BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keterbatasannya. Berdasarkan hal tersebut KDIGO mengajukan definisi AKI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Acute kidney injury (AKI) telah menjadi masalah kesehatan global di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

a. Cedera akibat terbakar dan benturan b. Reaksi transfusi yang parah c. Agen nefrotoksik d. Antibiotik aminoglikosida

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ginjal kronis (PGK) atau Chronic Kidney disease (CKD) menjadi

Gagal Ginjal Akut pada bayi dan anak

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Korelasi stadium acute kidney injury dengan kadar fosfat serum. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,

GAGAL GINJAL Zakiah,S.Ked. Kepaniteraan Klinik Interna Program Studi Pendidikan Dokter FKK Universitas Muhammadiyah Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal memiliki peranan yang sangat vital sebagai organ tubuh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis didefinisikan sebagai adanya infeksi bersama dengan manifestasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. nefrologi dengan angka kejadian yang cukup tinggi, etiologi luas, dan sering diawali

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PATOFISIOLOGI SINDROM NEFROTIK

BAB VI PEMBAHASAN. Selama penelitian bulan Januari 2010 Desember 2010 terdapat 77 neonatus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

Syok Syok Hipovolemik A. Definisi B. Etiologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tinggi pada manusia maupun hewan. Pada manusia, antara 20-30% dari pasien

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN OSTEOPOROSIS

M.Nuralamsyah,S.Kep.Ns

PENDAHULUAN. Dalam penatalaksanaan sindrom gagal ginjal kronik (GGK) beberapa aspek yang harus diidentifikasi sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Gagal ginjal adalah masalah kesehatan dunia. Prevalensi yang semakin meningkat, tingginya biaya, dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Desain penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan kohort prospektif.

I. PENDAHULUAN. mempertahankan homeostasis tubuh. Ginjal menjalankan fungsi yang vital

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

Hubungan Hipertensi dan Diabetes Melitus terhadap Gagal Ginjal Kronik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berkhasiat obat ini adalah Kersen. Di beberapa daerah, seperti di Jakarta, buah ini

Struktur Ginjal: nefron. kapsul cortex. medula. arteri renalis vena renalis pelvis renalis. ureter

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

biologi SET 15 SISTEM EKSKRESI DAN LATIHAN SOAL SBMPTN ADVANCE AND TOP LEVEL A. ORGAN EKSKRESI

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan umumnya bersifat irreversibel, ditandai dengan kadar

Created by Mr. E. D, S.Pd, S.Si LOGO

GANGGUAN GINJAL AKUT (GgGA)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan lambat. PGK umumnya berakhir dengan gagal ginjal yang memerlukan terapi

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Glomerulonefritis akut masih menjadi penyebab. morbiditas ginjal pada anak terutama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit

I. PENDAHULUAN. urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddarth, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) adalah

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit gagal ginjal adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana S-1. Disusun oleh : ELYOS MEGA PUTRA J FAKULTAS KEDOKTERAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

Gagal Ginjal Kronis. 1. Apa itu Gagal Ginjal Kronis?

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

BAB I PENDAHULUAN. sebagai organ pengeksresi ginjal bertugas menyaring zat-zat yang sudah tidak

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENYAKIT DEGENERATIF V I L D A A N A V E R I A S, M. G I Z I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

Sistem Ekskresi. Drs. Refli, MSc Diberikan pada Pelatihan Penguatan UN bagi Guru SMP/MTS se Provinsi NTT September 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peningkatan angka morbiditas secara global sebesar 4,5 %, dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Muhammadiyah Yogyakarta Unit Gamping. Data dikumpulkan pada bulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari tiga bulan, dikarakteristikan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Ginjal kiri letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan, berwarna merah keunguan.

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1

BAB I PENDAHULUAN. banyak pabrik-pabrik yang produk-produk kebutuhan manusia yang. semakin konsumtif. Banyak pabrik yang menggunakan bahan-bahan

BAB I PENDAHULUAN. dan 8 16% di dunia. Pada tahun 1999 berdasarkan data Global burden of

PERBEDAAN PENYEBAB GAGAL GINJAL ANTARA USIA TUA DAN MUDA PADA PENDERITA PENYAKIT GINJAL KRONIK STADIUM V YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSUD

EFEK EKSTRAK TANDUK RUSA SAMBAR (CERVUS UNICOLOR) TERHADAP KADAR UREUM DAN KREATININ TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS)

Vitamin D and diabetes

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Principle of Anatomy and Physiology, 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

HUBUNGAN TINGKAT ASUPAN PROTEIN DENGAN KADAR UREUM DAN KREATININ DARAH PADA PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. yang tinggi dan seringkali tidak terdiagnosis, padahal dengan menggunakan

Beberapa Gejala Pada Penyakit Ginjal Anak. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a IKA FK UWK

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PENGATURAN JANGKA PENDEK. perannya sebagian besar dilakukan oleh pembuluh darah itu sendiri dan hanya berpengaruh di daerah sekitarnya

BAB I PENDAHULUAN. negara karena serangan Jantung. Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian

Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic. Penyakit Ginjal Kronik pada Anak

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

Transkripsi:

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Stadium AKI 2.1.1 Definisi AKI Terdapat berbagai definisi AKI yang telah diajukan para ahli, dengan berbagai keterbatasannya. Berdasarkan hal tersebut KDIGO mengajukan definisi AKI untuk kepentingan praktis dan keseragaman dalam penelitian. Definisi AKI menurut KDIGO ialah salah satu dari kondisi berikut: 1. Peningkatan kreatinin serum 0,3 mg/dl dalam 48 jam; atau 2. Peningkatan kreatinin serum 1,5 kali nilai dasar, baik yang diketahui maupun diasumsikan terjadi dalam 7 hari; atau 3. Volume urin 0,5 ml/kgbb/jam selama 6 jam 2.1.2 Stadium AKI Stadium AKI dibagi berdasarkan dua parameter yaitu kadar kreatinin serum dan produksi urin. Kedua parameter tersebut dipakai dengan pertimbangan bahwa bila laju filtrasi glomerolus (LFG) tiba-tiba menjadi nol, maka peningkatan kreatinin serum tidak akan terdeteksi dalam beberapa jam, sedangkan produksi urin akan langsung terpengaruh. Berdasarkan hal tersebut, diagnosis AKI dibuat dengan menggabungkan parameter kreatinin serum dan produksi urin (KDIGO, 2012). Stadium AKI ditetapkan berdasarkan stadium yang paling berat dari parameter kreatinin serum dan produksi urin.

8 Tabel 2.1 Stadium AKI menurut KDIGO 2012 Stadium Kreatinin serum Produksi urin 1 1,5-1,9 kali nilai dasar atau Meningkat 0,3 mg/dl 0,5 ml/kgbb/jam selama 6-12 jam 2 2,0-2,9 kali nilai dasar 0,5 ml/kgbb/jam selama 12 jam 3 3,0 kali nilai dasar 0,3 ml/kgbb/jam atau Peningkatan kreatinin serum 4,0 mg/dl atau selama 24 jam atau Anuria selama 12 Inisiasi dari RRT atau pada pasien 18 tahun, terjadi penurunan LFG 35ml/menit per 1,73 m2 jam Yang dimaksud dengan nilai dasar kreatinin serum disini, ialah: 1. Kadar kreatinin serum terendah dalam 3 bulan terakhir yang tercatat dalam rekam medis pasien. 2. Bila kreatinin serum awal tidak diketahui, maka nilai dasar kreatinin serum ialah nilai terendah yang didapatkan setelah pengulangan pemeriksaan kreatinin serum dalam 24 jam, atau dapat juga menggunakan estimasi kadar kreatinin serum normal berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras seperti tercantum dalam tabel 2.2. 2.2 Penyebab AKI Penyebab terjadinya AKI secara patogenesis dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu: (1) penyakit yang mengakibatkan penurunan perfusi ke ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI prerenal); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI

9 renal/intrinsik) serta (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal). Sebagian besar penyebab AKI ialah prerenal (55%) diikuti oleh renal sebesar 40% serta pascarenal sebesar 5% (Thadani dkk., 1996). Tabel 2.2 Nilai dasar kreatinin serum normal berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras (Bellomo dkk., 2004) Umur (tahun) Pria (mg/dl) Wanita (mg/dl) kulit hitam non kulit hitam kulit hitam non kulit hitam 20-24 1.5 1,3 1,2 1,0 25-29 1.5 1,2 1,1 1,0 30-39 1.4 1,2 1,1 0,9 40-54 1,3 1,1 1,0 0,9 55-65 1,3 1,1 1,0 0,8 > 65 1,2 1,0 0,9 0,8 2.2.1 Penyebab Prerenal Penyebab AKI prerenal ialah efek sekunder dari hipoperfusi. Penyebab prerenal biasanya memiliki reversibilitas yang baik bila dikoreksi dengan cepat. Penyebab AKI prerenal di masyarakat paling sering oleh diare, muntah-muntah, demam tinggi dengan asupan cairan yang kurang. Penyebab AKI prerenal yang terjadi di rumah sakit paling sering oleh gagal jantung dan syok sepsis (Roesli, 2011; Emria, 2014). Berbagai penyebab AKI prerenal dapat dilihat dalam tabel 2.3. 2.2.2 Penyebab Renal Penyebab intrinsik pada proses renal dapat dikategorikan secara anatomi menjadi: tubuler, interstitial, glomerular, dan vaskuler. Analisis mikroskospis dari urin merupakan proses yang terintegrasi untuk menentukan lokasi kerusakan

10 nefron. Kerusakan tubuler biasanya muncul dalam manifestasi sebagai muddy brown cast granuler. Kerusakan interstitial dapat muncul sebagai pembentukan cetakan sel darah putih. Analisis mikroskopis dari proses glomerular dan kerusakan mikrovaskuler menunjukkan sel darah merah yang dismorfik. Acute tubuler necrosis (ATN) dapat disebabkan oleh paparan berkepanjangan dari proses prerenal (misalnya iskemik) atau oleh kerusakan langsung oleh toksin yang bersifat nefrotoksik (Lattanzio dan Kopyt, 2009). Berbagai penyebab renal dari AKI selengkapnya disampaikan dalam tabel 2.4. Tabel 2.3 Penyebab AKI prerenal (dimodifikasi dari Roesli, 2011) Mekanisme Kehilangan volume cairan tubuh Penurunan volume efektif pembuluh darah (cardiac output) Redistribusi cairan Obstruksi renovaskuler Vasokontriksi primer intra-renal Contoh Dehidrasi, perdarahan masif, kehilangan cairan melalui: gastrointestinal (diare, muntah); ginjal (diuretik, osmotik diuretik, insufisiensi adrenal); kulit (luka bakar, diaphoresis), peritoneum (drain pasca operasi) Infark miokard, kardiomiopati, perikarditis, aritmia, disfungsi katup, gagal jantung, emboli paru, hipertensi puulmonal, dll. Hipoalbumin (sindrom nefrotik, sirosis hepatis), syok sepsis, gagal hati, peritonitis, pankreatitis, rhabdomiolysis, obat-obatan vasodilator dll. Arteri renalis (stenosis intravaskuler, emboli), vena renalis (trombosis intravaskuler, infiltrasi tumor) NSAID, siklosporin, sindrom hepatorenal, hipertensi maligna, preeklamsia, skleroderma 2.2.3 Penyebab Pascarenal Sekitar 10% dari AKI disebabkan oleh penyebab pascarenal. Obstruksi saluran kencing bisa terjadi dimulai dari ureter, kandung kemih hingga urethra.

11 Obstruksi tersebut mengakibatkan peningkatan tekanan di dalam kapsula bowmen dan menurunkan tekanan hidrostatik sehingga terjadi penurunan LFG. Obstruksi ureter baik bilateral maupun unilateral dapat disebabkan oleh tumor (endometrium, servik, limfoma, metastase), sedangkan obstruksi kandung kemih atau urethra dapat disebabkan oleh tumor/hipertrofi prostat, tumor kandung kemih, prolap uteri, neurogenic bladder, bekuan darah serta obstruksi ureter (Roesli, 2011). Tabel 2.4 Penyebab AKI renal (dimodifikasi dari Thadani dkk., 1996) Mekanisme Nekrosis tubuler akut Nefritis interstitial akut Glomerulonefritis akut Oklusi mikrokapiler/glomerular Penyebab Obat-obatan (aminoglikosida, cisplatin, ampoteresin B), iskemia berkepanjangan, syok septik, obstruksi intratubuler (rhabdomiolysis, hemolisis, multiple mieloma, asam urat, kalsium oksalat), toksin (bahan kontras radiologi, karbon tetraklorid, etilen glikol, logam berat) Obat-obatan (penisilin, NSAID, ACE inhibitor, alupurinol, cimetidine, H2 blocker, proton pump inhibitor), infeksi (streptokokus, difteri, leptospirosis), metabolik (hiperurikemia, nefrokalsinosis), toksin (etilene glikol, kalsium oksalat), penyakit autoimun (SLE, cryoglobulinemia) Pascainfeksi (streptokokus, bakteri, hepatitis B, HIV, abses visceral), vasculitis sistemik (SLE, Wegeners granulomatous, poliartritis nodusa, Henoch-Sconlein purpura, IgA nefritis, sindrom goodpasture), glomerulonefritis membranoploriferatif serta idiopatik Trombotik thrombositopenia purpura, hemolitic uremic syndrom, disseminated intravasculer coagulation, cryoglobulinemia, emboli kolesterol

12 2.3 Diagnosis AKI 2.3.1 Diagnosis Klinis Pendekatan klinis untuk diagnosis AKI melalui prosedur rutin anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis dibuat secara komprehensif, mencakup penilaian faktor risiko untuk mengalami AKI, etiologi hingga komplikasinya. Risiko terjadinya AKI meningkat dengan adanya paparan terhadap bahan-bahan yang dapat menyebabkan AKI (misalnya: sepsis, luka bakar, obat nefrotoksik dll.) atau adanya berbagai faktor yang meningkatkan kerentanan seseorang untuk menderita AKI (seperti: dehidrasi, umur tua, pasien PGK, DM, penyakit kronis dll.). 2.3.2 Pemeriksaan Penunjang Diagnosis serta etiologi AKI memerlukan beberapa pemeriksaan laboratorium, radiologis serta penanda biologis (biomarker) baru. Aplikasi pemeriksaan laboratorium serta radiologis untuk membedakan etiologi AKI disampaikan dalam tabel 2.5. Tabel 2.5 Pemeriksan penunjang diagnosis untuk menentukan etiologi AKI (Agraharkar dkk., 2007; Lattanzio dan Kopyt, 2009) Parameter Prerenal Renal Pascarenal Rasio BUN: SC > 20:1 < 20:1 Faksi ekskresi natrium < 1 > 2 (%) Fraksi ekskresi dari < 35 > 35 ureum (%) Berat jenis urin > 1,020 1,010-1,020 Osmolaliritas urin > 500 mosm < 400 mosm Sedimen urin, tipe cast Bland, hyaline Granuler Red cell cast Sodium urin, meq/l < 20 > 40 USG Normal Normal Hidronefrosis, pielonefrosis

13 2.3.3 Diagnosis Banding Diagnosis banding AKI ialah kondisi akut pada PGK (acute on chronic kidney disease/ackd). Cara membedakan AKI dengan kondisi akut pada PGK dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang baik laboratorium maupun radiologis (tabel 2.6). Tabel 2.6 Perbedaan AKI dengan kondisi akut pada PGK (KDIGO, 2012) Penanda AKI Kondisi akut pada PGK/ACKD Kelainan patologi - + Penanda urinalisis RBC/casts + + WBC/casts + + RTE/casts + + Granuler cast kasar dan halus + + Proteinuria + + Penanda darah (sindroma tubuler) + + Radiologis Ginjal mengecil - + Hidronefrosis + + Kista - + Batu - + Riwayat transplantasi ginjal - + 2.4 Fosfat 2.4.1 Homeostasis Fosfat pada Kondisi Fisiologis Fosfat sangat penting untuk berbagai fungsi sel. Fosfat merupakan komponen DNA, membran lipid sel, sintesis energi, second messenger (inositol triphosphate; cyclic adenosine monophosphate/camp; cyclic guanosine monophosfate), proses fosforilasi protein, regulasi berbagai enzim serta aktivitas reseptor dalam tubuh (Juppner, 2011).

14 Fosfat total tubuh adalah 500-700 g, dan 85% terdiri dari kristal hydroxypatite pada tulang bersama-sama dengan kalsium, 15% terletak di kompartemen selular dan kurang dari 1% terletak di cairan ekstraselular seperti tampak pada gambar 2.1 (Mirza, 2010). Gambar 2.1 Homeostasis fosfat (Mirza, 2010) Fosfat dalam darah bebas dari pengikat protein dan ada dalam bentuk H2PO4, HPO4-2 dan PO4, sehingga fosfat yang beredar sering dinotasikan sebagai fosfat anorganik. Konsentrasi fosfat serum normal 2,8-4,5 mg/dl (0,9-1,5 mmol/l) dan dipertahankan melalui interaksi yang kompleks antara usus, ginjal, tulang dan kelenjar paratiroid (Kestenbaum dan Drueke, 2010). Absorpsi dan reabsorpsi fosfat terutama di intestinal dan ginjal. Konsumsi harian fosfat sekitar 800 mg - 1500 mg, dan 65% dari fosfat tersebut diabsorbsi di duodenum dan jejunum dan bervariasi sesuai dengan konsumsi fosfat melalui proses paraselular dan intraselular (Raina dkk., 2012). Proses intraselular di mediasi melalui type IIb natrium fosfat cotransporter (NPT2b) yang terdapat pada

15 vili usus halus. Jalur paraselular merupakan gradient-dependent atau transport pasif (gambar 2.2). Mekanisme kerja dari Npt2b pada usus halus ditentukan oleh jumlah asupan fosfat melalui makanan serta calcitriol/vitamin D. Calcitriol (1,25[OH] 2 D) menstimulasi co-transporter NPT2b, merupakan hormon utama yang mengatur absorpsi fosfat di usus. Kation, seperti kalsium, magnesium, dan aluminium, berikatan dengan fosfat di saluran cerna dan menghambat absorpsinya. Pada hewan dan manusia, diet tinggi fosfat menyebabkan eksresi cepat fosfat di urin, tanpa peningkatan kadar fosfat serum (Kestenbaum dan Drueke, 2010). Gambar 2.2 Absorpsi fosfat di usus (Blaine dkk., 2014) Ginjal merupakan organ utama yang mengatur homeostasis fosfat ekstraselular. Fosfat difiltrasi di glomerulus dan direabsorpsi di tubulus proksimal. Sekitar 85% reabsorpsi fosfat terjadi di tubulus proximal ginjal melalui proses intraselular (Raina dkk., 2012; Blaine dkk., 2014). Proses ini dimediasi oleh tiga sodium phosphate cotransporters: NPT2a, NPT2c dan PiT-2 yang terletak di

16 membran apikal dari sel tubulus proximal ginjal. Pada manusia NPT2a dan NPT2c memiliki peranan utama dalam reabsorpsi fosfat di tubulus proksimal. Dalam melakukan fungsinya ketiga sodium cotransporters tersebut menggunakan energi yang berasal dari perpindahan sodium melalui perbedaan gradien untuk memindahkan fosfat dari filtrate glomerolus kedalam sel tubulus (gambar 2.3). Jumlah fosfat yang direabsorbi tergantung dari banyaknya sodium phosphate cotransporters yang terletak di membran apikal sel tubulus proximal. Dalam keadaan normal, jumlah fosfat yang difiltrasi sama dengan jumlah fosfat yang diabsorpsi (Kestenbaum dan Drueke, 2010). Pada kondisi ginjal normal, diet tinggi fosfat menyebabkan penurunan aktivitas NPT2a dan NPT2c sehingga menurunkan reabsoprsi fosfat dari ultrafiltrasi glomerolus, sebaliknya pada diit rendah fosfat maka akan meningkatkan aktivitas NPT2a dan NPT2c sehingga meningkatkan reabsorpsi fosfat (Blaine dkk., 2014). Gambar 2.3 Absorpsi fosfat di ginjal (Blaine dkk., 2014) Hormon paratiroid (PTH) dan FGF-23 merupakan dua hormon fosfaturic utama yang bekerja pada ginjal dengan cara menekan aktivitas NPT2a, NPT2c

17 serta PiT-2 (Kestenbaum dan Drueke, 2010; Blaine dkk., 2014). Mekanisme kerja kedua hormon tersebut pada ginjal dijelaskan sebagai berikut. Pada kondisi penurunan LFG baik pada AKI maupun PGK maka akan terjadi peningkatan kadar fosfat, yang akan menstimulasi pelepasan hormon PTH dari kelenjar paratiroid (gambar 2.4). Peningkatan kadar PTH akan menyebabkan penurunan jumlah NPT2a dan NPT2c pada membran basal tubulus proximal, yang akan menyebabkan peningkatan ekskresi fosfat lewat urin (Blaine dkk.,2014). Gambar 2.4 Peranan PTH dalam homeostasis fosfat bila terjadi penurunan LFG (Blaine dkk., 2014) 2.4.2 Fosfat pada AKI Pada kondisi penurunan LFG seperti pada AKI dan PGK, peningkatan kadar fosfat yang terjadi juga akan merangsang sel osteosit tulang untuk meningkatkan produksi FGF-23 (gambar 2.5). Fibroblast growth factor 23 memerlukan kofaktor kloto di ginjal dan mengaktifkan FGF reseptor 1. Selanjutnya FGF-23-kloto

18 menurunkan aktivitas NPT2a dan NPT2c di tubulus proximal, sehingga menurunkan reabsorpsi fosfat serta meningkatkan ekskresi fosfat lewat urin. Peningkatan kadar FGF-23 serum juga menurunkan kadar 1,25 (OH)2 D (calsitriol) dengan cara menekan aktvitas 1α-hydroxylase yang berfungsi untuk sintesis calsitriol serta meningkatkan aktivitas enzim 24-hydroxylase yang berfungsi meningkatkan degradasi calcitriol. Penurunan kadar calsitriol akan menurunkan absorpsi fosfat di usus. Sehingga dengan meningkatkan ekskresi fosfat urin dan menurunkan absorpsi fosfat di usus halus, maka peningkatan kadar FGF-23 serum tersebut diharapkan mampu mencegah terjadinya hiperfosfatemia (Blaine dkk., 2014; Scialla dan Wolf, 2014). Gambar 2.5 Peranan FGF-23 dalam homoestasis fosfat bila terjadi penurunan LFG (Blaine dkk., 2014)

19 2.5 Fibroblast Growth Factor 23 2.5.1 Struktur dan Asal dari FGF-23 Fibroblast growth factor 23 merupakan protein 32-kDa dengan 251 asam amino yang disekresi terutama oleh osteosit dan osteoblas tulang ke dalam sirkulasi (Dominguez dkk., 2013). Protein ini juga diekspresikan dalam jumlah yang kecil oleh glandula salivatorius, lambung, dan dalam konsentrasi rendah juga terdapat di otot rangka, otak, glandula mamaria, liver dan jantung (Martin dkk., 2012). Strukturnya terdiri dari 24 sequens asam amino hydrofilik dan terminal NH2 yang terdiri dari 154 asam amino mengandung inti FGF dengan regio yang homolog dan domain terminal COOH yang mengandung 73 asam amino (gambar 2.6). Terjadi pemotongan dan O-glikosilasi terhadap sequens signal 24 asam amino oleh enzim UDP-N-asetil-α-D-galactosamine dan polypeptide N acetylgalactosaminyl-tranferase 3 (GALNT3), sebelum akhirnya protein FGF-23 mature disekresikan kedalam sirkulasi. Pada aliran darah protein FGF-23 beredar dalam dua bentuk yaitu: bentuk yang mature/ a full length mature form (25 FGF23251) dan dalam bentuk yang lebih pendek yaitu (25FGF23179) yang tidak mengandung 73 asam amino (COOH-terminal tail). Hanya bentuk mature yang aktif, karena domain terminal COOH sangat penting untuk berinteraksi dengan dengan kofaktor α-kloto dan aktivasi dari signal FGF-23 (Martin dkk., 2012; Diniz dan Frazao, 2013). Fibroblast growth factor 23 pertama kali di temukan pada tikus sebagai anggota baru keluarga FGF dan diidentifikasi sebagai faktor humoral penyebab autosomal dominan hypophosphatemic rakhitis/ osteomalacia (ADHR) dan tumor

20 yang diinduksi osteomalacia (TIO). Kelainan ini ditandai oleh hypophosphatemia, rendahnya kadar 1,25 (OH)2 vitamin D dan rakhitis/osteomalasia (Razzaque dan Lanske, 2007). Mekanisme kerja FGF-23 dengan berikatan terhadap fibroblast growth factor reseptor (FGFR) serta membutuhkan kofaktor klotho pada ginjal dan kelenjar paratiroid. Terdapat beberapa reseptor FGF yaitu FGFR1, FGFR3 serta FGFR4. Khusus pada ginjal FGFR1 merupakan reseptor utama. Fibroblast growth factor reseptor 1 merupakan reseptor utama FGF-23 yang memediasi efek fosfaturic dari FGF-23, sedangkan FGFR3 dan FGFR4 lebih berperan dalam metabolisme vitamin D. Gambar 2.6 Struktur FGF-23 ( Razzaque dan Lanske, 2007) 2.5.2 Metode Pemeriksaan FGF-23 Saat ini tersedia dua metode pemeriksaan FGF-23 dengan enzyme linked immunosorbent assays (ELISA) yang menghitung kadar FGF-23 dengan dua cara berdasarkan posisi epitopes pada bagian FGF-23 yang menangkap antibodi (gambar 2.7). Metode intact FGF-23 ELISA (ifgf-23) mengukur hanya FGF-23 yang aktif secara biologi karena capture antibodies mengenali dua epitop yang mengapit daerah proteolytic cleavage yang terletak diantara asam amino 179 dan 180 (Yamazaki dkk., 2002; Wolf dan White, 2014). Metode C-terminal ELISA

21 (cfgf-23) mengukur intact FGF-23 dan C-terminal fragments, karena capture antibodies mengenali dua epitopes pada C terminus dibagian distal dari proteolytic cleavage (Jonsson dkk., 2003; Wolf dan White, 2014). Gambar 2.7 Metode pemeriksaan FGF-23 (Wolf dan White, 2014) 2.5.3 Peranan FGF-23 dalam Kondisi Fisiologis Peranan utama FGF-23 ialah menjaga keseimbangan metabolisme fosfat dalam tubuh. Peranan tersebut melibatkan ginjal, tulang serta kelenjar paratiroid. Secara skematis peranan FGF-23 dalam menjaga keseimbangan fosfat dalam kondisi normal dirangkum dalam gambar 2.8. Pada kondisi fisiologis, bila terjadi peningkatan kadar fosfat dalam darah (hiperfosfatemia) maka akan memicu peningkatan kadar FGF-23 serum. Pada ginjal, FGF-23 akan terikat dengan reseptornya (FGFR) serta kofaktor α-kloto. Pada sel tubulus proksimal ginjal, FGF-23 akan menekan ekspresi NPT2a serta NPT2c sehingga menyebabkan peningkatan ekskresi fosfat lewat urine dalam

22 rangka menormalkan kembali kadar fosfat serum. Natrium phosphate transporter 2a merupakan cotransporter utama dalam proses reabsorpsi fosfat dan ditemukan secara ekslusif pada membran apikal sel tubulus proksimal ginjal. Gambar 2.8 Peranan FGF-23 dalam meregulasi metabolisme fosfat pada keadaan fisiologis (Lafage-Proust, 2010) Fibroblast growth factor 23 juga menekan sintesis 1,25 dihydroxyvitamin D. Efek tersebut melalui penghambatan 25-hydroxyvitamin D 1-α-hydroxilase (Cyp27b1) dan stimulasi dari 1,25 dihydroxyvitamin D 24-hydroxylase (Cyp24a1) pada tubulus proximalis (Shimada dkk., 2004; Liu dkk., 2006). Kedua enzim tersebut yaitu: Cyp27b1 dan Cyp24a1 merupakan enzim pada ginjal yang masing-

23 masing bertanggung jawab untuk sintesis bentuk bioaktif dari vitamin D dan inisiasi dari degradasi dari bentuk bioaktif vitamin D menjadi bentuk tidak aktif asam calsitriol. Bila kita amati efek FGF-23 pada peningkatan ekskresi fosfat serta penekanan sintesis vitamin D terjadi di bagian tubulus proksimal ginjal (gambar 2.9). Sesunguhnya reseptor FGF-23 (FGFR) serta α-kloto sebagian besar terletak di tubulus distal, sehingga hal ini dikenal dengan hipotesis distal to proximal tubulur feedback mechanism (Martin dkk., 2012). Gambar 2.9 Pengaturan homeostasis fosfat oleh ginjal: hipotesis distal to proximal feedback mechanism (Martin dkk., 2012) Pengaruh FGF-23 pada kelenjar paratiroid dalam kondisi fisiologis masih belum diketahui secara jelas (Canalejo dkk., 2010). Beberapa penelitian menunjukkan FGF-23 diduga menghambat sekresi PTH baik secara invitro (Krasjisnik dkk., 2007) maupun in vivo (Ben-Dov dkk., 2007). Hormon paratiroid (PTH) memiliki efek menstimulasi osteoklas yang menyebabkan terjadinya

24 resorpsi tulang sehingga terjadi peningkatan kadar fosfat dan kalsium. Sementara pada ginjal PTH memiliki efek menstimulasi 1-α-hydroxilase sehingga terjadi peningkatan sintesis 1,25 dihydroxyvitamin D, kemudian meningkatkan reabsopsi kalsium pada tubulus distal. Kadar kalsium dalam darah sendiri memiliki efek umpan balik negatif pada kelenjar paratiroid melalui calsium sensing reseptor/casr (Saliba dkk., 2009). 2.5.4 Fibroblast Growth Factor 23 pada AKI Mekanisme peningkatan kadar FGF-23 serum pada AKI belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat berbagai faktor yang terlibat, seperti dirangkum pada gambar 2.10. Mekanisme pertama ialah karena peningkatan produksi FGF-23 oleh tulang. Penelitian pada binatang dengan AKI menunjukkan peningkatan produksi FGF-23 oleh sel osteosit tulang (Christov dkk., 2013). Mekanisme kedua ialah produksi ektopik FGF-23 oleh sel tubulus ginjal yang mengalami cedera/kerusakan dibawah mekanisme jejas patologis intrinsik. Hal ini didukung oleh penelitian oleh Zanchi dkk. (2013) yaitu adanya mrna FGF-23 di dalam tubulus proksimal dan tubulus distal ginjal dari tikus percobaan. Mekanisme ketiga ialah penurunan bersihan FGF-23 yang beredar di sirkulasi. Penelitian oleh Christov dkk. (2013) melaporkan terdapat keterlambatan pembersihan FGF-23 pada tikus dengan AKI dibandingkan tikus tanpa AKI (waktu paruh 33 menit versus 22 menit, p = 0.01). Mekanisme keempat ialah gangguan proses pembentukan FGF-23 akibat defisiensi besi. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan pembentukan fragmen c-terminal dari FGF-23 yang disebabkan oleh defisiensi besi fungsional atau penurunan pembentukan c-terminal FGF-23 akibat

25 inhibisi oleh toksin uremik. Beberapa penelitian skala kecil pada pasien AKI menunjukkan status besi serum yang tidak konsisten pada pasien AKI (Davis dkk., 1999; Tuttle dkk., 2003). Akumulasi besi pada ginjal telah dilaporkan pada pasien AKI dan binatang percobaan dengan AKI dan dapat mengaktivasi stres oksidatif serta menstimulasi berbagai pelepasan monokin dan sitokin dari sel tubulus ginjal (Martines dkk., 2013; Shah dkk., 2011; Johson dkk., 2010). Hasil penelitian tersebut mendukung hipotesis bahwa FGF-23 diekspresikan secara ektopik di sel tubulus renalis. Peran besi dalam memodulasi metabolisme FGF-23 tampak pada ekpresi FGF-23 sel tubulus renalis selama AKI subklinis mungkin terjadi (Pavik dkk., 2012; Spichtig dkk., 2014). Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengkormasi hal tersebut. Gambar 2.10 Mekanisme peningkatan FGF-23 pada AKI (Neyra dkk., 2014)

26 2.5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar FGF-23 Serum Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar FGF-23 serum dibagi menjadi 3 katagori yaitu: faktor sistemik, faktor lokal serta faktor posttranslational (Martin dkk., 2012). Faktor sistemik meliputi: 1) vitamin D (1, 25 (OH) 2D; 2) kadar fosfat serum; 3) PTH serta 4) faktor sistemik yang lain. Vitamin D merupakan faktor sistemik terpenting terhadap kadar FGF-23 serum. Pemberian vitamin D meningkatkan kadar FGF-23 serum, ganguan dalam metabolisme vitamin D menurunkan kadar FGF-23 serum (Salto dkk., 2005 dan Liu dkk., 2006). Peningkatan kadar Vitamin D menyebabkan peningkatan absorpsi kalsium dan fosfat pada saluran cerna. Kedua hal ini akan menyebabkan penekanan produksi PTH oleh kelenjar paratiroid, dan kemudian pada ginjal meningkatkan eksresi kalsium urin untuk mempertahankan kadar kalsium pada kadar normal. Penurunan kadar PTH yang menyebabkan penurunan ekskresi fosfat, kemungkinan menyebabkan keseimbangan fosfat yang positip, oleh karena efek vitamin D untuk meningkatkan absorbsi fosfat di saluran cerna, tidak mampu mengatasi peningkatan FGF-23 yang juga menekan sintesis 1,25(OH) 2D. Siklus hormonal yang klasik ini menjadi: peningkatan 1,25 (OH) 2D meningkatkan FGF-23 menurunkan kadar 1,25 (OH)2 D (Martin dkk., 2012). Kerja dari FGF- 23 juga diatur oleh aktivitas reseptor vitamin D (VDR) baik secara dependent maupun independent. Stimulasi pada 1,25 (OH)2 D-VDR akan meningkatkan ekpresi FGF-23 yang dibuktikan dengan meningkatnya kadar FGF-23 setelah diberikan 1,25 (OH) 2D. Penelitian pada mencit yang telah dihilangkan aktivitas VDR, ternyata pemberian diet untuk menormalkan kadar kalsium dan fosfat dapat

27 meningkatkan kadar FGF-23. Hal tersebut menunjukkan bahwa, ekpresi FGF-23 juga dikendalikan oleh vitamin D yang tidak tergantung pada VDR (Shimada dkk., 2004; Marsell dkk., 2008). Efek fosfat terhadap FGF-23 masih belum sepenuhnya diketahui. Pemberian fosfat pada mencit percobaan, meningkatkan kadar FGF-23. Penelitian pada manusia ternyata memberikan hasil yang tidak konsisten. Efek pemberian diet dengan fosfat yang tinggi maupun rendah, akan memberikan efek terhadap kadar FGF-23 bila diberikan dalam jangka panjang (Larson dkk., 2003; Burnett dkk., 2006; Parwad dkk., 2005). Pada penderita dengan PGK, terjadi peningkatan kadar FGF-23 yang sebanding dengan peningkatan kadar fosfat serum. Pemberian diet fosfat bersama dengan fosfat binder dilaporkan cukup untuk menurunkan ekskresi fosfat urin akan tetapi sangat sedikit efeknya dalam menurunkan kadar FGF-23 serum (Oliveira dkk., 2010). Faktor sistemik penting yang lain ialah kadar PTH serum. Penelitian secara invitro menunjukkan PTH secara langsung meningkatkan ekpresi gen FGF-23. Pada penderita dengan hiperparathyroid primer terdapat peningkatan kadar FGF- 23 serum, sedangkan paratiroidektomi akan menurunkan kadar FGF-23 pada penderita PGK (Sato dkk., 2004; Kawata dkk., 2007). Terdapat beberapa faktor sistemik lain yang diduga mempengaruhi kadar FGF-23 serum. Faktor tersebut ialah leptin, terapi dengan glukokortikoid, hormon estrogen serta inflamasi sistemik (Tsuji dkk., 2010; Carrilo-lopez dkk., 2009; Cristov dkk., 2013).

28 Faktor lokal khususnya pada tulang juga berperan dalam meregulasi kadar FGF-23 serum. Faktor tersebut ialah regulasi oleh phosphate regulating gene with homologies to endopeptidases on the X chromosome (PHEX) serta dentin matrix protein 1 (DMP1). Bila terjadi mutasi atau inaktivasi dari PHEX, maka akan meningkatkan ekpresi gen FGF-23 pada sel osteoblas dan osteosit tulang (Liu dkk., 2006; Yuan dkk., 2008). Mutasi maupun inaktivasi dari DMP1 juga menyebabkan peningkatan ekpresi FGF-23 pada osteoblas dan osteosit tulang (Feng dkk., 2006; Liu dkk., 2006). Ekpresi FGF-23 pada tulang juga dipengaruhi oleh reseptor FGF-23 (FGFR). Mutasi pada FGFR-1 seperti pada penyakit osteoglophonic dysplasia (OGD) akan menyebabkan peningkatan kadar FGF-23 serum serta hipofosfatemia (White dkk., 2005). 2.6 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada PGK Pada PGK terjadi hiperfosfatemia yang diakibatkan oleh berkurangnya kemampuan filtrasi glomerolus terhadap fosfat, sehingga terjadi retensi fosfat. Hal ini diikuti oleh peningkatan kadar fibroblast growth factor 23 (FGF-23) serum oleh sel osteosit tulang. Fibroblast growth factor 23 bekerja pada tubulus ginjal untuk meningkatkan ekskresi fosfat urin, sehingga kadar fosfat serum kembali normal. Peningkatan kadar FGF-23 serum juga menekan sintesis 1,25- dihydroxyvitamin D, sehingga terjadi hipokalsemia yang selanjutnya merangsang peningkatan hormon paratiroid/hiperparatiroid sekunder (Oliveira dkk., 2010; Russo, 2011). Kadar FGF-23 serum ini secara signifikan meningkat seiring progresi penyakit ginjal kronik serta secara independent berhubungan dengan peningkatan

29 risiko kematian, kejadian kardiovaskuler, progresi menjadi gagal ginjal terminal serta kegagalan awal cangkok ginjal (Isakova dkk., 2011; Juppner, 2011). Hubungan antara peningkatan FGF-23 serum dan penurunan LFG telah diketahui secara baik pada pasien PGK. Penelitian oleh Bachchetta dkk. (2010) menemukan hubungan yang terbalik antara LFG dengan kadar C terminal FGF- 23 serta intact FGF-23 plasma (r = - 0,214 dan r = - 0,30; p = 0,001). Filler dkk. (2011) juga melaporkan hubungan yang signifikan antara FGF-23 dengan estimasi LFG dengan menggunakan cystatin C (r = - 0,47, p <0,001). Hasil yang sebanding dilaporkan oleh Dominguez dkk. (2013), terdapat hubungan yang signifikan antara estimasi LFG dengan ln{c terminal FGF-23} (r = - 0,35, p < 0,05). Pada penelitian tersebut juga didapatkan hubungan yang signifikan antara estimasi LFG dengan fraksi ekskresi fosfat urine (r = -0,40, p = <0,05) (Dominguez dkk., 2013). 2.7 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada Penyakit Jantung Belakangan ini, banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler baik pada pasien dengan atau tanpa PGK ( Kendrik dkk., 2011; Scialla dan Wolf, 2014). Peningkatan kadar fosfat serum menginduksi kalsifikasi vaskuler dan disfungsi endotelial secara in vitro pada model percobaan binatang, begitu juga penelitian observasional pada manusia menunjukan hasil yang serupa (Scialla dan Wolf, 2014). Peningkatan kadar FGF-23 serum berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri dan gagal jantung kongestif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh efek hipertropik langsung FGF-23 terhadap sel miosit kardiak (Faul dkk., 2011). Terapi untuk mengontrol kadar FGF-23 dan fosfat serum

30 dipertimbangkan sebagai target terapi untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler di populasi terutama pada pasien dengan PGK. 2.8 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada Pasien Sakit Berat (Critically Ill) Pasien dengan penyakit berat/critically ill meskipun tanpa gangguan ginjal dilaporkan mengalami peningkatan kadar FGF-23 serum, yang diduga akibat tingginya proses inflamasi pada pasien tersebut (Martin dkk., 2012; Leaf dkk., 2012). Peningkatan kadar FGF-23 serum pada pasien critically ill kemungkinan merupakan acute phase reactan (Leaf dkk., 2012). Derajat keparahan penyakit pada pasien critically ill dapat diukur dengan menggunakan skor dari Acute Physiology And Chronic Health Evaluation (APACHE) II (Wong dan Knaus, 1991). Penelitian oleh Zhang dkk. (2011) melaporkan terdapat perbedaan skor APACHE II yang bermakna antara pasien critically ill dengan AKI dibandingkan dengan pasien critically ill tanpa AKI ( 27 ± 11 versus 17 ± 8, p= 0,04). Berdasarkan analisis regresi linear multivariat, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara peningkatan FGF-23 serum dengan skor APACHE II ( r = 0,05, p = 0,14, CI: -0,22-0,11) (Zhang dkk., 2011). Kadar fosfat serum pada pasien sakit berat bersifat multifaktorial, kemungkinan mencerminkan penyakit komorbid dan derajat beratnya penyakit, begitu juga penurunan secara akut LFG. Penelitian kohort pada 289 pasien di ICU dengan AKI, pasien dengan sepsis dan pasien pasca operasi jantung lebih berisiko untuk mengalami hifofosfatemia sebelum dilakukan inisiasi hemodialisis dibandingkan dengan penyakit lain (Gutierrez dkk., 2009; Schiffl dkk., 2013).

31 Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Zhang dkk. (2011) yaitu ditemukan hiperfosfatemia (13,9 ± 3,0 mg/dl) pada 12 sampel pasien critically ill di ICU yang mengalami AKI. 2.9 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada Berbagai Etiologi AKI Etiologi AKI dapat disebabkan oleh faktor prerenal, renal dan pascarenal seperti pada uraian sebelumnya. Pengaruh berbagai etiologi AKI terhadap kadar FGF-23 dan fosfat serum belum diketahui secara jelas. Leaf dkk. (2012) melaporkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan kadar FGF-23 serum berdasarkan etiologi AKI. Diperlukan penelitian lanjutan berskala besar untuk membuktikan hal tersebut. 2.10 Pengaruh Hemodialisis pada Kadar Fosfat dan FGF-23 Serum Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/rrt) yang dilakukan pada AKI stadium 3 maupun AKI stadium 2 dengan indikasi khusus (KDIGO, 2012). Menurut prosedur, hemodialisis dibedakan menjadi 3 yaitu: hemodialisis darurat/emergency, hemodialisis persiapan/preparative serta hemodialisis kronik/reguler (Daugirdas dkk., 2007). Pada penderita AKI dengan gangguan hemodinamik digunakan metode sustained low efficient dialysis (SLED). Metode ini menggunakan waktu dialisis yang panjang (6-10 jam) dengan mengurangi blood flow dan dialisate flow rate. Pada umumnya kecepatan aliran darah sebesar 200 ml per menit dan kecepatan dialisat sebesar 100-300 ml per menit (Daugirdas dkk., 2007).

32 Hemodialisis hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Pengaruh hemodialisis terhadap kadar fosfat dan FGF-23 pada penderita AKI belum belum sepenuhnya diketahui. Pada PGK yang menjalani hemodialisis regular, kadar FGF-23 serum tetap tinggi, hingga mencapai 1000 kali lipat nilai normal (Wolf dkk., 2010). Hal ini diduga, karena peningkatan produksi FGF-23 serum bukan karena penurunan bersihannya. Peningkatan produksi FGF-23 serum sebanyak dua kali lipat oleh sel tulang juga telah dibuktikan pada model percobaan tikus dengan AKI (Chistov dkk., 2013). 2.11 Pengaruh Umur terhadap Kadar FGF-23 dan Fosfat Serum Terdapat beberapa laporan penelitian yang menyatakan terdapat peningkatan kadar fosfat dan FGF-23 serum seiring bertambahnya umur. Penelitian oleh Brown dkk. (2009) melaporkan peningkatan kadar FGF-23 (FGF-23 C terminal ELISA) dan fosfat serum seiring bertambahnya umur. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Baccheta dkk. (2010) yaitu terdapat peningkatan kadar intact FGF-23 setelah umur 15 tahun, dan terdapat korelasi yang signifikan antara kadar intact FGF-23 dan umur (r = 0,228, p = 0,001). 2.12 Fibroblast Growth Factor 23 dan Fosfat pada AKI Mekanisme gangguan metabolisme mineral pada AKI belum sepenuhnya diketahui. Publikasi atau laporan penelitian yang membahas terjadinya disregulasi mineral pada AKI masih sangat terbatas. Hiperfosfatemia dan hipokalsemia merupakan gangguan mineral yang sering dilaporkan. Mekanisme terjadinya hiperfosfatemia pada AKI disebabkan oleh penghancuran jaringan yang berlebihan akibat rhabdomiolysis (Shresta dkk., 2004; Shied dkk., 1995; Sperling

33 dan Tumlin, 1996). Gangguan metabolisme vitamin D, hiperkalsemia maupun hipokalsemia juga dilaporkan terjadi pada AKI dengan penyebab selain rhabdomiolysis (Pietrek dkk., 1978; Mallete dan Silvermean, 1980; Massry dkk., 1974). Penelitian mengenai kadar FGF-23 serum pada AKI, pertama kali dilaporkan oleh Leaf dkk. (2010) pada seorang pasien AKI akibat rhabdomiolysis. Laporan kasus tersebut menemukan peningkatan kadar FGF-23 serum sebesar 619 RU/ml (nilai normal 7-71 RU/ml). Hal ini diduga karena stimulasi langsung oleh hiperfosfatemia akibat rhabdomiolysis serta hiperparatiroid yang bersifat transient akibat terjadinya sekuestrasi kalsium di otot. Penelitian lanjutan oleh Zhang dkk. (2011) juga menemukan peningkatan kadar FGF-23 pada pasien AKI dengan etiologi selain rhabdomiolysis. Pada penelitian pendahuluan tersebut melibatkan 12 sampel pasien critically ill di ICU yang mengalami AKI dibandingkan dengan 8 pasien critically ill tanpa AKI sebagai kontrol. Kadar FGF-23 serum secara signifikan lebih tinggi pada pasien critically ill dengan AKI jika dibandingkan dengan kontrol (median FGF-23 serum 1948 RU/ml; IQR, 347-4969 versus 252 RU/ml; IQR, 65-533, p = 0,01). Pada penelitian ini juga didapatkan hiperfosfatemia lebih tinggi pada pasien dengan AKI jika dibandingkan dengan pasien tanpa AKI (4,5 ±1 mmol/l versus 3,3 ± 1,1 mmol/l, p = 0,02). Hiperpatiroid berat (PTH > 250 mg/dl) ditemukan pada pasien AKI, meskipun tidak bermakna secara statistik. Penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar dilaporkan oleh Leaf dkk. (2012). Pada penelitian ini melibatkan 30 pasien AKI dibandingkan dengan 30

34 pasien tanpa AKI sebagai kontrol. Hiperfosfatemia secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang mengalami AKI dibandingkan kontrol (4.5 ± 1 vs 3,3 ± 1,1 mg/dl, p = 0,02). Kadar FGF-23 serum juga lebih tinggi pada pasien dengan AKI jika dibandingkan dengan kontrol (median [IQR] = 1471 [224-2534] versus 263 [96-574] RU/ml, p = 0,003). Peningkatan kadar FGF-23 serum secara signifikan telah terjadi 24 jam setelah onset AKI dan menurun pada hari ke lima. Christov dkk. (2013) melakukan penelitian pada model tikus percobaan dengan AKI untuk mengetahui waktu dan mekanisme terjadinya peningkatan FGF-23 dan fosfat serum pada AKI. Pada percobaan ini digunakan injeksi asam folat intraperitoneal untuk menginduksi terjadinya AKI. Peningkatan kadar fosfat secara signifikan terjadi dalam 24 jam pengamatan pada tikus dengan AKI dibandingkan dengan tanpa AKI (11,2 ± 1,4 mg/dl versus 6,4 ± 0,3 mg/dl; p < 0,05). Ditemukan juga peningkatan hormon PTH secara signikan lebih tinggi pada tikus yang mengalami AKI jika dibandingkan tikus tanpa AKI (1359 ± 320 versus 85 ± 38, p < 0,05). Peningkatan kadar FGF-23 serum secara signifikan 1 jam setelah onset AKI dan mencapai 18 kali lipat nilai dasar setelah 24 jam (4500 ± 562 pada AKI versus 307 ± 19 pada non AKI; p < 0,01). Pada percobaan tersebut (gambar 2.11) didapatkan peningkatan blood urea nitrogen (BUN) dan FGF-23 serum terjadi secara signifikan 1 jam setelah onset AKI, sedangkan peningkatan kadar fosfat serum baru terjadi setelah 2 jam munculnya AKI. Kadar neutrofil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) yang merupakan penanda dini terjadinya AKI, baru terjadi 6 jam setelah onset AKI. Hal tersebut menyatakan bahwa peningkatan kadar FGF-23 serum pada percobaan binatang dengan AKI,

35 mendahului peningkatan kadar fosfat dan NGAL serum. Pada penelitian ini juga dilaporkan bahwa terdapat peningkatan produksi FGF-23 oleh tulang, sebesar 2 kali lipat pada binatang mencit dengan AKI jika dibandingkan dengan kontrol. Gambar 2.11 Peningkatan kadar FGF-23 sejak awal onset AKI (Chritov dkk., 2013). Pengambilan sampel darah diambil pada jam ke 0, 1, 2, 4, 6 dan 8 setelah injeksi vehicle (garis putus-putus) serta injeksi asam folat (garis lurus). (a) Kadar BUN plasma (mg/dl). (b) Kadar fosfat plasma (mg/dl). (c) Kadar ifgf-23 plasma (pg/ml). (d) Kadar NGAL plasma (ng/ml). (e) Kadar cfgf-23 plasma (pg/ml) Hasil penelitian diatas juga diperkuat oleh hasil penelitian pada manusia. Christov dkk. (2013) melakukan penelitian pada penderita AKI yang terjadi setelah operasi jantung (gambar 2.12). Pada penelitian ini melibatkan 14 pasien yang menjalani operasi jantung, dimana terdapat 4 orang yang mengalami AKI. Dilaporkan peningkatan kreatinin serum 1,4 kali lipat dan peningkatan kadar FGF-23 serum sebesar 15,9 kali lipat 24 jam setelah operasi. Hasil penelitian

36 tersebut sebanding dengan penelitian pada model percobaan tikus, ditemukan peningkatan kadar FGF-23 serum secara signifikan sejak awal terjadinya AKI, meskipun belum terdapat peningkatan kreatinin serum. Gambar 2.12 Kadar FGF-23 serum meningkat pada pasien pascaoperasi jantung yang mengalami AKI ( Christov dkk., 2013) 2.13 Hubungan antara Stadium AKI dan Kadar Fosfat Serum serta FGF-23 Serum Hingga kini belum ada penelitian untuk mencari hubungan antara stadium AKI dengan peningkatan kadar fosfat serum serta FGF-23 serum. Zhang dkk. (2011) melakukan penelitian pendahuluan pada 12 pasien critically ill dengan AKI, yang terdiri dari dua pasien AKI stadium 1, lima pasien AKI stadium 2 serta lima pasien AKI stadium 3. Pada pasien AKI stadium 1 kadar fosfat serum mencapai 3,5 mg/dl (nilai normal 2,8-4,5 mg/dl) sedangkan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 5,5 mg/dl. Kadar FGF-23 serum pada AKI stadium 1 mencapai 437 RU/ml (nilai normal 7-71 RU/ml) dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 4369 RU/ml. Peningkatan kadar fofat serum tersebut tidak

37 berkorelasi terhadap peningkatan FGF-23 serum (r = 0,08, p = 0,74). Peningkatan kadar FGF-23 serum tidak berkorelasi dengan stadium AKI berdasarkan kriteria AKIN (Zhang dkk., 2011). Penelitian oleh Leaf dkk. (2012) mendapatkan hasil yang berbeda. Pada penelitian ini melibatkan 30 pasien AKI baik yang dirawat di ruang perawatan biasa maupun di ICU. Pada AKI stadium 1 kadar fosfat serum mencapai 3,8 mg/dl dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 5,3 mg/dl. Kadar FGF-23 serum pada AKI stadium 1 mencapai 224 RU/ml dan pada AKI stadium 3 kadarnya mencapai 2534 RU/ml. Peningkatan kadar fosfat serum berkorelasi dengan kadar FGF-23 serum (r = 0,32, p = 0,02) seperti tampak pada gambar 2.13. Gambar 2.13 Hubungan antara peningkatan kadar fosfat serum dan FGF-23 serum pada pasien AKI (Leaf dkk., 2012) Pada penelitian tersebut tidak dicari korelasi antara peningkatan kadar fosfat serum maupun FGF-23 serum dengan stadium AKI. Peningkatan 1SD dari lnfgf-23 serum berhubungan dengan dengan peningkatan risiko untuk menjalani RRT/Renal Replacement Therapy dan kematian pada pasien AKI (Adjusted odds ratio = 13,73:95% CI = 1,75-107,50). Seperti diuraikan sebelumnya, pasien AKI

38 yang memerlukan RRT/hemodialisis termasuk AKI stadium 3, sehingga secara tidak langsung pada penelitian ini menyatakan bahwa peningkatan kadar FGF-23 serum berhubungan dengan stadium AKI, seperti tampak pada gambar 2.14. Gambar 2.14 Peningkatan FGF-23 serum meningkatkan risiko kematian dan diperlukannya RRT pada AKI (Leaf dkk., 2012). Peningkatan kadar FGF-23 serum pada penderita AKI juga menekan sintesis 1,25 dihydroxyvitamin D, melalui penghambatan 25-hydroxyvitamin D 1-αhydroxilase (Cyp27b1) dan stimulasi dari 1,25 dihydroxyvitamin D 24- hydroxylase (Cyp24a1) pada tubulus proximalis (Shimada dkk., 2004; Liu dkk., 2006). Semakin tinggi kadar FGF-23 serum maka akan semakin rendah kadar 1,25 dihydroxyvitamin D. Leaf dkk. (2012) melaporkan pada AKI stadium I kadar 1,25 dihydroxyvitamin D berkisar 20-22 pg/ml (nilai normal 18-72 pg/ml) dan pada AKI stadium 3 kadarnya turun mencapai 10 pg/ml. Peningkatan kadar FGF- 23 serum berkorelasi negatif dengan kadar 1,25 dihydroxyvitamin D (r = - 0,39, p = 0,003) seperti tampak pada gambar 2.15.

39 Gambar 2.15 Peningkatan kadar FGF-23 serum berkorelasi negatif dengan kadar 1,25 dihydroxyvitamin D (Leaf dkk., 2012) Peningkatan kadar FGF-23 dan fosfat serum pada AKI juga akan meningkatkan kadar PTH serum. Peningkatan kadar PTH serum akan menyebabkan penurunan jumlah NPT2a dan NPT2c pada membran basal tubulus proximal, yang akan menyebabkan peningkatan ekskresi fosfat lewat urin (Blaine dkk., 2014). Penelitian oleh Zhang dkk. (2011) pada 12 pasien critically ill dengan AKI, melaporkan terjadi hiperparatiroid berat (kadar intact PTH serum >250 mg/dl) pada AKI stadium III. Penelitian oleh Leaf dkk. (2012) pada 30 pasien AKI, melaporkan peningkatan kadar FGF-23 serum berkorelasi dengan peningkatan kadar PTH serum ( r = 0,37, p = 0,005) seperti tampak pada gambar 2.16.

Gambar 2.16 Peningkatan kadar FGF-23 serum berkorelasi positip dengan kadar PTH serum pada pasien AKI (Leaf dkk., 2012) 40