2. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan oseanik dimana pada bagian timur berhubungan dengan perairan Selat

dokumen-dokumen yang mirip
2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Diagram TS

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

2. TINJAUAN PUSTAKA. berbeda tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini

BAB II KAJIAN PUSTAKA

HUBUNGAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS UTAMA DI PERAIRAN LAUT JAWA DARI CITRA SATELIT MODIS

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

2. TINJAUAN PUSTAKA. Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta yang dibatasi oleh garis bujur

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

perairan Selat Malaka dan sebagai data dalam mengetahui tingkat kesuburan TINJAUAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA. (

2. TINJAUAN PUSTAKA. seperti konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Umum Perikanan Layang (Decapterus spp)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

Kata kunci: Citra satelit, Ikan Pelagis, Klorofil, Suhu, Samudera Hindia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

4. HUBUNGAN ANTARA DISTRIBUSI KEPADATAN IKAN DAN PARAMETER OSEANOGRAFI

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

Pelatihan-osn.com C. Siklus Wilson D. Palung samudera C. Campuran B. Salinitas air laut C. Rendah C. Menerima banyak cahaya matahari A.

2. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Selat Makassar. Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

Tabel 1 Contoh spesifikasi kapal purse seine Pekalongan No. Spesifikasi Dimensi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Tenggiri (Scomberomorus commerson).

02. Jika laju fotosintesis (v) digambarkan terhadap suhu (T), maka grafik yang sesuai dengan bacaan di atas adalah (A) (C)

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Universitas Sumatera Utara, ( 2) Staff Pengajar Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 2.2 Penginderaan Jauh Sistem penginderaan jauh

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

Gambar 2. Batimetri dasar perairan Selat Lombok

Suwarso. Kata kunci: unit stok, Selat Makasar, layang, malalugis, pengelolaan, pelagis kecil

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

4 PERIKANAN PELAGIS KECIL YANG BERBASIS DI PANTAI UTARA JAWA

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

Transkripsi:

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Jawa Keadaan umum perairan Laut Jawa dipengaruhi oleh kondisi geografis dan lingkungan oseanik dimana pada bagian timur berhubungan dengan perairan Selat Makassar dan Laut Flores, sedangkan pada bagian barat berhubungan dengan Samudera Hindia melalui Selat Sunda sebagai terusan dan Laut Cina Selatan melalui Selat Karimata. Batasan geografis Laut Jawa berada diantara 3⁰-7⁰ LS dan 108⁰-116⁰ BT dengan kedalaman rata-rata 40 meter. Keadaan geografis tersebut menggambarkan bahwa kondisi bio-ekologis perairan Laut Jawa dengan luasan sekitar 450.000 km² secara fisik sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu siklus musiman yang berkaitan dengan perubahan karakteristik lingkungan sebagai dari proses perubahan internal badan air Laut Jawa, serta perubahan jangka panjang parameter iklim dan faktor osilasi internal yang berkaitan dengan perubahan curah hujan sebagai dampak terjadinya El-Nino (Potier,1998 dalam Atmadja et al., 2003) Atmadja et al. (2003) menyatakan perubahan kondisi bio-ekologis sebagai akibat siklus musiman sangat berkaitan dengan dua faktor utama yaitu: 1) Masukkan massa air tawar yang berasal dari lingkungan terestrial terutama dari sungai-sungai besar di Pulau Kalimantan dan pada kurun waktu musim barat daya yang berakibat pada terjadinya pencampuran massa air Laut Jawa sehingga terjadinya penurunan salinitas. 2) Pertukaran massa air Samudera Hindia melalui Selat Sunda dan juga massa air yang berasal dari Laut Flores dan Selat Makassar. 3

4 Karakteristik massa air dan iklim Laut Jawa dipengaruhi langsung oleh dua angin muson, yaitu angin muson barat yang berlangsung antara bulan September-Februari dan angin muson timur yang berlangsung antara bulan Maret Agustus. Pada muson timur, massa air bersalinitas tinggi (>34 ) memasuki Laut Jawa melalui Selat Makassar dan Laut Flores, sedangkan pada muson barat, selain terjadi pengenceran oleh air sungai juga masuk air bersalinitas rendah (<34 ) yang berasal dari Laut Cina Selatan mendorong massa air bersalinitas tinggi kebagian Timur Laut Jawa (Veen, 1953; Wyrtki, 1961; dalam Atmadja ed al., 2003). Pada musim barat salinitas maksimum di perairan Laut Jawa berasal dari Laut Cina Selatan menuju ke Laut Jawa dan saat musim timur salinitas maksimum berasal dari perairan Laut Flores dan Selat Makassar menuju ke Laut Jawa sampai sebelah Utara Selat Karimata. Saat musim barat perairan Indonesia bagian barat dari Laut Cina Selatan sampai Laut Banda nilai suhu dan salinitas permukaan menurun, dan proses ini akan menghambat laju Arlindo dari Selat Makassar dan Laut Flores. Sebaliknya saat musim timur massa air dari arah Selat Makassar dan Laut Flores sebagian akan menuju Laut Jawa dan selanjutnya suhu akan menurun dan salinitas akan meningkat (Hadikusumah, 2008). Iklim muson juga merupakan faktor yang menentukan sifat-sifat perairan Laut Jawa. Pertukaran massa air secara musiman dengan Laut Flores menentukan pola penyebaran kelimpahan dan keberadaan ikan pelagis. Kelompok ikan oseanik memasuki Laut Jawa mengikuti massa air bersalinitas lebih tinggi yang datang dari timur. Sementara itu, kelompok ikan pantai cenderung tinggal di Laut Jawa sepanjang tahun (Priatna dan Natsir, 2007).

5 2.2 Fitoplankton dan Klorofil-a Fitoplakton adalah tumbuhan berukuran sangat kecil dan hidupnya terapung atau melayang-layang dalam kolom perairan, sehingga pergerakannya dipengaruhi oleh pergerakan air (Odum,1971). Fitoplankton sebagai tumbuhan sel tunggal berukuran mikroskopik yang sangat berperan dalam menunjang kehidupan di dalam perairan dan berfungsi sebagai sumber makanan organisme perairan dapat digunakan sebagai salah satu kajian untuk menduga sebaran konsentrasi klorofil-a pada perairan. Menurut Nontji (1984), berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi besarnya biomassa, produktifitas ataupun suksesi fitoplankton adalah suhu, salinitas, cahaya, dan hara. Klorofil-a adalah zat hijau daun yang terkandung dalam fitoplankton yang berperan sebagai pigmen terpenting karena berfungsi untuk melakukan proses fotosintesis. Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun kedalaman perairan. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari dan konsentrasi nutrien di perairan. Sebaran konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah diperairan lepas pantai, namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses terangkatnya nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela,1984 dalam Masrikat et al., 2009). Kandungan klorofil-a juga digunakan sebagai ukuran jumlah fitoplankton pada suatu perairan dan dapat digunakan sebagai petunjuk produktifitas perairan. Melimpahnya nutrien dari runoff dan pendaurulangan di daerah pantai menyebabkan produktifitasnya tinggi. Tingginya produktifitas (100-160 gc m -2

6 thn -1 ) merupakan penyangga populasi zooplankton dan organisme bentos (Nybakken, 1988). Dari distribusi vertikal klorofil di laut dapat terlihat secara keseluruhan konsentrasi klorofil maksimal ditemukan di daerah permukaan atau dekat daerah permukaan dan diwaktu yang lain dapat ditemukan di daerah kedalaman ephotik atau di bawahnya. Zona eufotik tebalnya bervariasi dari beberapa puluh sentimeter pada perairan yang keruh hingga lebih dari 150 meter pada perairan yang jernih (Parsons et al., 1984). Menurut Robinson (1985) perairan berdasarkan sifat optisnya dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe perairan 1 dan tipe perairan 2. Perairan tipe 1 merupakan perairan dimana komponen optik didominasi oleh fitoplankton dan produk-produk degradasinya. Perairan tipe 2 didominasi oleh sedimen tersuspensi (suspended sediment) non organik atau yellow substant. Gaol dan Sadhotomo (2007) menyatakan distribusi horizontal klorofil-a rata-rata bulanan di Laut Jawa menunjukkan konsentrasi klorofil-a lebih tinggi di perairan sekitar pantai dan semakin jauh dari pantai konsentrasi klorofil semakin kecil. Konsentrasi klorofil-a dibagian timur Laut Jawa yakni di sekitar pantai Kalimantan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Laut Jawa bagian tengah. Secara temporal, puncak konsentrasi klorofil-a terjadi pada bulan Desember sampai dengan Maret yaitu pada saat musson barat laut dimana pada saat itu curah hujan relatif tinggi. Masukkan material termasuk unsur-unsur nutrien dari limpasan sungai-sungai khususnya pada musim penghujan diduga merupakan salah satu faktor penyebab tingginya konsentrasi klorofil-a di Laut Jawa (Sadhotomo, 2006 dalam Gaol dan Sadhotomo, 2007).

7 2.3 Suhu Permukaan Laut Suhu merupakan suatu besaran fisika dimana banyaknya bahang (energi panas) terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut pada daerah permukaan sangat tergantung dari jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Menurut Hutabarat dan Evans (1986) pembagian SPL secara horizontal akan sangat tergantung pada letak lintangnya. Semakin tinggi letak lintangnya, maka nilai SPL nya akan semakin rendah, karena daerah ekuator menerima lebih banyak radiasi matahari dari pada di daerah berlintang tinggi. Nilai suhu mengalami perubahan terhadap kedalaman. Hal ini diakibatkan oleh adanya variasi antara bahang yang diserap, efek konduksi dari bahang, permukaan air yang selalu bergerak oleh arus, dan gerak vertikal air laut (Hutabarat dan Evans, 1986) Menurut Hutabarat dan Evans (1986) ada tiga faktor yang menyebabkan daerah tropik lebih banyak menerima bahang dari pada daerah kutub, yaitu: 1. Sinar matahari yang merambat melalui atmosfer sebelum sampai di daerah kutub akan banyak kehilangan bahang dibandingkan dengan daerah ekuator akibat jarak yang ditempuh sinar matahari ke daerah kutup lebih jauh dibandingkan dengan daerah ekuator. 2. Di daerah kutub, sinar matahari yang sampai di permukaan bumi akan tersebar pada daerah yang lebih luas daripada daerah ekuator. Hal ini terjadi akibat bentuk bumi yang bulat sehingga pada daerah ekuator sinar matahari akan terpusat sedangkan pada daerah kutup sinar matahari akan menyebar. 3. Permukaan bumi di daerah kutub banyak menerima bahang yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Perbedaaan tersebut sebenarnya diakibatkan oleh sudut relatif matahari yang mencapai permukan bumi.

8 Fluktuasi SPL di Laut Jawa relatif kecil, perbedaan antara suhu maksimum dan minimum kurang dari 2⁰C dengan rata-rata berkisar antara 27⁰C-29⁰C (Potier, 1998 dalam Atmadja et al, 2003). Distribusi SPL secara horizontal biasanya berhubungan dengan fenomena musiman. Pada musim angin timur terlihat jelas SPL lebih dingin, hal ini menunjukkan adanya massa air dari bagian laut dalam, yaitu: Samudera Pasifik masuk ke Laut Jawa melalui Laut Flores dan Selat Makassar. Laut Jawa relatif lebih panas pada angin muson barat dibandingkan pada muson timur (Potier, 1998 dalam Atmadja et al, 2003). Gaol dan Sadhotomo (2007) menyatakan pergerakan angin muson menyebabkan variasi SPL Laut Jawa, dimana pada saat periode muson tenggara (musim timur), angin dan arus di Laut Jawa bergerak dari timur ke barat membawa massa air yang relatif lebih dingin masuk ke arah barat. Rata-rata SPL di Laut Jawa adalah 27.25 o -28.25 o C dengan SPL yang lebih tinggi berada di sebelah barat sedangkan pada periode muson barat laut (musim barat) massa air dari Laut Cina Selatan mengisi Laut Jawa dan mendorong massa air ke arah timur sesuai dengan arah pergerakan angin dan arus. 2.4 Penginderaan Jauh untuk Mendeteksi Klorofil-a dan SPL Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena dengan jalan menganalisis data yang diperoleh melalui alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994). Sensor ocean color merupakan sensor yang memanfaatkan cahaya tampak dari matahari sebagai sumber energi untuk melakukan penginderaan terhadap objek yang terdapat di permukaan bumi. Satelit membawa sensor yang dapat

9 menerima pantulan radiasi sinar matahari dari permukaan dan kolom perairan. Proses yang terjadi dalam sistem penginderaan jauh ocean color adalah transfer radiasi dalam sistem sinar matahari-perairan-sensor satelit. Sistem penginderaan jauh ocean color secara skematik dapat dilihat pada Gambar 1. (Sumber : Sathyendranath, 1986 in IOCCG Report Number 3, 2000) Gambar 1. Sistem Penginderaan Jauh Ocean Color Keterangan : A = Pemantulan cahaya matahari oleh atmosfer sebelum dan sesudah dipantulkan oleh permukaan laut B = Pemantulan cahaya matahari oleh permukaan laut C = Pemantulan cahaya matahari oleh partikel di permukaan perairan dan berada di jalur sapuan sensor satelit D = Lebar sapuan sensor

10 Perjalanan radiasi sinar matahari pada saat menuju perairan dipengaruhi oleh atmosfer, dimana sebelum sinar matahari mencapai perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, molekul udara dan aerosol. Sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan diserap atau dipantulkan oleh partikelpartikel yang ada di perairan seperti fitoplankton, sedimen tersuspensi (suspended sediment) dan substansi kuning (yellow substances). Cahaya matahari yang dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada di perairan dan ditangkap oleh sensor satelit secara skematik dapat dilihat pada Gambar 2. (Sumber : IOCCG Report Number 3, 2000) Gambar 2. Pemantulan Cahaya Matahari oleh Partikel-Partikel di Perairan Keterangan : A = Pantulan cahaya matahari oleh material inorganic tersuspensi B = Pemantulan cahaya matahari oleh molekul air

11 C = Penyerapan cahaya matahari oleh material yellow-substances D = Pemantulan cahaya matahari oleh dasar perairan E = Pemantulan cahaya matahari oleh fitoplankton F = Material inorganic tersuspensi G = Material yellow-substances H = Fitoplankton Satelit memanfaatkan sifat optis air untuk menangkap pantulan gelombang elektromagnetik dari klorofil-a. Dalam perjalanannya menuju sensor, pantulan tersebut tidak hanya gelombang dari klorofil-a itu sendiri tetapi juga dari materialmaterial atmosfer serta konfigurasi permukaan dimana klorofil-a itu berada. Klorofil-a mengabsorbsi cahaya dengan baik pada kanal biru (430 nm) dan kanal merah (660 nm), sedangkan pantulan maksimum dari cahaya terdapat fitoplankton terjadi pada kanal hijau karena klorofil-a sangat sedikit menyerap radiasi gelombang elektromagnetik (Curan, 1985). Pengukuran suhu permukaan di bumi dapat dilakukan dengan alat pendeteksi yang peka terhadap spektrum inframerah. Pada spektrum tersebut terjadi hambatan atmosfer oleh debu. H₂O, CO 2, O 2, dan O 3. Oleh karena itu, pengukuran suhu permukaan dilakukan pada panjang gelombang dengan jendela 3,5 µm 5,5µm dan 8 µm 14 µm. Pada panjang gelombang tersebut hambatan atmosfer relatif kecil sehingga tenaga termal dapat melalui atmosfer (Sabins, 1978). Pengukuran spektrum inframerah yang dipancarkan oleh permukaan laut hanya dapat memberikan informasi suhu pada lapisan permukaan saja (Robinson, 1985).

12 2.5 Karakteristik Satelit Aqua MODIS Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) merupakan sensor utama pada satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Sensor MODIS pertama kali diluncurkan bersama satelit Terra pada tanggal 18 Desember 1999 dengan spesifikasi lebih fokus untuk daerah daratan. Pada tanggal 4 Mei 2002 diluncurkan satelit Aqua yang membawa sensor MODIS dengan spesifikasi daerah laut. Satelit Aqua MODIS dapat dilihat pada Gambar 3. (Sumber : http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov) Gambar 3. Satelit Aqua MODIS Satelit Aqua MODIS merupakan satelit ilmu pengetahuan tentang bumi kepunyaan NASA yang memiliki misi untuk mengumpulkan informasi tentang siklus air di bumi, termasuk penguapan dari samudera, uap air di atmosfer,

13 awan, presipitasi, kelembaban tanah, es yang ada di darat, serta salju yang menutupi daratan. Variabel yang diukur oleh satelit Aqua antara lain aeserol, tumbuhan yang menutupi daratan, fitoplankton dan bahan organik terlarut di lautan, serta suhu udara, daratan dan air. Satelit Aqua MODIS mempunyai orbit near-polar sun-synchronus, yaitu: orbit yang melewati daerah kutup dan satelit yang mengelilingi bumi dari Kutup Utara ke Kutup Selatan atau sebaliknya. Spesifikasi dari satelit Aqua MODIS dapat dilihat pada Tabel 1: Tabel 1. Spesifikasi Satelit Aqua MODIS. 705 km, 1:30 p.m, node ascending (Aqua), Orbit sun-synchronous, near-polar, sirkular Rataan scan 20,3 rpm Luas sapuan 2330 km (jalur yang bersinggungan) dengan lintang 10 derajat lintasan pada nadir Dimensi teleskop 17,78 cm Ukuran satelit 1,0 x 1,6 x 1,0 m Berat 228,7 kg Daya 162,5 Watt (rata-rata satu orbit) Data 10,6 Mbps (per hari); 6,1 Mbps (per orbit) Resolusi radiometrik 12 bit = 4096 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7), 1000 m Resolusi spasial (band 8-36) Umur 6 tahun Sumber: (http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov) Sensor MODIS memiliki 36 kanal. Kanal-kanal tersebut bekerja pada kisaran panjang gelombang sinar tampak dan inframerah dengan selang panjang gelombang pada masing-masing kanal yang relatif sempit. Kisaran panjang gelombang kanal-kanal sensor MODIS dapat dilihat pada Tabel 2:

14 Tabel 2. Kegunaan Utama dan Panjang Gelombang Kanal-Kanal Sensor MODIS Kegunaan utama Kanal Panjang gelombang (nm) 1 620 670 Batasan daratan/awan/aerosol 2 841 876 3 459 479 4 545 565 Kajian tentang sifat daratan/ awan/ aerosol 5 1230 1250 6 1628 1652 7 2105 2155 Menganalisa warna laut/ fitoplankton/ biogeokimia Menganalisa kandungan uap air dari atmosfer Manganalisa tentang suhu permukaan daratan/ awan Menganalisa tentang suhu atmosfer Menganalisa kandungan uap air awan cirrus 8 405 420 9 438 448 10 483 493 11 526 536 12 546 556 13 662 672 14 673 683 15 743 753 16 862 877 17 890 920 18 931 941 19 915 965 20 3660 3840 21 3929 3989 22 3929 3989 23 4020 4080 24 4433 4498 25 4482 4549 26 1360 1390 27 6535 6895 28 7175 7475 Menganalisa sifat awan 29 8400 8700 Menganalisa sifat ozon 30 9580 9880 Menganalisa suhu awan dan daratan 31 10780 11280 32 11770 12270 33 13185 13485 Menganalisa ketingggian puncak awan 34 13485 13785 35 13785 14085 36 14085 14385 Sumber: (http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov)

15 2.6 Ikan Pelagis di Laut Jawa Sumber daya ikan pelagis di Laut Jawa terdiri dari komunitas ikan pelagis pantai (Sardinella spp, Rastrelliger branchysoma, Dusumieria acuta, Selar spp), ikan pelagis neritik dan oseanik (Decapterus russelli, Selar crumenophthalmus, Rastrelliger kanagurta, Decapterus macrosoma, Amblygaster sirm, Megalaspis cordyla, Scomberomorus spp, Auxis thazard). Lima spesies utama hasil tangkapan pukat cincin (purse seine), yaitu: ikan layang (Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma), bentong (Selar crumenophthalmus), banyar (Rastrelliger kanagurta), dan ikan siro (Amblygaster sirm). Kelompok jenis ikan layang (Decapterus spp) merupakan komponen utama di Laut Jawa. Dominasi ikan ini terjadi pada daerah penangkapan yang dipengaruhi oleh massa air yang bersifat oseanik. Penyebaran ikan pelagis berdasarkan hasil tangkapan pukat cincin menunjukkan konsentrasi ikan pelagis berada di bagian timur Laut Jawa (Atmadja et al., 2003) Keberadaan dan jenis ikan layang sebagai tujuan penangkapan sangat menentukan pola aktifitas penangkapan armada pukat cincin dimana pukat cincin merupakan alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di perairan Laut Jawa. Konsentrasi D. macrosoma berada di bagian Timur Laut Jawa dan Selat Makassar. Sedangkan D. russelli memperlihatkan sebaliknya, ikan ini berkonsentrasi di bagian Barat Laut Jawa dan Laut Cina Selatan. A. sirm dan R. Kanagurta mempunyai pola penyebaran yang mirip dengan D. macrosoma, sedangkan S. crumenophthalmus menyerupai pola penyebaran D. russelli. Ikan layang D. russelli berkonsentrasi di bagian Barat Laut Jawa dan Laut Cina Selatan sepanjang tahun, sedangkan D. macrosoma berkonsentrasi di bagian Timur Laut

16 Jawa dan Selat Makassar terjadi pada bulan September-Februari, konsentrasi R. Kanagurta tertinggi pada bulan Juni-Agustus dan konsentrasi A. sirm tertinggi pada bulan Desember-Mei (Atmadja dan Sadhotomo, 2000) Perubahan komposisi ikan hasil tangkapan umum terjadi pada perikanan multi-spesies. Selain dominasi ikan pelagis kecil yang disebut di atas, kerap kali tertangkapnya spesies yang tidak biasa dalam jumlah banyak, seperti ikan sawanggi (Priacanthus macracanthus) pada tahun 1991-1992, ikan cekong (Sardinella sp) di daerah penangkapan Selat Sunda dan Utara Indramayu pada tahun 1997-1998 dan terakhir kemunculan ikan ayam-ayaman (Leather jacket, Alesterus monoceros) selama bulan Oktober-Desember 2002 di daerah Timur Laut Jawa. Kemunculan spesies-spesies tersebut belum diketahui penyebabnya secara pasti, namun dugaan awal berkaitan dengan perubahan lingkungan yang anomaly (Atmadja et al., 2003) Ikan pelagis memiliki respon yang berbeda-beda terhadap faktor oseanografi seperti SPL, konsentrasi klorofil-a dan salinitas perairan. Ikan layang merupakan ikan yang mempunyai sifat stenohalin, artinya hidup pada perairan dengan salinitas yang sempit. Salinitas yang optimal untuk ikan layang berkisar antara 31-33 (Nontji, 2005). Ikan kembung lelaki hidup optimal di daerah perairan lepas pantai yang merupakan perairan terbuka dengan kadar garam 33-35 dengan kondisi arus yang tidak begitu kuat. Ikan kembung lelaki merupakan ikan pelagis yang sering ditemukan dalam bentuk kelompok besar di permukaan. Makanan utama ikan jenis ini adalah plankton (Soemanto, 1985 dalam Zen, 2006).

17 Tongkol termasuk jenis ikan pelagis yang hidup pada perairan yang hangat dan biasanya bergerombol. Ikan tongkol dewasa seperti spesies Euthynnus affinis hidup optimal pada suhu 29 C. Ikan jenis ini berpopulasi di perairan pantai khususnya di perairan tropis (Collete and Nauen, 1983 dalam Wahyuni, 2008). Ikan lemuru dan tembang merupakan ikan yang dikenal dengan nama sardine. Keberadaan kedua jenis ikan ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan plankton yang merupakan sumber makanan utama ikan ini (Nontji, 2005).