Jalan Pulang puisi dan semacamnya Suhendi Pusap
Jalan Pulang Suhendi Pusap, 2016 Time Factory Cetakan pertama, 13x19 cm Desainer sampul: Mugi Lestari Dilarang memperbanyak atau menggandakan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penulis, kecuali untuk kepentingan akademis, jurnalistik, dan advokasi. Diterbitkan secara mandiri melalui NulisBuku.com
Untukmu, yang pernah baik dan simpati padaku.
Ucapan Terima Kasih Terima kasihku terutama kepada NulisBuku.com yang telah menyediakan tempat untuk menerbitkan buku secara pribadi, tanpa khawatir menunggununggu penolakan penerbit. Kepada ibuku, bapakku, dan adikku, tak ada katakata yang cukup mewakili rasa sayang sekaligus syukur telah menjadi bagian keluarga sederhana kita, tempat jalan pulang berujung. Kepada para penyair yang sempat kubaca karyakaryanya, kalian kurang ajar telah menghabiskan ladang kata, dibuatnya tulisanku ini kecil dihadapan karya agung kalian. Tetapi aku berterima kasih, dari karya-karya itulah aku belajar menanam benih kata, siapa tahu suatu saat bisa kupanen. Juga terima kasihku kepada kalian yang mau susahsusah untuk membaca buku ini. Semoga bermanfaat!
Prolog: Pulanglah Untuk siapa saja yang akan pulang: Jauh dari rumah dan nomaden, membuatku pulang ke rumah dari arah yang berbeda-beda. Dari tempat terjauh jalan itu bercabang-cabang, lalu mengerucut menjadi satu-dua jalan saat mendekati rumah. Ada satu ruas jalan yang sering kulewati saat pulang. Ada juga ruas jalan yang pasti kulewati dari mana pun arahnya. Aku dan ruas jalan itu telah merangkai cerita: merekam tanpa sengaja betapa perkelanaan yang kulakukan begitu humanis. Tempat jauh pertama yang kusinggahi adalah Subang kota. Tinggal 3 tahun di Subang, hanya beberapa kali aku pulang ke rumah, tapi di jalan pulang itulah babak demi babak perkelanaan itu tercatat. Dari sana aku harus pulang ke arah selatan melewati kebun teh, melewati perkampungan, lalu pesawahan dan satu ruas jalan sampai ke rumah. Jika aku pulang sore hari melewati kebun teh, aku melihat warna daun-daun dadap bergradasi kuning-merah, berbaris rapi dan anggun di tengah-tengah kebun. Seperti menyambut musim gugur di luar negeri. Dan terhenyaklah aku, daun-daun dadap yang menguning itu memberi tahu bahwa sudah 6 bulan aku baru pulang. Tempat kedua adalah Bandung. Dari Bandung malah pulang ke arah utara, melewati gedung-gedung, melewati gunung dan kebun pinus, kebun teh lagi, sampai ke ruas jalan yang sama seperti dari Subang. Ketika sampai di daerah pesawahan, biasanya aku menandai sedang dalam tahap apa padi-padi yang 1
ditanam. Jika dulu aku berangkat sambil melambaikan perpisahan kepada salah seorang petani yang sedang mencangkul, bisa jadi saat pulang kali ini padi sudah menguning, yang berarti sudah 3 bulan lebih tak pernah pulang. Pulang pun aku tak pernah lama-lama. Satu-dua hari kemudian langsung berangkat lagi. Dan bisa jadi ketika pulang lagi nanti, aku akan melambaikan tangan kepada salah seorang petani yang sedang mencangkul lagi, mengabarkan bahwa aku sudah bermusim-musim baru pulang. Tempat berikutnya ada di luar Jawa. Lama meninggalkan rumah sudah biasa. Tapi meninggalkan Kota Bandung baru sekali itu. Rindunya tak tertahankan, baik kepada kotanya maupun kepada salah satu penghuninya. Ketika bisa pulang untuk pertama kalinya setelah kesekian musim hujan, sengaja aku terbang langsung ke Bandung. Kususuri ruas-ruas jalannya. Kuhirup udaranya. Kusentuh tanahnya. Dan tahulah aku bahwa cinta, o, cinta itu lebih hebat terasa dari jarak jauh. Keesokan harinya aku pulang ke rumah melewati kebun teh juga. Perubahan yang terlihat di jalan: di kebun teh sudah tertanam pohon akasia dan pohon sawit sudah pada besar. Ironisnya, cuma pohon akasia dan sawit yang bisa kutemukan di antara ribuan hektar hutan di luar Jawa itu. Sementara pohon-pohon dadap sedang meranggas. Dan perubahan di rumah: aku jadi punya adik laki-laki. Dari setiap perubahan itu, yang paling mendasar ada di lingkungan kampungku: Setiap kali aku pulang, pada malam hari selalu kusempatkan diri bertanya kepada orang tua tentang apa saja yang telah terjadi di saat aku pergi. Kadang 2
ibuku bercerita, minggu lalu baru panen kopi. Atau bapakku menyampaikan bahwa bulan depan akan ada pemilihan kepada desa. Juga kutanyakan kabar temanteman dulu. Apa kabarnya mereka itu sekarang? Teman yang ini sudah menikah, teman yang itu pergi bekerja ke kota, teman yang lain lagi sudah punya anak, dan seterusnya. Kemudian korespondensi itu diakhiri dengan kabar orang meninggal dunia. Si A, yang dulu begini, kemarin meninngal karena sakit. Si B, yang itu, minggu lalu meninggal juga. Lalu aku terkenang akan orang-orang yang meninggal itu. Mencoba memutar kembali apa hal terakhir yang kulakukan dengannya; namun kebanyakan tak mampu kupanggil ingatan itu karena terlalu usang. Bagiku, kabar meninggal itu paling mendasar karena perkelanaanku jadi jauh berkurang maknanya jika orang-orang di kampungku itu meninggal dunia lebih dulu tanpa aku sempat berkontribusi apa-apa terhadapnya. Apalagi kebanyakan yang meninggal itu adalah sesepuh kampung, generasi yang dulu mengajariku kesederhanaan. Bahkan ada yang usianya lebih dari 100 tahun, meninggal duluan, sedangkan aku belum bisa berbuat apa-apa untuk berterima kasih. Semakin aku berkelana ke kota-kota lain Jakarta, Banjarmasin, Hanoi, Surabaya, Shenzhen, dan lain-lain semakin ingatlah aku bahwa seberapa jauh pun aku berkelana, seberapa banyaknya ruas jalan yang ditempuh, jalan-jalan itu akan mengerucut ke satu ruas: kematian. Aku juga bisa menyaksikan perubahan jalan-jalan itu sendiri. Di kampung aku terbiasa menyusuri tanah jalan setapak untuk ke hutan dan ke sawah. Lalu meninggalkan kampung saat jalan masih beraspal tipis 3
berbatu. Di kota bertemu dengan berbagai jenis jalan: jalan aspal hot mix, trotoar, jalan lebar, jalan tol, jalan sempit, juga jalan berlubang. Pernah pulang ketika jalan di aspal bagus. Lalu pulang lagi ketika sudah jelek lagi. Jalan setapak di kampung dulu ada yang dibalut semen dan pasir, lalu ditimpah hujan jadi berlubang di sana-sini. Jalan-jalan itu begitu tabah. Tetapi apakah yang lebih humanis dari pulang melalui jalan yang sama saat kita pertama kali meninggalkannya? 4
Siapa Aku 1 Sewaktu kecil aku sering melihat pemancing di tepi sungai, melempar kail lalu duduk menunggu dengan sabar. Tak ada pekerjaan lain yang harus dikerjakannya, tak ada orang lain yang dipikirkannya. Aku ingin jadi pemancing yang menyusur lubuk sepanjang sungai, lalu pulang membawa sekeranjang ikan. Ketika sudah besar aku pernah bertemu dengan ahli tafsir, dia berkata kepadaku bahwa tak ada satu lembar daun pun jatuh di dalam hutan tanpa tercatat di dalam kitab. Tak ada hal lain yang dipelajarinya, tak ada yang dikhawatirkannya. Aku ingin jadi ahli tafsir yang sepanjang hari membuka lembar demi lembar kitab, sampai kuketahui semua rahasia demi rahasia alam semesta. Sekarang aku sudah tua, namun aku tak pernah pulang membawa satu pun ikan dan tak satu pun rahasia alam semesta yang kuketahui. Aku jadi bertanya-tanya menjadi apa aku sebenarnya. 1 c.f. Rabindranath Tagore, setelah membaca Tukang Kebun (The Gardener) 5
Jumlah Cinta Ada seratus jenis cinta di alam semesta ini. Lima puluh darinya adalah cinta palsu. Empat puluh sembilan sisanya sudah ternoda. Yang asli, suci, dan abadi tinggal satu. Semula ia tersimpan di langit ketujuh. Sekarang ada di hatiku. Aku mencurinya untukmu. 6
Cintaku Untukmu 2 Cintaku untukmu adalah cinta dari jenis lain, terbuat dari bahan yang lain. Akan kuabadikan rupanya dalam segala warna: ditulis dalam roman agar para terpelajar membacanya; dibuatkan dramanya, barangkali dalam pewayangan; dijadikan lirik pupuh, kinanti dan asmarandana, agar menjadi bagian budaya; juga dipuisikan, berbait-bait sarat makna. Cintaku untukmu, simpanlah ia.. 2 c.f. Pramoedya Ananta Toer, setelah membaca Bumi Manusia 7