BAB I PENDAHULUAN I.1.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1."

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sampai saat ini pengukuran beda tinggi yang paling teliti untuk mendapatkan tinggi orthometrik hanyalah menggunakan metode sipatdatar. Di Indonesia pengadaan jaring kontrol vertikal nasional (JKVN) dilaksanakan dengan metode sipatdatar. JKVN sebagai jaring kontrol vertikal pemetaan di Indonesia diklasifikasikan secara berjenjang dalam kelas dan orde pengukuran. Mulai dari jenjang jaring pengukuran yang paling tinggi orde L0 yang jarak spasi antara dua jalur pengukurannya sejauh km dengan toleransi kesalahan sebesar 2mm sampai jaring pengukuran yang paling rendah pada orde L4 yang spasi antara dua jalur pengukurannya dibawah 10 km dengan toleransi kesalahan sebesar 18 mm. Pada kelas pengukuran LB sampai LAA dengan spasi antar titik-titik simpul lebih dari 30 km, diharuskan melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan adanya perbedaan kondisi fisis antara dua titik pengukuran yang relatif cukup besar yang berpengaruh terhadap tinggi yang dihasilkan apabila tidak dilakukan koreksi. Sementara untuk kelas LC sampai LD, tidak perlu untuk melakukan pengukuran gaya berat. Dikarenakan perbedaan kondisi fisis antara dua titik pengukuran relatif kecil dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketelitian tinggi yang dihasilkan. Meskipun secara teoritis metode pengukuran beda tinggi dengan menggunakan metode sipatdatar adalah terbukti memiliki ketelitian yang paling tinggi dibandingkan dengan metode yang lainnya, akan tetapi pada kondisi tertentu secara praktis seringkali ditemukan beberapa kelemahan dan keterbatasan. Daerah dengan kondisi tanah yang tidak stabil (rawa-rawa, lahan gambut, hutan), daerah dengan situasi jalan yang sangat ramai dan padat lalu lintasnya, serta tuntutan akan informasi mengenai tinggi yang cepat seringkali metode sipatdatar ini sulit untuk diterapkan. 1

2 2 Seiring perkembangan teknologi yang begitu cepat, muncullah teknologi penentuan posisi dengan menggunakan satelit GNSS (Global Navigation Satellite System). Saat ini teknologi ini telah memiliki ketelitian posisi horisontal hingga fraksi milimeter. Sementara untuk posisi vertikalnya adalah 2 sampai 3 kali lebih rendah dari ketelitian horizontalnya (Abidin, 2007). Hal ini tentunya merupakan peluang untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada metode Sipatdatar. Dimana teknologi GNSS ini tidak terpengaruh pada kondisi topografi yang berat bagi pengukuran sipatdatar. Selain itu perolehan datanya juga dapat dilakukan relatif lebih cepat dibandingkan dengan metode sipatdatar. Meskipun teknologi GNSS memiliki kelebihan yang dapat mengatasi kelemahan dari metode sipatdatar, akan tetapi tinggi yang dihasilkan oleh perangkat GNSS adalah tinggi geometrik yang bereferensi pada elipsoid. Sementara untuk keperluan praktis, digunakan tinggi yang bereferensi pada geoid atau tinggi orthometrik. Untuk mendapatkan tinggi orthometrik dari pengukuran dengan GNSS, perlu dikonversi terlebih dahulu terhadap nilai undulasinya. Di Indonesia, studi geoid teliti (berskala nasional) ketersediaan dan distribusi datanya masih terbatas (Lestariya & Ramdani, 2006). Salah satu cara yang dapat digunakan untuk pemanfaatan tinggi elipsoid yang memungkinkan tanpa melibatkan data undulasi geoid adalah dengan berfokus pada beda tinggi pada pengamatan GNSS. I.2. Rumusan Masalah Melihat keterbatasan metode sipatdatar dalam pengukuran beda tinggi yang cukup banyak memakan waktu, biaya, tenaga, dan juga seringkali terkendala dengan kondisi topografi dari daerah yang diukur. Sementara itu di dunia industri memerlukan perolehan data ukuran beda tinggi yang cepat, murah dan mampu menjangkau pada daerah yang sulit diterapkan dengan metode sipatdatar. Berkembangnya metode GNSS secara differensial yang dapat digunakan untuk penentuan tinggi dengan teliti menarik untuk dikaji dalam penentuan jaring kontrol vertikal. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk pemanfaatan tinggi elipsoid yang memungkinkan tanpa melibatkan data undulasi geoid adalah dengan berfokus

3 3 pada beda tinggi pada pengamatan GNSS. Sehingga rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah tinggi yang dihasilkan dari data pengamatan menggunakan metode GNSS berbeda secara signifikan terhadap tinggi hasil pengukuran metode sipatdatar? 2. Apakah jaring kontrol vertikal yang diperoleh dari pengamatan dengan menggunakan metode GNSS telah memenuhi standar nasional jaring kontrol vertikal kelas pengukuran LD? I.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. mengetahui apakah tinggi yang dihasilkan dari pengamatan menggunakan metode GNSS berbeda secara signifikan terhadap tinggi yang dihasilkan dari pengukuran metode sipatdatar, 2. mengetahui apakah tinggi yang diperoleh dari pengamatan menggunakan metode GNSS telah memenuhi kelas pengukuran jaring yang paling minimal, yaitu kelas pengukuran LD. I.4. Manfaat Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah dapat memberikan pertimbangan bagi para praktisi di lapangan dalam menentukan metode mana yang dapat diterapkan menurut kondisi daerah pengukuran dan spesifikasi pengukuran dalam pengukuran jaring kontrol vertikal. I.5. Batasan Masalah Penelitian ini memfokuskan pada masalah: 1. Data yang akan dibandingkan adalah tinggi antara hasil pengamatan dengan perangkat GNSS Geodetik dengan tinggi hasil pengolahan data pengukuran Sipatdatar tanpa melibatkan data undulasi lokal maupun global.

4 4 2. Daerah penelitian berlokasi di Desa Beluk, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Dengan lingkup penelitian yang relatif sempit dengan cakupan seluas 94 ha (1,28 km x 0,74 km). Selain itu, daerah penelitian ini juga memiliki topografi yang relatif datar. 3. Dengan areal yang sempit maka diasumsikan bahwa undulasi geoid antar titik pengukuran adalah seragam atau memiliki selisih yang kecil dan tidak berpengaruh signifikan dalam perhitungan. Asumsi ini diperkuat dengan pendekatan data undulasi dari Geoid calculator UNAVCO. I.6. Tinjauan Pustaka Lestariya dan Ramdani (2006) melakukan penelitian mengenai pemanfaatan tinggi dengan teknologi GNSS tanpa melibatkan data undulasi Geoid yang teliti. Dengan strategi pemanfaatan beda tinggi dari data hasil pengamatan GNSS. Pada penelitiannya, diambil dua sampel jaringan GNSS-TTG dengan rentang base line yang berebeda, yaitu Jaringan GNSS-TTG dengan rentang yang mencapai ratusan kilometer di 10 titik yang tersebar di Lampug, Banten, dan Jawa Barat, serta jaringan GNSS-TTG yang bersifat lokal dengan rentang beberapa kilometer di 16 titik di Prigi-Jawa Timur. Lama pengamatan untuk jaring bersifat lokal adalah antara 3-6 jam. Sementara untuk jaring regional yang lebih besar pengamatan berlangsung minimal 24 jam. Dengan pengolahan data GNSS menggunakan perangkat lunak scientific Bernesse versi 4.2 dengan informasi orbit precise ephemeris dari IGS, didapatkan standar deviasi 3-8 mm untuk jaringan regional dan mm untuk jaringan lokal. Dari hasil perbandingan antara beda tinggi metode GNSS dengan data tinggi orthometrik yang diperoleh dari pengukuran sipatdatar teliti, didapatkan bahwa untuk jaring regional (Lampung-Banten-Jawa Barat) deviasi mencapai 1,9 hingga 33 meter. Deviasi ini masih terlalu besar apabila dibandingkan dengan salah penutup jarak pada orde yang paling kasar sekalipun (misalnya untuk jarak maksimal 300 km, salah penutup jaraknya adalah beberapa puluh cm).

5 5 Jamil (2011) melakukan penelitian mengenai perbandingan tinggi GNSS dengan metode Statik dan Real Time Kinematik (RTK) terhadap hasil pengukuran menggunakan Sipatdatar dengan lokasi penelitian di Jembatan Penang, Semenanjung Malaysia, dan Tanjung Malim, Perak. Pengamatan GNSS secara statik dilakukan di daerah Jembatan Penang dan Semenanjung Malaysia dengan Receiver GNSS Geodetic selama 5 sampai 8 jam untuk tiap sesi. Dan Pengamatan secara real time kinematik (RTK) dilakukan di Tanjung Malim, Perak. Dalam penelitian tersebut, tinggi geometrik (h) dari pengamatan GNSS dikonversi menjadi tinggi orthometrik (H) dengan rumus H = h N. Dimana undulasi geoid (N) diperoleh dari MyGeoid yang merupakan kombinasi usaha survei gaya berat menggunakan pesawat/airborne (dilaksanakan di Sabah, Serawak pada tahun 2002 dan dilanjutkan di Semenanjung Malaysia pada tahun 2003 dan 2004) dengan survei teristris, survei perairan, dan satelit altimetri yang kemudian dicocokkan dengan BenchMark (BM) lokal untuk menghasilkan model geoid. Hasil perbandingan dari tinggi orthometrik GNSS metode statik dengan tinggi orthometrik hasil pengukuran dengan Sipatdatar adalah memiliki selisih yang kurang dari 1 cm pada tiga titik pengamatan untuk daerah Jembatan Penang. Dan untuk daerah Semenanjung Malaysia memiliki selisih seesar 10 sampai 18,8 cm. Sementara untuk perbandingan Metode Real Time Kinematik (RTK) memiliki selisih dengan tinggi orthometrik Sipatdatar sebesar 5 mm sampai 16,2 cm. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada penentuan jaring kontrol vertikal pada kategori kelas pengukuran LD menurut Standar Nasional Indonesia Jaring Kontrol Vertikal (SNI JKV) dengan menggunakan metode differensial GNSS. Penelitian dilakukan pada cakupan areal yang sempit 94 ha (1,28 km x 0,74 km), dengan jarak antar titik pengamatan yang dekat, serta dengan kondisi topografi yang relatif datar. Berdasarkan kondisi pengukuran tersebut diasumsikan bahwa nilai undulasi geoid di daerah penelitian tersebut adalah relatif seragam. Hal ini dikuatkan dengan melakukan perhitungan nilai undulasi geoid menggunakan geoid calculator dari UNAVCO. Atas dasar asumsi tersebut, maka tinggi yang diperoleh dari

6 6 pengamatan menggunakan metode GNSS tidak berbeda secara signifikan terhadap tinggi yang diperoleh dari metode sipatdatar. I.7. Landasan Teori I.7.1. Sistem Tinggi Di dalam ilmu geodesi, tinggi suatu titik di Bumi didefinisikan sebagai jarak terhadap suatu bidang referensi. Bidang referensi yang dipakai adalah bidang equipotensial gayaberat (bidang nivo) yang diasumsikan berhimpit dengan muka air laut rata-rata (mean sea level) yang tidak terganggu. Bidang tersebut dinamakan bidang Geoid. Tinggi diukur sepanjang garis arah gaya berat (unting-unting) berpotongan tegak lurus dengan bidang nivo. Bentuk bidang nivo tergantung pada nilai gaya berat. Karena adanya kenyataan bahwa nilai gaya berat berbeda di setiap titik tergantung distribusi massa batuan yang menyebabkan bidang nivo tidak sejajar satu sama lain (tidak saling sejajar tapi tidak berpotongan karena saling melingkupi) seperti Gambar I.1. Hal ini menyebabkan jarak antara dua bidang nivo menjadi tidak tetap, dan inilah yang membawa komplikasi dalam pendefinisian sistem tinggi. Gambar I.1. Bidang-bidang equipotensial gaya berat (Wellenhof & Moritz, 2005) Di dalam geodesi, pengukuran tinggi atau beda tinggi dilakukan dengan cara sipatdatar (levelling). Pengukuran sipatdatar pada dasarnya adalah mengukur jarak antara bidang equipotensial gaya berat, maka pada setiap ukuran tinggi dengan

7 7 Sipatdatar seharusnya diukur juga gayaberat di sepanjang lintasan pengukuran Sipatdatar. Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari International Association of Geodesy (IAG, 1950). Sistem tinggi yang mendasarkan pada bidang equipotensial gayaberat (geopotensial) biasa disebut sebagai sistem tinggi fisis. Dalam sistem tinggi fisis, tinggi diukur dari permukaan geoid melalui garis unting-unting (garis gaya berat) sampai ke titik di permukaan Bumi. Sistem tinggi fisis banyak digunakan baik untuk keperluan praktis maupun keperluan ilmiah karena mempunyai beberapa kelebihan. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain bidang acuannya memiliki realita fisik, yang dapat dihubungkan langsung dari pengukuran di permukaan Bumi. I Tinggi orthometris. Suatu titik di permukaan Bumi dimana jarak yang diukur di sepanjang garis unting-unting (arah gaya berat) dari geoid sampai ke titik tersebut di permukaan Bumi. Jadi bidang geoid adalah bidang referensi untuk sistem ketinggian ini. Untuk mendapatkan tinggi orthometris yang tepat, maka bilangan geopotensial dibagi dengan suatu harga menengah gaya berat sepanjang garis untingunting antara titik yang bersangkutan dan geoid. Adapun ilustrasinya adalah pada Gambar I.2 berikut : Gambar I.2. Tinggi orthometris (H) (Wellenhof & Moritz, 2005). Pada Gambar I.2 diatas, 0 dan P terletak pada bidang equipotensial yang sama, sehingga selisih potensial antara bidang potensial yang melalui titik 0 atau P dengan bidang equipotensial yang melalui P dan 0 adalah sama... (I.1)

8 8 g p adalah nilai gaya berat rata-rata sepanjang garis gaya berat PP, sehingga persamaan menjadi :......(I.2) Secara umum tinggi orthometris di suatu titik dapat ditulis dalam bentuk persamaan berikut ini :..(I.3) atau,..(i.4) Dalam persamaan 1.2, notasi (g p ) merupakan gaya berat di titik P, dh elemen beda tinggi dan (g m ) adalah gaya berat menengah di titik P. Nilai gaya berat menengah yang dimaksud adalah nilai gaya berat rata-rata sepanjang garis untingunting (plumb-line). I Tinggi elipsoid. Bentuk fisik yang sebenarnya dari Bumi dapat didekati dengan baik secara matematis dengan menggunakan model Bumi elipsoid. Permukaan elipsoid yang rata memudahkan untuk dilakukan operasi perhitungan. Hal inilah yang melandasi penggunaan elipsoid sebagai bidang referensi horisontal bagi jaring geodetik. Meskipun demikian, elipsoid kurang tepat apabila digunakan sebagai bidang referensi vertikal atau ketinggian. Karena sistem referensi yang paling mendekati kenyataan untuk bidang referensi ketinggian adalah dengan menggunakan geoid. Terdapat perbedaan antara geoid dengan elipsoid yang disebut undulasi geoid (N). Besarnya nilai undulasi tersebut tergantung pada elipsoid refernsi yang digunakan. Pada elipsoid global, undulasinya adapat mencapai 100 m. Hubungan geometris antara undulasi geoid (N) dengan tinggi elipsoid (h) serta tinggi ortometrik (H) yang diperoleh dari pengukuran sipatdatar adalah sebagai berikut : h = N + H..(I.5)

9 9 Ilustrasi hubungan antara tinggi orthometrik yang bereferensi pada geoid dengan tinggi geometrik yang bereferensi elipsoid adalah menurut Gambar I.3. Gambar I.3. Hubungan antara elipsoid dengan geoid (Seeber, 2003) Penentuan Tinggi dengan Metode Sipatdatar Dalam ilmu geodesi, penentuan tinggi suatu titik ditentukan dengan melakukan pengukuran beda tinggi dari titik yang telah diketahui tingginya. Adapun metode yang lazim digunakan adalah metode sipatdatar. Alat sipatdatar ini adalah alat yang paling teliti dalam melakukan pengukuran beda tinggi. Adapun konsep, metode, dan pengolahan hasil pengukuran dari sipatdatar ini adalah sebagai berikut : I Konsep penentuan beda tinggi dengan sipatdatar. Istilah sipatdatar di sini berati konsep menentukan tinggi antara dua titik atau lebih dengan garis bidik mendatar atau horisontal yang diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri tegak atau vertikal. Sedang alat ukurnya dinamakan penyipat datar. a a h ab = a-b b B b A Gambar I.4. Prinsip penentuan beda tinggi dengan sipatdatar (Basuki, 2006)

10 10 Keterangan Gambar I.4 : A dan B : Titik di atas permukaan Bumi yang akan diukur beda tingginya a dan b : Bacaan rambu atau tinggi garis mendatar / garis bidik di titik A dan B H a dan H b : Ketinggian titik A dan B di atas bidang referensi Δh ab : Beda tinggi antara titik A dan B Beda tinggi antara titik A dan B dirumuskan sebagai berikut: Δh ab = a - b...(i.6) Apabila (a-b) hasilnya positif (+), maka dari A ke B berarti kenaikan, atau B lebih tinggi dari A. Sebaliknya, apabila (a-b) negatif (-), maka dari A ke B berarti turun atau B lebih rendah dari A. Pada satu kali kedudukan alat sipatdatar, jarak A dan B yang dapat dijangkau adalah relatif pendek. Yaitu maksimum 200 m. Oleh sebab itu, bidang nivo yang melalui titik A, titik B dan garis bidik alat sipatdatar dapat dianggap saling sejajar. I Metode pengukuran dengan sipatdatar. Dalam melakukan pengukuran dengan alat sipatdatar, terdapat beberapa metode yang lazim digunakan berkenaan dengan seberapa panjang jarak spasi antara titik-titik yang akan dilakukan pengukuran. Dikarenakan keterbatasan alat sipatdatar yang tidak memungkinkan untuk melakukan pengukuran beda tinggi antara dua titik yang relatif jauh. Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Pengukuran beda tinggi antara dua titik. Jarak bidik optimum alat penyipat datar berkisar antara m. Sehingga apabila dua buah titik yang akan diukur beda tingginya cukup dekat dan relatif datar, maka pengukuran dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan seperti Gambar 1.5 di bawah. Apabila alat didirikan di antara dua buah rambu, maka antara dua buah rambu dinamakan slag yang terdiri dari bidikan ke rambu muka dan rambu belakang. Selain garis bidik atau benang tengah (BT), pada umumnya teropong dilengkapi dengan benang stadia yaitu benang atas (BA) dan benang bawah (BB). Selain untuk pengukuran jarak optis, pembacaan BA dan BB juga untuk kontrol pembacaan benang tengah (BT) dimana

11 11 seharusnya pembacaan BT = ½ (BA + BB). Apabila jarak antara dua buah titik yang akan diukur beda tingginya relatif jauh, maka dilakukan pengukuran berantai atau sipatdatar memanjang (differential levelling). Gambar I.5. Pengukuran beda tinggi antara dua buah titik yang relatif dekat (Basuki, 2006) 2. Pengukuran sipatdatar berantai. Jika jarak antar titik kontrol pemetaan relatif jauh, pengukuran beda tinggi dengan penyipat datar tak dapat dilakukan dengan satu kali berdiri alat. Oleh karena itu antara dua buah titik kontrol yang berurutan dibuat beberapa slag dengan titik-titik bantu dan pengukurannya dibuat secara berantai (differential levelling). Seperti halnya pengukuran jarak dan sudut, pengukuran beda tinggi juga tidak cukup dilakukan dengan sekali jalan. Tetapi dibuat pengukuran pergi-pulang yang pelaksanaannya dapat dilakukan dalam satu hari (dinamakan seksi), serta dimulai dan diakhiri pada titik tetap. Gabungan beberapa seksi dinamakan trayek. Gambar I.6. Pengukuran sipatdatar berantai (Basuki, 2006)

12 12 Keterangan Gambar I.6 : A dan B : Titik tetap yang akan ditentukan beda tingginya 1,2,3,4, : Titi-titik bantu pengukuran m1,m2,m3,.. b1,b2,b3, : Bacaan rambu belakang : Bacaan rambu muka Pada Gambar I.6, A dan B adalah titik yang akan ditentukan beda tingginya. Karena jarak keduanya cukup jauh, maka dibuat beberapa slag. Beda tingginya adalah kumulatif dari beda tinggi setiap slag, yaitu : h A1 = b1 m1 h 12 = b2 m2 h 23 = b3 m3 h 3B = b4 m h AB = h = a - b......(i.7) Dalam hal ini : a : Jumlah pembacaan rambu belakang b : Jumlah pembacaan rambu muka h : Beda tinggi tiap slag Karena data pembacaan cukup banyak, agar nantinya tidak menimbulkan kesulitan perhitungan, data ditulis sistematis dalam buku ukur atau lembaran formulir pengukuran. Selain dengan pengukuran pergi-pulang, pengukuran sipatdatar berantai terkadang dilakukan dengan dua kali berdiri alat pada setiap pengukuran beda tinggi tiap slag (double stand). Akan tetapi cara tersebut tidaklah dianjurkan.

13 13 I Kesalahan dalam pengukuran beda tinggi dengan sipatdatar. Dalam pengukuran menggunakan sipatdatar (spirit levelling), walaupun sebelum pengukuran peralatan telah dikoreksi dan syarat-syarat lain telah dipenuhi, namun karena hal-hal lain yang tidak terduga sebelumnya, kesalahan-kesalahan yang lain tetap dapat terjadi yang menurut sumbernya adalah sebagai berikut : 1. Kesalahan yang pertama adalah kesalahan karena garis bidik tidak sejajar garis arah nivo. Akibat kesalahan ini, garis bidik akan menjadi miring. Pada pengukuran satu slag pembacaan rambu belakang yang seharusnya terbaca ao menjadi terbaca a1, demikian pula pembacaan rambu muka yang seharusnya bo menjadi b1. Akibatnya, beda tinggi antara A dan B ( h ab ) yang seharusnya (a0-b0) menjadi (a1-b1). Pergeseran angka pembacaan rambu belakang = (a1-a0) dan rambu muka = (b1-b0). Karena sudut kemiringan garis bidik ke belakang dan ke muka sama besar, a1-a0 dengan b1-b0 apabila jarak alat ukur ke rambu belakang sama dengan jarak alat ukur ke rambu muka. Dengan kata lain, pengaruh garis bidik yang tidak sejaajr dengan garis arah nivo akan hilang dengan cara membuat jarak alat ukur ke rambu muka sama dengan jarak alat ukur ke rambu belakang. Gambar I.7. Kesalahan garis bidik tidak sejajar garis arah nivo (Basuki, 2006) 2. Kesalahan titik nol rambu. Kesalahan ini bisa terjadi dari pabrik, namun bisa pula terjadi karena alas rambu yang aus dimakan usia atau sebab yang lain. Misal kedua rambu yang dipakai dalam pengukuran keduanya salah, masing-masing sebesar δ1 bertanda negatif (misal karena aus) dan δ2

14 14 bertanda positif (misal karena pabrik). Sehingga pada pengukuran berantai, dimana rambu akan dibuat berselang-seling dan kesalahan titik nol rambu akan terjadi secara berselang-seling pada slag ganjil (slag pertama dan seterusnya). Kesalahan titik nol rambu pengaruhnya akan hilang apabila jumlah slag genap. 3. Kesalahan karena rambu tidak betul-betul vertikal. Kesalahan ini tidak dapat dihilangkan. Untuk menghindari kesalahan ini, maka rambu harus betulbetul vertikal dengan cara menggunakan nivo rambu atau unting-unting yang digantungkan padanya. 4. Kesalahan karena penyinaran alat yang tidak merata. Sinar matahari yang jatuh tidak merata pada alat ukur sipatdatar akan menyebabkan panas dan pemuaian pada alat penyipat datar yang tidak merata pula, khususnya nivo teropong. Sehingga pada saat gelembung seimbang, garis arah nivo tidak mendatar dan garis bidik juga tidak datar. Untuk menghindari keadaan semacam ini, sebaiknya alat ukur dipayungi agar tidak langsung terkena sinar matahari. 5. Kesalahan karena kelengkungan permukaan Bumi. Bidang nivo adalah bidang lengkung seperti halnya permukaan Bumi. Sedangkan garis bidik sipatdatar adalah mendatar. Pada Gambar 1.8 tersebut, alat ukur berdiri di titik A dan berdiri vertikal, demikian pula rambu di B. Garis CA dan EB tegak lurus permukaan Bumi ke arah pusat Bumi P. Garis CD adalah bidang nivo yang melalui C dan memotong rambu di D. Garis CE mendatar melalui teropong memotong rambu di E. Jarak ED = ρ kesalahan karena kelengkungan permukaan Bumi. Karena tinggi alat dan tinggi pembacaan rambu sangat kecil bila dibandingkan dengan jari-jari Bumi rata-rata (6378 km), maka jarak CP dan DP dinamakan R = ½ (R A + R B ). Dalam ECP siku-siku di C, terdapat hubungan sebagai berikut : EP 2 = CP 2 + CE 2...(I.8) atau (ED + DP) 2 = CP 2 + CE 2. (I.9) atau

15 15 ( ρ + R) 2 = R 2 + s 2 ρ 2 + 2ρR + R 2 = R 2 + s 2.(I.10) Karena ρ 2 kecil dan diabaikan, maka : ρ = (I.11) Gambar I.8. Kesalahan karena kelengkungan permukaan bumi dan refraksi (Basuki, 2006) Dari persamaan diatas terlihat bahwa pengaruh kelengkungan permukaan Bumi sebanding dengan kuadrat jarak dua titik yang bersangkutan. Karena jarak bidik optimum teropong penyipat datar kurang dari 100 m, maka pengaruh kesalahan untuk pengukuran yang tidak teliti sekalipun dapat diabaikan dan pengaruh kesalahan ini dapat dihilangkan dengan membuat jarak rambu muka sama dengan rambu belakang. 6. Pengaruh refraksi sinar. Permukaan Bumi diselimuti dengan lapisan-lapisan udara yang ketebalannya tidak sama karena suhu dan tekanan yang tidak sama. Hal ini akan mengakibatkan sinar yang sampai pada teropong dari obyek yang dibidik akan menjadi melengkung ke atas sehingga yang terbaca menjadi terlalu besar. Oleh karenanya koreksi menjadi minus. 7. Kesalahan karena pengaruh undulasi. Pada tengah hari yang panas antara pukul 11 sampai pukul 14 sering terjadi undulasi, yaitu udara di permukaan Bumi yang bergerak naik karena panas (fatamorgana). Jika rambu ukur didirikan di tempat yang demikian, maka apabila dibidik dengan teropong

16 16 akan kelihatan seolah-olah rambu tersebut bergerak bergelombang. Sehingga sukar sekali untuk menentukan angka mana yang berimpit dengan garis bidik atau benang silang. Sehingga apabila terjadi undulasi sebaiknya pengukuran dihentikan. 8. Kesalahan karena kondisi tanah tidak stabil. Akibat kondisi tanah temmpat berdiri alat atau rambu tidak stabil, maka setelah pembidikan ke rambu belakang, pengamat pindah posisi untuk mengamat ke rambu muka ketinggian alat atau statif akan mengalami perubahan sehingga beda tinggi yang didaptkan akan mengalami kesalahan. Apabila kondisi semacam ini di temapt berdiri rambu, maka pada saat rambu dibalik dari rambu muka menjadi rambu belakang akan mengalami pula perubahan ketinggian. I Pengolahan data sipatdatar metode Bowditch. Hasil pengukuran menggunakan sipatdatar adalah nilai beda tinggi dari titik-titik yang dilakukan pengukuran. Data beda tinggi tersebut kemudian diolah lebih lanjut untuk mendapatkan tinggi dari tiap titik yang diukur. Akan tetapi, karena dalam setiap pengukuran selalu dihinggapi kesalahan tak terkecuali pada pengukuran beda tinggi dengan alat sipatdatar yang dikenal sebagai alat yang paling teliti dalam pengukuran beda tinggi maka dari itu dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk mereduksi kesalahan yang terjadi sehingga akan didapatkan nilai tinggi terkoreksi berikut dengan ketelitian yang dihasilkan. Adapun metode pengolahan yang umum digunakan dalam pengolahan data ukuran sipatdatar adalah sebagai berikut : Perhitungan metode Bowditch pada sipatdatar prinsip utamanya adalah bahwa semakin jauh jarak antar titik, maka kesalahan beda tingginya akan semakin besar. Untuk mengkoreksi kesalahan beda tinggi antar titiknya (seksi), maka besar koreksinya adalah sebesar jarak seksi dibanding dengan jarak total seluruh seksi dalam pengukuran sipatdatar. Semakin jauh jarak antar titik, maka koreksinya semakin besar. Adapun langkah pengolahan metode Bowditch adalah sebagai berikut:

17 17 1. Pemeriksaan terhadap data pengukuran pergi dan pulang. Apabila pengukuran beda tinggi pada satu slag/seksi diukur pergi-pulang dan berbentuk tertutup (loop), akan didapat beda tinggi pergi (Δ pg ) dan beda tinggi pulang (Δ pl ) yang pada umumnya besarnya tidak selalu sama. Selisih dari padanya serta jarak antaranya akan menentukan apakah ukuran beda tinggi tersebut diterima atau tidak. Angka atau besaran yang menyatakan bahwa beda pengukuran pergi dan pulang suatu ukuran diterima atau tidak disebut toleransi. Dalam standar nasioanl indonesia jaring kontrol vertikal (SNI JKV), toleransi selisih beda tinggi pergi dan pulang untuk memenuhi standar kelas pengukuran yang paling minimum yaitu kelas LD maka toleransi yang digunakan adalah sebesar 18mm. Kemudian apabila data pengukuran pergi dan pulang telah memenuhi toleransi, maka beda tinggi definitifnya adalah rata-rata dari Δh pg dan Δh pl atau secara matematis: Δh rata-rata atau (Δhr) =...(I.12) 2. Pemeriksaan terhadap kesalahan penutup beda tinggi. Setelah selisih nilai beda tinggi antara pengukuran pergi dan pulang telah memenuhi toleransi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan terhadap kesalahan penutup beda tinggi rata-rata pergi dan pulang. Untuk pengukuran tertutup (loop) terdapat syarat yang harus dipenuhi adalah jumlah beda tinggi rata-rata jaring/loop tiap seksi harus sama dengan nol atau : Δhrs = 0...( I.13) Apabila tidak sama dengan nol, maka besaran tersebut dinamakan kesalahaan penutup beda tinggi atau fh. Apabila harga fh ini toleransi, maka pengukuran diterima. Dengan nilai toleransi berdasarkan SNI JKV. Sebagai contoh apabila harga fh 18mm, maka jaring pengukuran tersebut telah memenuhi kelas pengukuran yang paling minimum yaitu kategori kelas LD.

18 18 3. Koreksi terhadap nilai beda tinggi pengukuran. Dalam metode Bowditch, untuk memenuhi syarat (I.13) maka beda tinggi rata-rata tiap seksi dikoreksi sebesar : εhi =...(I.14) dimana : εh i : Koreksi beda tinggi seksi ke I D i D fh : Jarak seksi ke i (jarak rata-rata pergi-pulang) : Jumlah jarak pengukuran tertutup : Kesalahan penutup tinggi I Metode hitung peratan kuadrat terkecil. Hitung perataan kuadrat terkecil adalah hitung perataan (adjustment) yang berbasiskan pada minimalisasi jumlah kuadrat dari residual pengamatan. Pada pengolahan data ukuran beda tinggi sipatdatar mengunakan hitung kuadrat terkecil, tahap pertama adalah dengan melakukan hitungan perataan jaring terkendala minimal (minimum constraint) yaitu dengan menetapkan minimal satu titik yang diketahui atau dianggap tetap. Adapun pada penelitian ini, maka jaring sipatdatar yang digunakan adalah seperti pada Gambar I.9. BM1 h 1 h 1 h 2 BM2 h 2 Keterangan : : Pergi h 3 : Pulang BM3 h 4 TDT h 3 h 5 h 4 h 5 BM4 Gambar I.9. Sketsa jaring pengukuran sipatdatar Pada penelitian ini, titik BM1, BM2, BM3, dan BM4 adalah parameter yang akan dicari tingginya. Titik TDT diasumsikan sebagai titik ikat yang tetap (Fixed Point). Nilai ketinggian titik TDT (H TDT ) didefinisikan sama dengan tinggi GNSS

19 19 (H GNSS ). Jaring pengukuran sipatdatar diukur secara pergi dan pulang untuk setiap seksi. Untuk mulai melaksanakan hitung perataan, maka langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Menyusun model fungsional. Pengamatan merupakan fungsi dari parameter. Dalam sebuah jaring sipatdatar pengukuran beda tinggi ( h) merupakan fungsi dari parameter tinggi (h). L = F (X) (I.15) Untuk i seksi pengukuran, maka : Jumlah pengamatan Jumlah parameter (tinggi titik yang belum diketahui) Jumlah ukuran lebih = n = 2i = u = r = n u Sehingga dengan jumlah seksi pengukuran (i) = 5 Maka, jumlah pengamatan (n) = 10 Jumlah parameter (u) = 4 Jumlah ukuran lebih (r) = 10 4 = 6 Dengan : H1 = BM1, H2 = BM2, H3 = BM3, H4 = BM4. Maka didapatkan persamaan observasi pengukuran pergi : h 1 = H 2 - H 1 h 1 + V 1 = H 2 - H 1 h 2 = H TDT - H 2 h 2 + V 2 = H TDT - H 2 h 3 = H 3 - H TDT h 3 + V 3 = H 3 - H TDT h 4 = H 4 - H 1 h 4 + V 4 = H 4 - H 1 h 5 = H 3 - H 4 h 5 + V 5 = H 3 - H 4.. (I.16)

20 20 Persamaan observasi pengukuran pulang : h 1 = H 1 - H 2 h 1 + V 6 = H 1 - H 2 h 2 = H 2 - H TDT h 2 + V 7 = H 2 - H TDT h 3 = H TDT - H 3 h 3 + V 8 = H TDT - H 3 h 4 = H 1 - H 4 h 4 + V 9 = H 1 - H 4 h 5 = H 4 - H 3 h 5 + V 10 = H 4 - H 3. (I.17) Sehingga, persamaan residu data pengukuran pergi sipatdatar : V 1 = H 2 - H 1 - h 1 V 2 = H TDT - H 2 - h 2 V 3 = H 3 - H TDT - h 3 V 4 = H 4 -H 1 - h 4 V 5 = H 3 - H 4 - h 5...(I.18) Dan persamaan residu data pengukuran pulang sipatdatar : V 6 = H 1 - H 2 - h 1 V 7 = H 2 - H TDT - h 2 V 8 = H TDT - H 3 - h 3 V 9 = H 1 - H 4 - h 4 V 10 = H 4 -H 3 - h (I.19) Apabila dituliskan dalam bentuk matriks maka disusun sebagai berikut pada persamaan I.20. nv 1 = n A u u X 1 + n L 1 5V 1 = 5 A 4 4 X L 1 (I.20) Dimana : 5A 4 =....(I.21) [ ]

21 21 5V 1 = (I.22) [ ] 4X 1 = [ ] (I.23) Matriks L data pengukuran pergi, 5L 1 =..... (I.24) [ ] Matriks L data pengukuran pulang, 5L 1 =.. (I.25) [ ] Setelah matriks A dan L dibentuk, maka nilai parameter X, yaitu : X = -(A T PA) -1 A T PL..... (I.26) Dalam hal ini P adalah matriks bobot, yaitu :....(I.27) Keterangan : d = Jarak seksi pengukuran = Varian apriori ( Nilai = 1)

22 22 5P 1 =..(I.28) [ ] Keterangan : di : Jarak seksi ke-i saat pengukuran pergi (km) di : Jarak seksi ke-i saat pengukuran pulang (km) Setelah diperoleh nilai parameter X, dihitung residu pengukuran (matriks V) dan nilai varians aposteriori, yaitu :...(I.29) selanjutnya dihitung matrik varians-kovarians parameter dengan persamaan berikut :...(I.30) xx =..(I.31) [ ] Sementara untuk menghitung varian kovarian dari residu, rumus yang digunakan adalah pada persamaan (I.32) berikut :...(I.32) vv =.(I.33) [ ]

23 23 Untuk menghitung simpangan dari pengukuran terkoreksi ( ζ La ), maka diperoleh dari matriks varian kovarian ukuran. Dengan rumus sebagai berikut : Σ La = A (AT Σ -1 L A) -1 A T...(I.34) Dengan Σ -1 L adalah matriks varian kovarian pengukuran. I Uji statistik hasil hitung perataan kuadrat terkecil. Setelah hitung perataan dilakukan, maka untuk menguji atau mengetahui apakah model matematikanya yang disusun telah benar, pemberian bobot telah benar, dan juga untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan kasar didalam data ukuran adalah dengan melakukan uji statistik. Uji statistik yang umum digunakan dalam hitung perataan adalah sebagai berikut: 1. Uji global. Setelah hitung perataan pada sebuah jaring, tes global dilakukan terlebih dahulu. Pada tes ini akan memperkirakan kesesuaian faktor varian aposteriori ( ) dengan faktor varian apriori ( ). Uji global menggunakan hipotesis nol (Ho) yang dirumuskan untuk menguji kebenaran model bahwa model matematikanya telah benar dan lengkap, proses linearisasi dengan prinsip deret taylor telah benar, pemberian bobot ukuran telah benar (widjajanti, 1992). Sedangkan hipotesis tandingan (Ha) berlaku sebaliknya dari hipotesis Ho. Pada uji global, nilai varian a posteori dibandingkan terhadap nilai varian apriori dengan menerapkan uji Chi-square seperti pada persamaan (I.35)....(I.35) Ada dua cara pengujian apabila persamaan (I.35) memenuhi distribusi dengan derajat kebebasan df, yaitu pengujian satu arah dan pengujian dua arah. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: a. Pengujian dua arah (two tailed). Hipotesis dirumuskan sebagai mana pada persamaan (I.36) dan (I.37). Kriteria pengujian dirumuskan sebagai persamaan (I.38).

24 24...(I.36)...(I.37) atau...(i.38) Menolak hasil uji Ho apabila memenuhi persamaan (I.38). Dalam hal ini nilai dan diperoleh berdasarkan fungsi probabilitas distribusi dengan derajat kepercayaan 1 - α % dan df = n u dari Tabel, sedangkan dihitung dari hasil kuadrat terkecil sebagai mana pada persamaan (I.35). b. Pengujian satu arah (one tailed). Hipotesis dirumuskan sebagai persamaan (I.39) dan (I.40). Kriteria pengujian dirumuskan sebagai persamaan (I.41). Menolak hasil uji Ho apabila memenuhi persamaan (I.39)....(I.39)...(I.40)...(I.41) Arti dari menolak Ho pada pengujian tersebut berarti terdapat indikasi bahwa model yang digunakan terdapat kesalahan atau kurang lengkap, sebaliknya bila uji diterima berarti secara umum model telah benar dan lengkap. 2. Uji blunder. Uji blunder dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya kesalahan blunder pada data pengukuran. Anggapan yang umum diterima, bahwa suatu residu pengukuran yang besarnya tiga kali kesalahan standar pengukuran merupakan indikator adanya blunder pada pengukuran tersebut (Soeta'at, 1996). Anggapan tersebut kurang tepat, karena residu bukan hanya karena adanya blunder atau kesalahan pengukuran, tetapi juga dipengaruhi oleh bentuk jaringan yang bersangkutan. Kriteria yang tepat untuk mendeteksi kesalahan blunder menggunakan persamaan I.42 (Soeta'at, 1996).

25 25...(I.42) Dalam hal ini, Vi : Residu ukuran ke-i, elemen matriks residu baris ke-i. : Simpangan baku residu ukuran ke-i, elemen matriks varian kovarian residu (, baris ke-i, kolom ke-i. Nilai distribusi Fisher untuk beberapa derajat kepercayaan bisa didapatkan dari Tabel I.1 berikut : Tabel I.1. Nilai distribusi F (Fisher) α 0,001 10,80 3,29 0,010 6,66 2,58 0,050 3,84 1,96 0,100 2,72 1,65 I Penentuan kelas pengukuran hasil pengolahan sipatdatar. Hasil pengolahan sipatdatar adalah berupa nilai dari parameter tinggi titik-titik yang diukur serta ketelitian atau standar deviasi dari nilai parameter tersebut. Untuk mengetahui kelas pengukuran hasil pengukuran sipatdatar maka dapat diketahui dengan membandingkan ketelitian hasil pengukuran dengan SNI JKV sebagai berikut: Jaring Kontrol Vertikal (JKV) merupakan serangkaian titik kontrol vertikal yang satu sama lainnya diikatkan dengan ukuran beda tinggi orthometrik mengacu pada titik datum. Jaring kontrol vertikal ini diklasifikasikan menurut tingkat presisi dan akurasi hasil survei. Fakta empiris yang diterapkan untuk dasar klasifikasi ialah bahwa ketelitian pengukuran beda tinggi dengan metode sipatdatar memanjang sebanding dengan akar jarak pengukuran. Kelas JKV ditentukan oleh faktor-faktor desain jaringan, pelaksanaan pengukuran, peralatan yang digunakan, teknik reduksi dan hasil hitung perataan

26 26 terkendala minimal (minimally constraint). Penempatan kelas JKV pada akhirnya didasarkan pada hasil hitung perataan jaring terkendala minimal. Kriteria untuk penempatan kelas adalah besarnya kesalahan maksimal r = c, dengan harga c seperti pada Tabel I.2 sebagai berikut. Tabel I.2. Penjenjangan kelas sipatdatar. Sipatdatar memanjang R (mm) = c Orde c (untuk 1σ) L0 2 L1 4 L2 8 L3 12 L Penentuan Tinggi dengan Metode GNSS GNSS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinu di seluruh dunia tanpa tergantung waktu dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan. Pada saat ini, sistem GNSS sudah sangat banyak digunakan orang di seluruh dunia. Di Indonesia pun, GNSS sudah banyak diaplikasikan, terutama yang terkait dengan aplikasi-aplikasi yang menuntut informasi tentang posisi Konsep penentuan posisi dengan GNSS. Pada dasarnya GNSS terdiri atas tiga segmen utama, yaitu segmen angkasa, segmen sistem kontrol, dan segmen pemakai. Ketiga segment GNSS ini digambarkan secara skematik di Gambar I.10. Setiap satelit GNSS secara kontinu memancarkan sinyal-sinyal gelombang pada 2 frekuensi L-band yang dinamakan L1 and L2. Sinyal L1 berfrekuensi MHz dan sinyal L2 berfrekuensi MHz. Sinyal L1 membawa 2 buah kode biner yang dinamakan kode-p (P-code, Precise or Private code) dan kode-c/a (C/A-

27 27 code, Clear Access or Coarse Acquisation), sedangkan sinyal L2 hanya membawa kode-c/a. Perlu dicatat bahwa pada saat ini kode-p telah dirubah menjadi kode-y yang strukturnya dirahasiakan untuk umum. Dengan mengamati sinyal-sinyal dari satelit dalam jumlah dan waktu yang cukup, seseorang kemudian dapat memrosesnya untuk mendapatkan informasi mengenai posisi, kecepatan, dan waktu, ataupun parameter-parameter turunannya. Gambar I.10. Sistem penentuan posisi global, GNSS (SNI JKH, 2002) Pada dasarnya konsep dasar penentuan posisi dengan GNSS adalah reseksi (pengikatan ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GNSS yang koordinatnya telah diketahui. Posisi yang diberikan oleh GNSS adalah posisi tiga dimensi (X,Y,Z ataupun L,B,h) yang dinyatakan dalam datum WGS (World Geodetic System) Dengan GNSS, titik yang akan ditentukan posisinya dapat diam (static positioning) ataupun bergerak (kinematic positioning). Posisi titik dapat ditentukan dengan menggunakan satu receiver GNSS terhadap pusat Bumi dengan menggunakan metode absolute (point) positioning, ataupun terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya (monitor station) dengan menggunakan metode differential (relative) positioning yang menggunakan minimal dua receiver GNSS, yang menghasilkan ketelitian posisi yang relatif lebih tinggi. GNSS dapat memberikan posisi secara instan (real-time) ataupun sesudah pengamatan setelah data pengamatannya di proses secara lebih ekstensif (post

28 28 processing) yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan ketelitian yang lebih baik. Secara umum kategorisasi metode dan sistem penentuan posisi dengan GNSS ditunjukkan pada Gambar I.11. Gambar I.11. Metode dan sistem penentuan posisi dengan GNSS (Langley, 1998) Ketinggian yang diberikan oleh GNSS adalah ketinggian titik di atas permukaan elipsoid, yaitu elipsoid WGS 84. Tinggi elipsoid (h) ini berbeda dengan tinggi orthometrik (H) yang umum digunakan pada keperluan praktis sehari-hari yang umumnya diukur dengan Sipatdatar. Tinggi orthometrik adalah Tinggi di atas Geoid yang bereferensi pada bidang ekipotensial gayaberat (bidang nivo) yang berimpit dengan muka air laut rerata (mean sea level) yang tidak terganggu. Ilustrasinya adalah pada Gambar I.12 berikut: Gambar I.12. Tinggi elipsoid dan tinggi orthometrik (Abidin, 2007)

29 29 Untuk dapat mentransformasikan tinggi elipsoid hasil ukuran GNSS ke tinggi orthometrik maka diperlukan data undulasi Geoid di titik tersebut. Persamaan matematis yang digunakan untuk mengkonversi tinggi elipsoid ke orthometrik menurut persamaan (I.5). Ketelitian dari tinggi orthometrik yang diperoleh akan tergantung pada ketelitian dari tinggi GNSS serta undulasi geoid. Perlu dicatat bahwa penentuan undulasi geoid secara teliti (orde ketelitian cm) bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Disamping diperlukan data gaya berat yang detail, juga diperlukan data ketinggian topografi permukaan Bumi serta data densitas material di bawah permukaan Bumi yang cukup. Untuk mengkonversi penentuan tinggi elipsoid GNSS ke tinggi orthometrik (GNSS Heighting) yang tidak terlalu membutuhkan ketelitian yang tinggi, telah tersedia model referensi global yaitu EGM96 (Earth Gravitational Model). EGM96 merupakan hasil kolaborasi antara US s Defense Mapping Agency dengan NASA s Goddard Space Flight Center dan The Ohio State University (OSU) yang dikembangkan dan ditingkatkan untuk membentuk model harmonik sferis dari potensial gaya berat Bumi sampai 360 derajat. Model ini merupakan gabungan dari data pengkuran gaya berat teristris, turunan anomali gaya berat dari altimeter dari ERS-1 dan dari GEOSAT Geodetic Mission (GM), extensive satellite tracking data, termasuk juga Satellite Laser Ranging (SLR), Global Positioning System (GPS), NASA s Tracking and Data Relay Satellite System (TDRSS), French DORIS system, dan US Navy TRANET Doppler tracking sytem yang sebaik rentang langsung altimeter dari TOPEX/POSEIDON (T/P), ERS-1, dan GEOSAT. Solusi finalnya bercampur antara kombinasi model derajat rendah sampai derajat 70, solusi blok diagonal dari derajat 71 sampai 359, dan solusi quadrature pada derajat 360. Model ini digunakan untuk menghitung undulasi geoid yang akurasinya lebih baik dari satu meter (dengan pengecualian pada area hampa dari densitas dan akurasi data gaya berat permukaan dan WGS84 sebagai refernsi tiga dimensi. Dibawah aegis of the IAG s International Geoid Services, EGM96 telah diuji oleh 16 kelompok diseluruh dunia untuk menemukan versi yang terbaik dan cocok untuk tiap regional. Hasilnya disusun oleh sideris pada 1996 dan dipublikasikan pada

30 30 world wide web ( Sehingga EGM96 dapat digunakan untuk keperluan umum. Untuk menentukan undulasi geoid pada suatu titik di permukaan Bumi dengan memanfaatkan EGM96, dapat dilakukan dengan kalkulator tinggi Geoid dari UNAVCO. Kalkulator tersebut digunakan untuk menghitung undulasi pada titik lintang dan bujur yang ditentukan. Program ini menggunakan potensial model EGM96 dan satu set koefisien harmonik bola dan koreksi konversi anomali ketinggian undulasi geoid. Program ini dirancang untuk mengacu pada elipsoid WGS 84 yang digunakan oleh satelit GNSS. Untuk mendapatkan hasil yang relatif teliti, transformasi tinggi GNSS ke tinggi orthometrik umumnya dilakukan secara diferensial, seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.13 berikut : Gambar I.13. Penentuan tinggi secara differensial (Abidin, 2007) Pada penentuan tinggi dengan GNSS (GNSS Heighting) dikenal dua macam tinggi. Yaitu tinggi absolut dan tinggi relatif. Tinggi absolut adalah tinggi yang diperoleh dari pengamatan GNSS yang bereferensi terhadap elipsoid (h) yang ditentukan oleh hanya satu titik pengamatan. Sementara tinggi relatif adalah tinggi elipsoid yang diperolah dengan pengukuran secara diferensial antara dua titik pengamatan. Tinggi relatif umumnya dinotasikan dengan h. Pada beberapa aplikasi khususnya pada keperluan drainase atau irigasi nilai tinggi elipsoid h dan h tidak digunakan. Sehingga perlu dilakukan transformasi

31 31 dari tinggi elipsoid ke tinggi orthometrik. Dalam penentuan tinggi orthometrik dengan GNSS, ditemukan bahwa h dapat ditentukan lebih teliti dibandingkan dengan h, dan N dapat ditentukan lebih teliti dibandingkan dengan N. Dengan kenyataan itulah maka penentuan tinggi orthometrik dengan GNSS dilakukan dengan metode tinggi relatif. Dalam kata lain, tinggi orthometrik diperoleh dengan jalan pengukuran beda tinggi dengan tinggi relatif hasil pengukuran dengan GNSS. H AB = H B H A......(I.43) h AB = h B h A, dan......(i.44) N AB = N B - N A.....(I.45) Dengan asumsi bahwa tinggi orthometrik titik A (H A ) diketahui dan pangamatan GNSS dilakukan secara differensial di titik A dan B sehingga diperoleh tinggi relatif ( h AB ) sedangkan data N AB diperoleh dengan perhitungan dari pengukuran gravimetri pada titik A dan B. Sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut : H B = H A + HAB, atau... (I.46) H B = H A + H B H A...(I.47) Dari persamaan I.47 dapat disusun : H B = H A + (h B N B ) + (h A N A ). (I.48) Disusun kembali sebagai berikut : H B = H A + (h B h A ) - (N B N A ), atau.... (I.49) H B = H A + h AB - N AB...(I.50) Metode pengamatan dengan GNSS. Survei penentuan posisi dengan pengamatan satelit GNSS (survei GNSS) secara umum dapat didefinisikan sebagai proses penentuan koordinat dari sejumlah titik terhadap beberapa buah titik yang telah diketahui koordinatnya, dengan menggunakan metode penentuan posisi diferensial (differential positioning) serta data pengamatan fase (carrier phase) dari sinyal GNSS. Pada survei GNSS, pengamatan GNSS dengan selang waktu tertentu dilakukan baseline per baseline dalam suatu jaringan dari titik-titik yang akan ditentukan

32 32 posisinya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.14. Patut dicatat di sini bahwa seandainya lebih dari dua receiver GNSS yang digunakan, maka pada satu sesi pengamatan (observing session) dapat diamati lebih dari satu baseline sekaligus. Gambar I.14. Penentuan posisi titik-titik dengan survei GNSS (SNI JKH, 2002) Berkaitan dengan baseline, maka dalam survei dengan GNSS, pengertian menyangkut baseline trivial dan non-trivial (bebas) cukup penting untuk dimengerti. Pada perataan jaringan GNSS, hanya baseline-baseline bebas (non-trivial) saja yang boleh diikut sertakan. Baseline trivial adalah baseline yang dapat diturunkan (kombinasi linear) dari baseline - baseline lainnya dari satu sesi pengamatan. Baseline yang bukan trivial dinamakan baseline non-trivial (baseline bebas). Dalam hal ini, seandainya ada n receiver yang beroperasi secara simultan pada satu sesi pengamatan maka akan ada (n-1) baseline bebas yang boleh digunakan untuk perataan jaringan. Pada prinsipnya akan ada beberapa kombinasi dari (n-1) baseline bebas tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar Dalam hal ini set dari (n-1) baseline bebas yang digunakan akan mempengaruhi kualitas dari posisi titik dalam jaringan yang diperoleh. Gambar I.15. Contoh beberapa kombinasi dari baseline trivial dan non-trivial

33 33 Untuk kontrol kualitas dan menjaga kekuatan jaringan, baseline yang diamati sebaiknya saling menutup dalam suatu loop (jaringan) dan tidak terlepas begitu saja (radial) seperti Gambar I.16. Jika dikarenakan suatu hal pengamatan baseline harus dilakukan secara terlepas (metode radial), maka sebaiknya setiap baseline diamati minimal 2 kali pada 2 sesi pengamatan yang berbeda, sehingga ada mekanisme kontrol kualitas. Gambar I.16. Metode jaringan dan metode radial (SNI JKH, 2002) Metode pengamatan yang umum digunakan dalam survei dengan GNSS, metode yang umum digunakan adalah metode survei statik. Metode penentuan posisi secara statik (Static Positioning) adalah penentuan posisi dari titik-titik yang statik (diam). Penentuan posisi tersebut dapat dilakukan secara absolut maupun differensial, dengan menggunakan data pseudorange dan/atau fase. Pada metode statik sangat populer digunanakan untuk penentuan koordinat titik-titik kontrol untuk keperluan pemetaan ataupun penentuan fenomena deformasi dan geodinamika. Gambar I.17. Penentuan posisi titik-titik metode survei GNSS (Abidin, 2007) Aplikasi tersebut umumya dilakukan dengan metode statik secara diferensial dengan menggunakan data fase. Dimana pengamatan satelit dilakukan baseline per

34 34 baseline selama selang waktu tertentu dalam suatu jaringan dari titik-titik yag akan ditentukan posisinya Kesalahan dan bias dalam pengamatan dengan GNSS. Dalam perjalanannya dari satelit hingga mencapai antena di permukaan Bumi, sinyal GNSS akan dipengaruhi oleh beberapa kesalahan dan bias seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.18 berikut. Kesalahan dan bias GNSS pada dasarnya dapat dikelompokkan atas kesalahan dan biasyang terkait erat dengan: 1. Satelit, seperti kesalahan ephemeris, jam satelit, dan selective availability (SA) 2. Medium propagasi, seperti bias ionosfer dan bias troposfer. 3. Receiver GNSS, seperti kesalahan jam receiver, kesalahan terkait dengan antena, dan noise (derau) 4. Data pengamatan, seperti ambiguitas fase, dan cycle slips. 5. Lingkungan sekitar GNSS receiver, seperti multipath, dan imaging. Gambar I.18. Kesalahan dan bias GNSS (Abidin, 2007)

35 Pengolahan hasil pengamatan GNSS. Dalam survei dengan GNSS, pengolahan data GNSS dimaksudkan untuk menghitung koordinat dari titik-titik dalam suatu jaringan berdasarkan data-data pengamatan fase sinyal GNSS yang diamati di titik-titik tersebut. Pengolahan data GNSS sehingga mendapatkan koordinat titik-titik yang memenuhi spesifikasi teknis adalah suatu proses yang cukup ekstensif. Adapun langkah pengolahannya dijelaskan menurut langkahlangkah seperti Gambar I.19 berikut ini. Gambar I.19. Diagram alir perhitungan titik-titik jaring GNSS (SNI JKH, 2002) 1. Pemrosesan awal (Pre-Processing) data pengamatan GNSS. Pemrosesan data pengamatan GNSS dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak. Untuk survei pemetaan digunakan perangkat lunak komersial seperti SKI, dan Geogenius. Sedangkan untuk keperluan yang menuntut ketelitian yang lebih tinggi seperti survei geodetik dan studi geodinamika, digunakan perangkat lunak ilmiah seperti Bernesse, GAMIT, dan DIPOP. Sebelum dilakukan pengolahan data GNSS, dilakukan terlebih dahulu pemrosesan awal (pre-processing) data GNSS yang mencakup sebagai berikut :

36 36 a. Transfer, kompresi, dan memformat kembali data (termasuk di dalamnya pesan navigasi) dari receiver GNSS kedalam media penyimpanan komputer. Melakukan konversi file pengamatan GNSS yang masih berformat pabrikan dari receiver kedalam format RINEX (Receiver Independent Exchange) sehingga dapat dibaca oleh perangkat lunak pengolah data GNSS. b. Menyiapkan data file ephemeris umum dari rekaman pesan navigasi atau precise ephemerides dari sumber eksternal c. Melakukan screening data dengan berdasarkan pada kualitas flags atau satelit yang dibawah dari mask angle. d. Menghasilkan solusi awal posisi dari titik yang diamat biasanaya melalui pengolahan data pseudorange. e. Menghasilkan perkiraan solusi dari baseline menggunakan data fase triple difference. f. Mendeteksi dan memperbaiki cycle slips dengan sejumlah metode. 2. Pengolahan Baseline. Pengolahan baseline pada dasarnya bertujuan menghitung vektor baseline (dx,dy,dz) menggunakan data fase sinyal GNSS yang dikumpulkan pada dua titik ujung dari baseline yang bersangkutan, yang diilustrasikan pada Gambar Gambar I.20. Pengolahan data baseline GNSS (SNI JKH, 2002)

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Ketelitian data Global Positioning Systems (GPS) dapat

Lebih terperinci

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) III. 1 GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Global Positioning System atau GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit [Abidin, 2007]. Nama

Lebih terperinci

5/16/2011 SIPAT DATAR. 1

5/16/2011 SIPAT DATAR.   1 SIPAT DATAR www.salmanisaleh.wordpress.com 1 2 www.salmanisaleh.wordpress.com 1 THEODOLIT 3 APA YG DIHASILKAN DARI SIPAT DATAR 4 www.salmanisaleh.wordpress.com 2 5 6 www.salmanisaleh.wordpress.com 3 7

Lebih terperinci

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM UU no. 4 Tahun 2011 tentang INFORMASI GEOSPASIAL Istilah PETA --- Informasi Geospasial Data Geospasial :

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Global Positioning System (GPS) 2.1.1 Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS GPS (Global Positioning System) merupakan sistem satelit navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit.

Lebih terperinci

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc www.pelagis.net 1 Materi Apa itu GPS? Prinsip dasar Penentuan Posisi dengan GPS Penggunaan GPS Sistem GPS Metoda Penentuan Posisi dengan GPS Sumber Kesalahan

Lebih terperinci

Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai

Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai STUDI PENENTUAN TINGGI ORTHOMETRIK MENGGUNAKAN METODE GPS HEIGHTING (STUDI KASUS: KAWASAN KESELAMATAN OPERASI PENERBANGAN BANDARA ABDURAHMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gambar situasi adalah gambaran wilayah atau lokasi suatu kegiatan dalam bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan atribut (Basuki,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Candi Borobudur adalah salah satu karya besar nenek moyang bangsa Indonesia. Candi Borobudur merupakan candi terbesar di dunia dan sudah ditetapkan sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sebagai salah satu situs warisan budaya dunia, Candi Borobudur senantiasa dilakukan pengawasan serta pemantauan baik secara strukural candi, arkeologi batuan candi,

Lebih terperinci

Jaring kontrol vertikal dengan metode sipatdatar

Jaring kontrol vertikal dengan metode sipatdatar Standar Nasional Indonesia Jaring kontrol vertikal dengan metode sipatdatar ICS 3524070 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isii Prakata iii 1 Ruang lingkup 1 2 Istilah dan definisi 1 3 Klasifikasi

Lebih terperinci

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS METODE ABSOLUT Metode Point Positioning Posisi ditentukan dalam sistem WGS 84 Pronsip penentuan posisi adalah reseksi dengan jarak ke beberapa satelit secara simultan

Lebih terperinci

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara Reza Mohammad Ganjar Gani, Didin Hadian, R Cundapratiwa Koesoemadinata Abstrak Jaring Kontrol

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Metode Real Time Point Precise Positioning (RT-PPP) merupakan teknologi

Lebih terperinci

PENGUKURAN BEDA TINGGI / SIPAT DATAR

PENGUKURAN BEDA TINGGI / SIPAT DATAR PENGUKURAN BEDA TINGGI / SIPAT DATAR Survei dan Pengukuran APA YG DIHASILKAN DARI SIPAT DATAR 2 1 3 4 2 5 3 KONTUR DALAM ILMU UKUR TANAH Kontur adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik yang berketinggian

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Pengolahan Data Data GPS yang digunakan pada Tugas Akhir ini adalah hasil pengukuran secara kontinyu selama 2 bulan, yang dimulai sejak bulan Oktober 2006 sampai November 2006

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Geodesi merupakan ilmu yang mempelajari pengukuran bentuk dan ukuran bumi termasuk medan gayaberat bumi. Bentuk bumi tidak teratur menyebabkan penentuan bentuk dan

Lebih terperinci

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS PENENTUAN POSISI DENGAN GPS Disampaikan Dalam Acara Workshop Geospasial Untuk Guru Oleh Ir.Endang,M.Pd, Widyaiswara BIG BADAN INFORMASI GEOSPASIAL (BIG) Jln. Raya Jakarta Bogor Km. 46 Cibinong, Bogor 16911

Lebih terperinci

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI Oleh: Andri Oktriansyah JURUSAN SURVEI DAN PEMETAAN UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI PALEMBANG 2017 Pengukuran Detil Situasi dan Garis Pantai

Lebih terperinci

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Salah satu kegiatan eksplorasi seismic di darat adalah kegiatan topografi seismik. Kegiatan ini bertujuan

Lebih terperinci

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS BAB III PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS 3.1 Penentuan Model Geoid Lokal Delta Mahakam Untuk wilayah Delta Mahakam metode penentuan undulasi geoid yang sesuai adalah metode kombinasi

Lebih terperinci

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 3.1 Data yang Digunakan Data GPS yang digunakan dalam kajian kemampuan kinerja perangkat lunak pengolah data GPS ini (LGO 8.1), yaitu merupakan data GPS yang memiliki panjang

Lebih terperinci

P E N G U K U R A N S I P A T D A T A R

P E N G U K U R A N S I P A T D A T A R P E N G U K U R A N S I P A T D A T A R GLOSARIUM. Rata-rata permukaan laut atau datum : tinggi permukaan laut dalam keadaan tenang yang dinyatakan dengan elevasi atau ketinggian sama dengan nol. Beda

Lebih terperinci

Pemetaan Situasi dengan Metode Koordinat Kutub di Desa Banyuripan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten

Pemetaan Situasi dengan Metode Koordinat Kutub di Desa Banyuripan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten Jurnal Integrasi Vol. 8, No. 1, April 2016, 50-55 p-issn: 2085-3858 Article History Received February, 2016 Accepted March, 2016 Pemetaan Situasi dengan Metode Koordinat Kutub di Desa Banyuripan, Kecamatan

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661 A369 Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech I Gede Brawiswa Putra, Mokhamad Nur Cahyadi Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan suatu Lembaga Pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional

Lebih terperinci

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS 2.1 Definisi Gempa Bumi Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran pada kerak bumi yang terjadi akibat pelepasan energi secara tiba-tiba. Gempa bumi, dalam hal

Lebih terperinci

TIM PENYUSUN LAPORAN PRAKTIKUM ILMU UKUR TANAH DENGAN WATERPASS MEI 2014

TIM PENYUSUN LAPORAN PRAKTIKUM ILMU UKUR TANAH DENGAN WATERPASS MEI 2014 LAPORAN PRAKTIKUM ILMU UKUR TANAH MEI 2014 TIM PENYUSUN Pujiana (41113120068) Rohmat Indi Wibowo (41113120067) Gilang Aditya Permana (41113120125) Santi Octaviani Erna Erviyana Lutvia wahyu (41113120077)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan secara matematis untuk meratakan kesalahan (koreksi), kemudian

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan secara matematis untuk meratakan kesalahan (koreksi), kemudian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ilmu ukur tanah (Plane Surveying) adalah ilmu yang mempelajari tentang pengukuran-pengukuran pada sebagian permukaan bumi guna pembuatan peta serta memasang kembali

Lebih terperinci

TEORI SIPAT DATAR (LEVELLING)

TEORI SIPAT DATAR (LEVELLING) POKOK BAHASAN : TEORI SIPAT DATAR (LEVELLING) Prinsip penentuan beda tinggi; Jenis Peralatan Sipat Datar: Dumpy Level, Tilting level, Automatic Level; Bagian Alat; Mengatur Alat : garis arah niveau, garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]:

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]: BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasang Surut Laut Pasut laut adalah perubahan gerak relatif dari materi suatu planet, bintang dan benda angkasa lainnya yang diakibatkan aksi gravitasi benda-benda angkasa dan luar

Lebih terperinci

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

B A B IV HASIL DAN ANALISIS B A B IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Output Sistem Setelah sistem ini dinyalakan, maka sistem ini akan terus menerus bekerja secara otomatis untuk mendapatkan hasil berupa karakteristik dari lapisan troposfer

Lebih terperinci

Pengukuran Sipat Datar Memanjang dan Melintang A. LATAR BELAKANG

Pengukuran Sipat Datar Memanjang dan Melintang A. LATAR BELAKANG Pengukuran Sipat Datar Memanjang dan Melintang A. LATAR BELAKANG Sipat datar (levelling) adalah suatu operasi untuk menentukan beda tinggi antara dua titik di permukaan tanah. Sebuah bidang datar acuan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengecekan Kualitas Data Observasi Dengan TEQC Kualitas dari data observasi dapat ditunjukkan dengan melihat besar kecilnya nilai moving average dari multipath untuk

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA IV.1 SOFTWARE BERNESE 5.0 Pengolahan data GPS High Rate dilakukan dengan menggunakan software ilmiah Bernese 5.0. Software Bernese dikembangkan oleh Astronomical Institute University

Lebih terperinci

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84? Nama : Muhamad Aidil Fitriyadi NPM : 150210070005 Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84? Jenis proyeksi yang sering di gunakan di Indonesia adalah WGS-84 (World Geodetic System) dan UTM (Universal

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014 Verifikasi TDT Orde 2 BPN dengan Stasiun CORS BPN-RI Kabupaten Grobogan Rizna Trinayana, Bambang Darmo Yuwono, L. M. Sabri *) Program Studi Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof

Lebih terperinci

Prinsip Kuadrat Terkecil

Prinsip Kuadrat Terkecil Prinsip Kuadrat Terkecil Dari suatu pengukuran yang tidak saling bergantung (independent): d1, d2, d3, d4,..., dn. Dari pengukuran tersebut dapat dicari nilai rata-rata (d) yang merupakan nilai yang paling

Lebih terperinci

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG Winardi Puslit Oseanografi - LIPI Sekilas GPS dan Kegunaannya GPS adalah singkatan dari Global Positioning System yang merupakan sistem untuk menentukan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Alat Ukur GPS GPS (Global Positioning System) adalah sistem radio navigasi menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat, untuk menentukan posisi, kecepatan

Lebih terperinci

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP Oleh A. Suradji, GH Anto, Gunawan Jaya, Enda Latersia Br Pinem, dan Wulansih 1 INTISARI Untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Studi Perbandingan GPS CORS Metode RTK NTRIP dan Total Station dalam Pengukuran Volume Cut and Fill

Studi Perbandingan GPS CORS Metode RTK NTRIP dan Total Station dalam Pengukuran Volume Cut and Fill JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Jun, 2013) ISSN: 2301-9271 1 Studi Perbandingan GPS CORS Metode RTK NTRIP dan Total Station dalam Pengukuran Volume Cut and Fill Firman Amanullah dan Khomsin Jurusan

Lebih terperinci

PENGUKURAN WATERPASS

PENGUKURAN WATERPASS PENGUKURAN WATERPASS A. DASAR TEORI Pengukuran waterpass adalah pengukuran untuk menentukan ketinggian atau beda tinggi antara dua titik. Pengukuran waterpass ini sangat penting gunanya untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada BAB III ini akan dibahas mengenai pengukuran kombinasi metode GPS dan Total Station beserta data yang dihasilkan dari pengukuran GPS dan pengukuran Total Station pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu tahapan dalam pengadaan jaring kontrol GPS adalah desain jaring. Desain jaring digunakan untuk mendapatkan jaring yang optimal. Terdapat empat tahapan dalam

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 2 STUDI REFERENSI BAB 2 STUDI REFERENSI Pada bab ini akan dijelaskan berbagai macam teori yang digunakan dalam percobaan yang dilakukan. Teori-teori yang didapatkan merupakan hasil studi dari beragai macam referensi. Akan

Lebih terperinci

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME 3.1 Pendahuluan Survei batimetri merupakan survei pemeruman yaitu suatu proses pengukuran kedalaman yang ditujukan untuk memperoleh gambaran

Lebih terperinci

SURVEYING (CIV-104) PERTEMUAN 4-5 : METODE PENGUKURAN SIPAT DATAR

SURVEYING (CIV-104) PERTEMUAN 4-5 : METODE PENGUKURAN SIPAT DATAR SURVEYING (CIV-104) PERTEMUAN 4-5 : METODE PENGUKURAN SIPAT DATAR UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224 Pendahuluan Beda tinggi adalah perbedaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan

BAB IV ANALISIS. Gambar 4.1 Suhu, tekanan, dan nilai ZWD saat pengamatan BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Input Data Setelah dilakukan pengolahan data, ada beberapa hal yang dianggap berpengaruh terhadap hasil pengolahan data, yaitu penggunaan data observasi GPS dengan interval

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang GPS adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi menggunakan wahana satelit. Sistem yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca ini,

Lebih terperinci

PRINSIP PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

PRINSIP PENENTUAN POSISI DENGAN GPS PRINSIP PENENTUAN POSISI DENGAN GPS Kelompok Kepakaran Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Penentuan Posisi Dengan GPS Posisi yang diberikan adalah posisi 3-D, yaitu

Lebih terperinci

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi GPS (Global Positioning System) Global positioning system merupakan metode penentuan posisi ekstra-teristris yang menggunakan satelit GPS sebagai target pengukuran. Metode ini dinamakan penentuan posisi

Lebih terperinci

Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik

Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6 No. 2, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) G-178 Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik Ahmad Fawaiz Safi, Danar Guruh Pratomo, dan Mokhamad

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI METODE PENGUKURAN STABILITAS CANDI BOROBUDUR DAN BUKIT

STUDI EVALUASI METODE PENGUKURAN STABILITAS CANDI BOROBUDUR DAN BUKIT STUDI EVALUASI METODE PENGUKURAN STABILITAS CANDI BOROBUDUR DAN BUKIT Oleh Joni Setyawan, S.T. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur ABSTRAK Candi Borobudur sebagai sebuah peninggalan bersejarah bagi

Lebih terperinci

Membandingkan Hasil Pengukuran Beda Tinggi dari Hasil Survei GPS dan Sipat Datar

Membandingkan Hasil Pengukuran Beda Tinggi dari Hasil Survei GPS dan Sipat Datar Reka Geomatika Jurusan Teknik Geodesi No. 2 Vol. 1 ISSN 2338-350X Desember 2013 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Membandingkan Hasil Pengukuran Beda Tinggi dari Hasil Survei GPS dan Sipat Datar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Candi Borobudur sebagai sebuah peninggalan bersejarah bagi bangsa Indonesia sudah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Salah satu bentuk antisipasi pencegahan

Lebih terperinci

PELATIHAN PONDOK SURVEYOR

PELATIHAN PONDOK SURVEYOR PELATIHAN PONDOK SURVEYOR Training and Practical Session Pondok Surveyor Cidaun, Cianjur, Jawa Barat Possitioning : Hands-On Guide Version: 01 Date: 7 November 2016 Prepared by: Priyandoko, A., Syaifil,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN MENGENAI GPS DALAM SISTEM AIRBORNE LIDAR

BAB II TINJAUAN MENGENAI GPS DALAM SISTEM AIRBORNE LIDAR 7 BAB II TINJAUAN MENGENAI GPS DALAM SISTEM AIRBORNE LIDAR Bagian pertama dari sistem LIDAR adalah Global Positioning System (GPS). Fungsi dari GPS adalah untuk menentukan posisi (X,Y,Z atau L,B,h) wahana

Lebih terperinci

Pengukuran Tachymetri Untuk Bidikan Miring

Pengukuran Tachymetri Untuk Bidikan Miring BAB XII Pengukuran Tachymetri Untuk Bidikan Miring Metode tachymetri didasarkan pada prinsip bahwa pada segitiga-segitiga sebangun, sisi yang sepihak adalah sebanding. Kebanyakan pengukuran tachymetri

Lebih terperinci

Tugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika

Tugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika Tugas 1 Survei Konstruksi Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB Krisna Andhika - 15109050 TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2012 Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

Sipat datar / Levelling/ Waterpassing

Sipat datar / Levelling/ Waterpassing Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Sipat datar / Levelling/ Waterpassing Nursyamsu Hidayat, Ph.D. 2 Sipat datar Bertujuan menentukan beda tinggi antara titiktitik

Lebih terperinci

EVALUASI TITIK KONTROL TINGGI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG DENGAN METODE PENGUKURAN KERANGKA DASAR VERTIKAL BENCH MARK (BM)

EVALUASI TITIK KONTROL TINGGI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG DENGAN METODE PENGUKURAN KERANGKA DASAR VERTIKAL BENCH MARK (BM) EVALUASI TITIK KONTROL TINGGI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG DENGAN METODE PENGUKURAN KERANGKA DASAR VERTIKAL BENCH MARK (BM) Ispen Safrel Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Gunungapi BAB II DASAR TEORI 2.1 Gunungapi Gunungapi terbentuk sejak jutaan tahun lalu hingga sekarang. Pengetahuan tentang gunungapi berawal dari perilaku manusia dan manusia purba yang mempunyai hubungan dekat

Lebih terperinci

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station)

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station) On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station) Direktorat Pengukuran Dasar Deputi Survei, Pengukuran Dan Pemetaan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia 2011 MODUL

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ;

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ; - Hal. 1 1 BAB 1 PENDAHULUAN Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ; a. Pengukuran dan Pemetaan Titik Dasar Teknik b.

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS)

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Global Positioning System (GPS) Pembahasan dasar teori GPS pada subbab ini merupakan intisari dari buku Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya oleh [Abidin, 2007] dan SURVEI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari buah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari buah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 buah pulau (Kahar, dkk., 1994). Indonesia setidaknya memiliki lima buah pulau besar yaitu Pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Gambaran ellipsoid, geoid dan permukaan topografi.

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Gambaran ellipsoid, geoid dan permukaan topografi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Geodesi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk dan ukuran bumi, termasuk penentuan medan gaya berat bumi beserta variasi temporalnya. Salah satu representasi

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

GEODESI FISIS Isna Uswatun Khasanah

GEODESI FISIS Isna Uswatun Khasanah GEODESI FISIS Isna Uswatun Khasanah Infromasi Personal Isna Uswatun Khasanah ST., M.Eng S1 Teknik Geodesi UGM S2 Teknik Geomatika UGM Email : ikhasanah31@gmail.com Hp : 085310591597 / 085729210368 Outline

Lebih terperinci

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus 31/03/2015 8:34 Susunan Lapisan Bumi Inside eartth Datum geodetik atau referensi permukaan atau georeferensi adalah parameter sebagai acuan untuk mendefinisikan

Lebih terperinci

Gambar 1.1b Area Delta Mahakam

Gambar 1.1b Area Delta Mahakam BAB I PENDAHLAN ntuk keperluan rekayasa di wilayah kerja TOTAL E&P INDONESIE dengan luas area 60 km x 90 km di daerah Delta Mahakam, Kalimantan Timur, diperlukan titik-titik yang tinggi ortometriknya diketahui.

Lebih terperinci

Studi Penurunan Tanah Kota Surabaya Menggunakan Global Positioning System

Studi Penurunan Tanah Kota Surabaya Menggunakan Global Positioning System Studi Penurunan Tanah Kota Surabaya Menggunakan Global Positioning System Akbar.K 1 *, M.Taufik 1 *, E.Y.Handoko 1 * Teknik Geomatika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesi Email : akbar@geodesy.its.ac.id

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diuraikan hasil tinjauan pustaka tentang definisi, konsep, dan teori-teori yang terkait dengan penelitian ini. Adapun pustaka yang dipakai adalah konsep perambatan

Lebih terperinci

BENTUK BUMI DAN BIDANG REFERENSI

BENTUK BUMI DAN BIDANG REFERENSI BENTUK BUMI DAN BIDANG REFERENSI Geoid dan ellipsoida merupakan bidang 2 yang sangat penting didalam Geodesi. Karena masing 2 bidang tersebut merupakan bentuk bumi dalam pengertian fisik dan dalarn pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Candi Borobudur adalah bangunan yang memiliki nilai historis tinggi. Bangunan ini menjadi warisan budaya bangsa Indonesia maupun warisan dunia. Candi yang didirikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi penentuan posisi dengan survei Global Navigation Satellite System (GNSS) mengalami kemajuan yang sangat pesat. Teknologi GNSS merupakan pengembangan

Lebih terperinci

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR Pengolahan data side scan sonar terdiri dari dua tahap, yaitu tahap real-time processing dan kemudian dilanjutkan dengan tahap post-processing. Tujuan realtime

Lebih terperinci

Ilmu Ukur Tanah (Plan Survaying)

Ilmu Ukur Tanah (Plan Survaying) Ilmu Ukur Tanah (Plan Survaying) Merupakan ilmu, seni, dan teknologi untuk menyajikan bentuk permukaan bumi baik unsur alam maupun unsur buatan manusia pada bidang yang dianggap datar. Yang merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kadaster menjadi bagian aspek pertanahan yang bersifat legal dan teknis yang dapat didekati dengan bidang ilmu mengenai penentuan posisi dan lokasi, seperti ilmu Geodesi.

Lebih terperinci

Studi Kinerja Perangkat Lunak Starpoint untuk Pengolahan Baseline GPS Irwan Gumilar, Brian Bramanto, dan Teguh P. Sidiq

Studi Kinerja Perangkat Lunak Starpoint untuk Pengolahan Baseline GPS Irwan Gumilar, Brian Bramanto, dan Teguh P. Sidiq Studi Kinerja Perangkat Lunak Starpoint untuk Pengolahan Baseline GPS Irwan Gumilar, Brian Bramanto, dan Teguh P. Sidiq Kelompok Keahlian Geodesi, Institut Teknologi Bandung Labtek IX-C, Jalan Ganeca 10,

Lebih terperinci

Bab III Pelaksanaan Penelitian

Bab III Pelaksanaan Penelitian Bab III Pelaksanaan Penelitian Tahapan penelitian secara garis besar terdiri dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan kesimpulan. Diagram alir pelaksanaan penelitian dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR (3.1-1) dimana F : Gaya antara dua partikel bermassa m 1 dan m 2. r : jarak antara dua partikel

BAB III TEORI DASAR (3.1-1) dimana F : Gaya antara dua partikel bermassa m 1 dan m 2. r : jarak antara dua partikel BAB III TEORI DASAR 3.1 PRINSIP DASAR GRAVITASI 3.1.1 Hukum Newton Prinsip dasar yang digunakan dalam metoda gayaberat ini adalah hukum Newton yang menyatakan bahwa gaya tarik menarik dua titik massa m

Lebih terperinci

BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID. 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment).

BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID. 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment). BAB III SATELIT GRACE DAN VARIASI TEMPORAL GEOID 3.1 Satelit GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment). Satelit GRACE (Gravity Recovery And Climate Experiment), adalah sistem satelit gravimetri hasil

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Lama Pengamatan GPS. Gambar 4.1 Perbandingan lama pengamatan GPS Pangandaran kala 1-2. Episodik 1 Episodik 2. Jam Pengamatan KRTW

BAB IV ANALISIS. Lama Pengamatan GPS. Gambar 4.1 Perbandingan lama pengamatan GPS Pangandaran kala 1-2. Episodik 1 Episodik 2. Jam Pengamatan KRTW BAB IV ANALISIS Dalam bab ke-4 ini dibahas mengenai analisis dari hasil pengolahan data dan kaitannya dengan tujuan dan manfaat dari penulisan tugas akhir ini. Analisis dilakukan terhadap data pengamatan

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan

Lebih terperinci

MODUL 3 GEODESI SATELIT

MODUL 3 GEODESI SATELIT MODUL 3 GEODESI SATELIT A. Deskripsi Singkat Geodesi Satelit merupakan cabang ilmu Geodesi yang dengan bantuan teknologi Satelite dapat menjawab persoalan-persoalan Geodesi seperti Penentuan Posisi, Jarak

Lebih terperinci

Studi Anomali Gayaberat Free Air di Kota Surabaya

Studi Anomali Gayaberat Free Air di Kota Surabaya Studi Anomali Gayaberat Free Air di Kota Surabaya Enira Suryaningsih dan Ira Mutiara Anjasmara Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

Lebih terperinci

Home : tedyagungc.wordpress.com

Home : tedyagungc.wordpress.com Email : tedyagungc@gmail.com Home : tedyagungc.wordpress.com Subagyo 2003, Permukaan bumi merupakan suatu bidang lengkung yang tidak beraturan, sehingga hubungan geometris antara titik satu dengan titik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) pada tahun 1973. Saat ini, satelit altimetri mempunyai

Lebih terperinci

Pengaruh Waktu Pengamatan Terhadap Ketelitian Posisi dalam Survei GPS

Pengaruh Waktu Pengamatan Terhadap Ketelitian Posisi dalam Survei GPS Jurnal Reka Geomatika Jurusan Teknik Geodesi No. 1 Vol. 1 ISSN 2338-350X Juni 2013 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Pengaruh Waktu Pengamatan Terhadap Ketelitian Posisi dalam Survei GPS RINA ROSTIKA

Lebih terperinci

ANALISIS DEFORMASI JEMBATAN SURAMADU AKIBAT PENGARUH ANGIN MENGGUNAKAN PENGUKURAN GPS KINEMATIK

ANALISIS DEFORMASI JEMBATAN SURAMADU AKIBAT PENGARUH ANGIN MENGGUNAKAN PENGUKURAN GPS KINEMATIK ANALISIS DEFORMASI JEMBATAN SURAMADU AKIBAT PENGARUH ANGIN MENGGUNAKAN PENGUKURAN GPS KINEMATIK Lysa Dora Ayu Nugraini, Eko Yuli Handoko, ST, MT Program Studi Teknik Geomatika, FTSP ITS-Sukolilo, Surabaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian survei metode gayaberat secara garis besar penyelidikan

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian survei metode gayaberat secara garis besar penyelidikan BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian survei metode gayaberat secara garis besar penyelidikan dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap pengukuran lapangan, tahap pemrosesan data, dan tahap interpretasi

Lebih terperinci

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS Satelit navigasi merupakan sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit. Satelit dapat memberikan posisi suatu objek di muka bumi dengan akurat dan

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB III PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB III PENGOLAHAN DATA DAN HASIL Kualitas hasil sebuah pengolahan data sangat bergantung pada kualitas data ukuran yang terlibat di dalam proses pengolahan data dan strategi dari pengolahan data itu sendiri.

Lebih terperinci

CONTOH LAPORAN PRAKTIKUM SURVEY PENGUKURAN MENGGUNAKAN ALAT WATERPAS

CONTOH LAPORAN PRAKTIKUM SURVEY PENGUKURAN MENGGUNAKAN ALAT WATERPAS CONTOH LAPORAN PRAKTIKUM SURVEY PENGUKURAN MENGGUNAKAN ALAT WATERPAS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ilmu ukur tanah adalah bagian rendah dari ilmu Geodesi, yang merupakan suatu ilmu yang mempelajari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Halaman Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satelit GPS beredar mengelilingi bumi pada ketinggian sekitar 20.200 km. Satelit GPS tersebut berada di atas atmosfer bumi yang terdiri dari beberapa lapisan dan ditandai

Lebih terperinci