BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III IMPLEMENTASI WATERMARKING PADA VIDEO

TEKNIK VIDEO DIGITAL WATERMARKING SEBAGAI PROTEKSI HAK CIPTA PADA DISTRIBUSI KONTEN MULTIMEDIA TESIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN. Perancangan aplikasi yang dibuat dalam skripsi ini menggunakan aturan

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab 1 Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

PENYISIPAN WATERMARK MENGGUNAKAN METODE DISCRETE COSINE TRANSFORM PADA CITRA DIGITAL

BAB II LANDASAN TEORI. Citra digital sebenarnya bukanlah sebuah data digital yang normal,

STUDI DAN IMPLEMENTASI WATERMARKING CITRA DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN FUNGSI HASH

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

DIGITAL IMAGE CODING. Go green Aldi Burhan H Chandra Mula Fitradi Mardiyah

TUGAS SEKURITI KOMPUTER

BAB IV. ANALISIS DAN PERANCANGAN PERANGKAT LUNAK

Penyembunyian Pesan Rahasia Dalam Gambar dengan Metoda JPEG - JSTEG Hendry Hermawan / ABSTRAK

OPTIMASI AUDIO WATERMARKING BERBASIS DISCRETE COSINE TRANSFORM DENGAN TEKNIK SINGULAR VALUE DECOMPOSITON MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan digital watermarking. Watermarking bekerja dengan menyisipkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N, 1 q N-1. A mn cos 2M , 2N. cos. 0 p M-1, 0 q N-1 Dengan: 1 M, p=0 2 M, 1 p M-1. 1 N, q=0 2. α p =

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

Watermarking Citra Digital Berwarna Dalam Domain Discrete Cosine Transform (DCT) Menggunakan Teknik Direct Sequence Spread Spectrum (DSSS)

LOGO PEMBERIAN TANDA AIR MENGGUNAKAN TEKNIK KUANTISASI RATA-RATA DENGAN DOMAIN TRANSFORMASI WAVELET DISKRIT. Tulus Sepdianto

BAB II TEORI DASAR PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB II. DASAR TEORI 2.1 CITRA DIGITAL

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM. linear sequential (waterfall). Metode ini terdiri dari empat tahapan yaitu analisis,

BAB 2 LANDASAN TEORI

TUGAS AKHIR KOMPRESI CITRA BERWARNA DENGAN PENERAPAN DISCRETE COSINE TRANSFORM ( DCT )

Page 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI

ANALISA WATERMARKING MENGGUNAKAN TRASNFORMASI LAGUERRE

Studi Perbandingan Metode DCT dan SVD pada Image Watermarking

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Pengenalan Citra

BAB II DASAR TEORI. Terdapat dua metode dalam menampilkan atau melakukan scan pada video digital, yaitu progressive dan interlace [MED05].

PERBANDINGAN TEKNIK PENYEMBUNYIAN DATA DALAM DOMAIN SPASIAL DAN DOMAIN FREKUENSI PADA IMAGE WATERMARKING

Digital Watermarking

Kompresi Citra dan Video. Muhtadin, ST. MT.

KOMPRESI CITRA. Pertemuan 12 Mata Pengolahan Citra

BAB II LANDASAN TEORI

1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Masalah

STUDI DAN IMPLEMENTASI NON BLIND WATERMARKING DENGAN METODE SPREAD SPECTRUM

Kompresi Video Menggunakan Discrete Cosine Transform

* Kriptografi, Week 13

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN. perancangan dan pembuatan akan dibahas dalam bab 3 ini, sedangkan tahap

BAB 2 LANDASAN TEORI

Pada tugas akhir ini citra yang digunakan adalah citra diam.

STEGANOGRAPHY CHRISTIAN YONATHAN S ELLIEN SISKORY A. 07 JULI 2015

Pemampatan Citra. Esther Wibowo Erick Kurniawan

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM

BAB III. ANALISIS MASALAH

Analisis dan Implementasi Watermark untuk Copyright Image Labelling

2

Stenografi dan Watermarking. Esther Wibowo Erick Kurniawan

Bahan Kuliah IF4020 Kriptografi. Oleh: Rinaldi Munir. Program Studi Informatika Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB

METODE BLIND IMAGE-WATERMARKING BERBASIS CHAOS DALAM RANAH DISCRETE COSINE TRANSFORM (DCT)

Image Watermarking untuk Citra Berwarna dengan Metode Berbasis Korelasi dalam Ranah DCT

DIGITAL WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL FOTOGRAFI METODE DISCRETE WAVELET TRANSFORM

BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa teori tentang citra digital dipaparkan sebagai berikut.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perbandingan Penggunaan Mean Lokal, Median Lokal dan Invarians Statistik Koefisien DCT dalam Perancangan Image Hashing

Perlindungan Hak Cipta Gambar dengan Watermarking berbasis MVQ

Analisa Hasil Perbandingan Metode Low-Pass Filter Dengan Median Filter Untuk Optimalisasi Kualitas Citra Digital

BAB II TEORI DASAR PENGOLAHAN CITRA DIGITAL. foto, bersifat analog berupa sinyal sinyal video seperti gambar pada monitor

Penerapan Pohon Biner Huffman Pada Kompresi Citra

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

IMPLEMENTASI STEGANOGRAPHY MENGGUNAKAN ALGORITMA DISCRETE COSINE TRANSFORM

Digital Audio Watermarking dengan Fast Fourier Transform

PERBANDINGAN KUALITAS WATERMARKING DALAM CHANNEL GREEN DENGAN CHANNEL BLUE UNTUK CITRA RGB PADA DOMAIN FREKUENSI ABSTRAK

STUDI DAN IMPLEMENTASI WATERMARKING CITRA DIJITAL DENGAN PENDEKATAN DISCRETE COSINE TRANSFORM

ANALISIS DIGITAL AUDIO WATERMARKING BERBASIS LIFTING WAVELET TRANSFORM PADA DOMAIN FREKUENSI DENGAN METODE SPREAD SPECTRUM

BAB II LANDASAN TEORI

APLIKASI PENYEMBUNYIAN PESAN PADA CITRA JPEG DENGAN ALGORITMA F5 DALAM PERANGKAT MOBILE BERBASIS ANDROID

VIDEO MPEG-1. JETri, Volume 1, Nomor 2, Februari 2002, Halaman 49-56, ISSN

Studi analisis dan perbandingan teknik steganografi citra pada domain spasial, domain frekuensi, dan domain kompresi

Oleh : Page 1

PEMBERIAN TANDA AIR PADA CITRA DIGITAL DENGAN SKEMA TANDA AIR BERDASARKAN KUANTITASI WARNA DAN MENGGUNAKAN STANDARD ENKRIPSI TINGKAT LANJUT

IMPLEMENTASI ALGORITMA ADAPTIVE WATERMARKING PADA PELABELAN IDENTITAS FILE CITRA DIGITAL

Implementasi Boosted Steganography Scheme dengan Praproses Citra Menggunakan Histogram Equalization

Watermarking dengan Metode Dekomposisi Nilai Singular pada Citra Digital

Aplikasi Metode Steganografi Berbasis JPEG dengan Tabel Kuantisasi yang Dimodifikasi Kris Reinhard /

Blind Watermarking Citra Digital Pada Komponen Luminansi Berbasis DCT (Discrete Cosine Transform) Irfan Hilmy Asshidiqi ( )

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Digital Watermarking. Bahan Kuliah IF4020 Kriptografi. Oleh: Rinaldi Munir

Studi Digital Watermarking Citra Bitmap dalam Mode Warna Hue Saturation Lightness

STMIK MDP. Program Studi Teknik Informatika Skripsi Sarjana Komputer Semester Ganjil Tahun 2011/2012

IMPLEMENTASI WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE DFT 2 DIMENSI

Tabel 6 Skenario pengujian 4

BAB II. Decoder H.264/AVC

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Analog

BAB 2 LANDASAN TEORI

KOMPRESI CITRA. lain. Proses mengubah citra ke bentuk digital bisa dilakukan dengan beberapa perangkat,

Watermark pada Game I. PENDAHULUAN II. TEKNIK WATERMARKING PADA CITRA

ANALISIS METODE MASKING-FILTERING DALAM PENYISIPAN DATA TEKS

BLIND WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL DALAM DOMAIN DISCRETE COSINE TRANSFORM (DCT) BERBASIS ALGORITMA GENETIKA

Teknik Kompresi Citra Menggunakan Metode Huffman

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI II.1 Multimedia Sebelum membahas tentang watermarking sebagai perlindungan terhadap hak cipta, ada baiknya terlebih dahulu dibicarakan tentang pengertian multimedia. Multimedia memiliki beberapa pengertian, multimedia berarti informasi dari komputer yang ditampilkan melalui suara, video, dan animasi yang ditambahkan ke dalam media tradisional (contoh: teks, hasil lukisan, dan foto)[1]. Secara umum pengertian multimedia adalah bidang yang fokus pada penyatuan teks, grafik, hasil gambar/lukisan, gambar diam ataupun bergerak (video), animasi, suara, dan media lainnya melalui kendali computer dimana setiap bentuk informasi dapat ditampilkan, disimpan, didistribusikan dan diproses secara dijital[1]. Video merupakan salah satu bentuk data multimedia, memiliki format analog dan dijital. Bentuk dasar video terdiri dari sekumpulan gambar-gambar tunggal, biasanya ditampilkan 25, 30 atau 35 frames (gambar) per-second atau fps. II.2 Perlindungan Hak Cipta Hak cipta lebih dari sekedar hukum properti intelektual yang melarang duplikasi dan distribusi hasil karya secara illegal, tetapi juga membuka kesempatan-kesempatan untuk menghasilkan karya yang lebih kreatif. Perlindungan dalam penyebaran hak cipta dapat menggunakan metoda kriptografi (enkripsi dan dekripsi). Akan tetapi, metoda ini memiliki kelemahan yaitu ketika konten telah didekripsi, maka konten dapat disebarluaskan secara ilegal. Untuk itulah digunakan metode dijital watermarking. 4

II.3 Teknik Video Watermarking Teknik digital watermarking adalah menyisipkan tanda tangan dijital (digital signature) atau digital watermark, yang menyatakan kepemilikan atau Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dari pencipta ataupun pemilik media seperti teks, suara, gambar dan video. Untuk itu watermark yang disisipkan ke dalam media dijital dapat diambil dari media ter-watermark untuk mengidentifikasikan pencipta atau distributor dari media tersebut[4]. Agar efektif sebagai pengendali hak cipta, teknik dijital watermarking harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut[2,3,4]: a. robustness (kekokohan) robustness merupakan karakteristik watermark, yang sifatnya kokoh terhadap berbagai serangan yang biasa dilakukan untuk menggagalkan pengungkapan atau pendeteksian watermark. Kekokohan dari sebuah watermark dapat ditentukan dengan melihat hasil pendeteksian watermark akan tetapi sulit untuk menilai kualitas. Watermark dikatakan kokoh, pada saat informasi yang terkandung di dalam watermark tidak dapat dihapus atau diubah isinya, kecuali dengan merusak informasi media yang disisipkan watermark; b. perceptual transparency (tidak tampak) watermark yang disisipkan tidak boleh mempengaruhi kualitas tampilan dari media host pada berbagai jenis penampakan. Hal ini didukung dengan sistem penglihatan manusia yang terbatas sehingga tidak dapat membedakan media host asli dengan media ter-watermark. Beberapa teknik watermarking telah diterapkan pada citra tunggal, baik yang berjalan di ranah spatial ataupun di ranah frekuensi. Berbeda dari citra tunggal, pada video dijital memiliki properti dimensi waktu dan ruang. Teknik video watermark yang pernah dikembangkan dapat dibagi menjadi dua, yaitu teknik video watermark yang langsung menyisipkan watermark pada video dijital yang telah dikompresi dengan metoda seperti MPEG-2, 3GPP, WMV, dan lain sebagainya. Teknik lain, meyisipkan watermark pada video dijital yang belum dimampatkan[5]. 5

Kedua teknik tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan dilihat dari sisi kompleksitas dan rentan terhadap serangan atau tidak. Pada video yang dimampatkan perancangan dari encoder dan decoder perlu diperhatikan agar dapat diimplementasikan dengan skema video watermark tertentu yang sesuai[3]. Namun teknik ini memiliki kendala-kendala seperti, watermark dapat dengan mudah dihilangkan oleh attacker dengan melakukan encode pada video dengan algoritma kompresinya. Sedangkan pada video tanpa kompresi, teknik yang biasa digunakan untuk menyisipkan watermark dengan melakukan modifikasi data spatial, seperti menyebarkan bit-bit watermark ke dalam video dijital pada setiap pixel,cara ini dikenal dengan spread spectrum watermark[5]. Namun yang perlu diperhatikan adalah robustness dan transparency dari watermark. II.3.1 Penyisipan Watermark Penyisipan watermark pada konten video dijital perlu memperhatikan beberapa aspek penting, antara lain: a. ketidaknampakan watermark dalam citra diam dalam hal ini sebuah frame dari konten video dijital; b. ketidaknampakan watermark dalam frame yang berhenti, watermark harus tidak terlihat jika konten video dijital yang disisipkan watermark dihentikan; c. penyisipan watermark yang sama secara berulang pada frame-frame, mengakibatkan mudah diserang; d. penyisipan watermark yang berbeda-beda dalam frame yang berurutan sangat tidak aman. Untuk memenuhi kriteria tersebut penyisipan watermark dilakukan dengan cara, watermark disisipkan dalam komponen luminance dan domain frekuensi DCT pada komponen DC (Direct Current). II.3.1.1 YCbCr YCbCr merupakan standar internasional untuk pengkodean gambar dijital pada televisi yang didefinisikan pada CCIR Recommendation 601[7]. Y merupakan komponen luminance, Cb dan Cr adalah komponen chrominance. Secara psikologis komponen luminance mewakili intensitas sebuah warna RGB yang diterima oleh mata. Chrominance merepresentasikan corak warna dan kejenuhan (saturation). Nilai 6

komponen ini mengindikasikan banyaknya komponen warna biru dan merah pada warna[8]. Retina mata mempunyai dua macam sel yang berfungsi sebagai analis visual, yaitu: sel yang digunakan untuk melihat di waktu malam dan sel yang dipakai untuk melihat di siang hari. Jenis sel yang pertama hanya menerima corak keabuan mulai dari warna putih terang sampai dengan hitam pekat. Dan jenis kedua menerima corak warna. Jika sebuah warna RGB diberikan, sel jenis yang pertama mendeteksi tingkat keabuan (gray level) yang serupa dengan nilai luminance-nya, sedangkan sel jenis kedua yang bertanggungjawab terhadap pemerimaan corak warna, mendeteksi nilai sesuai dengan nilai chrominance-nya[8]. Gambar II.1 menunjukkan dekomposisi citra RGB kedalam komponen luminance dan chrominance-nya. Gambar II.1 Dekomposisi citra RGB ke dalam komponen luminance dan chrominance-nya. Searah jarum jam dari kiri atas adalah citra RGB, komponen luminance (Y), komponen Chrominance Blue (Cb) dan komponen Chrominance Red (Cr). 7

II.3.1.2 Domain Frekuensi DCT Pada frequency domain (transform domain) ini penyisipan watermark dilakukan pada koefisien frekuensi hasil transformasi frame asalnya. Beberapa transformasi yang umum digunakan, yaitu: Discrete Cosine Transform (DCT), Discrete Fourier Transform (DFT) dan Discrete Wavelet Transform (DWT). DCT digunakan untuk mengubah sebuah sinyal menjadi komponen frekuensi dasarnya. DCT dimensi dua dipilih karena frame merupakan dua dimensi sama halnya dengan gambar[9]. Untuk matriks M x N, 2-D DCT dapat dihitung dengan cara 1-D DCT diterapkan pada setiap baris dari A dan kemudian hasilnya dihitung DCT untuk setiap kolomnya. Rumus transformasi 2-D DCT untuk A adalah sebagai berikut[11]. B = αα M 1 N 1 pq p q mn m= 0 n= 0 A ( 2 + 1) π( 2 + 1) π cos m p cos n q 0 p M 1, 2M 2N 0 q N 1 α p = 1 p = 0 M, 2 M,1 p M 1 α q = 1 N, q = 0 2 N, 1 q N 1.. (2.1) Setiap baris matriks dikarakterisasikan oleh frekuensi spasial horizontal dan vertikal. Frekuensi horizontal meningkat dari kiri ke kanan, dan dari atas ke bawah secara vertikal. Dalam konteks citra, hal ini menunjukkan tingkat perceptual, memiliki arti basis fungsi dengan frekuensi rendah memiliki nilai yang lebih besar bagi perubahan penampakan citra dibandingkan basis fungsi yang memiliki frekuensi tinggi. Nilai konstanta basis fungsi yang terletak dibagian kiri atas sering disebut sebagai basis fungsi DC (Direct Current), dan DCT koefisien yang bersesuaian dengannya yang disebut dengan koefisien DC (DC coefficient). Invers Discrete Cosine Transform (IDCT) dimensi 2-D IDCT dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut[11] 8

A = M 1 N 1 mn p q pq p= 0 q= 0 α α B ( 2 + 1) π ( 2 + 1) π m p n q 0 m M 1 cos cos, 2M 2N 0 n N 1 α p = 1 M, p = 0 2 M, 1 p M 1 α q = 1 N, q = 0 2 N, 1 q N 1.. (2.2) II.3.1.3 Kuantisasi Kuantisasi dilakukan terhadap koefisien hasil DCT. Kuantisasi digunakan untuk menentukan jumlah bit yang digunakan untuk menyimpan informasi koefisien tersebut, kuantisasi menentukan kualitas hasil kompresi. Dalam proses kuantisasi, keofisien DCT dibagi dengan matriks kuantisasi. Setelah proses tersebut dilakukan pembulatan hasil kuantisasi, pada saat pembulatan ini terjadi error yang sebenarnya merupakan bagian lossy. Berikut merupakan rumus kuantisasi (, ) (, ) ˆ F u v F ( u, v) = round Q u v (2.3) F( u, v ) merupakan koefisien DCT, Q( u, v ) adalah matriks kuantisasi dan Fˆ ( u, v ) adalah kuantisasi koefisien DCT dengan matriks kuantisasi. Gambar berikut[12] menunjukkan matriks kuantisasi Q( u, v ) berdasarkan hasil pembelajaran psychophysical yang bertujuan untuk memaksimalkan rasio kompresi dengan meminimalkan perceptual losses pada gambar yang dikompresi. Gambar II.2 menunjukkan Q( u, v ), untuk kuantisasi pada komponen luminance dan komponen chrominance. 9

16 11 10 16 24 40 51 61 12 12 14 19 26 58 60 55 14 13 16 24 40 57 69 56 14 17 22 29 51 87 80 62 18 22 37 56 68 109 103 77 24 35 55 64 81 104 113 92 49 64 78 87 103 121 120 101 72 92 95 98 112 100 103 99 (a) 17 18 24 47 99 99 99 99 18 21 26 66 99 99 99 99 24 26 56 99 99 99 99 99 47 66 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 (b) Gambar II.2 (a) Luminance Quantization (b) Chrominance Quantization. II.3.1.4 Komponen DC (Direct Current) Komponen DC (Direct Current) merupakan elemen pada sudut kiri atas, sedangkan yang lainnya merupakan koefisien yang mengandung informasi frekuensi yang dikenal dengan komponen AC (Alternating Current)[13]. Komponen DC (Direct Current) sebanding dengan nilai rata-rata pixel dari blok asal[13]. Definisi diatas dapat dilihat pada Gambar II.3 [13] DC DC Komponen DC Komponen AC Gambar II.3 Definisi komponen DC/AC untuk blok DCT 8x8. 10

Pemilihan komponen DC (Direct Current) sebagai tempat untuk menyisipkan watermark, didasarkan pada 2 hal berikut[14]: 1. mata manusia sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi pada koefisien frekuensi rendah. 2. komponen-komponen frekuensi tinggi sangat tidak sesuai untuk menyisipkan watermark dikarenakan kuantisasi. Berdasarkan kriteria tersebut komponen DC (Direct Current) dipilih sebagai tempat melekatkan pada watermark dengan tujuan meningkatkan robustness dari watermark, hal ini dikarenakan perubahan pada komponen DC (Direct Current) akan terlihat perbedaannya. II.3.2 Komponen AC (Alternating Current) Komponen AC (Alternating Current) merupakan salah satu bagian dari blok suatu gambar yang mencerminkan prediksi koefisien frekuensi dari komponen DC (Direct Current) terhadap blok-blok disekitarnya. Komponen AC (Alternating Current) merupakan komponen dengan frekuensi tinggi dan menengah, sehingga perubahan yang terjadi pada komponen AC (Alternating Current) tidak akan terlihat oleh mata manusia, hal ini dikarenakan mata manusia kurang sensitif terhadap frekuensi tinggi[5]. Berikut akan dipaparkan beberapa makalah yang menggunakan komponen AC (Alternating Current) untuk menyisipkan watermark. Pada umumnya watermark disisipkan pada frekuensi tengah komponen AC (Alternating Current) dengan tujun agar watermark lebih robust terhadap gangguan noise (derau). II.3.2.1 Embedding Robust Labels into Images for Copyright Protection Pada makalah ini dipaparkan metoda menyisipkan watermark ke dalam data berupa gambar dengan tujuan mengenali pemilik hak cipta dan pihak-pihak yang menjadi distributor resmi[23]. Watermark yang disisipkan tidak dapat dihilangkan, dideteksi keberadaannya oleh indera penglihatan manusia dan yang terpenting proses penyisipan watermark tidak memberikan efek yang besar pada kualitas gambar. 11

Proses penyisipan dilakukan pada gambar yang terdiri dari 3 komponen warna yaitu: Luminance (Y), 2 Chrominance ( I dan Q). Setiap pixel direpresentasikan dengan 3 dimensi (Y, I, Q) dimana setiap dimensi terdiri atas 8 bit. Setiap blok dibagi menjadi blok-blok. Kompresi JPEG memiliki 6 tahapan yaitu: normalisasi, transformasi DCT, kuantisasi, zig-zag scan, run-length encoding dan huffman coding. Karena metoda yang digunakan diterapkan setelah proses kuantisasi, maka 3 tahapan pertama yang akan digunakan untuk menyisipkan watermark. Pada proses normalisasi nilai komponen warna (pixel) dari suatu gambar berada pada rentang nilai tertentu, sebagai contoh antara -128 sampai dengan 127 untuk gambar dengan 24-bit. Sedangkan tahapan selanjutnya adalah transformasi DCT, pada transformasi DCT gambar dibagi menjadi blok berukuran 8 8 sehingga menghasilkan blok baru ( (, )) DCT sebagai berikut dengan (, ) = A( k) C i k ( i+ ) cos 2 1 16 Y k l dengan kl, 0..7 berukuran 8 8. Persamaan 1 Y k l C i k C j l y i j (, ) = (, ) (, ) [, ] kπ 4 i j. (3.1) 1 A( k ) = untuk k = 0, A( k ) = 1 untuk k 0 2 Kemudian setiap elemen dari blok baru dikuantisasi dengan persamaan berikut [, ] [, ] [, ] Y k l = YQ k l round qkl Persamaan 3.2 memberikan gambaran kompresi JPEG dengan proses yang bersifat lossy. Pemilihan tabel kuantisasi ( [, ])... (3.2) qkl menentukan jumlah yang dimampatkan dan kualitas gambar yang tidak dimampatkan. Standar JPEG merekomendasikan tabel kuantisasi luminance dan chrominance seperti pada Gambar II.2. yang didapatkan dari pembelajaran terhadap kemampuan penglihatan manusia. Untuk menentukan kualitas pemampatan, digunakan faktor kualitas untuk membuat skala dari tabel kuantisasi. 12

Pada proses pembalikan pemampatan, setiap elemen Y (, ) ( qkl [, ]) untuk mendapatkan perkiraan nilai ( Y( k, l )) Q k l dikalikan dengan. Proses terakhir, blok gambar y( i, j ) dikembalikan ke bentuk asal dengan melakukan invers 2D-DCT(IDCT): 1 y i j C i k C j l Y k l (, ) = (, ) (, ) [, ] 4 k l... (3.3) Prinsip dasar proses penyisipan dengan JPEG memiliki nilai kuantisasi yang bervariasi pada area koefisien frekuensi tengah, sehingga perubahan yang terjadi pada data gambar tidak akan tampak. Frekuensi pada area frekuensi tengah digunakan untuk menyisipkan watermark agar data gambar tampak seperti asli. Watermark disisipkan dengan menggunakan tiga elemen hasil kuantisasi dari blok yang saling berkaitan. Keterkaitan diantara ketiganya tersusun atas 8 pola (kombinasi) yang dibagi menjadi 3 kelompok: dua diantaranya untuk menyisipkan '1' atau '0' (pola yang valid) dan yang lain untuk pola yang tidak valid. Kriteria untuk menentukan valid atau tidak berdasarkan parameter MD sebagai contoh: beda nilai maksimum antara dua elemen dari lokasi yang dipilih dibuat sedemikian sehingga memenuhi nilai yang diharapkan (valid). Gambar III.1 dan Tabel III.1 memperlihatkan kemungkinan posisi terbaik penyisipan watermark. Tabel II.2 memperlihatkan kelompok 1, 0 dan pola yang tidak valid. Gambar II.4 Lokasi-lokasi yang mungkin untuk menyisipkan watermark. 13

Tabel II.1 Kemungkinan posisi penyisipan watermark. Tabel II.2 1, 0 dan pola yang tidak valid(invalid pattern). 14

II.3.2.2 Digital Watermarking: from Concept to Real-Time Video Applications Algoritma Koch-Zhao sebenarnya merupakan algoritma yang diterapkan pada media dijital dalam bentuk citra diam. Algoritma ini bekerja secara blok per-blok dengan ukuran 8 x 8 dalam domain Discrete Cosine Transform (DCT). Dengan melihat domain kerja algoritma ini, berarti algoritma Koch-Zhao ini memiliki kemiripan dengan metoda kompresi JPEG untuk citra diam. Hasil perbaikan algoritma Koch-Zhao ini diterapkan dalam video oleh[24] berdasarkan kemiripan setiap frame dari video seolah-olah merupakan sebuah citra diam. Penerapan algoritma watermarking ini pada stream video yang belum dilakukan kompresi. Setiap frame video dianggap sebagai sebuah citra diam. Komponen luminance dari frame/citra dibagi atas blok-blok dengan ukuran 8 x 8. Algoritma akan memilih sederetan blok-blok tergantung banyaknya bit informasi yang akan ditanamkan, kemudian dilakukan transformasi DCT pada setiap blok yang terpilih. Hasil transformasi berupa koefisien-koefisien DCT kemudian dilakukan kuantisasi untuk mengantisipasi kompresi terhadap stream video yakni MPEG-2 yang juga menerapkan prinsip yang hampir sama. Tahapan kuantisasi tersebut membagi koefisien DCT dengan sebuah bilangan bulat dalam sebuah matriks kuantisasi dibawah ini. Kemudian hasil kuantisasi dilakukan pengubahan beberapa koefisien untuk mengkodekan sebuah bit informasi. Kemudian dilakukan sebaliknya inverse DCT. 15

Tabel II.3 kuantisasi standard JPEG. 16 11 10 16 24 40 51 61 12 12 14 19 26 58 60 55 14 13 16 24 40 57 69 56 14 17 22 29 51 87 80 62 18 22 37 56 68 109 103 77 24 35 55 64 81 104 113 92 49 64 78 87 103 121 120 101 72 92 95 98 112 100 103 99 Dua komponen penting dalam algoritma ini adalah 1. posisi atau blok mana yang akan dilakukan watermark embedding. Pemilihan blok citra yang akan di-watermark dilakukan dengan sebuah kunci inisial untuk menghasilkan sederetan pseudo-random sehingga dapat ditentukan blok-blok mana yang dipilih; 2. pelaksanaan watermark itu sendiri. Pelaksanan watermark terhadap blok yang terpilih dengan mengubah sepasang koefisien DCT dari blok tersebut. Pemilihan koefisien dapat dilihat pada Gambar III.2 sesuai dengan tingkatannya yang dibagi atas beberapa sub-band. 16

Level 1 Level 2 Level 3 Public Gambar II.5 Pemilihan blok-blok untuk disisipkan watermark. Dengan adanya pembagian atas 4 sub-band tersebut maka algoritma ini dapat menanamkan paling banyak 4 buah watermark yang berbeda tanpa mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Pembagian ini menyediakan satu sub-band sebagai public watermark sisanya merupakan secret watermark. Seperti yang dikatakan sebelumnya, setiap blok yang terpilih akan dikodekan sebuah bit watermark ke dalamnya, dengan algoritma sebagai berikut. 1. nilai-nilai pixel dalam sebuah blok ditransformasi dengan DCT 2. mekanisme pendeteksian tepian (edge) diterapkan untuk menghindari distorsi pada host data yang di-watermark 3. sepasang koefisien DCT (a,b) dipilih berdasarkan sub-band yang diinginkan 4. koefisien yang terpilih dilakukan kuantisasi 5. menggunakan koefisien tersebut untuk menentukan daerah-daerah yang cocok untuk penanaman watermark. 6. tergantung pada nilai bit yang akan ditanamkan, bila ingin meng-encode bit 1 maka a b + d, sebaliknya encoding bit 0 maka a + d b. Dimana d merupakan tingkat noise atau noise margin yang dapat diatur-atur untuk menghindari efek degradasi kualitas pada sinyal aslinya dan juga meningkatkan robustness 7. koefisien yang telah diganti dikalikan dengan nilai kuantisasi sebelumnya, kemudian blok tersebut dilakuan inverse DCT. Demikian seterusnya sampai seluruh blok yang terpilih dilakukan hal yang serupa dari 1 7. 17

Perbedaan algoritma Koch-Zhao terutama terletak pada 2 dan 5 dalam menentukan apakah blok tersebut layak digunakan untuk watermark ataupun jika layak, maka berapa noise margin yang perlu untuk menghindari degradasi yang sangat kelihatan. Implementasi watermarking pada video dibagi menjadi 4 bagian perancangan yaitu: penyisipan watermark ke dalam frame-frame video, pembangkitan watermark yang diubah kedalam bentuk biner dengan algoritma Block Truncation Coding (BTC), pengungkapan watermark. Untuk file video yang digunakan merupakan video berformat.avi tanpa pemampatan. II.3.3 Pembangkitan Watermark Pembangkitan watermark merupakan proses dimana watermark yang akan disisipkan diubah ke dalam bentuk biner dengan menggunakan algoritma Block Truncation Coding (BTC). BTC sebenarnya merupakan salah satu teknik kompresi pada gambar grayscale dengan prinsip lossy[15]. Dalam pembangkitan watermark biner, gambar yang digunakan sebagai watermark dibagi menjadi blok-blok, di mana setiap blok terdiri dari m pixel dan setiap bloknya diproses secara terpisah[16]. Mean( μ ) dan standar deviasi( σ ) dihitung untuk setiap bloknya. Blok asal dikodekan kedalam bit( B ), dimana pixel dengan nilai lebih kecil dari mean diberi nilai '0' sedangkan pixel dengan nilai lebih besar diberi nilai '1' [16]. Blok-blok di-dekompresi berdasarkan 3 parameter μ, σ,b. Bit '0' dari B diberi nilai a dan bit '1' diberi nilai b, nilai a dan b ditentukan dengan persamaan berikut[16]: a = μ σ. b = μ + σ. q m q m q q. (2.4). (2.5) 18

q merupakan jumlah bit 1 pada B. Sebagai contoh penerapan BTC dapat dilihat pada Gambar II.4 berikut[16] 2 9 12 15 2 11 11 9 2 3 12 15 3 3 4 14 μ = 7.94 σ = 4.91 (a) 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 1 q = 9 (b) 2 12 12 12 2 12 12 12 2 2 12 12 2 2 2 12 a = 2.3 b = 12.3 (c) Gambar II.6 Contoh penerapan BTC ( μσ,,b) (a) asli (b) Bidang bit( B )(Rekonstruksi. II.3.4 Pengurutan Zig-Zag Pada proses watermarking yaitu penyisipan dan pengungkapan memerlukan pengurutan zig-zag sebagaimana yang dipergunakan dalam algoritma kompresi JPEG[12]. Pengurutan secara zig-zag bertujuan untuk membuat sebuah vektor yang menyatakan urutan koefisien DCT mulai dari koefisien DCT dengan frekuensi rendah sampai dengan koefisien DCT dengan frekuensi tinggi. Pengurutan zig-zag yang digunakan dapat dilihat pada Gambar II.5. Indeks pengurutan berjalan mulai dari koefisien paling kiri atas dan bergerak sesuai dengan arah anak panah pada Gambar II.5, sampai kemudian berakhir pada bagian paling kanan bawah dari matriks koefisien DCT. 19

Gambar II.7 Pengurutan secara zig-zag. II.3.5 Pengungkapan Watermark Pada proses pengungkapan watermark, hasil yang diperoleh tidak selalu sama dengan watermark yang disisipkan. Ketidaksamaan antara watermark yang diungkap dengan watermark yang disisipkan dipengaruhi oleh sederetan frame-frame dari video yang diberi watermark. Di mana nilai komponen warna pada frame berubah seiring dengan dilakukannya berbagai macam proses seperti: pengubahan komponen warna dari RGB ke komponen luminansi (YCbCr) serta pemampatan. Untuk mengatasi hal tersebut dan meningkatkan robustness dari watermark, maka digunakanlah perbaikan kesalahan (error correction), dalam tesis ini deteksi kesalahan diberlakukan atau digunakan hanya pada saat total bit yang tidak sama kurang dari 50% dari total bit keseluruhan. 20