ANALISIS HUBUNGAN DETERMINAN KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) PADA WANITA PENJAJA SEKSUAL (WPS)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 1, April 2014 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB I PENDAHULUAN. lagi dan diubah menjadi PMS (penyakit menular seksual) karena seiring dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual

BAB I PENDAHULUAN. melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus)

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi sexual transmitted disease. (STD) atau penyakit menular seksual (Fahmi dkk, 2014).

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN SUMBER INFORMASI DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS PADA REMAJA KOMUNITAS ANAK JALANAN DI BANJARMASIN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

BAB I PENDAHULUAN. masalah dunia karena melanda di seluruh negara di dunia (Widoyono, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

BAB I PENDAHULUAN. serta proses-prosesnya, termasuk dalam hal ini adalah hak pria dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seksual disebut infeksi menular seksual (IMS). Menurut World Health Organitation

BAB I PENDAHULUAN. kondisi inilah akan mudah terkena infeksi jamur. Keputihan yang terjadi

KUESIONER PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di

Jurnal Farmasi Andalas Vol 1 (1) April 2013 ISSN :

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG HEPATITIS B PADA DOKTER GIGI DI DENPASAR UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tubuh manusia dan akan menyerang sel-sel yang bekerja sebagai sistem kekebalan

ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MAHASISWA/ MAHASISWI TERHADAP INFEKSI MENULAR SEKSUAL DI UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

I. PENDAHULUAN. pasangan yang sudah tertular, maupun mereka yang sering berganti-ganti

PERAN CERAMAH TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG AIDS PADA SISWA KELAS XI SMK NEGERI 4 SURAKARTA SKRIPSI

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

ABSTRAK HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU KELOMPOK RISIKO TINGGI TENTANG HIV-AIDS DI KOTA BANDUNG PERIODE TAHUN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum

BAB I PENDAHULUAN sebanyak 1,1 juta orang (WHO, 2015). menurut golongan umur terbanyak adalah umur tahun dengan

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah berkembangnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Masalah HIV/AIDS yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. uterus. Pada organ reproduksi wanita, kelenjar serviks bertugas sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

FAKTOR-FAKTOR RISIKO KEJADIAN GONORE (Studi pada Pekerja Seks Komersial di Objek Wisata Pangandaran Kabupaten Ciamis Tahun 2009)

BAB 1 PENDAHULUAN. Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek

ABSTRAK PERBEDAAN PENGETAHUAN, SIKAP, PERILAKU SISWA-SISWI SMA NEGERI X DENGAN SMA SWASTA X KOTA BANDUNG TERHADAP INFFEKSI MENULAR SEKSUAL

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, makin banyak pula ditemukan penyakit-penyakit baru sehingga

BAB I PENDAHULUAN. menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama sel T CD-4

1. Pendahuluan FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GONORE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

OUT-OF-POCKET PASIEN HIV/AIDS RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA TAHUN 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit HIV/ AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acguired Immun Deficiency

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN WANITA PEKERJA SEKS DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN PAP SMEAR DI LOKALISASI SUNAN KUNING SEMARANG

TINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan remaja di perkotaan. Dimana wanita dengan pendidikan yang

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang 2)

BAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit HIV/AIDS dan penularannya di dunia meningkat dengan cepat, sekitar 60 juta orang di dunia telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

ANALISIS HUBUNGAN DETERMINAN KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) PADA WANITA PENJAJA SEKSUAL (WPS) Adius Kusnsan 1) 1) Fakultas Kesehatan Universitas Haluoleo Email : adius_kusnan@yahoo.com Abstract : Analysis of the Determinant Factors Related to the Prevalence of Sexual Infectious Infection Disease of the Prostitutes in Kendari, Bau-Bau and Muna year 2012 Town. Sexual infectious infection disease is a public health problem in indonesia and world wide because its effect is very broad viewed from health,politic,and socioeconomic. Failure in diagnosis and therapy in the early stage resulting in serious complications, for example, invertility, neonatal infection, and even death. The aim of the study was to analyze the factors relatedto the prevalenceof sexual infectious infection disease of the prostitutes in Kendari, Bau-Bau and Muna town. The study was a cross sectional study with the number of samples was 222 prostitutes. The variables studied were the use of condoms, knowledge of sexual infectious infection disease and AIDS, sexual intercouese method, frequency of intercourse, length of profession as prostitutes, and age.the results of the study indicate that there are four factors which have a close correlation with the prevalence of the sexual disease: age of the respondent < 29 years (p=0,001 < 0,05), respondents knowledge (p=0,001 < 0,05), sexual intercourse method (p=0,002 < 0,05), and frequency of sexual intercourse (p=0,016). It is recommended that the regional goverment improve the coordination with interrelated sectors, fund provision, intensive counseling about sexual infection disease and AIDS, increase health resources so that this disease will not be a problem for the public health. Keywords : Determinant factor, age and knowledge of the prostitunes Abstrak : Analisis Hubungan Determinan Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) Pada Wanita Penjaja Seksual (WPS). Penyakit infeksi menular seksual merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia bahkan di seluruh dunia, karena dampaknya sangat luas baik ditinjau dari segi kesehatan, politik, maupun sosial ekonomi. Kegagalan dalam diagonasis maupun terapi pada tahap dini mengakibatkan timbulnya komplikasi yang cukup serius, misalnya infertilitas, kematian janin, infeksineonatus, bahkan sampai menyebabkan kematian. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada WPS diwilayah Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna. Metode yang digunakan adalah studi potong lintang (cross sectional study), dengan sampel responden sebanyak 222 orang wanita penjaja seksual. Variabel yang diteliti adalah kegunaan kondom, pengetahuan tentang IMS dan AIDS, cara hubungan seksual, frekuensi hubungan, lama berprofesi, dan umur. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat angka 4 (empat) faktor yang sangat erat hubungannya dengan terjadinya penyakit infeksi menular seksual (IMS) yaitu faktor umur responden < 29 tahun (nilai P = 0,001<0,05), kurangnya pengetahuan bagi responden (nilai P=0,001<0,05) cara hubungan seksual (nilai P =0,002 <0,05) dan frekuensi hubungan seksual (nilai P=0,016). Untuk itu disarankan agar Pemda Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna meningkatkan koordinasi dengan lintas sektor terkait, menyediakan dana, meningkatkan penyuluhan, khususnya tentang penyakit IMS dan AIDS, meningkatkan sumber daya bidang kesehatan, sehingga penyakit IMS dan AIDS tidak menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat. Kata Kunci : Faktor Determinan : Usia dan pengetahuan WPS. 344

Kusnsan, Analisis Determinan Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual 345 Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat baik ditinjau dari segi kesehatan, politik, maupun sosial ekonomi. Dalam dekade terakhir ini, telah terjadi peningkatan insiden IMS dibanyak negara didunia. Kegagalan dalam diagnosis, maupun terapi pada tahap dini, mengakibatkan timbulnya komplikasi yang cukup serius, misalnya infertilitas, kehamilan ektopik, kematian janin, infeksi neonates, bayi dan berat badan lahir rendah, kanker anogenital, bahkan dapat menyebabkan kematian (Dep.Kes. 2003)¹. Pada saat ini diperkirakan terdapat sekitar 340 juta atau lebih penderita IMS yang meliputi penyakit sifilis, herpes genetalia, gonore, HIV/AIDS dan lain-lain. Dalam beberapa tahun terakhir ini terlihat adanya kecendrungan peningkatan prevalensi penyakit IMS diberbagai Negara termasuk Indonesia. Secara epideiologi penyakit ini tersebar diseluruh dunia, angka kejadian paling tinggi tercatat di Asia Selatan dan Asia Tenggara, diikuti Afrika bagian Sahara, Amerika Latin dan Karibean, terdapat hampir 50 juta IMS setiap tahunnya, diantaranya ialah HIV, virus herpes, human papilloma virus, dan virus hepatitis B. Diperkirakan jumlah orang dengan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilaporkan pada akhir tahun 2003 mencapai 90.000-130.000 orang. Sampai dengan bulan Deptember 2008, pengidap HIV positif sebanyak 6.015 kasus, sedangkan kumulatif kasus AIDS sebanyak 16.110 kasus atau terdapat tambahan 4.969 kasus baru selama tahun 2008, kematian karena AIDS hingga tahun 2008 sebanyak 3.362 kematian. Hal yang lebih memperihatinkan adalah tingginya persentase penderita pada usia produktif (53% kelompok usia 20-29 tahun dan sekitar 25% pada kelompok usia 30-39 tahun). Disamping itu telah terjadi pergeseran dalam cara penularannya yang semula oleh penyalagunaan narkoba suntik/injecting Drug User (IDU), sebagai faktor risiko utama penyebab HIV dan AIDS, kini kasus penularan HIV dan AIDS terbanyak (50,4%) melalui melalui heteroseksual sebesar (46,5%) dan (3,89%) homoseksual. Di Indonesia, dari data yang diambil beberapa RS bervariasi, di RS Dr.Sutomo, kasus uretritis = 25,22% dari total pederita IMS. Data tersebut diatas menujukan bahwa insiden gonore sangat bervariasi akibat pengaruh kondisi sosial budaya setempat, termasuk fasilitas pelayanan kesehatan (Dep.Kes.RI.,2003). Data Infeksi menular seksual (IMS) merupakan salah satu dari sepuluh penyebab pertama penyakit yang tidak menyenangkan pada dewasa muda laki-iaki dan penyebab kedua terbesar pada dewasa muda perempuan negara berkembang. Dewasa dan remaja (15-24 tahun) merupakan 25% dari semua populasi yang aktif secara seksual, tetapi memberikan konstribusi hampir 50% dari semua kasus IMS baru yang ditemukan. Berdasarkan data diri Dit.Jend. PPM & PL. Dep.Kes.RI, untuk pengidap HIV/AIDS di Indonesia sampai dengan maret 2005 telah ada di 31 Provinsi, dengan jumlah pegidap HIV 6.790 orang dari jumlah tersebut 3.121 orang telah menjadi pnderita AIDS. Diantara penderita itu, 776 orang telah meninggal (proporsi 24,86%) sedangkan estimasi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia tahun 2004 berkisar antara 90.000 sampai 130.000 orang, demikian juga angka penderita Sifilis pada Pekerja Sex Komersial di Indonesia telah meningkat sampai 10%, waria sebesar 35%, dan kelompok ibu hamil sebesar 2%⁷. Angka prevalensi IMS tahun 2001 di lndonesia diperkirakan mencapai lebih dari 100 ribu orang. Potensi tahun 2010 IMS mendekati I juta orang dan rentan terkena HIV serta yang akan meninggal karena AIDS sebanyak 100 ribu orang. Pada tahun 1991 kasus AIDS di lndonesia 12 orang, tetapi pada tahun 2001 menjadi 219 orang. Ini berarti terjadi kenaikan 20 kali dalam 10 tahun atau 2 kali setiap tahun Pedoman Hidup Sehat. Menurut Dr. Boyke Dian Nugraha, dari tahun ke tahun data remaja yang melakukan hubungan seks bebas tanpa menggunakan pengaman/ kondom semakin meningkat. Dari sekitar 5% pada tahun 1980-an, menjadi 20% pada tahun 2000. Kisaran angka tersebut, dikumpulkan dari berbagai hasil penelitian di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Palu, Banjarmasin bahkan Sulawesi Tenggara, pada tahun 2000 lalu tercatat remaja yang pernah melakukan hubungan seks pranikah mencapai 29,9%⁹. Subdin Pencegahan Penyakit (P2) Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara diperoleh informasi bahwa secara kumulatif

346 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 344-350 dari tahun 2004 hingga bulan oktober tahun 2012 di Sulawesi Tenggara telah ditemukan penderita HIV pada tahun 2009 HIV 10 orang dan AIDS 14 orang, tahun 2010 HIV 4 orang dan AIDS 10 orang, tahun 2011 HIV 17 orang dan AIDS 36 orang, sedangkan tahun 2012 HIV 38 orang dan AIDS 51 orang. Sedangkan distribusi menurut pekerjaan : wiraswasta (39%), ibu rumah tangga (30%), karyawan (11%), lain-lain (8%), PNS (6%), TNI/Polri (5%) dan pelajar (1%). Prevalensi kasus AIDS berdasarkan renking dari 12 (dua belas) kabupaten/kota sampai bulan oktober 2012, Kab. Muna termasuk urutan pertama 51 (26,6%), Kota Kendari 39 (20,3%) dan Kota Bau-Bau 27 (14,06%), selebihnya tersebar pada 9 (sebilan) kabupaten di Sulawesi Tenggara. Untuk dapat memahami masalah perilaku seks pada Wanita Pejaja Seks (WPS), dan faktor-faktor yang ada hubungannya, serta mencarikan upaya pemecahannya atau pencegahannya, maka perlu dilakukan suatu penelitian tentang faktor Determinan kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) pada Wanita Penjaja Seksual (WPS) di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012. Tujuan umum menganalisis faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada WPS di Wilayah Kota Kendari, Kota Bau- Bau dan Kab. Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Tujuan khusus menganalisis hubungan kejadian penyakit IMS pada WPS di Wilayah Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012 di tinjau dari faktor (penggunaan kondom, pengetahuan, cara hubungan seksual dengan pasangannya/pria penjaja seksusal, frekuensi hubungan seks, lama bekerja sebagai WPS, umur mulai WPS berprofesi). METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Jenis penelitian adalah observasional dengan pendekatan Cross Sectional Study. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 550 orang Wanita Penjaja Seksual (WPS) yang berada di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012. Pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 15 November 2012 sampai 15 Desember 2012, terbagi ata3 3 lokalisasi yaitu : Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012 dengan cara proportional simple random sampling yakni mengambil secara acak jumlah sampel penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah sampel. Pengumpulan data dilakukan dengan langkah langkah berikut: melakukan kunjungan ke lokalisasi untuk melihat keadaan dan memperoleh data yang sebenarnya, karena pada umumnya sering terjadi perpindahan WPS dari satu lokalisasi ke lokalisasi yang lain, identifikasi yang berhubungan dengan kriteria sampel yang telah ditetapkan sebelumnya. Analisis data, analisis univariat menyajikan distribusi dan frekuensi karakteristik subyek penelitian, analisis bivariat dilakukan untuk seleksi kandidat variabel yang akan ikut dalam analisis multivariat. Metode yang digunakan uji chi square, dan analisis multivariat untuk memperoleh hubungan antara pemakaian kondom dengan kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS). HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Analilis Univariat 1. Gambatan Karateristik Kasus Berdasarkan tingkat pendidikan frekuensi responden berpendidikan SD (48,2%), berpendidikan SLTP (42,3%), berpendidikan SMU (9,5%). Responden yang tidak pakai kondom sebanyak (33,3%), dan yang pakai kondom sebanyak (66,7%). Berdasarkan pengetahuan responden umumnya responden sudah tahu tentang IMS dan AIDS sebesar (65,8%), sedangkan yang tidak tahu sebanyak (34,2%). Cara hubungan seks WPS menunjukkan bahwa cara hubungan seks antara responden dengan Pria Penjaja Seks (PPS), secara normal (antara alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin wanita/hetero seks, adalah (77,5%), sedangkan yang secara tidak normal yaitu antara alat kelamin dengan

Kusnsan, Analisis Determinan Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual 347 mulut (oral seks), dan atau antara alat kelamin dengan anus/anal seks sebanyak (22,5%). Berdasarkan frekwensi hubungan seks dengan WPS menunjukkan frekuensi/jumlah pelanggan yang dilayani responden 1 s/d. 2 kali setiap minggu, sebanyak (61,3%), sedangkan tamu I pelanggan yang dilayani 3 orang setiap minggunya sebanyak (38,7%). Lama berprofesi sebagai WPS menunjukkan bahwa pada umumnya responden yang ada sudah < 3 bulan berprofesi sebagai WPS baik selama di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna, yaitu sebanyak (42,8%), sedangkan 3 bulan sebanyak (57,2%). Umur mulai berprofesi sebagai WPS menunjukkan bahwa responden yang berumur < 29 tahun sebanyak (43,2%), sedangkan yang berumur 29 tahun sebesar (56,8%). 2. Distribusi Kasus Menurut Variabel Utama Cara hubungan seks WPS menunjukkan bahwa cara hubungan seks antara responden dengan Pria Penjaja Seks (PPS), secara normal (antara alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin wanita/hetero seks, adalah tertinggi (77,5%), sedangkan yang secara tidak normal yaitu antara alat kelamin dengan mulut (oral seks), dan atau antara alat kelamin dengan anus/anal seks terendah sebanyak (22,5%). Sejalan dengan responden yang menggunakan kondom sebanyak (66,7%), sedangkan berdasarkan tingkat pendidikan frekuensi responden SMU (9,5%). Analisis Bivariat Hubungan penggunaan Kondom dengan kejadian Penyakit infeksi menular seksual/ims di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2012. Berdasarkan hasil Uji Chi Square pada df = 1 didapat 6,077 dan pvalue 0,014, atau x 2 hitung lebih besar dan x 2 tabel (6,077>3.842), maka Ha diterima, artinya ada hubungan antara pemakaian kondom dengan kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS). Berdasarkan hasil Uji Chi Square pada df = 1 didapat 32,992 dan pvalue = 0,000, berarti x 2 hitung lebih besar dari pada x 2 tabel (32,992>3,842). Hipotesis diterima jika x 2 hitung >x 2 tabel. Hasil uji ini menunjukan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian IMS. Hasil Uji Chi Square pada df = 1 didapat 25,412 dan p-value = 0,000. Apabila dilihat dari hasil uji tersebut, menunjukkan bahwa x 2 hitung lebih besar dari x 2 tabel (25,412 > 3,842). Hasil ini menunjukan ada hubungan antara cara hubungan seks yang dilakukan oleh responden baik secara normal maupun tidak normal (Hetero seks/oral seks/anal seks) dengan kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS). Hasil uji Chi Square pada df = 1 didapat 17,489 dan p-value = 0,000. Apabila dilihat pada tabel tersebut, ternyata x 2 hitung lebih besar daripada x 2 tabel (17,489> 3,842). Hal ini berarti ada hubungan frekuensi hubungan seks dengan kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS). Berdasarkan hasil uji Chi Square pada df = 1 didapat 10,782 dan p-value = 0,001 yang berarti x 2 hitung lebih besar daripada x 2 tabel (10,782>3,842). Hasil uji menunjukan bahwa ada hubungan antara lama responden berprofesi sebagai WPS dengan kejadian IMS. Berdasarkan hasil uji Chi Square pada df = 1 didapat 10,782 dan p-value = 0,001 yang berarti x 2 hitung lebih besar daripada x 2 tabel (10,782>3,842). Hasil uji menunjukan ada hubungan antara lama responden berprofesi sebagai WPS.Hasil Uji Chi Square pada df = 1 didapat 27,903 dan p-value = 0,000. Apabila dibanding dengan x 2 tabel (3,842), maka x 2 hitung lebih besar (27,903>3,842). Hasil ini menunjukan bahwa ada hubungan antara umur dari WPS dengan kejadian IMS dengan kejadian IMS. Analisis Multivariat Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hubungan serta kontribusi masing-masing variabel dependen terhadap variabel independent apabila dimasukan secara bersamaan. Pada tabel 21 memperlihatkan hasil uji logistik regresi, dimana variabel independen dengan nilai p-value < 0,05 saja yang dimasukkan kedalam model. Variabel umur dan

348 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 344-350 pengetahuan responden merupakan variabel yang paling besar kontribusinya terhadap kejadian IMS, sedangkan variabel cara hubungan seks dengan p = 0,002 dan frekuensi tamu dengan p = 0,016, tetap berhubungan secara bermakna terhadap kejadian IMS, walalupun kontribusinya lebih kecil dibanding dengan variabel umur dan pengetahuan. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukan dari 222 orang Wanita Penjaja Seksual (WPS) terdapat 52 orang (23,42%) WPS yang menderita Infeksi Menular Seksual (IMS) di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna tahun 2012, prevalensi IMS hampir sama dengan prevalensi di Indonesia antara (10-35%), (Dep.Kes.Rl, 1997). Namun lebih rendah bila dibanding dengan angka IMS yang ada, sebesar 47,5%. (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2010), termasuk data dari RS Umum Provinsi Sulawesi Tenggara, 2009, sebesar 52,87% dari seluruh penderita yang dirawat di Rumah Sakit. Hasil penelitian menunj ukkan meskipun lebih banyak pelanggan yang sering menggunakan kondom (66,7%), ternyata masih menderita IMS (23,42%). Demikian juga penelitian di Bali oleh Dewa, Wirawan dari Yayasan Kerti Praja dan Kathy Fored, et, al, University of Michigan, USA (2000), terjadi peningkatan pemakaian kondom dari 31% jadi 70%, angka prevalensi sifilis turun dari 14% menjadi 0,7%, dan prevensi gonore turun dari 63% menjadi 44%. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa angka pemakaian kondom di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna sistem pendistribusian kondom sudah berjalan baik, dan relatif lebih tinggi bila dibanding dengan penelitian di Denpasar yang hanya 32% saja pelanggan menggunakan kondom serta hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Merauke, Papua, hanya 10% saja kontak seks yang menggunakan kondom. Hasil penelitian ini melalui analisis bivariat dengan nilai p-value 0,000 dan membuktikan bahwa pengetahuan tentang IMS dan AIDS, ternyata mempunyai hubungan bermakna terhadap kejadian IMS. Hasil ini didukung dengan analisis multivariat dengan nilai p-value = 0,001 (lebih kecil dari 0,05), yang berarti pengetahuan mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian IMS. Hal ini dapat dipahami karena responden yang dapat memahami tentang IMS dan AIDS, tentu mereka tidak akan melakukan hubungan seks secara tidak normal, menjaga penularan penyakit dengan berupaya membujuk pelanggannya untuk menggunakan kondom, dan segera pergi beobat di fasilitas kesehatan atau ke dokter praktek jika ditemukan gejala IMS dan AIDS. Hal ini sesuai dengan penelitian di Denpasar, Bali, bahwa dengan intervensi pengetahuan yang intensif akan menurunkan secara signifikan angka IMS dan HIV/AIDS yaitu untuk prevalensi sifilis turun dari 14% menjadi 0,7%, dan prevalensi gonore turun dari 63% menjadi 44%. Bila peningkatan pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS diberikan secara intensif kepada WPS tentu akan medapatkan hasil yang positif yakni penurunan angka IMS. Hasil penelitian melalui analisis bivariat menunjukkan nilai p-value = 0,000, dan analisis muftivariat dengan nilai p-value = 0,002, yang berarti bahwa cara hubungan seks yang tidak normal atau secara anal/oral seks, hubungan secara heteroseks, ternyata mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian IMS. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa dari 222 sampel tersebut, hubungan seks secara tidak normal adalah dengan melalui anal seks sebanyak 4 orang (1,80%), dan oral seks sebanyak 48 orang (20,72%). Hal ini disebabkan karena mukosa pada kulit alat kelamin wanita baik pada mulut (oral), atau anal (dubur), sangat tipis sekali, sehingga mudah tejadi perlukaan (Dit.Jend.PPM & PL Dep.Kes.R.1, dalam AIDS untuk Petugas Kesehatan, 1998). Tingkat risikonya tergantung pada jumlah virus yang masuk kedalam tubuh seseorang seperti luka, perdarahan gusi atau penyakit gigi mulut atau pada alat genital (DepKes, 2001). Hasil penelitian melalui analisis bivariat dengan p-value = 0,000 dan pada multivariat, nilai p-value = 0,016 yang menunjukkan bahwa frekuensi hubungan seks mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian IMS di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna. Menurut pengakuan

Kusnsan, Analisis Determinan Kejadian Penyakit Infeksi Menular Seksual 349 responden bahwa berapapun jumlah tamu/pelanggan dan kapanpun tamu atau pelanggan tersebut mau berkencan padanya, tetap akan dilayani. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata setiap hari responden menerima pelanggan hanya 1 (satu) orang. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa responden yang menerima pelanggan > 3 orang sebanyak 86 orang (38,7%), sedangkan yang tidak tentu menerima pelanggan I s/d. 2 orang setiap minggu) sebanyak 136 orang (61,3%). Bila frekuensi hubungan seksual dengan responden kurang, maka tentu IMS dapat berkurang. Dengan demikian wajar saja bila dikatakan bahwa semakin banyak frekuensi hubungan seks yang dilakukan oleh responden, semakin tingginya kejadian IMS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam analisis bivariat nilai p = 0,001, berarti lama berprofesinya responden mempunyai hubungan dengan kejadian IMS. Namun setelah diuji bersama dalam analisis multivariat, nilai p-value menjadi 0,062, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna. Hal ini berarti masih ada faktor lain yang lebih dominan terhadap lama profesi responden tersebut, terutama faktor usia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bila responden yang sudah lama berprofesi ( 3 bulan), akan mengalami risiko sakit IMS sebesar 57,2%, sedangkan responden yang berprofesi kurang 3 bulan, akan menderita IMS sebesar 42,8%. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bing Wibisono,(1998), bahwa WPS yang lebih dari 3 bulan akan lebih banyak menderita IMS. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa baik dalam analisis bivariat nilai p- value 0,000, dan pada multivariat nilainya 0,001 atau ada hubungan yang bermakna antara usia dengan kejadian IMS. Artinya bahwa responden yang usianya < 29 tahun, akan lebih banyak menderita IMS dibanding dengan responden yang berusia > 29 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kelompok Studi Penyakit Menular Seksual Indonesia (KSPMSI),1998, bahwa kasus IMS umumnya pada wanita muda dan data dari Dit.Jend.PPM & PL Dep.Kes. (2003) menunjukkan bahwa 65% pengidap HIV di Indonesia adalah berusia 15-30 tahun. Demikian juga penelitian lain), membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat bermakna antara usia muda WPS dengan kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS). SIMPULAN Simpulan dari penelitian ini: 1. Penggunaan Kondom bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada WPS di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna, (nilai bivariat = 0,014, sedangkan pada multivariat = 0,124). 2. Pengetahuan tentang IMS dan AIDS, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada WPS di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna, (nilai pada bivariat = 0,000, sedangkan pada multivariat = 0,001). 3. Cara berhubungan seksual merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada WPS di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna, (nilai bivariat = 0,000, sedangkan multivariat = 0,002). 4. Frekuensi hubungan seksual merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada WPS di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna, (nilai pada bivariat = 0,000, sedangkan pada multivariat = 0,016). 5. Lama berprofesi bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada Wanita Penjaja Seksual (WPS) di Kota Kendari, Kota Bau-Bau dan Kab. Muna.(nilai bivariat = 0,001, sedangkan pada multivariat = 0,062). 6. Umur responden merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada WPS di Kota Kendari, Bau-Bau dan Kab. Muna (nilai bivariat = 0,000, sedangkan multivariat = 0,001). 7. Faktor hubungan determinan terhadap kejadian IMS pada WPS dari urut terbesar ke urut terendah adalah : Umur responden, pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS, cara hubungan seks, dan frekuensi hubungan seks.

350 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 344-350 DAFTAR RUJUKAN Dit.Jend. Dep.Kes.R.I. 1998, Petunjuk Pelaksanaan Konseling HIV/ AIDS, Jakarta. Dit.Jend. Dep.Kes.R.I. 2003, Estimasi Nasional Infeksi HIV pada Orang Dewasa Indonesia, Dep. Kes,. Jakarta. Dep.Kes. dan Kes.Sos R.I, 2001. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi HIV di Sarana Pelayanan Kesehatan, Dep.Kes.Jakarta.