PENGARUH INDUKSI HORMON equine Chorionic Gonadotrophin (ecg) TERHADAP KUALITAS SEMEN AYAM LOKAL (Gallus domesticus) (The Effect of ecg Hormone Induction on Semen Quality of Native Chicken) T. R. Tagama Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui kualitas semen ayam lokal akibat diinduksi dengan hormon ecg. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan induksi hormon ecg sebagai percobaan yaitu masing-masing untuk dosis 0 i.u. ( ); 20 i.u. (P 1 ); 40 i.u. (P 2 ); dan 60 i.u. (P 4 ) dan 6 kali ulangan. Jumlah sampel untuk percobaan ini sebanyak 24 ekor ayam jantan lokal (Gallus domesticus L.). Parameter yang diamati adalah volume semen, konsentrasi, abnormalitas, dan viabilitas spermatozoa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan P 2 memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap volume semen, konsentrasi, abnormalitas, dan viabilitas spermatozoa, sedangkan perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap seluruh peubah tersebut di atas. Pada masing-masing perlakuan, data volume semen adalah = 0,34; P 1 = 0,33; P 2 = 0,48; = 0,51 ml; data konsentrasi spermatozoa adalah = 2,55; P 1 = 2,58; P 2 = 2,88; = 3,11 x 10 9 spermatozoa; data motilitas spermatozoa = 80,21; P 1 = 82,38; P 2 = 86,10; = 86,65 %; data daya tahan hidup spermatozoa adalah = 48,50; P 1 = 48,61; P 2 = 49,92; = 50,86 jam; dan data abnormalitas spermatozoa adalah = 11,41; P 1 = 11,61; P 2 = 10,64; = 10,35 %. Kata kunci: ecg, ayam lokal, kualitas semen ABSTRACT The aim of this experiment was to learn the effect of ecg induction on semen quality of native cock (Gallus domesticus L.). A completely randomized design was used in this experiment. Twenty four cocks were assigned to four groups, and each group was induced by injection of ecg with dose of 0 i.u. ( ); 20 i.u. (P 1 ); 40 i.u. (P 3 ); and 60 i.u. (P 4 ) per head, respectively. The observation was made on volume semen, concentration, abnormality, and viability of spermatozoa. The results of experiment indicated that P 2 and P 3 treatments had the significant effect (P< 0.01) on volume semen, concentration, abnormality, and viability of spermatozoa, while and P 1 treatment had no significant effect (P>0.05) on all observed parameters. In each treatment, data of volume semen were = 0.34; P 1 = 0.33; P 2 = 0.48; and P 3 = 0.51 ml; data of sperm concentration were = 2.55; P 1 = 2.58; P 2 = 2.88; and P 3 = 3.11 x 10 9 sperm; data of sperm viability were = 48.50; P 1 = 48.61; P 2 = 49.92; and P 3 = 50.86 hours; and data of sperm abnormality were = 11.41; P 1 = 11.61; P 2 = 10.61; and P 3 = 10.35 %. Keywords: ecg, local cock, semen quality 201
PENDAHULUAN Potensi ayam lokal (Gallus domesticus) tidak dapat diabaikan. Penyebaran ayam lokal yang merata pada masyarakat pedesaan dengan tingkat pemilikan lebih dari 1 ekor per keluarga merupakan salah satu aspek penunjang dalam penyediaan protein hewani dari ayam lokal. Secara umum konsumsi daging pada tahun 1998 7,34 kg/kapita/tahun, telur sebanyak 2,6 kg, dan susu sebanyak 5,1 kg. Berarti pangan asal ternak baru memberi kontribusi protein sebanyak 5,2 g/kapita/hari, sementara kebutuhan protein ideal adalah 45 g/kapita/hari, yang terdiri atas protein hewani dan nabati. Secara khusus dilaporkan bahwa dari pola konsumsi pangan, persentase harapan energi dari pangan hewani 15,3 persen baru terpenuhi 3.5 persen. Mencermati informasi tentang belum terpenuhinya kebutuhan akan protein hewani masyarakat, maka peningkatan produktivitas ayam lokal mempunyai peluang yang sangat besar (Khomsan, 2002) Hingga saat ini peningkatan populasi ayam lokal sangat lambat dan jauh dari harapan, karena sistem peternakan yang dianut masih tradisional, berakibat pada rendahnya angka fertilitas. Kondisi tersebut antara lain dikarenakan sistem perkawinan pada umumnya masih secara alami, sehingga sangat memungkinkan terjadinya perkawinan inbreeding dalam persentase yang tinggi. Dampak langsung dari perkawinan inbreeding adalah munculnya gen-gen resesif yang merugikan, sehingga berakibat menurunnya kemampuan produksi, seperti pertumbuhan menjadi lambat dan produksi telur semakin menurun. Jika kondisi tersebut tidak diatasi, maka kebutuhan protein hewani yang berasal dari ayam lokal semakin sulit untuk terpenuhi, terlebih lagi dalam mengejar pertambahan jumlah penduduk yang selalu meningkat. Untuk mengatasi kondisi tersebut maka teknik inseminasi buatan merupakan pilihan terbaik, karena dapat mencegah terjadinya inbreeding. Teknik ini harus diawali dengan seleksi pejantan untuk peningkatan mutu genetik, yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas ayam lokal. Dalam melaksanakan inseminasi buatan diperlukan semen dari pejantan yang terseleksi kualitasnya. Sebagai salah satu solusi untuk peningkatan fertilitas sekaligus produktivitas ayam lokal adalah melalui perbaikan kualitas semen, dengan memacu proses spermatogenesis menggunakan hormon ecg, agar dihasilkan semen yang berkualitas, ditandai dengan meningkatnya volume semen dan konsentrasi spermatozoa. Ayam jantan unggul yang diinduksi dengan hormon ecg diharapkan merupakan gudang semen ('semen storage'), yang setiap saat siap untuk dimanfaatkan sebagai donatur dalam menginseminasi lebih banyak betina, sehingga peningkatan produktivitas ayam lokal dalam jumlah besar dapat menjadi kenyataan. MATERI DAN METODE Hewan percobaan yang digunakan sebagai sampel penelitian adalah ayam jantan lokal (Gallus domesticus) jantan sebanyak 24 ekor, kisaran umur 9 10 bulan, dan kisaran bobot badan 1950 2150 g. Penempatan sampel penelitian dalam kandang individu yang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Ransum penelitian terdiri dari 20% konsentrat, 20% jagung kuning, dan 60% dedak halus. Hormon ecg sebanyak 5 vial dengan kandungan per vial sebanyak 1.000 i.u. hormon gonadotrophin. Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah acak lengkap. Perlakuan yang dicobakan adalah dosis hormon ecg dengan rincian sebagai berikut: dosis 0 i.u. ( ); dosis 20 i.u. (P 1 ); dosis 40 i.u. (P 3 ); dan dosis 60 i.u. (P 4 ). Induksi hormon ecg dengan injeksi pada otot dada dilakukan hanya 1 kali. Untuk mengetahui pengaruh induksi hormon ecg terhadap aktivitas spermatogenesis, maka koleksi semen dimulai pada hari ketiga pascainduksi hormon ecg. Semen hasil koleksi dievaluasi secara makroskopik dan mikroskopik. Evaluasi makroskopik adalah untuk volume semen, sedangkan evaluasi mikroskopik meliputi konsentrasi, motilitas, abnormalitas, dan viabilitas spermatozoa. HASIL DAN PEMBAHASAN Volume Semen Rataan volume semen ayam lokal hasil koleksi ke 1 sampai dengan ke 12 pascainduksi hormon ecg tertera pada Tabel 1. Rataan volume semen ayam untuk sebanyak 0,34 ml; untuk P 1 sebanyak 0,33 202 J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(4) December 2004
Tabel 1. Rataan Volume Semen Ayam Perlakuan Volume Semen (ml) 0,34a P 1 0,33a P 2 0,48b P 3 0,51b a,b Huruf yang menyertai angka dalam kolom menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01). ml; untuk P 2 sebanyak 0,48 ml; dan untuk P 3 sebanyak 0,51 ml. Ternyata dari rataan volume semen untuk setiap perlakuan tersebut, terjadi peningkatan volume yang cukup nyata terutama untuk P 2 dibandingkan dengan, sedangkan rataan volume semen untuk lebih banyak 0,11 ml dibandingkan. Selisih volume semen antara P 2 dengan 0,14 ml, antara P 3 dengan 0,17 ml, sedangkan antara P 3 0,03 ml. Dari hasil analisis data melalui sidik ragam, terbukti bahwa induksi hormon ecg memberikan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01) terhadap volume semen. Dari uji jarak berganda Duncan, ternyata terjadinya peningkatan volume semen lebih tinggi (P < 0,01) untuk perlakuan P 2 dari. Pengaruh induksi hormon ecg dengan manifestasi terjadinya peningkatan volume semen terlihat dengan jelas pada perlakuan P 2 dan P 3,sedangkan untuk volumenya relatif stabil selama masa induksi hormon ecg. Tidak adanya peningkatan volume antara, menunjukkan bahwa induksi hormon ecg dengan dosis 20 i.u. belum mampu memacu secara nyata sel epitel dari organ reproduksi ayam jantan untuk mensekresikan plasma semen. Respon terlihat jelas pada ayam percobaan yang diinduksi dengan dosis ecg 40 dan 60 i.u. Kenyataan ini memperkuat laporan Widjajakusuma et al. (1999), bahwa untuk menginduksi ayam hutan hijau (Gallus varius) dengan hormon ecg minimal menggunakan dosis 40 i.u. Dilaporkan lebih lanjut bahwa penggunaan dosis induksi 40 i.u. mampu meningkatkan volume semen ayam hutan hijau 0,035 ml / ekor dibandingkan kontrol 0,025 ml / ekor. Kenyataan tersebut memperkuat laporan Lake (1971 dan 1984), Sturkie (1998), dan King (1993) bahwa aktivitas dari sel epithel testis, tubuli seminiferi, rete testis, vas efferent, epididymis, dan vas deferent pada ayam meningkat untuk mensekresikan cairan karena adanya rangsangan dari hormon testosteron. Testosteron yang disekresikan akibat stimulasi hormon ecg aktivitasnya menjadikan sel epitel menjadi hiperaktif dalam mensekresikan cairan untuk menambah volume semen. Cairan yang disekresikan tersebut merupakan salah satu sumber dari plasma semen unggas (Nalbandov, 1976; King, 1993; dan Etches, 1993 dan 1996). Konsentrasi Spermatozoa Pada Tabel 2 dipaparkan rataan data konsentrasi spermatozoa ayam lokal hasil koleksi semen yang ke 1 sampai dengan ke 12 pascainduksi ecg. Rataan konsentrasi spermatozoa ayam untuk 2,55 milyar; P 1 2,58 milyar; P 2 2,88 milyar; 3,11 milyar. Antara terjadi kenaikan konsentrasi spermatozoa 0,03 milyar, dan antara P 1 terjadi kenaikan 0,3 milyar; sedangkan antara P 2 dengan P 3 terjadi kenaikan 0,23 milyar. Jadi perbedaan konsentrasi tertinggi terjadi antara ke perlakuan P 3, yaitu masing-masing 0,56 dan 0,53 milyar spermatozoa. Mengamati data pada Tabel 2, maka tampak dengan jelas adanya kenaikan konsentrasi spermatozoa mulai perlakuan P 1, yaitu dengan dosis induksi hormon ecg 20 i.u., namun kenaikan konsentrasi yang tinggi mulai dosis 40 i.u. Hasil analisis data melalui sidik ragam menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01) akibat induksi hormon ecg terhadap konsentrasi spermatozoa. Hasil uji jarak berganda Duncan Tabel 2. Rataan Konsentrasi Spermatozoa Ayam Perlakuan Konsentrasi spermatozoa ( x 10 9 / ml ) 2,55a P 1 2,58a P 2 2,88b P 3 3,11b 203
ternyata untuk perlakuan P 2 (dosis 40 dan 60 i.u) peningkatan konsentrasi spermatozoa lebih tinggi (P < 0,01) dari. Untuk (dosis 0 dan 20 i.u.) konsentrasi spermatozoa relatif stabil selama masa induksi hormon ecg. Secara singkat dapat dikemukakan di sini, bahwa FSH eksogen sebagai fraksi dari ecg adalah hormon protein yang memasuki sel melalui reseptornya di membran sel dari kompartemen basal tubulus seminiferus. Setelah FSH berinteraksi dengan reseptor sel Sertoli, maka adenilat siklase merombak ATP menjadi camp untuk mengaktifkan protein kinase membentuk m-rna. Selanjutnya m-rna mensintesis enzim phosphorilase untuk mensekresikan steroid. Akhirnya steroid tersebut akan menstimulasi sel target yaitu sel gamet di membran sel sertoli memulai proses spermatositogenesis (spermatogonium menjadi spermatosit sekunder) atau mengalami proliferasi dan differensiasi, melengkapi pelepasan spermatozoa ('spermiation'), sekresi inhibin, memproduksi ABP, dan mengubah hormon testosteron dari sel Leydig menjadi dihydrotestosteron (Nalbandov, 1976; Hafez, 1987; dan Lamming, 1990). Banyaknya spermatogonia yang terpacu untuk berproliferasi sangat tergantung dari konsentrasi FSH yang melalui reseptor khusus kompartemen basal tubulus seminiferus. Hal ini dimafestasikan pada penelitian ini, bahwa dosis 40 dan 60 i.u. menunjukkan peningkatan konsentrasi yang sangat nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol ( ) dan (P 1 ) yang hanya mendapat dosis tanpa dan 20 i.u. hormon PMSG per ekor. Hasil yang dicapai pada induksi hormon ecg dengan meningkatnya konsentrasi spermatozoa, memperkuat laporan Zaneveld dan Chatterton (1982) bahwa hormon gonadotropin terutama FSH merangsang aktivitas fungsional dari tubulus seminiferus, khususnya proses proliferasi dan differensiasi sel spermatogonia, sedangkan ICSH memacu sel Leydig untuk memproduksi hormon testosteron, yang kelak bekerja secara sinergis. Lebih lanjut dilaporkan, bahwa FSH diperlukan untuk melengkapi proses spermatositogenesis, yaitu selama gelombang awal dari rangkaian proses spermatogenesis (dari spermatogonia hingga spermatid), sedangkan ICSH merupakan hormon pengatur utama untuk proses steroidogenesis pada sel interstitial atau sel Leydig yang dominan berperan pada tahap spermiogenesis (dari spermatid menjadi spermatozoa). Proses spermatogenesis pada ayam berlangsung selama waktu 12 15 hari (Sturkie, 1998; dan Etches, 1996) sampai menjadi spermatozoa yang siap diejakulasikan. Motilitas Spermatozoa Rataan data motilitas spermatozoa ayam lokal hasil hasil koleksi ke 1 sampai dengan ke 12 pascainduksi ecg tertera pada Tabel 3. Rataan motilitas spermatozoa untuk 80,21 %; P 1 82,38 %; P 2 86,10 %; dan untuk P 3 86,65 %. Antara dengan P 1 terjadi kenaikan motilitas 2,17 %; antara P 1 3,72 %; dan antara P 2 dengan P 3 0,55 %. Ternyata terjadi kenaikan motilitas yang tertinggi mulai terlihat perlakuan P 2 hingga P 3, sedangkan antara perlakuan P 1 dengan kenaikannya relatif tidak begitu tinggi. Hasil analisis data melalui sidik ragam, tampak bahwa induksi hormon ecg memberikan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01) terhadap motilitas spermatozoa ayam lokal. Dari hasil analisis jarak berganda Duncan, ternyata untuk perlakuan P 2 (dosis 40 dan 60 i.u.) motilitas spermatozoa lebih tinggi (P < 0,01) dari, sedangkan untuk (dosis 0 dan 20 i.u.) motilitas spermatozoanya relatif stabil. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa semakin tinggi dosis hormon ecg yang diinduksikan, maka semakin tinggi pula angka motilitas yang dicapai spermatozoa. Kenyataan yang diperoleh dari hasil penelitian ini memperkuat laporan Hafez (1980); Lamming, 1990; King, 1993; dan Etches, 1996), bahwa Tabel 3. Rataan Motilitas Spermatozoa Ayam Perlakuan Motilitas spermatozoa (%) 80,21a P 1 82,38a P 2 86,10b P 3 86,65b 204 J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(4) December 2004
hormon testosteron yang diikat ABP dalam bentuk steroid binding globulin, memasuki sel secara diffusi dan terikat pada reseptor spesifik di dalam inti sel, yaitu reseptor protein. Oleh DNA testosteron ditranskripsi menjadi m-rna yang selanjutnya akan ditransfer oleh t-rna ke ribosom sitoplasma, akhirnya terjadilah sintesis protein. Ditambahkan oleh Zaneveld dan Chatterton (1982), dan Hafez (1987), bahwa diffusi hormon testosteron terjadi selama proses pembentukan spermatozoa di dalam tubulus seminiferus hingga tahap maturasi di dalam epididymis. Protein yang disintesis dari stimulasi hormon testosteron di dalam inti sel mempunyai sifat anabolik, sehingga akan dimanfaatkan secara langsung untuk proses penyempurnaan membran plasma dan akrosoma. Spermatozoa yang mempunyai membran plasma dan akrosoma yang sempurna tersebut, mempunyai kemampuan optimal untuk mengabsorbsi zat nutritif yang berasal dari plasma semen yang disekresikan oleh sel sertoli dan sel epitel dari saluran reproduksi, sekaligus mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan memanfaatkan zat nutritif tersebut sebagai sumber enersi untuk motilitas. Sintesis protein yang terjadi pada bagian inti dari mitokondria secara langsung akan mempengaruhi semua fibril yang ada, karena mitokondria merupakan pusat metabolisme spermatozoa. Protein yang disintesis tersebut akan meningkatkan secara optimal kemampuan fibril besar untuk berkontraksi sebagai manifestasi dari motilitas pada area sepanjang fibril, dan fibril kecil aktif untuk menyampaikan impuls tentang kontraksi tersebut, sehingga kerja yang sinergis dari kedua tipe fibril tersebut meningkatkan motilitas secara nyata. Abnormalitas Spermatozoa Ayam Pada Tabel 4 dipaparkan rataan abnormalitas spermatozoa ayam lokal hasil koleksi semen ke 1 sampai dengan ke 12 pascainduksi hormon ecg. Rataan abnormalitas spermatozoa untuk perlakuan 11,41 %; P 1 11,61 %; P 2 10,64 %; dan untuk perlakuan P 3 10,35 %. Antara terjadi kenaikan abnormalitas spermatozoa 0,2 %; antara P 1 terjadi penurunan abnormalitas 0,97 %; dan antara P 2 dengan P 3 terjadi penurunan 0,29 %. Jadi penurunan abnormalitas spermatozoa terbesar terjadi pada perlakuan P 1 ke P 2. Tabel 4. Rataan Abnormalitas Spermatozoa Ayam Perlakuan Abnormalitas spermatozoa (%) 11,41a P 1 11,61a P 2 10,64b P 3 10,35b Data abnormalitas spermatozoa yang tertera pada Tabel 4, menunjukkan besaran angka abnormalitas spermatozoa berada dalam kisaran 10,35 11,61 %. Secara umum dilaporkan oleh Toelihere (1980), bahwa jika angka abnormalitas spermatozoa dari hasil koleksi semen masih berada dalam kisaran 10 20 %, maka semen tersebut masih layak untuk dikonservasi dan digunakan untuk inseminasi buatan. Mengacu pada pendapat yang telah penulis kutip di atas, berarti jumlah abnormalitas spermatozoa untuk ayam lokal perlakuan masih berada dalam kisaran normal, kecuali untuk Bearden dan Fuquay (2000) yang menentukan angka abnormalitas minimal dalam kisaran 8-10 %; sedangkan Hafez dan Hafez (2000 ) tidak boleh melebihi angka 20 persen. Hasil analisis data melalui sidik ragam menunjukkan, bahwa induksi hormon ecg memberikan pengaruh yang nyata (P < 0.05) terhadap terjadinya penurunan abnormalitas spermatozoa. Dari uji jarak berganda Duncan, ternyata abnormalitas spermatozoa lebih rendah untuk P 2 (P < 0,01) dari. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa induksi hormon ecg dosis 40 i.u. hingga 60 i.u. mampu menekan terjadinya abnormalitas spermatozoa ayam lokal. Adanya pengaruh nyata induksi ecg terhadap abnormalitas spermatozoa, membuktikan bahwa hormon testosteron yang disekresikan sel Leydig akibat stimulasi fraksi ICSH, mampu membentuk struktur spermatozoa normal, sehingga dapat menekan angka abnormalitas spermatozoa. Kenyataan tersebut memperkuat laporan Lamming (1990); de Reviers dan Williams (1984) bahwa pembentukan membrana plasma, akrosoma, dan ekor spermatozoa sangat tergantung pada aktivitas dari apparatus Golgi yang berada di dalam nukleus sel 205
Sertoli, dan aktivitas epididymis. Apparatus Golgi akan bekerja aktif jika ada rangsangan hormon testosteron, yang dengan mekanisme kerja sebagai hormon steroid memacu m-rna di dalam ribosoma sitoplasma mensintesis protein. Sifat anabolik dari protein yang disintesis tersebut sangat essensial dalam membentuk struktur spermatozoa yang normal dan sempurna. Lebih lanjut dilaporkan, bahwa jika konsentrasi ICSH yang menstimulasi sel Leydig rendah, maka fungsi sel Leydig tidak optimum untuk mensekresikan hormon testosteron, sehingga kondisi tersebut akan mengakibatkan proses pembentukan membran plasma, akrosoma, plasmalemma, dan ekor spermatozoa tidak sempurna. Manifestasi dari terganggunya proses tersebut adalah terbentuknya spermatozoa yang abnormal. Daya Tahan Hidup Spermatozoa Ayam Lokal Rataan data daya tahan hidup spermatozoa ayam lokal hasil koleksi semen yang ke 1 sampai dengan yang ke 12 pascainduksi hormon ecg dipaparkan pada Tabel 5. Rataan data daya tahan hidup spermatozoa ayam lokal untuk kelompok 48,50 jam; untuk P 1 48,61 jam; untuk P 2 49,92 jam; dan untuk P 3 50,86 jam. Perbedaan data antara 0,11 jam; antara P 2 1,31 jam; dan antara P 3 0.94 jam. Perbedaan yang cukup besar adalah antara P 3 dengan yaitu 2.36 jam, dan antara P 3 yaitu 2,25 jam. Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa induksi ecg memberikan pengaruh yang sangat nyata (P < 0.01) terhadap daya tahan hidup spermatozoa dari semen yang dikonservasi dengan NaCl fisiologis dan disimpan pada suhu 5 o C. Dari uji Jarak Berganda Duncan, ternyata daya tahan hidup spermatozoa untuk perlakuan P 2 lebih lama (P < 0,01) dari. Untuk daya tahan hidup spermatozoa pascakonservasi lebih singkat. Rataan data daya tahan hidup untuk kelompok masih berada dalam kisaran daya tahan hidup spermatozoa seperti yang dilaporkan oleh Sastrodihardjo et al. (1995) yaitu 48 jam untuk semen yang diencerkan dengan NaCl fisiologis. Selanjutnya dilaporkan, bahwa ternyata semen ayam lokal yang diencerkan dengan larutan Ringer s, Tabel 5. Rataan Daya Tahan Hidup Spermatozoa Ayam Lokal Pascainduksi Hormon ecg Perlakuan Viabilitas spermatozoa (jam) 48,50a P 1 48,61a P 2 49,92b P 3 50,86b dektrose 5 % dan NaCl fisiologis, Ringer s dan kuning telur, NaCl dan putih telur, daya tahan hidup spermatozoanya setelah semen disimpan pada suhu 5 0 C tidak menunjukkan perbedaan, yaitu 48 jam. Lebih lamanya masa daya tahan hidup spermatozoa yang disimpan secara in vitro dari kelompok P 2, menunjukkan bahwa kualitas spermatozoanya lebih baik dibandingkan dengan spermatozoa dari kelompok. Hasil ini secara nyata membuktikan bahwa hormon ecg dengan bipotensinya, selain dapat meningkatkan kuantitas yang tampak dari konsentrasi spermatozoa, juga pada kualitas yang antara lain dimanifestasikan dengan daya tahan hidup spermatozoa yang relatif lebih lama dibandingkan dengan kontrol. Indikasi yang dapat digunakan untuk mengetahui kualitas spermatozoa adalah memiliki struktur akrosoma dan plasmalemma yang sempurna, motilitasnya tinggi, serta abnormalitasnya rendah, mampu mempertahankan daya tahan hidup spermatozoa yang lebih lama. Dikemukakan oleh Lamming (1990), bahwa spermatozoa yang berkualitas baik harus mempunyai plasmalemma dan akrosoma yang sempurna, sehingga mampu untuk mengabsorbsi cairan yang disekresikan sel Sertoli sebagai zat nutritif, sedangkan permeabilitas plasmalemma yang tinggi diperlukan untuk mempertahankan diri dari terhadap perubahan ph, dan perubahan tekanan osmose dalam lingkungan spermatozoa. KESIMPULAN Induksi hormon ecg berpengaruh terhadap kualitas semen ayam jantan lokal, meliputi peningkatan volume semen, konsentrasi, motilitas, viabilitas (daya tahan hidup) spermatozoa, dan penurunan abnormalitas spermatozoa. Induksi 206 J.Indon.Trop.Anim.Agric.29(4) December 2004
hormon ecg 40 i.u. merupakan dosis yang paling baik dalam meningkatkan kinerja reproduksi ayam jantan lokal. DAFTAR PUSTAKA de Reviers, M., and J.B. Williams. 1984. Testes Development and Production of Spermatozoa in the Cockerel (Gallus domesticus). In: Reproductive Biology of Poultry. Edited by F.J. Cunningham, P.E. Lake, dan D. Hewitt. British Poultry Sci. Harlow. Etches, R.J. 1993. Reproduction in Domesticated Animal. C.J. King [ed] Elsevier Sci. Publ., B.V. Amsterdam. Etches, R.J. 1996. Reproduction in Poultry. Departement of Animal and Poultry Science, University of Guelph, Guelph, Ontario, Canada. Pp. 208-256 Hafez, E.S.E. 1980. Reproduction in Farm Animals. 4 th Ed. Lea dan Febiger, Philadelphia. Hafez, E.S.E.. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6 th. Ed. Lea dan Febiger, Philadelphia. Hafez, B. and E.S.E. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7 th. Ed. Lea and Febiger, Philadelphia. King, C.J. 1993. Reproduction in Domesticated Animals. Elservier Sci. Publ. B. V. Amsterdam. Khomsan. A. 2002. Mencegah Ancaman Ketahanan Pangan. Harian Umum Kompas, terbitan Rabu 10 Juli 2002. 28 Lake, P. E. 1971. The Male in Reproduction. In: Physiology and Biochemistry of the Domestic Fowl. Vol. 3. Edited by D. J. Bell and B.M. Freeman. Academic Press, London. Lake, P. E. 1984. The Male in Reproduction. In: Physiology and Biochemistry of Domestic Fowl. Vol. 5. Edited by B.M. Freeman. Academic Press, London. Lamming, G.E. 1990. Marshall s Physiology of Reproduction. Volume 2, Reproduction in the Animal. Churchil Livingstone, Edinburgh. Sastrodihardjo, S., S. Mihardja, K. Heruwatno, dan N. Hilmia. 1995. Pengaruh Macam Pengencer Semen dan Dosis Inseminasi terhadap Periode Fertil Spermatozoa, Daya Fertilitas, dan Daya Tetas Telur Ayam Buras. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi II, Puslitbang Bioteknologi LIPI, Bogor. Sturkie, P.D. 1998. Avian Phyisiology. 4 th ed. Springer-Verlag New York, Berlin, Heidelberg, Tokyo. Widjajakusuma, R., I. Supriatna, D.R. Ekastuti, dan N. Nurdiani. 1999. Induksi Spermatogenesis dan Evaluasi Spermatozoa Hasil Kriopreservasi Sebagai Kontribusi Potensial Preservasi Genetik Ayam Hutan Hijau (Gallus varius). Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zaneveld, L.J., and R.I. Chatterton. 1982. Biochemistry of Mammalian Reproductive. A Wiley- Interscience Publ. John Wiley and Son. New York. 207