BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Politik etis adalah politik balas budi atau politik kehormatan, namun

dokumen-dokumen yang mirip
PERKEMBANGAN PERGERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA

SEKILAS SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Barat, pendidikan di Sumatra Timur bersifat magis religius yang

STRATEGI PENDIDIKAN BELANDA PADA MASA KOLONIAL DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru yang mengajarkan bagaimana

MODUL POLA KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL HINGGA KEMERDEKAAN MATERI : HUBUNGAN POLITIK ETIS DENGAN PERGERAKAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Selama masa penjajahan Belanda, terjadi berbagai macam eksploitasi di

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV DAMPAK KEBERADAAN PONDOK PESANTREN DALAM BIDANG SOSIAL, AGAMA DAN PENDIDIKAN BAGI MASYARAKAT TLOGOANYAR DAN SEKITARNYA

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dapat dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: Pendidikan formal,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Sejarah Pendidikan di Kota Medan. dari keluarg, masyarakat sekelilingnya. Perkembangan pendidikan saat ini ini

MEDIA PEMBELAJARAN FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2008

BAB II PENDIDIKAN DAN KEDUDUKAN SOSIAL GURU-GURU DI JAWA PADA AWAL ABAD XX. A. Pendidikan di Kalangan Bumiputera di Jawa pada Awal Abad XX

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu tingkat kemajuan harus menempuh pendidikan.

Daftar Isi PENDIRIAN MUSEUM MUHAMMADIYAH PROPOSAL 5 ASAS-ASAS 13 RENCANA 24 TAHAPAN PENDIRIAN 1 LATAR BELAKANG SEJARAH PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN. Perkembangan pendidikan rendah di Yogyakarta pada kurun. waktu dipengaruhi oleh berbagai kebijakan, terutama

BAB I PENDAHULUAN. dituangkan dalam bentuk pendidikan sekolah dan luar sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. produktif. Di sisi lain, pendidikan dipercayai sebagai wahana perluasan akses.

INFO LENGKAP IPDN 2013

BAB I PENDAHULUAN. tertua sekaligus merupakan ciri khas yang mewakili Islam tradisional

BAB I PENDAHULUAN. Dakwah Islamiyah merupakan suatu kegiatan yang bersifat menyeru,

I. PENDAHULUAN. Sejak masuknya bangsa Belanda dan tata-hukumnya di nusantara tahun 1596

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM PESANTREN AL-AZHAR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

PENDIDIKAN PADA MASA KOLONIAL

BAB I PENDAHULUAN. disesuaikan dengan sistem pendidikan yang dibuat pemerintah kolonial Belanda.

SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN AL-FALAH DI DESA KAUMAN LOR KECAMATAN PABELAN KABUPATEN SEMARANG PADA TAHUN

BAB I PENDAHULUA N. mensejahterakan kehidupan masyarakat. Ketatnya persaingan dunia dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BUPATI LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU NOMOR : TENTANG PENDALAMAN MATERI PENDIDIKAN AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. didik ke arah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab. Untuk. hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu.

BAB II HINDIA BELANDA PADA AWAL ABAD XX DAN MUNCULNYA GERAKAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia

KIYAI DAN PROFESOR: MENCARI TITIK TEMU PERGURUAN TINGGI ISLAM Oleh : Muhammad Isnaini

BAB V PENUTUP. 1. Pendidikan Islam di Nusantara pada masa KH. Ahmad Dahlan sangat

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari pengetahuan dan ketrampilan baru sehingga dapat diperoleh

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab

BAB I PENDAHULUAN. tersebut mengantarkan orang untuk terbuka terhadap kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan berkembangnya ini mengakibatkan ilmu pengetahuan memiliki. dampak positif dan negatif. Agar dapat mengikuti dan meningkatkan

POLITIK KOLONIAL KONSERVATIF, ) ENCEP SUPRIATNA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Departemen Pendidikan Nasional RI (2003:5) mendefinisikan

2015 STUDI TENTANG PERAN PONDOK PESANTREN DALAM MENINGKATKAN KEDISIPLINAN SANTRI AGAR MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pemilihan umum (Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan

BAB V PENUTUP. Pendidikan agama Islam adalah meliputi: oleh tenaga ahli masyarakat setempat. Madrasah Ibtidaiyah al-falah.

BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH KELURAHAN SAMPANGAN KOTA PEKALONGAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS LEMBAGA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Rajawali Pers, 2009), hlm Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta:

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah ialah karena dirasakan tidak efektifnya lembaga-lembaga. reformulasi ajaran dan pendidikan Islam.

BAB I PENDAHULUAN. lembaga sekolah, non formal yakni keluarga dan informal seperti halnya pondok

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL. Pendidikan pesantren dalam menghadapi era globalisasi, meskipun pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter yang diimplementasikan dalam institusi pendidikan, diharapkan dapat

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI SEKOLAH BERBASIS PESANTREN DI SMP DARUL MA ARIF BANYUPUTIH KABUPATEN BATANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN KEAGAMAAN ISLAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PONDOK PESANTREN MODERN DI KENDAL

BAB V PEMBAHASAN. A. Upaya Pimpinan Madrasah dalam Penerapan Disiplin. Melihat data yang disajikan, tampak bahwa kepemimpinan kepala MTsN

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebangkitan nasional tahun 1908, para pemimpin pergerakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu proses untuk memanusiakan manusia. Artinya pendidikan pada dasarnya adalah sebagai upaya mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan dunia dan akhirat. Dakwah sebagai aktifitas umat Islam dalam. metode maupun media yang digunakan.

pada diri mereka sehingga mudah menguasai bahasa yang dipelajari baik secara aktif maupun pasif. Demikian juga penciptaan lingkungan dan budaya

BAB I PENDAHULUAN. pribadi dalam menciptakan budaya sekolah yang penuh makna. Undangundang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

POLA KEPEMIMPINAN K. H. M. THOHIR ABDULLAH, A.H DALAM UPAYA PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN RAUDLOTUL QUR AN DI MANGKANG SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. dengan lingkungan dan tidak dapat berfungsi maksimal dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Press, 2010), hlm Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat ( 1).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan. mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pesantren terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan dunia

BAB I PENDAHULUAN. harus berhadapan langsung dengan zaman modern. dilepas dari kehidupan manusia. Islam juga mewajibkan kepada manusia

PROFIL AISYIYAH BOARDING SCHOOL BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak

Pondok Pesantren Modern di Semarang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Mitra Pustaka, 2006), hlm 165. Rhineka Cipta,2008), hlm 5. 1 Imam Musbikiin, Mendidik Anak Kreatif ala Einstein, (Yogyakarta:

Nama Dayah Lembaga Pendidikan Dayah Terpadu Dinul Islam. Alamat Jl. H. Pansuri Kap. Lae Pinang Kec. Singkohor Aceh Singkil. Pendiri Muzakki Salim

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Kondisi ini akan

BAB I PENDAHULUAN. mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan. bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah mahluk yang mampu mengembangkan diri. Kemampuan

BAB IV FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT. dalam pesantren, pendidikan sangat berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah proses yang ditempuh oleh peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. asuh dan arahan pendidikan yang diberikan orang tua dan sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. telah berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan pendidikan diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap dunia pendidikan dan pembentukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. umat manusia. Ayat Al-Qur an yang ditulis dalam bahasa Arab kemudian

Dhiaul Huda. Sejarah Pendirian

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

2014 PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN AL-ISLAMIYYAH DESA MANDALAMUKTI KECAMATAN CIKALONGWETAN KABUPATEN BANDUNG BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Politik etis adalah politik balas budi atau politik kehormatan, namun tidak lepas dari intrik-intrik politik dan memiliki tujuan didalamnya, hal yang pada awalnya balas budi atau politik kehormatan ternyata tidak sejalan dengan apa yang dibuat pada tujuan awal politik tersebut. Terbukti dengan masih adanya suatu keinginan dan kepentingan implisit dalam realisasinya, sebagai contoh adalah emigrasi (transmigrasi) yang dibuat sebagai pemerataan penduduk Jawa dan Madura untuk dipindahkan ke daerah Sumatra Utara dan Selatan ternyata masih ada keinginan untuk mencari keuntungan sebesarbesarnya dari kebijakan tersebut (H. Baudet & I.J. Brugmans, 1987: 176). Meskipun sifatnya untuk mendapatkan keuntungan namun tetap saja politik etis tersebut adalah fajar budi atau dalam bahasa Jerman adalah Aufklarung (pencerahan) bagi bangsa Indonesia dimana fajar budi itu muncul terlihat sinar-sinarnya dengan dibuatnya sekolah-sekolah untuk penduduk pribumi, meskipun sebagian besar adalah untuk kelas bangsawan saja namun untuk penduduk kelas bawah pun terdapat pendidikan meskipun sistem dan fasilitasnya kelas dua. Dengan didirikannya sekolah bagi penduduk pribumi maka membuka kesempatan untuk penduduk pribumi mendirikan organisasiorganisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam hingga pembentukan Volkskraad. Organisasi-organisasi tersebut adalah suatu respon dari stimulus

yang diberikan oleh politik etis dengan memajukan pendidikan (Edukasi) di Indonesia. Selain emigrasi (transmigrasi) dan pendidikan (Edukasi), ada juga program pada oleh politik etis yaitu perbaikan dalam bidang infrastruktur (Irigasi). Ketiga pokok itulah yang terkenal sebagai Trilogi Van Deventer (Kansil, 1984: 12). Dalam penelitian ini yang akan lebih banyak dibahas adalah mengenai pendidikan karena hal tersebut merupakan suatu masalah yang menarik karena akan menjadi politik bumerang dan era pencerahan bagi bangsa Indonesia. Dan secara real memang bidang pendidikanlah yang begitu besar perhatiannya terbukti dengan munculnya tokoh, Snock Hurgronje, Abendanon, dan van Heutz. Dalam pelaksanaanya ada dua pendapat yang berbeda mengenai dua sistem yang dikemukakan oleh para ahli. Pendidikan Islam yang berkembang pada saat itu hanya pendidikan yang sifatnya masih lokal dan konservatif seperti surau, langgar, dan pesantren. Mata pelajaran yang diajarkan adalah ilmu-ilmu agama saja dan tidak mengajarkan pelajaran-pelajaran yang sifatnya umum. Pendapat yang dikemukakan oleh para ahli diatas diantaranya adalah: 1. Snouck Hurgronje direktur utama politik etis pertama (1900-1905) dan J.H. Abendanon yang mendukung pendidikan dengan pendekatan yang bersifat elitis yaitu pendidikan yang bergaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya, dengan tujuan menjadikan kalangan elit yang cakap dalam birokrasi dan tahu terima kasih.

2. Idenburg dan Gubernur Jendral van Heutz (1904-1909) yang mendukung pendidikan dengan pendekatan yang bersifat merakyat (grass root) dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya. Tujuan dari pendidikan yang bergaya elitis adalah menghasilkan pimpinan bagi zaman pencerahan baru Belanda-Indonesia, sedangkan tujuan pendidikan bergaya merakyat (grass root) adalah memberikan sumbangan langsung bagi kesejahteraan rakyat (Sartono kartodirjo, 1993: 31). Namun permasalahan yang dihadapai oleh kedua sistem ini adalah ketidakcukupan dana yang memadai dan tidak menghasilkan sesuatu yang diinginkan dari tujuan awalnya. Pada awal tahun 1850 Pemerintah Hindia Belanda mulai mendirikan Sekolah Rendah Bumiputera Kelas Satu yang lama pendidikannya 5 tahun dan diperuntukkan bagi anak pegawai pamong praja (golongan Priyayi) bangsa Indonesia. Pada tahun 1851 Pemerintah mendirikan Sekolah Guru Negeri yang dikenal Kweekschool di Surakarta. Akhir abad ke-19 didirikan Sekolah Rendah Bumiputera Kelas Dua dengan lama pendidikan 4 tahun. Sekolah Kelas Dua ini diperuntukkan bagi golongan rakyat biasa. Tahun 1879 berdiri Sekolah Kepala atau Hoofdenschool bagi anak bupati. Tahun 1990 sekolah ini diubah kurikulumnya dan diberi nama Opleiding School van Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) dengan lama pendidikan 5 tahun. (Departemen P & K, 1977 : 23-24). Terdapat juga Sekolah Rendah untuk orang Eropa yang disebut Europeesche Lagere School (ELS) yang didirikan bagi anak Eropa (Belanda),

Timur Asing dan orang terkemuka bangsa Indonesia dengan syarat mengerti Bahasa Belanda. Orang Indonesia yang telah tamat dari ELS dapat melanjutkan ke Sekolah Dokter Jawa atau School tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA) dengan lama pendidikan 3 tahun dan 6 tahun pelajaran kedokteran penuh. Adanya pendidikan Barat yang dibuka oleh Belanda tidak dapat ditolak akan memunculkan banyak elite rendahan yang mempunyai dasar pendidikan yang lebih tinggi. Para lulusan sekolah tinggi tersebut merupakan elite baru atau priyayi Jawa baru. Mereka berusaha untuk mendapat tempat dalam masyarakat. Kalangan priyayi Jawa baru atau lebih rendah dan pejabat-pejabat yang maju memandang pendidikan sebagai kunci menuju kemajuan adalah kelompok pertama yang membentuk suatu organisasi modern (Ricklefs, 1993: 248). Organisasi modern yang dimaksud adalah organisasi yang mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas, dan anggota (Suhartono, 2001: 30). Perkembangan pendidikan menjadikan masyarakat Indonesia yang tadinya tidak mengenal huruf menjadi mengenal huruf. Dan dengan pendidikan masyarakat juga dapat mengetahui ilmu pengetahuan tidak hanya ilmu pengetahuan tentang agama saja namun juga ilmu pengetahuan umum, yang sebelumnya hanya ada dalam lembaga pendidikan pesantren saja kemudian timbul sekolah-sekokah umum. Baik yang berupa buatan Belanda maupun Indonesia seperti Tanam Siswa dan lain-lain.

Dalam perkembangannya pondok pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia telah berhasil menunjukkan kemampuannya dalam mencetak kader-kader ulama dan telah berjasa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan keberhasilannya dalam menanamkan sikap mandiri dan disiplin. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencari kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Meskipun kadang-kadang masih berupa benih-benih potensi dengan tanpa menampikkan kekurangankekurangannya. Dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati bahwa pesantren telah mendidik santrinya menjadi orang yang taat beragama dan beraklaq mulia. Pesantren yang menggunakan pendekatan holistik dalam pendidikannya menjadikan semua aktifitas yang dilaksanakan didalamnya sebagai satu kesatuan yang mengantarkan santri mencapai tujuan yang dicita-citakan. Hal itulah yang akan menjadi modal bagi santri untuk meningkatkan potensi yang ada dalam dirinya, karena sebaik-baik apapun ilmu pengetahuan jika tidak diketahui, dipahami, dihayati dan diamalkan tidak akan berpengaruh apa-apa dalam kehidupan masyarakat (Samsul Nizar, 2002: 90). Pendidikan yang ada di pesantren pada mulanya mendominasi pelajaranpelajaran agama saja yang biasanya materi disajikan dalam bahasa Arab (Yasmadi, 2002: 78). Maka bisa dikatakan ada penyempitan orientasi kurikulum dalam lingkungan pendidikan pesantren, karena penekanan yang berlebihan terhadap satu aspek disiplin, keilmuan tertentu, sehingga mengabaikan aspek keilmuan yang lain. Dalam perkembangannya, yaitu sejak

kemerdekaan Indonesia, tidak sedikit pesantren yang menerapkan pendidikan dengan sistem Madrasah, dan kini terus berkembang sejalan dengan perkembangan sosial yang ada, bahkan sejumlah pesantren membuka sekolahsekolah umum seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Hal ini terjadi karena adanya kesadaran dilingkungan pengasuh pesantren, bahkan tidak semua alumni pesantren ingin menjadi ulama; ustadz ataupun da i. Yang banyak dari mereka justru menjadi warga biasa yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tertentu. Di Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang terdapat 3 pondok pesantren yaitu pondok pesantren Darussalam, pondok pesantren Nurul Huda dan pondok pesantren Al-Falah. Sistem pendidikan yang digunakan pondok pesantren Darussalam dan pondok pesantren Nurul Huda ini sama yaitu lebih kepada pemahaman Al-Qur an dan menghafal kitab Tauhid, sedangkan sistem pendidikan pondok pesantren Al-Falah yaitu hampir sama dengan sistem pendidikan pada ke-2 pondok pesantren tersebut, namun yang membedakan adalah bahwa di pondok pesantren Al-Falah ini diajarkan ketrampilan menjahit, dan ketrampilan dalam bidang mekanik motor yang diajarkan pada santrinya. Santri-santri yang ada di pondok pesantren Al-Falah berasal dari daerah lain. Ada juga santri yang berasal dari daerah luar Jawa seperti Sumatra dan Jambi. Pondok pesantren Al-Falah pada tahun 1980 ini merupakan masa pembaharuan karena pada tahun 1980 KH. Masrur mendirikan Madrasah Diniyyah, Taman Pendidikan Al-Qur an, dan Panti Asuhan yang diberi nama

Arri ayah, sedangkan pada tahun 2006 sampai 2010 pondok pesantren mulai menggenalkan ketrampilan tangan. Ketrampilan yang diajarkan pondok pesantren Al-Falah diantaranya ketrampilan menjahit dan ketrampilan mekanik sepeda motor. Dengan demikian peneliti ingin mengetahui bagaimana sistem pendidikan yang ada di dalam pondok pesantren Al-Falah. Berpijak dari sekilas uraian di atas maka penulis mengambil judul Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Al-Falah di desa Kauman Lor Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang Pada Tahun 1980-2010. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan penelitiannya adalah Bagaimanakah Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Al-Falah di desa Kauman Lor Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang Pada Tahun 1980-2010. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Al-Falah di desa Kauman Lor Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang Pada Tahun 1980-2010. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi dunia pendidikan pada umumnya dan pengajaran pada khususnya. Penelitian ini memiliki manfaat :

1. Manfaat Akademis : Memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan sejarah khususnya pada matakuliah Sejarah Pendidikan. 2. Manfaat Praktis : Secara praktis penelitian ini memberikan wawasan dan pemahaman kepada generasi muda tentang sejarah pendidikan di Pondok Pesantren selain itu juga dapat memberikan sumbangan kepada semua pihak dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga di bidang pendidikan, sebagai masukan kepada pihak berkompeten dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat sebagai Sumber Daya Manusia dalam pembangunan nasional.