penjajahan Belanda dengan menggunakan metode Triangulasi, yang berbasiskan pada pengukuran sudut menggunakan alat ukur theodolit pada titik-titik pengamatan. Titik-titik triangulasi umumnya ditempatkan di puncak-puncak gunung dan bukit untuk mendapatkan medan pandang yang luas ke titik-titik pengamatan di sekitarnya. Puncak gunung Semeru merupakan salah satu titik triangulasi primer dengan nomor P786. Titik ini merupakan salah satu titik dari Jaring Triangulasi Jawa dan Madura yang diukur pada periode 1862 sampai 1880 [Schepers and Schulte, 1931]. Saat ini dengan kemajuan teknologi penentuan posisi dan pemahaman yang lebih baik terhadap karakteristik fisis Bumi, tinggi orthometrik suatu gunung

Penentuan Tinggi Orthometrik Gunung Semeru 147 juga dapat ditentukan dengan memanfaatkan data pengamtan ke satelit GPS (Global Positioning System) serta model global gaya berat Bumi. Pada makalah ini akan dijelaskan dan didiskusikan metodologi, mekanisme dan hasil penentuan tinggi orthometrik Gunung Semeru berdasarkan data survei GPS [Abidin, 2000 ; Abidin et al, 2002] yang telah dilaksanakan pada Agustus 2003 dan Agustus 2004, serta model geoid EGM 1996 [NASA/GSFC, 2003]. Dalam studi ini penentuan tinggi gunung Semeru direferensikan ke stasion tetap GPS BAKOSURTANAL yang ada di Cibinong (lihat Gambar 1 di atas). Stasion ini diketahui koordinat geodetik serta tinggi orthometriknya secara teliti dan presisi. Sebelum studi kasus penentuan tinggi orthometrik Gunung Semeru tersebut dipaparkan, berikut ini beberapa konsep dasar tentang penentuan tinggi dan beda tinggi dengan GPS serta karakteristik Earth Gravitational Model (EGM) 1996 akan dijelaskan terlebih dahulu. 2 Penentuan Tinggi dan Beda Tinggi dengan GPS Ketinggian titik yang diberikan oleh GPS adalah ketinggian titik di atas permukaan ellipsoid, yaitu ellipsoid WGS (World Geodetic System) 1984 [Abidin, 2001]. Tinggi ellipsoid (h) tersebut tidak sama dengan tinggi orthometrik (H) yang umum digunakan untuk keperluan praktis sehari-hari yang biasanya diperoleh dari pengukuran sipat datar (levelling). Tinggi orthometrik suatu titik adalah tinggi titik tersebut di atas geoid diukur sepanjang garis gaya berat yang melalui titik tersebut, sedangkan tinggi ellipsoid suatu titik adalah tinggi titik tersebut di atas ellipsoid dihitung sepanjang garis normal ellipsoid yang melalui titik tersebut, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Permukaan bumi Geoid Ellipsoid H h h = tinggi ellipsoid, H = tinggi orthometrik Gambar 2 Tinggi ellipsoid dan tinggi orthometrik.

148 Hasanuddin Z. Abidin, et al. Patut dicatat di sini bahwa geoid adalah salah satu bidang ekuipotensial medan gaya berat Bumi. Untuk keperluan praktis umumnya geoid dianggap berimpit dengan muka air laut rata-rata (Mean Sea Level, MSL). Geoid adalah bidang referensi untuk menyatakan tinggi orthometrik. Secara matematis, geoid adalah suatu permukaan yang sangat kompleks yang memerlukan sangat banyak parameter untuk merepresentasikannya. Oleh karena itu untuk merepresentasikan bumi ini secara matematis serta untuk perhitunganperhitungan matematis orang umumnya menggunakan suatu ellipsoid referensi dan bukan geoid. Ellipsoid referensi dan geoid umumnya tidak berimpit, dan dalam hal ini ketinggian geoid terhadap ellipsoid dinamakan undulasi geoid (N). Untuk dapat mentransformasi tinggi ellipsoid hasil ukuran GPS ke tinggi orthometrik maka diperlukan undulasi geoid di titik yang bersangkutan. Geometri dari dan rumus untuk transformasi tersebut ditunjukkan pada Gambar 3. Permukaan bumi Geoid Ellipsoid N H ε h h = tinggi ellipsoid (bereferensi ke ellipsoid). H = tinggi orthometrik (bereferensi ke geoid). N = tinggi (undulasi) geoid di atas ellipsoid. ε = defleksi vertikal. H = h - N Pusat bumi Rumus di atas adalah rumus pendekatan. Cukup teliti untuk keperluan-keperluan praktis. Besarnya defleksi vertikal (ε) umumnya tidak melebihi 30. Gambar 3 Transformasi tinggi ellipsoid ke tinggi orthometrik. Ketelitian dari tinggi othometrik yang diperoleh akan tergantung pada ketelitian dari tinggi GPS serta undulasi geoid. Perlu dicatat di sini bahwa penentuan undulasi geoid secara teliti (orde ketelitian cm) bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Disamping diperlukan data gaya berat yang detil, juga diperlukan data ketinggian topografi permukaan bumi serta data densitas material dibawah permukaan bumi yang cukup. Untuk mendapatkan hasil yang relatif teliti, transformasi tinggi GPS ke tinggi orthometrik umumnya dilakukan secara diferensial, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Karena dh dapat ditentukan lebih teliti dibandingkan h [Abidin, 2000] dan dn dapat ditentukan

Penentuan Tinggi Orthometrik Gunung Semeru 149 lebih teliti dibandingkan N, maka dapat diharapkan bahwa dh yang diperolehpun akan lebih teliti. GPS Untuk mendapatkan hasil yang relatif teliti penentuan tinggi harus dilakukan secara relatif : dh = dh - dn A H A N A Permukaan h Geoid A Ellipsoid bumi H B N B B h B dimana : dh = H B - H A dh = h B - h A dn = N B - N A Gambar 4 Penentuan tinggi secara diferensial. Karena tingkat fleksibilitas operasionalnya yang tinggi serta tingkat ketelitiannya yang relatif cukup tinggi, dapat diperkirakan bahwa penentuan tinggi dengan GPS akan punya peran yang cukup besar di masa mendatang. Beberapa contoh aplikasi yang dapat dipertimbangkan dalam hal ini adalah : pemantauan perubahan beda tinggi antar titik (berguna untuk mempelajari deformasi struktur, pergerakan lempeng, survai rekayasa, dll. nya); penentuan tinggi orthometrik suatu titik (seandainya geoid yang diketahui); penentuan geoid (seandainya tinggi orthometrik diketahui), dan transfer datum tinggi antar pulau. 3 Earth Gravitational Model (EGM) 1996 EGM 1996 adalah model harmonik bola dari potensial gravitasi yang dibangun bersama-sama oleh the NASA Goddard Space Flight Center, the National Imagery and Mapping Agency (NIMA), dan the Ohio State University [NASA/GSFC, 2004]. Model ini disusun oleh koeffisien-koeffisien harmonik bola yang lengkap sampai derajad dan orde 360. Model ini dibentuk berdasarkan data dari seluruh dunia berupa : data gayaberat permukaan (surface gravity data),

150 Hasanuddin Z. Abidin, et al. data anomali gaya berat yang diturunkan dari data satelit altimeter ERS-1 dan GEOSAT, data penjejakan satelit (GPS, TDRSS, DORIS, TRANET) yang ekstensif, dan direct altimeter ranges from TOPEX/POSEIDON, ERS-1, and GEOSAT. Gambar 5 Kesalahan Geoid EGM96, dari [NASA/GSFC, 2004]. Model EGM96 merefleksikan karakter regional dan global dari medan gayaberat Bumi, dan tidak karakter lokalnya. Undulasi geoid di suatu titik dapat dihitung dengan hubungan berikut [Prijatna, 2004; Kahar, 2004] : dengan 360 n N( ϕ, λ) = R ( C cos mλ + S sin mλ). P (sin ϕ ) (1) nm nm nm n= 2 m= 0 C = C C' dan S = S S ', dimana (n, m) adalah derajad nm nm nm nm nm nm dan orde dari model, R adalah radius rata-rata Bumi, ( C nm, Snm ) adalah koeffisien geopotensial yang dinormalisasi penuh (fully normalized geopotential coeffcients), dan P adalah fungsi Legendre yang dinormalisasi penuh (fully nm normalized Legendre Functions). Nilai dari koeffisien-koeffisien harmonik bola tersebut dapat di akses di situs NASA/GSFC (2004). Pada rumus di atas (ϕ,λ) adalah (lintang,bujur) geosentrik. Ellipsoid referensi WGS84 digunakan sebagai

Penentuan Tinggi Orthometrik Gunung Semeru 151 referensi bagi penentuan undulasi. Ellipsoid ini mempunyai sumbu panjang a=6378137.0 m serta penggepengan sebesar f=1.0/298.2572235630. Tingkat ketelitian undulasi geoid di suatu titik yang dihitung dengan model ini secara global lebih baik dari 0.6 m seperti yang diilustrasikan pada Gambar 5, dan pada sebagian kecil daerah ada yang mencapai 1.2 m. Untuk kawasan pulau Jawa, Gambar ini menunjukkan bahwa kesalahan undulasi geoidnya secara umum lebih kecil dari 0.4 m. 4 Prinsip Penentuan Tinggi Orthometrik Gunung Semeru Prinsip penentuan tinggi orthometrik Gunung Semeru yang digunakan dalam studi ini diilustrasikan pada Gambar 6 berikut. MAHAMERU BAKO, CIBINONG POS SAWUR Permukaan Bumi h B H B Geoid EGM96 H S h S H M h M N B N S N M Ellipsoid WGS84 Gambar 6 Prinsip penentuan tinggi orthometrik gunung Semeru. Dalam hal ini tinggi orthometrik Mahameru (H M ) yang merupakan puncak Gunung Semeru, dapat dihitung berdasarkan hubungan pendekatan berikut : H M = H B + dh BS - dn BS + dh SM - dn SM, (2) dimana : dh BS = (h S h B ), dh SM = (h M - h S ), dn BS = (N S N B ), dn SM = (N M - N S ). Pada rumus di atas tinggi othometrik stasion BAKOSURTANAL (BAKO) diketahui dari pengukuran sipat datar teliti. Beda-beda tinggi ellipsoid antara stasion BAKO dan stasion SAWUR (dh BS ) dan antara stasion SAWUR dan

152 Hasanuddin Z. Abidin, et al. stasion MAHAMERU (dh SM ) ditentukan dengan metode survei GPS. Sedangkan undulasi-undulasi geoid di stasion-stasion BAKO, SAWUR dan MAHAMERU dihitung menggunakan model EGM96 dengan menggunakan lintang dan bujur geodetik dari setiap stasion yang diperoleh dari survei GPS. Data survei GPS yang digunakan adalah data survei GPS yang dilaksanakan pada Agustus 2002 dan Agustus 2003 pada jaring GPS untuk pemantauan deformasi G. Semeru (lihat Gambar 7). Survei Agustus 2002 hanya mengamati stasion SAWUR dan MAHAMERU, sedangkan pada survei Agustus 2003 stasion-stasion RANUPANE dan KALIMATI juga diamati. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan receiver GPS tipe geodetik dua-frekuensi. Pengamatan di POS SAWUR dan RANUPANE berkisar sekitar 36 sampai 48 jam, di KALIMATI sekitar 6 jam dan di stasion MAHAMERU sekitar 2 jam. Untuk studi kasus penentuan tinggi orthometrik stasion MAHAMERU hanya data GPS yang diamati pada stasion POS SAWUR dan MAHAMERU dari kedua survei yang digunakan. UTARA RANUPANE KALIMATI MAHAMERU 8 km POS SAWUR Gambar 7 Konfigurasi jaring GPS di kawasan G. Semeru (status 2003). 5 Pengolahan Data dan Hasil Pengolahan data yang diamati pada dua survei GPS dilaksanakan dengan menggunakan perangkat lunak ilmiah Bernese 4.2 [Beutler et al., 2001]. Untuk pengolahan data digunakan informasi orbit satelit yang teliti (precise ephemeris), model estimasi troposfir serta data fase dua frekuensi.

Penentuan Tinggi Orthometrik Gunung Semeru 153 Untuk penentuan tinggi ellipsoid dari stasion MAHAMERU pada kedua survei GPS, stasion SAWUR digunakan sebagai titik acuan, karena lokasinya yang relatif stabil serta lama pengamatannya yang relatif panjang. Koordinat acuan dari stasion SAWUR ini ditentukan menggunakan data survei GPS 2002 yang panjangnya sekitar 48 jam dari stasion BAKO yang berada di kawasan kantor BAKOSURTANAL di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Koordinat geodetik (WGS 1984) dari stasion BAKO yang digunakan adalah : Lintang Geodetik : - 6 0 29 27.795859 Bujur Geodetik : 106 0 50 56.073609 Tinggi Eellipsoid : 158.1487 m Sedangkan tinggi orthometrik dari stasion BAKO yang diperoleh dari pengamatan sipat datar teliti adalah : H B : 138.457 m. Koordinat stasion POS SAWUR yang diperoleh dari proses pengolahan data menggunakan perangkat lunak Bernesse 4.2 ditunjukkan pada Tabel 1, dalam bentuk koordinat kartesian geosentrik dan koordinat geodetik. Dari deviasi standar komponen koordinat yang diperoleh yang berada pada level mm maka dapat dikatakan bahwa pengolahan data telah dilaksanakan secara baik dan hasil koordinatnya dapat diterima. Koordinat Kartesian Geosentrik POS SAWUR X : -2469450.7743 m ± 0.0008 m Y : 5811987.4811 m ± 0.0008 m Z : -899072.5980 m ± 0.0008 m Koordinat Geodetik POS SAWUR Lintang Geodetik : - 8 0 9 24.682339 ± 0.0008 m Bujur Geodetik : 113 0 1 12.414691 ± 0.0008 m Tinggi Ellipsoid : 825.6258 m ± 0.0008 m Table 1 Koordinat kartesian dan geodetik (dalam Datum WGS 1984) dari stasion POS SAWUR yang diperoleh dari Survei GPS 2002 Dengan menggunakan koordinat stasion SAWUR tersebut serta data survei GPS 2002 dan 2003 selanjutnya koordinat stasion MAHAMERU diestimasi. Nilai koordinat geodetik yang diperoleh diberikan pada Tabel 2 berikut. Koordinat Mahameru 2002 Lintang Geodetik : - 8 0 6 28.000601 ± 0.0051 m Bujur Geodetik : 112 0 55 19.078396 ± 0.0248 m Tinggi Ellipsoid : 3709.1530 m ± 0.0581 m

154 Hasanuddin Z. Abidin, et al. Koordinat Mahameru 2003 Lintang Geodetik : - 8 0 6 27.999037 ± 0.0052 m Bujur Geodetik : 112 0 55 19.080061 ± 0.0299 m Tinggi Ellipsoid : 3709.0992 m ± 0.0419 m Table 2 Koordinat geodetik (dalam Datum WGS 1984) stasion MAHAMERU yang diperoleh dari Survei GPS 2002 dan 2003 Dari hasil pengolahan kedua survei GPS tersebut, maka nilai rata-rata untuk tinggi ellipsoid dari stasion MAHAMERU dapat dihitung, yaitu : h M = (3709.1261 ± 0.0358) m. Kalau dirangkumkan maka tinggi dan beda tinggi ellipsoid dari stasion pengamatan yang diperoleh dari survei GPS adalah seperti yang diberikan pada Tabel 3 berikut. Stasion Tinggi Ellipsoid (m) Beda Tinggi (m) BAKO h B = 158.1487 ± 0.0000 dh BS = 667.4771 ± 0.0008 SAWUR h S = 825.6258 ± 0.0008 dh SM = 2883.5003 ± 0.0358 MAHAMERU h M = 3709.1261 ± 0.0358 Table 3 Tinggi dan Beda Tinggi Ellipsoid (Datum WGS 1984). Selanjutnya dengan menggunakan model EGM96 undulasi geoid di setiap stasion pengamatan dapat diestimasi dan hasilnya diberikan pada Tabel 4. Berdasarkan Gambar 5 sebelumnya dapat diasumsikan bahwa deviasi standar dari nilai-nilai undulasi ini adalah sekitar 0.4 m. Berdasarkan nilai undulai ini maka beda undulasi antar stasion juga dapat dihitung dan hasilnya juga diberikan pada Tabel 4. Stasion Undulasi (m) Beda Undulasi BAKO N B = 18.45 ± 0.4 dn BS = 11.95 ± 0.6 SAWUR N S = 30.40 ± 0.4 dn SM = 0.02 ± 0.6 MAHAMERU N M = 30.42 ± 0.4 Table 4 Tabel 4. Nilai Undulasi dan Beda Undulasi dari Model EGM96 Berdasarkan rumus (2) sebelumnya serta informasi yang diberikan pada Tabel 3 dan 4 maka tinggi orthometrik stasion MAHAMERU dapat dihitung sebagai berikut :

Penentuan Tinggi Orthometrik Gunung Semeru 155 H M = 138.457 + 667.4771-11.95 + 2883.5003-0.02, = 3677.4644 m. Kalau kita simak rumus (2) sebelumnya variabel beda-beda tinggi dh BS dan dh SM ditentukan dan dihitung secara terpisah, sehingga korelasi matematis antara keduanya diasumsikan tidak ada. Sedangkan variabel beda-beda undulasi dn BS dan dn SM kalau kita jumlahkan sebagaimana pada rumus (2) adalah sama dengan variabel dn MB, dimana = N B - N M. Karena jarak antara stasion BAKO dan MAHAMERU relatif cukup jauh yaitu sekitar 800 km maka korelasi antara nilai undulasi N B dan N M akan relatif kecil dan dapat diabaikan. Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, serta dengan mengasumsikan deviasi standar tinggi orthometrik stasion BAKO (H B ) berada pada level beberapa mm karena ditentukan dari pengamatan sipat datar teliti, maka berdasarkan prinsip perambatan kesalahan yang diterapkan pada rumus (2), deviasi standar dari tinggi orthoemtrik stasion MAHAMERU di atas dapat dihitung, dan nilai yang diperoleh adalah sekitar : σ(h M ) = 0.85 m. Jadi tinggi orthometrik gunung Semeru yang ditentukan dengan menggunakan kombinasi data survei GPS, model gaya berat global EGM96 serta data tinggi orthometrik stasion BAKO yang telah diketahui dari pengukuran sipat datar teliti adalah : = (3677.4644 ± 0.85) meter. 6 Catatan Penutup Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode survei GPS yang dikombinasikan dengan model gayaberat global seperti EGM96 dapat digunakan untuk menuntukan tinggi orthometrik suatu gunung dengan cukup teliti pada level lebih sekitar 1 meter atau lebih baik. Sumber kesalahan utama dalam hal ini adalah terkait dengan kualitas nilai undulasi yang ditentukan dengan model gayaberat EGM96 yang saat ini masih berada pada level beberapa dm untuk kawasan daratan pulau Jawa. Karena survei GPS dapat memberikan ketelitian beda tinggi ellipsoid pada level beberapa cm atau bahkan dalam kondisi tertentu beberapa mm, maka untuk mendapatkan nilai tinggi orthometrik suatu gunung dalam level cm, kualitas undulasi geoid pada level cm juga diperlukan. Untuk itu diperlukan suatu model geoid lokal yang lebih teliti ketimbang model geoid global seperti EGM96.

156 Hasanuddin Z. Abidin, et al. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tinggi orthometrik gunung Semeru yang ditentukan dengan pengukuran triangulasi pada zaman Belanda, yaitu 3676 m, relatif sudah cukup baik dan tidak jauh berbeda dengan nilai yang ditentukan oleh penelitian ini. Meskipun begitu patut dicatat bahwa tidak ada informasi tentang tingkat ketelitian dari tinggi hasil pengukuran triangulasi pada zaman Belanda tersebut. Kalau kita mempertimbangkan tingkat ketelitian pengukuran sudut pada saat itu serta pengaruh refraksi atmosfir yang relatif akan cukup signifikan mengingat adanya perbedaan tinggi yang cukup besar, maka tingkat ketelitian pada level beberapa meter akan merupakan angka yang cukup realistik untuk ketinggian 3676 m tersebut. Untuk tinggi orthometrik gunung Semeru yang diperoleh dari penelitian ini, yang menggunakan data survei GPS serta model gayaberat EGM96, kalau digunakan rentang satu deviasi standar (yaitu 0.85 m), maka ketinggiannya adalah antara 3676.6 m sampai 3678.3 m. Dalam kaitannya dengan informasi tinggi gunung Semeru yang diberikan dalam buku-buku pelajaran geografi atau dokumen-dokumen publik lainnya, yang umumnya setinggi 3676 m; maka berdasarkan hasil penelitian ini sebaiknya perlu dipertimbangkan untuk mengubahnya ke nilai 3677 m di atas permukaan laut. Akhirnya perlu juga dicatat di sini bahwa karena Semeru adalah gunungapi yang relatif cukup aktif, maka kemungkinan adanya perubahan tinggi puncak Semeru akibat adanya aktivitas magmatik adalah sesuatu yang cukup logis. Meskipun begitu perlu penelitian khusus dan sistematik untuk mengkonfirmasi hipotesis tersebut. Pada saat ini sulit untuk mengetahui secara akurat besarnya perubahan tinggi Gunung Semeru sejak zaman Belanda akibat adanya aktivitas magmatik tersebut. Ucapan Terima Kasih Tim penulis mengucapkan banyak terima kasih pada para pengamat gunungapi Semeru di Pos Pengamatan Gunung Sawur yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan kedua survei GPS. Ucapkan terimakasih juga disampaikan kepada para staf Direktorat Vulkanologi and Mitigasi Bencana Geologi serta para mahasiswa Departemen Teknik Geodesi ITB yang terlibat dalam kedua survei GPS tersebut, yang namanya terlalu panjang untuk disebutkan satu per satu. Daftar Referensi 1. Abidin, H. Z., Penentuan Posisi Dengan GPS dan Aplikasinya, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, Edisi ke 2, ISBN 979-408-377-1, hal 268, (2000) 2. Abidin, H. Z., Geodesi Satelit, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta. ISBN 979-408-462-X, hal 219, (2001).

Penentuan Tinggi Orthometrik Gunung Semeru 157 3. Abidin, H. Z., Jones, A. & Kahar, J., Survei Dengan GPS, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, ISBN 979-408-380-1, Second Edition, Hal 280, (2002). 4. Beutler, G., Bock, H., Brockmann, E., Dach, R., Fridez, P., Gurtner, W., Hugentobler, U., Ineichen, D., Johnson, J., Meindl, M., Mervant, L., Rothacher, M., Schaer, S., Springer, T. & Weber, R., Bernese GPS software version 4.2. U. Hugentobler, S. Schaer, P. Fridez (Eds.), Astronomical Institute, University of Berne, hal 515 (2001). 5. DVMBG, Situs internet dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, http://www.vsi.esdm.go.id/, (9 Juni 2004). 6. Kahar, J., Komunikasi Pribadi, Staf pengajar pada Departemen Teknik Geodesi ITB (September 2004). 7. NASA/GSFC,Situs dari NASA/GSFC Laboratory for Terrestrial Physics, Greenbelt, Maryland, http://cddisa.gsfc.nasa.gov/926/egm96/egm96.html (7 Juni 2004). 8. Prijatna, K., Komunikasi Pribadi, Staf pengajar pada Departemen Teknik Geodesi ITB, (11 Juni 2004). 9. Schepers, J. H. G., & Schulte, F. C. A., Geodetic Survey in the Netherlands East Indies, Report to Section Geodesy, IUGG, (1931).