PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak Domba. karena pakan utamanya adalah tanaman atau tumbuhan. Meski demikian domba

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Domba Bangsa Domba di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal Indonesia Domba Ekor Tipis

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

POLA PERTUMBUHAN BERDASARKAN BOBOT BADAN DAN UKURAN-UKURAN TUBUH DOMBA LOKAL DI UNIT PENDIDIKAN DAN PENELITIAN PETERNAKAN JONGGOL (UP3J)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

LOKAL PADA TIPE PRODUKSI SUSU S JONGGOL UP3 SKRIPSI PRIMA PUJI RAHARJO FAKULTAS PETERNAKAN T PERTANIAN BOGOR 2008

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H

KOMPOSISI FISIK POTONGAN KOMERSIAL KARKAS DOMBA LOKAL JANTAN DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SELAMA DUA BULAN PENGGEMUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Karakteristik Domba Lokal di Indonesia

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (tekstil) khusus untuk domba pengahasil bulu (wol) (Cahyono, 1998).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Kaur, Bengkulu. Gambar 1. Peta Kabupaten Kaur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT

TINJAUAN PUSTAKA Potensi Domba Lokal

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum)

PEWARISAN POLA WARNA MUKA PADA DOMBA GARUT DI PETERNAKAN TERNAK DOMBA SEHAT (TDS) KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR. SKRIPSI Ardhana Surya Saputra

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi

TINJAUAN PUSTAKA. Domba

PRODUKTIVITAS TERNAK DOMBA GARUT PADA STASIUN PERCOBAAN CILEBUT BOGOR

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba Ekor Tipis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

PENAMPILAN DOMBA LOKAL YANG DIKANDANGKAN DENGAN PAKAN KOMBINASI TIGA MACAM RUMPUT (BRACHARIA HUMIDICOLA, BRACHARIA DECUMBENS DAN RUMPUT ALAM)

MANAJEMEN PEMELIHARAAN

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

Rachmat Somanjaya 1, Denie Heriyadi 2, dan Iman Hernaman 2 JURNAL ILMU TERNAK, JUNI 2015, VOL. 15, NO

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN KELINCI LEPAS SAPIH PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE SKRIPSI BADRI YUSUF

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

II. TINJAUAN PUSTAKA

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

PENAMBAHAN DAUN KATUK

Pada kondisi padang penggembalaan yang baik, kenaikan berat badan domba bisa mencapai antara 0,9-1,3 kg seminggu per ekor. Padang penggembalaan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Chen et al., 2005). Bukti arkeologi menemukan bahwa kambing merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu, MSi. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgr.Sc.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

SIFAT FISIK DAGING DOMBA EKOR TIPIS JANTAN YANG DIBERI RANSUM DENGAN BERBAGAI LEVEL PENAMBAHAN KULIT SINGKONG SKRIPSI ADE IRMA SURYANI HARAHAP

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba

PENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

MATERI DAN METODE. Materi

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

BAB II TINJUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor : 2915/Kpts/OT.140/6/2011 (Kementerian Pertanian, 2011),

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

UKURAN DAN BENTUK SERTA PENDUGAAN BOBOT BADAN BERDASARKAN UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing

PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Indonesia masih sangat jarang. Secara umum, ada beberapa rumpun domba yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manajemen. Pembibitan sapi perah dimaksudkan untuk meningkatkan populasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Purbowati, 2009). Domba lokal jantan mempunyai tanduk yang kecil, sedangkan

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Sumba Timur terletak di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur

TINJAUAN PUSTAKA. sangat populer di kalangan petani di Indonesia. Devendra dan Burn (1994)

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang, kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Kejobong

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

EVALUASI PERTUMBUHAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus bimaculatus) YANG DIBERI PAKAN DENGAN CAMPURAN DEDAK HALUS SKRIPSI AMELIA L. R.

HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMA BUNTING, BOBOT LAHIR DAN DAYA HIDUP PRASAPIH KAMBING BOERKA-1 (50B;50K) BERDASARKAN: JENIS KELAMIN, TIPE LAHIR DAN PARITAS

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (Integrated Taxonomic Information System) adalah sebagai berikut :

Identifikasi Bobot Potong dan Persentase Karkas Domba Priangan Jantan Yearling dan Mutton. Abstrak

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

Transkripsi:

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

RINGKASAN AHMAD SALEH HARAHAP. D14104008. 2008. Pengaruh Umur terhadap Performa Reproduksi Induk Domba Lokal yang Digembalakan di Unit Pendidikan dan Penelitian (UP3) Jonggol. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Pembimbing Anggota : Ir. Sri Rahayu, M.Si. Domba lokal merupakan salah satu ternak potong yang selama ini banyak memberikan sumbangan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Domba lokal mempunyai keunggulan antara lain dapat beranak sepanjang tahun dan memiliki kemampuan beradaptasi tinggi dan prolifik. Produktivitas suatu peternakan dapat diketahui dari performa reproduksi induk domba. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh terhadap performa reproduksi induk domba lokal di Unit Pendidikan dan Penelitian Jonggol. Penelitian ini dilakukan di Unit Pendidikan dan Penelitian (UP3) Jonggol yang dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2007. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei dan pengamatan di lokasi serta wawancara kepada pegawai di UP3 Jonggol. Data yang diambil adalah data primer yang meliputi jumlah betina yang bunting, persentase induk yang bunting, jumlah betina yang melahirkan, umur ternak, tanggal beranak, kandang, jumlah anak yang dilahirkan, tipe kelahiran domba, rasio anak jantan dan betina, bobot lahir (BL) anak, mortalitas anak dan bobot sapih (BS) anak umur 2 bulan. Data yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan umur induk, jenis kelamin, dan tipe kelahiran. Kemudian data dianalisis secara deskriptif (rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman) dan uji-t student digunakan untuk mengetahui pengaruh umur induk, tipe kelahiran dan jenis kelamin anak terhadap bobot lahir dan bobot sapih anak. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa persentase induk yang bunting dari populasi induk yaitu sebesar 45,78%. Hasil pengamatan dari induk yang melahirkan memperlihatkan bahwa kelahiran tunggal 70,37%, kelahiran kembar dua 27,16% dan kelahiran kembar tiga 2,47%. Bobot lahir, bobot sapih, rasio jenis kelamin dan mortalitas anak secara umum adalah 1,96±0,56 kg, 5,67±1,81 kg, 49,53% : 50,47%, dan 21,50%. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa umur induk dan tipe kelahiran berpengaruh terhapap bobot lahir anak. Pada tipe kelahiran tunggal, BL anak dengan umur induk I 3 (2,42±0,62 kg) dan I 4 (2,26±0,56 kg) lebih tinggi dari pada BL anak dengan umur induk I 1 (1,82±0,54 kg), sedangkan BL anak dengan umur induk I 2 (2,00±0,51 kg) samadengan BL dengan umur induk I 1, I 3 dan I 4. Rataan BL anak pada kelahiran kembar dua tidak berbeda antara umur yang berbeda yaitu I 0, I 1, I 2, I 3 dan I 4. Pada umur induk I 1 rataan BL anak tipe kelahiran tunggal tidak berbeda dengan BL tipe kelahiran kembar dua. Rataan BL anak pada umur induk I 2, BL tipe kelahiran tunggal tidak berbeda dengan tipe kelahiran kembar dua. Pada umur induk I 3, rataan BL anak tipe kelahiran tunggal lebih tinggi daripada BL tipe kelahiran kembar dua dan tiga. Rataan BL anak pada tipe kelahiran kembar dua dan kembar tiga tidak berbeda antara umur induk yang berbeda. Begitu juga dengan rataan BL anak dengan umur induk I 4 yaitu rataan BL kelahiran tunggal berbeda dengan kembar dua dan tiga. Sedangkan jenis kelamin anak tidak mempengaruhi bobot lahir anak.

Rataan bobot sapih berdasarkan tipe kelahiran tunggal, BS anak dengan umur induk I 3 (4,03±2,96 kg) dan I 4 (5,47±1,45 kg) lebih besar dari pada BS anak dengan umur induk I 1 (4,03±0,98 kg), sedangkan BS anak dengan umur induk I 2 (2,00±0,51 kg) sama dengan BS dengan umur induk I 1, I 3 dan I 4. Rataan BS anak pada tipe kelahiran kembar dua tidak berbeda antara umur induk yang berbeda yaitu pada I 2, I 3 dan I 4. Pada umur induk I 2, BS tipe kelahiran tunggal tidak berbeda dengan tipe kelahiran kembar dua. Pada umur induk I 3, rataan BS anak tipe kelahiran tunggal) tidak berbeda dengan BS tipe kelahiran kembar dua. Begitu juga dengan rataan BS anak dengan umur induk I 4 yaitu rataan BS kelahiran tunggal tidak berbeda dengan kembar dua. Jenis kelamin anak tidak mempengaruhi bobot sapih anak. Mortalitas anak domba meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah anak sekelahiran. Mortalitas anak tertinggi terdapat pada kelahiran kembar tiga (83,33%) yang diikuti kembar dua (25%) dan tunggal (12,28%). Kesimpulan umum dari penelitian ini adalah performa reproduksi induk domba di UP3 Jonggol masih lebih rendah dibandingkan dengan bangsa domba tropis lainnya, sehingga perlu peningkatan manajemen untuk meningkatkan produktivitas domba. Kata-kata kunci : Domba Lokal, Induk Domba, Performa Reproduksi. ii

ABSTRACT The Effect of Age on Reproductive Performance of Local Ewes under Grazing Management in UP3 Jonggol Harahap. A. S., C. Sumantri and S. Rahayu The objective of this research was to investigate reproductive performance of ewes. This research was held in Jonggol Animal Science Teaching and Research Unit (UP3 Jonggol) from July until August 2007. Total of the ewes used in UP3 Jonggol were 308 heads with status, such as 141 pregnant and 167 not pregnant. Variables in this research were percentage of pregnant, lambing rate, birth weight, sex of lamb, birth type, weaning weight, and mortality of lamb. Data obtained were analyzed with descriptive analysis (means, standard deviation and coefficient variation) and t- student test. Lambing rate found at UP3 Jonggol was 57,49%. Birth weight was influenced by age of ewe and birth type. The single birth type has the biggest amount of birth weight. Weaning weight was influenced by age of ewes. The Best of birth weight and weaning weight of lamb found on age of ewe three years (I 3 ) with single birth type. Percentage of birth type in UP3 Jonggol were 70,37% single birth, 27,16% twins birth and 2,47% triplet birth. Sex ratio of lambs were 49,53% male : 50,47% female. Lamb mortality found at UP3 Jonggol was 21,50%. Keywords : Local Sheep, Ewes, Reproduction Performance.

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL AHMAD SALEH HARAHAP D14104008 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL Oleh AHMAD SALEH HARAHAP D14104008 Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 5 Mei 2008 Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP. 131 624 187 Ir. Sri Rahayu, M.Si. NIP. 131 667 775 Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr. NIP. 131 955 531

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara pada tanggal 14 Desember 1985. Penulis adalah anak ke tiga dari enam bersaudara dari keluarga Abdul Hakim Harahap dan Akhrini. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1997 di Sekolah Dasar Negeri 146272 Pasar Lama, Kecamatan Batang Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 1 Batang Angkola, Tapanuli Selatan dan pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN 3 Sipirok Tapanuli Selatan. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa IPB pada program studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor penulis aktif di FAMM AL AN AM dan DPM D serta di organisasi daerah yaitu Ikatan Mahasiswa Tapanuli Selatan (IMA TAPSEL).

KATA PENGANTAR Assalamualikum Wr.Wb. Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Umur Terhadap Performa Reproduksi Induk Domba Lokal yang Digembalakan di UP3 Jonggol. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Jumlah induk yang bunting, bobot lahir, jumlah anak yang dilahirkan dan bobot sapih merupakan salah satu indikator untuk melihat prestasi sutu induk domba pada suatu peternakan. Maka faktor-faktor ini perlu dipertimbangkan untuk perkembangan ternak selanjutnya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga tulisan ini berguna bagi semua pihak yang memerlukannnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini di masa yang akan datang. Penulis berharap agar skripsi ini tidak hanya sebagai pelengkap di perpustakaan, tetapi lebih dari itu dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, Mei 2008 Penulis

DAFTAR ISI RINGKASAN... ABSTRACT... LEMBAR PERNYATAAN... LEMBAR PENGESAHAN... RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Klasifikasi Domba... 3 Domba Ekor Tipis... 3 Domba Ekor Gemuk... 3 Domba Garut... 4 Reproduksi Domba... 4 Rasio Jenis Kelamin... 5 Tipe Kelahiran... 5 Bobot Lahir... 6 Mortalitas... 7 Bobot Sapih... 8 METODE... 9 Lokasi dan Waktu... 9 Materi... 9 Prosedur... 9 Peubah yang diamati... 10 Penentuan Umur... 10 Analisa Data... 11 HASIL DAN PEMBAHASAN... 13 Kondisi Umum Lokasi... 13 Status Reproduksi... 14 Tipe kelahiran... 15 Rasio Jenis Kelamin... 17 i iii iv v vi vii viii x xi xii

Bobot Lahir... 18 Bobot Sapih... 20 Mortalitas Anak... 23 KESIMPULAN DAN SARAN... 25 Kesimpulan... 25 Saran... 25 UCAPAN TERIMA KASIH... 26 DAFTAR PUSTAKA... 27 LAMPIRAN... 29 ix

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Pendugaan Umur Domba Berdasarkan Pergantian Gigi Seri Tetap... 11 2. Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Lingkungan di UP3 Jonggol... 13 3. Status Reproduksi Induk Domba di UP3 Jonggol... 15 4. Rataan Jumlah Anak Sekelahiran di UP3 Jonggol... 17 5. Rasio Jantan dan Betina Berdasarkan Umur Induk Domba... 17 6. Bobot Lahir Anak Berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran 18 7. Rataan Bobot Lahir Anak Berdasarkan Umur Induk dan Jenis Kelamin... 19 8. Bobot Sapih Anak Berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran 20 9. Rataan Bobot Sapih Anak Berdasarkan Umur Induk Dan Jenis Kelamin... 22 10. Jumlah Anak Yang Mati dan Persentase Kematian Anak... 23

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Jumlah Induk yang Beranak berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran... 16

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Tipe Kelahiran tunggal dengan kembar 2 pada Umur Induk I 1, I 2, I 3, dan I 4... 30 2. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Tipe kelahiran pada Umur Induk I 3 dan I 4... 30 3. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Umur Induk I 0, I 1, I 2, I 3 dan I 4 pada Tipe kelahiran kembar 2... 30 4. Uji-t Bobot Lahir Anak antar Umur Induk dengan Tipe Kelahiran Tunggal dan Kembar 2... 31 5. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Tipe kelahiran pada Umur Induk I 3 dan I 4... 31 6. Uji-t Bobot Lahir Anak antara Jantan dengan Betina pada Umur Induk yang berbeda... 32 7. Uji-t Bobot Lahir Anak Jantan pada Umur Induk I 1, I 2, I 3, dan I 4 32 8. Uji-t Bobot Lahir Anak Betina pada Umur Induk I 0, I 1, I 2, I 3, dan I 4... 33 9. Uji-t Bobot Sapih Anak Berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran... 33 10. Uji-t Bobot Sapih Anak pada Kelahiran Tunggal dengan Umur Induk yang berbeda... 34 11. Uji-t Bobot Sapih Anak pada Kelahiran Kembar 2 dengan Umur Induk yang berbeda... 34 12. Uji-t Bobot Sapih Anak Berdasarkan Umur Induk Dan Jenis Kela- Min... 35 13. Uji-t Bobot Sapih Anak Jantan dengan Umur Induk yang berbeda 35 14. Uji-t Bobot Sapih Anak Betina dengan Umur Induk yang berbeda... 36

PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak domba lokal memiliki peran penting dalam peternakan Indonesia. Ternak berfungsi sebagai penghasil daging untuk memenuhi dalam negeri, juga berpotensi untuk memasok pasar ekspor. Keunggulan dari domba lokal adalah prolifik, dapat beranak tiap tahun selama masa produktifnya dan bisa beradaptasi dengan lingkungan Indonesia. Tetapi ada beberapa kendala yang masih dalam pengembangannya, yaitu terutama rendahnya manajemen untuk meningkatkan produktivitas induk domba. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang mempunyai tingkat prolifikasi yang tinggi. Jumlah anak sekelahiran (JAS) per induk merupakan komponen penting dalam mengukur produktivitas domba. JAS mempengaruhi bobot total anak per induk pada saat penyapihan, sehingga keberhasilan induk dalam memelihara anak-anaknya sampai lepas sapih. Namun perlu diperhatikan bahwa daya hidup anak biasanya akan menurun seiring bertambahnya jumlah anak yang dilahirkan. Keberhasilan dari suatu peternakan bisa dilihat dari performa reproduksi ternak. Salah satu reproduksi kurang baik adalah perkawinan yang tidak tepat waktu yang disebabkan oleh kurangnya pejantan ataupun peternak tidak peduli terhadap tanda-tanda berahi yang timbul pada ternak yang dipeliharanya. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya upaya meningkatkan efisiensi reproduksi induk. Upaya dalam mengembangbiakan ternak domba adalah dengan didirikannya usaha pembibitan ternak domba. Salah satu tempat pembibitan ternak domba dengan dengan jumlah ternak yang banyak adalah Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol. Ternak yang dimiliki Unit Pendidikan dan penelitian Peternakan Jonggol adalah domba lokal dimana sistem pemeliharaannya digembalakan. Produktivitas ternak domba yang digembalakan berbeda dengan produktivitas peternakan yang dikandangkan ternaknya selama 24 jam. Oleh karena itu, perlu dilihat produktivitas domba yang digembalakan dengan melihat penampilan reproduksi induk domba. Data dasar reproduksi induk domba atau informasi yang perlu dikumpulkan adalah jumlah induk yang bunting, jumlah induk yang

melahirkan, jumlah anak yang dilahirkan, tipe kelahiran, jumlah anak yang mati, dan bobot lahir anak. Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh umur terhadap performa reproduksi domba di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. 2

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Ternak domba termasuk dalam kerajaan Animalia (hewan), filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mammalia (hewan menyusui), ordo Artiodactyla (hewan berkuku genap), family Bovidae (memamah biak), genus Ovis (domba) dan spesies Ovis Aries (domba yang telah didomestikasi) (Blakely dan Bade, 1991). Beberapa jenis domba yang dikenal di Indonesia tetapi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu domba ekor gemuk dan domba ekor tipis. Hardjosubroto (1994) menyatakan kedua jenis domba tersebut dianggap berasal dari bangsa yang sama. Domba Ekor Tipis Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia, dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, 80% populasinya ada di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ini mampu hidup di daerah yang gersang. Domba ini mempunyai tubuh yang kecil sehingga disebut domba sayur atau domba Jawa. Ciri lainnya yaitu ekor relatif kecil dan tipis, biasanya bulu badan berwarna putih, namun ada pula warna lain, misalnya belang-belang hitam di sekitar mata, hidung atau bagian tubuh lainnya. Domba betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan melingkar. Berat domba jantan dewasa berkisar 30-40 kg dan berat domba betina dewasa sekitar 15-20 kg (Einstiana, 1999). Domba Ekor Gemuk Domba ekor gemuk memiliki ciri-ciri khusus yaitu berbulu kasar, baik jantan maupun betina biasanya bertanduk, warna putih dan telinga sedang (Devendra dan McLeroy, 1982). Ekor yang gemuk merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan dalam bentuk lemak yang dapat dimanfaatkan jika terjadi kekurangan pakan. Pada saat banyak pakan, ekor domba ini penuh dengan lemak sehingga terlihat membesar. Namun, bila pakan kurang, ekor mengecil karena cadangan energinya dibongkar untuk mensuplai energi yang dibutuhkan tubuh. Panjang ekor normal 15-18 cm tulang vertebrae, berbentuk hurup S atau sigmoid. Domba ekor gemuk jantan unggul memiliki bobot badan yang dapat mencapai 50-70 kg, betina 25-40 kg dan rataan bobot potong 24 kg. Domba ini bersifat prolifik dengan selang beranak hanya 8-9 bulan, umur pertama kali beranak

antara 11-17 bulan dan dapat menghasilkan 2,34 anak sapihan pertahun (Devendra dan McLeroy, 1982). Domba Garut Domba Garut dikategorikan dalam dua tipe, yaitu tipe tangkas dan tipe pedaging. Domba jantan memiliki tanduk yang cukup besar, melengkung kearah belakang dan ujungnya mengarah kedepan sehingga berbentuk seperti spiral, sedangkan domba betina tidak bertanduk. Menurut Einstiana (2006), pola warna bulu domba garut di Margawati terdiri dari empat pola warna bulu, yaitu putih, hitam, cokelat dan kombinasi (dua warna dan tiga warna). Bobot badan domba priangan betina sekitar 35-40 kg, sedangkan bobot domba jantan mencapai 50-60 kg. Domba Priangan termasuk domba yang prolifik, interval beranak yang pendek dan jumlah anak yang dihasilkan pertahun rata-rata 1,7 ekor (Devendra dan McLeroy, 1982). Reproduksi Domba Reproduksi merupakan suatu proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup, dimulai sejak bersatunya sel telur dengan sel sperma. Hasil penggabungan kedua sel ini membentuk zigot. Zigot ini akan terus berkembang selama kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran anak. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses reproduksi yaitu jarak antar beranak, jarak antar melahirkan sampai bunting kembali (masa kosong), angka kebuntingan, rata-rata jumlah perkawinan per kebuntingan (Hardjopranjoto, 1995). Devendra dan McLeroy. (1982) melaporkan bahwa jenis domba Indonesia pada umumnya mempunyai sifat reproduksi yang baik, hal ini terlihat pada frekuensi melahirkan dan tingkat kelahiran kembar yang tinggi, serta adaptasinya baik. Toelihere (1985) menambahkan bahwa aktivitas reproduksi secara umum bisa berlangsung sepanjang tahun. Standarisasi persentase kebuntingan pada domba Garut yaitu sebesar 95% dari total induk yang dikawinkan (Heriyadi, 2007). Malewa (2007) menyatakan bahwa persentase beranak domba Donggala di daerah Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru secara berturut-turut adalah 51,41%; 55,33%; dan 57,25%. 4

Rasio Jenis Kelamin Sabrani et al. (1981) menyatakan bahwa rasio jenis kelamin ternak domba yang ada beberapa daerah antara jantan dan betina adalah sebagai berikut 43,86% : 46,95% untuk perbandingan di daerah Cirebon, 46,95% : 53,03% untuk perbandingan Bogor dan 45,66% : 54,34% untuk perbandingan di daerah Garut. Hasil penelitian Dudi (2002) rasio jenis kelamin anak domba priangan jantan lebih tinggi daripada anak domba betina yaitu 51,98% : 48,02%. Hasil penelitian Dudi (2002) rasio jenis kelamin anak domba priangan jantan dan anak domba betina yaitu 51,98% : 48,02%. Gatenby (1991) dan Wahyuzi (2005) menyatakan rasio jenis kelamin anak pada anak domba Texel adalah 1 : 1. Tipe Kelahiran Abdulgani (1981) menyatakan bahwa tipe kelahiran dapat digunakan sebagai kriteria umtuk menentukan tingkat kesuburan. Ternak kambing dan domba tingkat kesuburan atau fertilitas dicerminkan oleh keteraturan induk beranak kembar. Tipe kelahiran ternak domba terdiri dari tipe kelahiran tunggal dan kembar. Seekor induk mampu melahirkan satu, dua, tiga bahkan lebih dari tiga ekor anak dalam sekali beranak. Hasil penelitian Inounu et al., (1999), diperoleh rataan jumlah anak domba sekelahiran 1,77 ekor per induk, sementara Tiesnamurti (2002) menyatakan bahwa anak domba mempunyai 1,98 ekor per induk. Gatenby (1991) menyatakan bahwa rata-rata jumlah anak sekelahiran domba di daerah tropis sebesar 1,36 ekor per induk. Dimsoski et al., (1999) dan Inounu et. al., (1999) menyatakan faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran adalah genotipe, manajemen dan interaksi antara manajemen dengan paritas induk, bangsa induk serta pertambahan bobot badan induk. Adawiah (1993) melaporkan bahwa bertambahnya umur dan paritas induk, akan meningkatkan jumlah anak per kelahiran terutama pada induk berumur I 3 dan I 4 pada ulangan beranak kelima. Flushing pada domba betina bisa meningkatkan terjadinya kelahiran kembar (Blakely dan Bade, 1994). Persentase tipe kelahiran pada induk domba Garut tipe pedaging adalah untuk tipe kelahiran tunggal sebesar 34%, kelahiran kembar dua 49,5%, kelahiran kembar tiga 15,5% dan kelahiran kembar empat 1% (Erminawati, 2003). Hasil penelitian Inounu et al. (1999) diperoleh 44,5% kelahiran tunggal; 37,6 kelahiran kembar dua; 5

14,5% kelahiran kembar tiga; 3,1% kelahiran kembar empat dan 0,3% kelahiran kembar lima. Bobot Lahir Inounu et al. (1999) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan bobot lahir adalah bangsa, tipe kelahiran, umur domba, kondisi induk dan ransum tambahan untuk induk saat bunting. Anak domba dengan bobot lahir besar akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan anak domba yang bobot lahirnya kecil (Inounu et al., 1999 dan Dudi, 2002). Partodiharjo et al. (1983) menyatakan bahwa anak-anak domba yang lahir kembar tiga baik jantan maupun betina bobot lahirnya rendah, sifat fisiknya lemah, pembagian saat menyusu pada induk tidak teratur, kompetisi memperoleh susu induk sangat tergantung kekuatan fisik. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan anak domba tipe kelahiran tunggal mempunyai perkembangan janin pada rahim induk domba yang lebih baik daripada tipe kelahiran kembar 2 dan kembar 3. Hinch et al. (1983) menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara tipe kelahiran terhadap bobot lahir anak domba yang kemungkinan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam uterus untuk mendapatkan zat-zat makanan yang terbatas dari induk melalui plasenta. Dudi (2002) dan Inounu et al., (1999) yang menyatakan bahwa tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir anak. Penelitian Wahyuzi (2005) bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap bobot lahir anak domba Texel. Hal ini disebabkan oleh nilai keragaman yang tinggi. Rataan bobot lahir anak domba betina 3,61±1,691 kg dan anak domba jantan 2,86±1,098 kg. Hasil penelitian diatas berbeda dengan hasil penelitian Dudi (2002) yang menyatakan bahwa bobot jantan lebih tinggi daripada bobot lahir betina. Perbedaan ini bisa oleh sistem hormonal yang berbeda antara jantan dan betina. Hasil penelitian Inounu et al. (1999) melaporkan bahwa bobot lahir domba prolifik 3,43±1 kg. Heriyadi (2007) menyatakan bahwa standarisasi bobot lahir anak domba garut adalah 2,0-3,2 kg dan bobot lahir domba tropis Awassi yaitu 3,6 kg dan Blackhead Persian yaitu 2 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Rataan Rendahnya bobot lahir pada domba erat hubunganya dengan bobot induk yang rendah. Nafiu (2003) menyatakan bahwa bobot lahir anak domba yaitu 4,87±1,38 kg. Bobot erat hubungannya dengan bobot induk, jika bobot induk rendah biasanya bobot anak 6

domba yang dilahirkan rendah. Campbell et al. (2003) menyatakan bahwa bobot induk yang rendah berhubungan dengan manajemen pemberian pakan yang kurang baik. Mortalitas Tingkat kematian anak kelahiran kembar (24,5%) lebih tinggi dibandingkan anak kelahiran tunggal (3,9). Hal ini berhubungan dengan gangguan sifat keindukan pada saat kelahiran yang dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan saat kebuntingan. Pertumbuhan janin terjadi sangat pesat sekitar 70% pada enam minggu sebelum kelahiran. Pemberian makanan dengan kualitas dan kuantitas yang rendah pada periode ini menyebabkan induk menggunakan body reserve untuk mengimbangi pertumbuhan anaknya. Sehingga pada saat kelahiran, tubuh induk sangat lemah dan akan segera makan dan tidak memperhatikan anaknya (Putu, 1989). Tingkat kematian anak domba hasil penelitian Inounu (1996) yaitu sebesar 26,07%. Keragaman tingkat kematian anak dipengaruhi oleh interaksi antara genotipe dengan manajemen dan paritas induk. Pada paritas pertama induk mempunyai daya hidup anak 11% lebih rendah dibandingkan pada paritas kedua. Gatenby (1991) menyatakan bahwa kematian anak domba dipengaruhi oleh bobot lahir, umur induk, paritas induk, produksi susu, jumlah anak sekelahiran dan tingkah laku menyusu induk serta manajemen. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan bahwa tingkat kematian anak (mortalitas) didaerah tropis sebesar 20%. Gatenby (1991) menyatakan bahwa induk domba yang mempunyai anak per kelahiran yang lebih tinggi, maka tingkat kematian akan lebih tinggi dibandingkan dengan induk domba yang melahirkan tunggal. Tiesnamurti et al. (1985) melaporkan bahwa bangsa domba berpengaruh nyata terhadap kemampuan hidup anak saat dilahirkan. Pada penelitian yang sama yang dilakukan pada domba di pulau Jawa, didapatkan bahwa mortalitas paling tinggi ditemukan pada anak domba hasil persilangan domba ekor tipis dengan domba ekor gemuk (17%) dan paling rendah adalah pada domba ekor tipis. Bangsa dan jenis kelamin tidak mempengaruhi tingkat mortalitas dari lahir sampai umur sapih. Inounu et al. (1996) dalam studinya pada domba ekor tipis menunjukkan mortalitas yang tinggi sebagai akibat dari tingginya jumlah anak sekelahiran dan perbedaan lingkungan peternakan. Hal ini dapat dibuktikan pada stasiun percobaan di 7

daerah Garut, mortalitas anak domba lebih tinggi dibandingkan pada daerah pedesaan. Inounu (1999) menambahkan bahwa kematian prasapih pada anak domba sering terjadi pada umur antara 1-6 hari setelah kelahiran. Bobot Sapih Bobot sapih adalah bobot disaat anak domba mulai dipisahkan dari induknya pada umur yang paling muda. Bobot sapih pada domba Garut di Desa Sukawargi sebesar 11,6±2,00 kg (Wisnuwardani, 2000) dan Rataan bobot sapih domba prolifik hasil penelitian Inounu (1999) yaitu sebesar 13,12±4,33 kg. Heriyadi (2007) menyatakan bahwa standarisasi bobot sapih domba Garut sebesar 8,0-10 kg. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan bahwa bobot sapih domba tropis tipe Rainforest yaitu 8,4 kg, domba Deccani yaitu 7-9 kg dan domba Blackhead Persian yaitu 8-10 kg). Bobot sapih pada kelahiran tunggal lebih tinggi daripada kelahiran kembar (Dudi, 2002). Bobot sapih yang diperoleh dari hasil penelitian Dudi (2002) yaitu sebesar 11,05 kg. Hal ini bisa terjadi dikarenakan bobot lahir, pertumbuhan, lingkungan dan bangsa domba yang berbeda. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan bahwa bobot sapih anak dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur sapih dan umur induk. Bobot sapih selain ditentukan oleh bobot lahir yang merupakan akumulasi pertumbuhan embrio sampai fetus, juga tergantung pada produksi susu induk yang dihasilkan (Bell, 1984). Tiesnamurti et al., (1985) berpendapat bahwa bobot sapih dan pertumbuhan anak sampai disapih, sangat dipengaruhi oleh jumlah anak sekelahiran (JAS), tetapi pengaruh bangsa jenis kelamin dan umur induk tidak begitu mempengaruhi bobot sapih. Wahyuzi (2005) yang menyatakan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap bobot sapih anak domba. Hal ini diduga oleh tingginya koefisien keragaman. Nilai yang tinggi ini bisa disebabkan adanya silang dalam atau perkawinan sesama kerabat dalam satu bangsa. Inounu et al. (1999) melaporkan bahwa bobot sapih anak domba dipengaruhi oleh genotipe dan manajemen. Peningkatan manajemen ke arah yang lebih baik akan meningkatkan bobot sapih total per induk pada semua genotipe. Tiesnamurti et al. (2003) berpendapat bahwa manajemen pemberian pakan yang baik dan waktu penyapihan anak domba yang tepat akan memberikan manfaat positif untuk pertumbuhan anak. 8

METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan (UP3) Jonggol, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2007. Materi Ternak Ternak yang digunakan dalam penelitian adalah induk domba dengan total induk 308 ekor yang terdiri dari 141 ekor induk yang bunting dan 168 ekor yang tidak bunting serta anak domba yang berjumlah 107 ekor. Padang Rumput Padang rumput yang digunakan adalah padang rumput Brachiaria humidicola UP3 Jonggol. Luas UP3 Jonggol 169 hektar dengan rumput Brachiaria humidicola ditanami ± 55 hektar, Brachiaria decumbens dengan luas ±19 hektar. Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan adalah kandang koloni berjumlah 4 kandang yang terdiri 3 kandang untuk anak dan induk serta 1 kandang untuk jantan yang sudah dewasa. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan dengan kapasitas 15 kg untuk menimbang anak domba. Prosedur Ternak yang digunakan tidak diberi perlakuan khusus seperti pemberian pakan tambahan namun mengikuti manajemen dari pihak UP3 Jonggol. Kegiatan utama penelitian adalah pengambilan data reproduksi domba betina UP3 Jonggol. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan dan pengukuran yang dilakukan di lapang serta wawancara dengan pengelola UP3 Jonggol. Data yang dikumpulkan adalah jumlah populasi induk, jumlah domba betina yang bunting, jumlah domba betina yang melahirkan, tipe kelahiran, bobot lahir anak, umur induk yang ditentukan berdasarkan gigi, jumlah anak yang mati, jumlah anak yang disapih dan bobot sapih anak umur 2 bulan. Bobot lahir didapat dengan menimbang anak beberapa saat setelah anak dilahirkan 10 menit sampai 24 jam. Data yang diperoleh akan dibedakan berdasarkan umur induk, jenis kelamin dan tipe kelahiran.

Diagnosa induk yang bunting dilakukan dengan cara palpasi abdomen. Domba betina yang akan diagnosa kebuntingannya bisa dilihat dengan meraba abdomen dari domba betina, serta melihat ambing dari domba betina yang dewasa. Sedangkan induk yang melahirkan dan anak diberi nomor kalung untuk memudahkan identifikasi penyapihan anak. Peubah yang diamati : 1. Persentase Kebuntingan. Persentase kebuntingan dihitung dari jumlah induk yang bunting di bagi dengan jumlah total induk. 2. Jumlah Anak Sekelahiran. Jumlah anak sekelahiran adalah jumlah anak total yang dilahirkan oleh satu induk domba dalam satu kelahiran. 3. Bobot Lahir. Bobot lahir dihitung dari berat anak domba yang ditimbang setelah lahir. 4. Rasio Jenis Kelamin anak. Rasio jenis kelamin anak didapat dari perbandingan antara jumlah anak domba jantan dengan jumlah anak domba betina. 5. Tipe Kelahiran (TK). Tipe kelahiran ternak domba terdiri dari tipe kelahiran tunggal dan kembar. Seekor induk mampu melahirkan satu, dua, tiga bahkan lebih dari tiga ekor anak dalam sekali beranak. 6. Mortalitas anak. Mortalitas anak atau persentase kematian anak adalah banyaknya anak yang mati sampai masa sapih perjumlah total keseluruhan anak. 7. Bobot Sapih. Bobot sapih adalah bobot anak domba saat dipisahkan dari induknya. Campbell et al. (2003) menyatakan anak domba dapat disapih dari induknya umur 2-5 bulan. Penentuan Umur Domba Penentuan umur yang dilakukan adalah dengan cara melihat gigi dari domba yang akan diamati. Anak domba yang baru dilahirkan telah mempunyai dua buah gigi seri sulung. Pada umur satu bulan, gigi seri sulung telah lengkap (Ensminger, 2002). Pendugaan umur domba berdasarkan gigi tetap disajikan pada tabel 1. 10

Tabel 1. Pendugaan Umur Domba Berdasarkan Pergantian Gigi Seri Tetap Umur Jumlah Gigi Seri Tetap Kode Umur Kurang dari 1 tahun Belum ada gigi seri tetap I o 1,0 1,5 tahun Sepasang gigi seri tetap I 1 1,5 2,0 tahun Dua pasang gigi seri tetap I 2 2,5 3,0 tahun Tiga pasang gigi seri tetap I 3 3,5 4,0 tahun Empat pasang gigi seri tetap I 4 Lebih dari 4 tahun Gigi seri tetap aus serta mulai lepas I 5 Sumber : Ensminger (2002) Analisa Data Data reproduksi yang diperoleh dianalisis secara deskriptif (Gasperz, 1995), dengan menggunakan rataan, koefisien keragaman dan simpangan baku dengan rumus : X n i 1 n Xi SB n i 1 ( X keterangan : X = Rataan contoh X i n i n 1 = Rataan contoh ke-i = Jumlah contoh X ) SB = Simpangan Baku KK = Koefisienan Keragaman 2 KK= X SB (100%) Bobot lahir dan bobot sapih yang dibedakan berdasarkan umur induk, tipe kelahiran dan jenis kelamin anak dianalisa dengan menggunakan Uji-t student (Gasperz, 1995) dengan rumus : t X S 1 X 1 X 2 X 2 S 2 1 1 X 1 X s 2 n1 n2 11

keterangan : X 1 = Rataan contoh yang pertama X 2 X 1 X 2 = Rataan contoh yang kedua S = Simpangan baku antara contoh yang pertama dengan yang n 1 n 2 kedua = Jumlah contoh yang pertama = Jumlah contoh yang kedua 12

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi Lokasi penelitian Unit Pendidikan dan Penelitian (UP3) Jonggol terletak antara 106,53 BT dan 06,53 LS dengan ketinggian 145 m di atas permukaan laut. UP3 Jonggol berada di desa Singasari kecamatan Jonggol, kabupaten Bogor dengan batas-batas wilayah : sebelah Utara Kampung pasir, sebelah Barat Kampung Pangkalan Jemben, Sebelah Selatan kampung Pedes dan sebelah Timur Kampung Melati. Jarak lokasi penelitian dari kota Bogor sekitar ± 75 km. Unit Pendidikan dan penelitian peternakan Jonggol memiliki lahan peternakan seluas 169 hektar, terdiri atas padang rumput, bangunan kandang, kantor, laboratorium, gudang dan perumahan. Kondisi lingkungan UP3 Jonggol mengenai curah hujan, kelembaban udara dan suhu lingkungan bulan Juli dan Agustus 2007 terdapat pada Tabel 2. Kondisi di UP3 Jonggol ketika penelitian termasuk musim kemarau karena curah hujan yang rendah dan suhu lingkungan yang tinggi. Daerah UP3 Jonggol diberi pagar kawat pada batas tanah wilayah UP3 Jonggol dengan tanah di sekitar UP3 Jonggol. Pagar ini dibuat agar ternak milik UP3 Jonggol tidak keluar dari wilayah UP3 Jonggol dan ternak dari luar tidak bebas keluar masuk ke dalam wilayah UP3 Jonggol. Tabel 2. Rataan Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Suhu Lingkungan di UP3 Jonggol Bulan Juli dan Agustus 2007 Kondisi Umum Juli Bulan Agustus Curah Hujan (mm) 8,5 159 Kelembaban (%) 91,7 89,63 Temperatur Min ( 0 C ) 20,8 20,84 Temperatur Max ( 0 C ) 31,75 32,42 Sumber : Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol Suhu lingkungan di UP3 Jonggol yang tinggi akan mengakibatkan ternak domba bisa stres dan menurunkan konsumsi pakan sehingga menurunkan performa reproduktivitas ternak. Yousef (1985) menyatakan bahwa suhu kritis pada anak domba yaitu diatas 32 0 C dan suhu nyaman pada domba dewasa yaitu diatas 28 0 C.

Ternak di UP3 Jonggol Ternak di UP3 Jonggol terdiri dari domba, kerbau dan sapi. Populasi terbanyak adalah ternak domba yang digembalakan setiap hari yaitu sebanyak 611 ekor (308 betina dan 303 jantan). Domba diberi kandang untuk melindungi dari predator. Domba dikeluarkan pukul 10 pagi dan dimasukkan kembali ke kandang pukul 4 sore. Populasi Kerbau di UP3 Jonggol berjumlah 40 ekor. Kerbau tidak diberi kandang khusus dikarenakan kerbau di UP3 Jonggol ini masih termasuk liar. Sapi milik UP3 Jonggol berjumlah 3 ekor. Kondisi Padang Rumput Padang rumput yang dimiliki UP3 Jonggol terdiri atas Brachiaria humidicola, Brachiaria decumbens, rumput alam dan campuran legum. Areal pengembalaan dikelilingi dengan pagar kawat. Hal ini memudahkan pengamatan dan keamanan. Selain itu, terdapat beberapa pohon-pohon besar yang dapat digunakan untuk bernaung domba. Kondisi rumpur Brachiaria humidicola di padang rumput UP3 Jonggol pada waktu penelitian keadaannya kering. Hal ini dikarenakan terik matahari yang panas akibat musim kemarau atau padang rumput tersebut kekurangan zat hara. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ternak adalah kesehatan ternak, pelaksanaan program pencegahan penyakit ternak sangat penting karena dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar. Jenis penyakit yang banyak terdapat pada domba di UP3 Jonggol adalah cacingan. Tindakan yang dilakukan oleh pihak pengelola UP3 Jonggol adalah pemberian obat cacing dan antibiotik. Pemberian obat dilakukan dengan cara memberikan langsung kepada ternak yang terinfeksi cacing yaitu melalui oral (mulut). Status Reproduksi Status reproduksi suatu peternakan dapat menggambarkan produktivitas ternak dari peternakan tersebut. Status peternakan dapat dilihat dari jumlah dan persentase domba betina yang bunting dan yang tidak bunting. Status reproduksi induk domba di UP3 Jonggol dapat dilihat pada Tabel 3. 14

Tabel 3 memperlihatkan 45,78% domba betina yang bunting dan 54,22% tidak bunting. Persentase tersebut lebih rendah daripada standar persentase pada domba Garut yang masih domba lokal yaitu sebesar 95% dari total induk yang dikawinkan (Heriyadi, 2007). Hal ini disebabkan tidak adanya teknologi canggih dalam pemeriksaan kebuntingan domba ketika penelitian. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan dengan palpasi abdomen sehingga induk domba yang dapat dideteksi kebuntingannya induk dengan umur kebuntingan lebih dari tiga bulan. Pada UP3 Jonggol terdapat domba betina bunting yang berumur dibawah 1 tahun (I 1 ) yaitu sebanyak 8 ekor. Hal ini terjadi dikarenakan ternak digembalakan sehingga terjadi perkawinan antara pejantan dengan domba betina yang baru dewasa kelamin. Jumlah induk bunting terbanyak terdapat pada induk domba yang berumur I 4 yaitu sebanyak 78 ekor (25,32%). Tabel 3. Persentase Kebuntingan Induk Domba di UP3 Jonggol Umur Induk Bunting Tidak Bunting Total (ekor) n (ekor) % n (ekor) % I 0 8 2,60 - - 8 I 1 15 4,87 40 12,99 55 I 2 21 6,82 26 8,44 47 I 3 19 6,17 20 6,49 39 I 4 78 25,32 81 26,30 159 Total (ekor) 141 45,78 167 54,22 308 Keterangan : n = jumlah induk Jumlah induk yang melahirkan di UP3 Jonggol adalah sebanyak 81 ekor (57,49%). Persentase induk yang melahirkan di UP3 Jonggol lebih tinggi daripada hasil penelitian Malewa (2007) yang menyatakan bahwa persentase beranak domba Donggala di daerah Palu Timur, Palu Selatan dan Biromaru secara berturut-turut adalah 51,41%; 55,33%; dan 57,25%. Tipe Kelahiran Tipe kelahiran merupakan gambaran jumlah anak yang dilahirkan dari seekor induk domba. Jumlah anak yang berjumlah satu ekor disebut kelahiran tunggal dan lebih satu ekor anak disebut kelahiran kembar. 15

Gambar 1 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya umur induk kemungkinan untuk melahirkan anak kembar semakin besar. Kelahiran kembar tiga pada penelitian ini terjadi pada induk domba dengan umur I 3 dan I 4. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Adawiah (1993) yang melaporkan bahwa bertambahnya umur dan ulangan beranak induk akan meningkatkan jumlah anak sekelahiran terutama induk berumur I 3 dan I 4 pada ulangan beranak kelima. 25 20 Jumlah Induk 15 10 5 tunggal kembar 2 kembar 3 0 I 0 I 1 I 2 I 3 I 4 Umur Induk Gambar 1. Jumlah Induk yang Beranak berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran Hasil pengamatan induk domba yang beranak memperlihatkan bahwa kelahiran tunggal mempunyai persentase tertinggi (70,37%) daripada kelahiran kembar dua (27,16%) dan kelahiran kembar tiga (2,47%). Pada penelitian Erminawati (2003), induk domba Garut tipe pedaging diperoleh 34% kelahiran tunggal, 49,5% kelahiran kembar dua, 15,5% kelahiran kembar tiga dan 1% kelahiran kembar empat. Hasil penelitian Inounu et al. (1999) diperoleh 44,5% kelahiran tunggal; 37,6% kelahiran kembar dua; 14,5% kelahiran kembar tiga; 3,1% kelahiran kembar empat dan 0,3% kelahiran kembar lima. Tingginya kelahiran tunggal pada induk yang melahirkan bisa disebabkan karena tidak ada pelaksanaan flushing pada induk. Blakely dan Bade (1994) menyatakan bahwa flushing pada domba betina bisa meningkatkan terjadinya kelahiran kembar. Jumlah anak yang dilahirkan dari induk dipengaruhi oleh umur, pertambahan bobot badan induk, bangsa induk dan sistem manajemen (Dimsoski et al., 1999; Inounu et al., 1999). Rataan jumlah anak sekelahiran (JAS) dari peneletian ini sebesar 1,32 ekor. Rataan JAS ini lebih rendah dibandingkan hasil Inounu et al. (1999) yaitu 1,77 ekor, begitu juga JAS dari hasil penelitian Tiesnamurti (2002) yaitu 1,98 ekor. Rataan JAS 16

di UP3 jonggol juga lebih rendah daripada rata-rata JAS domba tropis yaitu sebesar 1,36 ekor per kelahiran (Gatenby, 1991). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran adalah genotipe, manajemen dan interaksi antara manajemen dengan paritas induk serta pertambahan bobot badan induk (Tiesnamurti, 2002). Tabel 4. Rataan Jumlah Anak Sekelahiran di UP3 Jonggol Umur Induk Rataan Jumlah Anak Sekelahiran (ekor) I 1 1,15 I 2 1,24 I 3 1,39 I 4 1,40 Rasio Jenis Kelamin Anak Rasio jenis kelamin anak adalah persentanse anak jantan dan betina. Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa jumlah anak betina lebih banyak daripada jantan dengan rasio kelahiran anak domba jantan dan betina yaitu 49,53% (n=53) : 50,47 (n=54). Menurut Sabrani et al. (1981) menyatakan bahwa rasio jenis kelamin ternak domba yang ada di beberapa daerah antara jantan dan betina adalah sebagai berikut; 43,86% : 56,95% untuk perbandingan daerah Cirebon, 46,95% : 53,03% untuk perbandingan daerah Bogor dan 45,66% : 54,34% untuk daerah Garut. Berbeda dengan hasil penelitian Dudi (2002) rasio jenis kelamin anak domba priangan jantan lebih tinggi daripada anak domba betina yaitu 51,98% : 48,02%. Gatenby (1991) dan Wahyuzi (2005) mendapatkan rasio jenis kelamin anak pada domba Texel adalah 1 : 1. Tabel 5. Rasio Jantan dan Betina berdasarkan Umur Induk Domba Umur Induk Jantan Betina Total N % n % n % I 0 - - 2 100 2 1,87 I 1 8 53,33 7 46,67 15 14,02 I 2 13 50 13 50 26 24,30 I 3 11 61,11 7 38,89 18 16,82 I 4 21 45,65 25 54,35 46 42,99 Total 53 49,53 54 50, 47 107 100 17

Bobot Lahir Bobot lahir anak merupakan salah satu faktor penting yang bisa memperlihatkan prestasi produksi dari seekor induk. Induk yang melahirkan anak dengan bobot lahir yang tinggi perlu dipertahankan untuk meningkatkan produktivitas dari peternakan tersebut. Bobot lahir lahir yang tinggi bisa memperlihatkan akan diperoleh bobot sapih yang tinggi pada anak domba. Informasi mengenai bobot lahir anak dapat dilihat dari Tabel 6. Tabel 6. Bobot Lahir Anak berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran Umur Induk Rataan Bobot Lahir Tunggal Kembar 2 Kembar 3 Total I 0 Rataan (kg) - 1,26 A ±0,42-1,26±0,42 n (ekor) - 2-2 KK (%) - 33,67-33,67 I 1 Rataan (kg) 1,82 Aa ±0,54 1,86 Aa ±0,63-1,83±0,54 n (ekor) 11 4-15 KK (%) 29,56 33,74-29,49 I 2 Rataan (kg) 2,00 ABa ±0,51 1,61 Aa ±0,33-1,85±0,48 n (ekor) 16 10-26 KK (%) 25,61 20,42-25,98 I 3 Rataan (kg) 2,42 Ba ±0,62 1,32 Ab ±0,44 1,47 b ±1,72 1,90±0,73 n (ekor) 9 6 3 18 KK (%) 25,50 33,24 11,70 38,43 I 4 Rataan (kg) 2,26 Ba ±0,56 1,76 Ab ±0,39 1,54 b ±0,19 1,97±0,53 n (ekor) 21 22 3 46 KK (%) 24,72 22,08 12,39 27,04 Total Rataan (kg) 2,13±0,58 1,65±0,43 1,51±0,17 1,90±0,56 n (ekor) 57 44 6 107 KK (%) 27,08 25,87 11,06 29,45 Keterangan : - Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) - Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Rataan bobot lahir secara umum adalah 1,90±0,56 kg. Bobot lahir anak domba di UP3 Jonggol lebih rendah daripada Inounu et al. (1999) yang melaporkan bahwa bobot lahir domba prolifik 3,43±1 kg, serta lebih rendah juga bobot lahir anak 18

domba Priangan pada penelitian Nafiu (2003) yaitu 4,87±1,38 kg. Bobot lahir anak di UP3 jonggol juga lebih rendah daripada standar bobot lahir domba Garut yang masih domba lokal Indonesia yaitu sebesar 2,0-3,2 kg (Heriyadi, 2007) dan lebih rendah dari bobot lahir domba tropis Awassi yaitu 3,6 kg dan Blackhead Persian yaitu 2 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Rendahnya bobot lahir pada domba milik UP3 Jonggol erat hubungannya dengan bobot induk yang rendah. Campbell et al. (2003) menyatakan bahwa bobot induk yang rendah berhubungan dengan manajemen pemberian pakan yang kurang baik dan Inounu et al. (1999) berpendapat induk domba dengan bobot yang rendah akan melahirkan anak dengan bobot lahir yang rendah juga. Rataan bobot lahir tertinggi terdapat pada induk domba yang mempunyai umur I 3 dengan tipe kelahiran tunggal yaitu sebesar 2,42±0,51 kg. Hasil analisis uji-t pada tabel 6 menunjukkan bahwa tipe kelahiran dan umur induk mempengaruhi bobot lahir anak domba. Hal ini terlihat adanya perbedaaan bobot lahir anak pada umur induk dan tipe kelahiran berbeda. Hasil ini sesuai dengan penelitian Dudi (2002) dan Inounu et al., (1999) yang menyatakan bahwa tipe kelahiran mempengaruhi bobot lahir anak. Perbedaan rataan bobot lahir dapat terjadi karena perkembangan janin yang berbeda dalam rahim induk. Devendra and McLeroy (1982) menyatakan anak domba tipe kelahiran tunggal mempunyai perkembangan janin pada rahim induk domba yang lebih baik daripada tipe kelahiran kembar 2 dan kembar 3. Adanya pengaruh antara tipe kelahiran terhadap bobot lahir anak domba kemungkinan disebabkan oleh adanya kompetisi dalam uterus untuk mendapatkan zat-zat makanan yang terbatas dari induk melalui plasenta (Hinch et al., 1983). Tabel 7. Rataan Bobot Lahir Anak berdasarkan Umur Induk dan Jenis Kelamin Umur Induk Jantan Betina Rataan n KK (%) Rataan n KK(%) I 0 - - - 1,26±0,42 2 33,67 I 1 2,03± 0,57 8 28,22 1,61±0,43 7 26,78 I 2 1,86±0,47 13 25,03 1,84±0,51 13 27,95 I 3 1,71±0,66 11 38,58 2,17±0,79 7 35,92 I 4 2,04± 0,54 21 26,72 1,92±0,53 25 27,59 Total 1,92±0,56 53 28,91 1,87±0,56 54 30,21 19

Hasil uji-t menunjukkan bahwa jenis kelamin pada penelitian ini tidak mempengaruhi bobot lahir anak. Hasil ini sesuai dengan penelitian Wahyuzi (2005) bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap bobot lahir anak domba Texel. Hal ini disebabkan oleh nilai keragaman yang tinggi. Rataan bobot lahir anak domba berdasarkan umur induk domba dan jenis kelamin anak ditampilkan pada tabel 7. Bobot Sapih Bobot sapih adalah bobot disaat anak domba mulai dipisahkan dari induknya. Bobot sapih anak menggambarkan produksi susu dari induk, biasanya produksi susu induk yang tinggi dapat menghasilkan bobot sapih anak yang lebih tinggi. Rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman bobot sapih domba lokal di UP3 Jonggol berdasarkan tipe kelahiran terdapat pada tabel 8. Umur Induk Tabel 8. Bobot Sapih Anak berdasarkan Umur Induk dan Tipe Kelahiran Tipe Kelahiran Tunggal Kembar 2 Total I 0 Rataan (kg) - 3,46 3,46 n (ekor) - 1 1 KK (%) - I 1 Rataan (kg) 4,03 A ±0,98 7,15 4,75±1,51 n (ekor) 6 1 7 KK (%) 27,02 31,71 I 2 Rataan (kg) 5,44 AB ±2,32 5,29 A ±1,22 5,58±1,62 n (ekor) 4 4 8 KK (%) 35,48 23,13 28,93 I 3 Rataan (kg) 7,81 B ±2,96 4,88 A ±2,09 6,58±2,24 n (ekor) 8 2 10 KK (%) 31,13 42,79 33,96 I 4 Rataan (kg) 5,47 B ±1,45 4,20 A ±1,04 5,67±1,67 n (ekor) 17 7 24 KK (%) 27,83 29,17 29,46 Total Rataan (kg) 5,95±1,90 5,01±1,42 5,67±1,81 n (ekor) 35 15 50 KK (%) 31,95 28,35 31,92 Keterangan : Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom yang sama adalah nyata (P<0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot sapih secara umum adalah 5,67±1,81 kg. Hasil ini lebih rendah dibandingkan bobot sapih domba Garut di desa 20

Sukawargi sebesar 11,6±2,00 kg (Wisnuwardani, 2000) dan rataan bobot sapih domba prolifik hasil penelitian Inounu (1999) yaitu sebesar 13,12±4,33 kg serta lebih rendah daripada standar bobot sapih domba Garut yaitu sebesar 8-10 kg. Bobot sapih anak di UP3 Jonggol juga lebih rendah dari bobot sapih domba tropis tipe Rainforest yaitu 8,4 kg, domba Deccani yaitu 7-9 kg dan domba Blackhead Persian yaitu 8-10 kg (Devendra dan McLeroy, 1982). Rendahnya bobot sapih anak di UP3 Jonggol disebabkan bangsa berbeda, umur induk, manajemen, dan pakan yang kurang baik serta waktu penyapihan yang berbeda. Inounu et al. (1999) melaporkan bahwa bobot sapih anak domba dipengaruhi oleh genotipe dan manajemen. Peningkatan manajemen ke arah yang lebih baik akan meningkatkan bobot sapih total per induk pada semua genotipe. Tiesnamurti et al. (2003) berpendapat bahwa manajemen pemberian pakan yang baik dan waktu penyapihan anak domba yang tepat akan memberikan manfaat positif untuk pertumbuhan anak. Rataan bobot sapih tertinggi pada tabel 8 berdasarkan tipe kelahiran terdapat pada tipe kelahiran tunggal yaitu sebesar 5,95±1,90 kg. Hal ini disebabkan bobot lahir individu yang tinggi dan ketika menyusu pada induk tidak ada persaingan antara sesama anak domba sehingga anak domba memperoleh susu induk secara optimal. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Dudi (2002) yaitu bobot sapih kelahiran tunggal lebih tinggi daripada kelahiran kembar. Berdasarkan uji-t terlihat pada tabel 8 bahwa umur induk mempengaruhi (P<0.05) bobot sapih anak. Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan bahwa bobot sapih anak dipengaruhi oleh umur sapih dan umur induk dan Inounu (1996) menyatakan bahwa bertambah dewasanya induk diiringi pula dengan meningkatnya kemampuan untuk merawat anaknya sehingga dihasilkan bobot sapih anak yang meningkat pada semua tingkat manajemen. Bobot sapih tertinggi tercapai pada paritas ke empat dan menurun kembali pada paritas ke lima. Bobot sapih selain ditentukan oleh bobot lahir yang merupakan akumulasi pertumbuhan embrio sampai fetus, juga tergantung pada produksi susu induk yang dihasilkan (Bell, 1984). Tetapi berbeda dengan Tiesnamurti et al., (1985) berpendapat bahwa bobot sapih dan pertumbuhan anak sampai disapih, sangat dipengaruhi oleh jumlah anak sekelahiran, tetapi pengaruh bangsa jenis kelamin dan umur induk tidak begitu mempengaruhi bobot sapih. 21

Hasil uji-t rataan bobot sapih tidak dipengaruhi oleh tipe kelahiran. Hal ini bisa disebabkan tidak ada perlakuan khusus kepada anak domba seperti pemberian pakan tambahan dan produksi susu yang mengakibatkan pertumbuhan anak tidak terlalu jauh berbeda. Tiesnamurti et al. (2002) menyatakan bahwa produksi susu mempengaruhi pertumbuhan anak prasapih. Tiesnamurti et al. (2003) berpendapat bahwa induk domba yang melahirkan kembar lebih dari tiga akan memproduksi susu yang lebih banyak untuk membesarkan anak-anaknya. Adakalanya anak domba dengan bobot lahir yang rendah bisa tumbuh dengan cepat. Dari pernyataan ini, anak domba yang lahir dengan pertumbuhan lebih cepat bisa menyamai bobot sapih pada anak domba yang berat sehingga mengakibatkan rataan bobot sapih pada anak domba antar tipe kelahiran dengan umur induk yang sama tidak berbeda. Hasil uji-t pada tabel 9 memperlihatkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi terhadap bobot sapih anak. Hal ini sesuai dengan penelitian Wahyuzi (2005) yang menyatakan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap bobot sapih anak domba. Hal ini diduga oleh tingginya koefisien keragaman sebesar 31,92 %. Nilai yang tinggi ini bisa disebabkan adanya silang dalam atau perkawinan sesama kerabat dalam satu bangsa, karena sistem perkawinan di UP3 Jonggol adalah perkawinan alam atau perkawinan pada ternak domba dengan manajemen yang kurang. Umur Induk Tabel 9. Rataan Bobot Sapih Anak berdasarkan Umur Induk dan Jenis Kelamin Jantan Betina Rataan n KK (%) Rataan n KK (%) I 0 - - - 3,46 1 - I 1 5,22±1,42 4 27,30 4,13±1,66 3 40,19 I 2 5,36±0,77 2 14,39 5,66±1,87 6 33,08 I 3 6,63±2,42 5 36,48 6,54±2,32 5 35,52 I 4 6,05±1,91 9 31,52 5,45±1,54 15 28,25 Total 5,96±1,84 20 30,90 5,47±1,79 30 32,73 22