BAB IV PENGOLAHAN DATA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PENGOLAHAN DATA

PERPINDAHAN MASSA KONVEKTIF DENGAN KONTROL TURBULENSI MENGGUNAKAN GANGGUAN DINDING PADA SEL ELEKTROKIMIA PLAT SEJAJAR SKRIPSI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II DASAR TEORI 2.1 ELEKTROKIMIA

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisa aliran berkembang..., Iwan Yudi Karyono, FT UI, 2008

BAB IV HASIL YANG DICAPAI DAN POTENSI KHUSUS

INVESTIGASI KARAKTERISTIK PERPINDAHAN PANAS PADA DESAIN HELICAL BAFFLE PENUKAR PANAS TIPE SHELL AND TUBE BERBASIS COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS (CFD)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Analisis Gradasi Butiran sampel 1. Persentase Kumulatif (%) Jumlah Massa Tertahan No.

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Fluida

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi fluida

BAB II DASAR TEORI. m (2.1) V. Keterangan : ρ = massa jenis, kg/m 3 m = massa, kg V = volume, m 3

ANALISIS FAKTOR GESEK PADA PIPA AKRILIK DENGAN ASPEK RASIO PENAMPANG 1 (PERSEGI) DENGAN PENDEKATAN METODE EKSPERIMENTAL DAN EMPIRIS TUGAS AKHIR

Panduan Praktikum 2012

STUDI NUMERIK PENGARUH PENAMBAHAN OBSTACLE BENTUK PERSEGI PADA PIPA TERHADAP KARAKTERISTIK ALIRAN DAN PERPINDAHAN PANAS.

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA DATA

ANALISA ALIRAN DAN TEKANAN PADA BULBOUS BOW DENGAN DIMPLE (CEKUNGAN) MENGGUNAKAN PENDEKATAN CFD

Rumus bilangan Reynolds umumnya diberikan sebagai berikut:

PENGARUH KONSENTRASI LARUTAN, KECEPATAN ALIRAN DAN TEMPERATUR ALIRAN TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN (DROPLET) LARUTAN AGAR AGAR SKRIPSI

Studi Eksperimen Pengaruh Silinder Pengganggu Di Depan Returning Blade Turbin Angin Savonius Terhadap Performa Turbin

BAB III PERALATAN DAN PROSEDUR PENGUJIAN

BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang

Tulisan pada bab ini menyajikan simpulan atas berbagai analisa atas hasil-hasil yang telah dibahas secara detail dan terstruktur pada bab-bab

PENGARUH VARIASI FLOW DAN TEMPERATUR TERHADAP LAJU PENGUAPAN TETESAN PADA LARUTAN AGAR-AGAR SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN I.1.

4.2 Laminer dan Turbulent Boundary Layer pada Pelat Datar. pada aliran di leading edge karena perubahan kecepatan aliran yang tadinya uniform

BAB IV PENGUKURAN KEHILANGAN ENERGI AKIBAT BELOKAN DAN KATUP (MINOR LOSSES)

oleh : Ahmad Nurdian Syah NRP Dosen Pembimbing : Vivien Suphandani Djanali, S.T., ME., Ph.D

BAB III METODE PENELITIAN

MAKALAH KOMPUTASI NUMERIK

Losses in Bends and Fittings (Kerugian energi pada belokan dan sambungan)

STUDI NUMERIK PENGARUH GEOMETRI DAN DESAIN DIFFUSER UNTUK PENINGKATAN KINERJA DAWT (DIFFUSER AUGMENTED WIND TURBINE)

KARAKTERISTIK ALIRAN DAN SEDIMENTASI DI PERTEMUAN SUNGAI OLEH MINARNI NUR TRILITA

2 a) Viskositas dinamik Viskositas dinamik adalah perbandingan tegangan geser dengan laju perubahannya, besar nilai viskositas dinamik tergantung dari

SIMULASI NUMERIK UJI EKSPERIMENTAL PROFIL ALIRAN SALURAN MULTI BELOKAN DENGAN VARIASI SUDU PENGARAH

BAB IV ANALISA DAN PERHITUNGAN

SIMULASI PERPINDAHAN PANAS GEOMETRI FIN DATAR PADA HEAT EXCHANGER DENGAN ANSYS FLUENT

DAFTAR NOTASI. A : sebuah konstanta, pada Persamaan (5.1)

BAB V HASIL DAN ANALISIS

KARAKTERISTIK ZAT CAIR Pendahuluan Aliran laminer Bilangan Reynold Aliran Turbulen Hukum Tahanan Gesek Aliran Laminer Dalam Pipa

SKRIPSI. Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi. Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik BINSAR T. PARDEDE NIM DEPARTEMEN TEKNIK MESIN

ANALISA DAN VISUALISASI MEDAN ALIRAN PADA GEOMETRI BACKWARD-FACING STEP DENGAN INJEKSI GAS ISHOTERMAL MENGGUNAKAN PARTICLE IMAGE VELOCITIMETRY

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

REYNOLDS NUMBER K E L O M P O K 4

2 yang mempunyai posisi vertikal sama akan mempunyai tekanan yang sama. Laju Aliran Volume Laju aliran volume disebut juga debit aliran (Q) yaitu juml

Studi Eksperimental Efektivitas Penambahan Annular Fins pada Kolektor Surya Pemanas Air dengan Satu dan Dua Kaca Penutup

ANALISIS TINGGI DAN PANJANG LONCAT AIR PADA BANGUNAN UKUR BERBENTUK SETENGAH LINGKARAN

TUGAS SARJANA STUDI KARAKTERISTIK SECONDARY FLOW DAN SEPARASI ALIRAN PADA RECTANGULAR DUCT 900 DENGAN ANGKA REYNOLDS 110.

Boundary condition yang digunakan untuk proses simulasi adalah sebagai berikut :

Muchammad 1) Abstrak. Kata kunci: Pressure drop, heat sink, impingement air cooled, saluran rectangular, flow rate.

WATER TO WATER HEAT EXCHANGER BENCH BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Tujuan Pengujian

BAB IV HASIL YANG DICAPAI DAN MANFAAT BAGI MITRA

BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN HASIL EKSPERIMEN

PEMBUATAN DAN PENGUJIAN OSBORNE REYNOLDS APPARATUS PIPA HORIZONTAL

SIMULASI ALIRAN FLUIDA PADA POMPA HIDRAM DENGAN VARIASI PANJANG PIPA PEMASUKAN DAN VARIASI TINGGI TABUNG UDARA MENGGUNAKAN CFD

BAB 3 METODOLOGI. 40 Universitas Indonesia

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

FakultasTeknologi Industri Institut Teknologi Nepuluh Nopember. Oleh M. A ad Mushoddaq NRP : Dosen Pembimbing Dr. Ir.

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: B-158

Aliran Turbulen (Turbulent Flow)

Radiasi ekstraterestrial pada bidang horizontal untuk periode 1 jam

PENGARUH JARAK SUMBER JET TERHADAP TEMPERATUR DINDING SELINDER

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab VI Hasil dan Analisis

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan utama dalam sektor industri, energi, transportasi, serta dibidang

IRVAN DARMAWAN X

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya semua fenomena aerodinamis yang terjadi pada. kendaraan mobil disebabkan adanya gerakan relative dari udara

FORMULASI PENGETAHUAN PROSES MELALUI SIMULASI ALIRAN FLUIDA TIGA DIMENSI

BAB III ANALISA ALIRAN TURBULENT TERHADAP ALIRAN FLUIDA CAIR PADA CONTROL VALVE ANSI 150 DAN ANSI. 300 PADA PT.POLICHEM INDONESIA Tbk

ANALISA OPTIMASI ALAT PENGHISAP GAS / BAU ASAM DI HOME INDUSTRY ELECTROPLATING PASURUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisa Unjuk Kerja Heat Recovery Steam Generator (HRSG) dengan Menggunakan Pendekatan Porous Media di PLTGU Jawa Timur

Analisa Pengeringan Secara Konveksi Butiran Teh pada Fluidized Bed Dryer Menggunakan Computational Fluid Dynamic (CFD)

Laporan Praktikum Operasi Teknik Kimia I Efflux Time BAB I PENDAHULUAN

Simulasi Numerik Karakteristik Aliran Fluida Melewati Silinder Teriris Satu Sisi (Tipe D) dengan Variasi Sudut Iris dan Sudut Serang

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-192

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) B-174

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 1, (2016) ISSN: ( Print) B36

EFEKTIFITAS PERPINDAHAN PANAS PADA DOUBLE PIPE HEAT EXCHANGER DENGAN GROOVE. Putu Wijaya Sunu*, Daud Simon Anakottapary dan Wayan G.

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB II LANDASAN TEORI. bisa mengalami perubahan bentuk secara kontinyu atau terus-menerus bila terkena

UNIVERSITAS GUNADARMA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

Karakteristik Perpindahan Panas dan Pressure Drop pada Alat Penukar Kalor tipe Pipa Ganda dengan aliran searah

Studi Numerik Karakteristik Aliran Melalui Backward Facing Inclined Step dengan Penambahan Paparan Panas Deri Gedung pada Sisi Upstream

MODUL PRAKTIKUM MEKANIKA FLUIDA

BAB IV PRINSIP-PRINSIP KONVEKSI

PERNYATAAN. Yogyakarta, 17 Agustus Immawan Wahyudi Ahyar. iii

BAB IV PERANCANGAN SISTEM PERPIPAAN AIR UNTUK PENYIRAMAN TANAMAN KEBUN VERTIKAL

PERMASALAHAN DAN SOLUSI KONSTRUKSI BALIHO DI BANJARMASIN

Gambar 3-15 Selang output Gambar 3-16 Skema penelitian dengan sudut pipa masuk Gambar 3-17 Skema penelitian dengan sudut pipa masuk

PENGARUH DEBIT ALIRAN TERHADAP HEAD LOSSES PADA VARIASI JENIS BELOKAN PIPA

Seminar NasionalInovasi Dan AplikasiTeknologi Di Industri 2017 ISSN ITN Malang, 4 Pebruari 2017

UNIVERSITAS DIPONEGORO STUDI EKSPERIMENTAL DAN KOMPUTASI NUMERIK PADA RECTANGULAR ELBOW DENGAN ANGKA REYNOLDS TUGAS AKHIR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Proses Perpindahan Panas Konveksi Alamiah dalam Peralatan Pengeringan

HIDRODINAMIKA BAB I PENDAHULUAN

LAPORAN UOP 2 WETTED WALL COLUMN

BAB III ANALISA KONDISI FLUIDA DAN PROSEDUR SIMULASI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA DATA

Proceeding Seminar Nasional Thermofluid VI Yogyakarta, 29 April 2014

Transkripsi:

BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Penentuan Data Uncertainty Dalam setiap penelitian, pengambilan data merupakan hal yang penting. Namun yang namanya kesalahan pengambilan data selalu ada. Kesalahan tersebut dapat diminimalisasi dengan mengambil data sebanyak mungkin. Namun, seberapa banyak data yang harus diambil agar data tersebut dapat dianggap cukup mewakili? Karena itu digunakan data uncertainty atau ketidakpastian data untuk menggambarkan nilai kesalahan data (dalam %) berdasarkan jumlah data yang diambil. Dengan ini akan dicari nilai kesalahan data yang sekecil mungkin, dimana hal ini akan tercapai pada jumlah data yang cukup banyak. Untuk penentuan data uncertainty ini, diambil dua titik sebagai sampel yaitu pada titik 21 dan titik 45 dimana tiap titik mewakili area awal (sesaat setelah step), dan area akhir (di ujung katoda). Pada tiap titik data yang diambil sebanyak 50, 100, 200, 300, 500, 700 dan 1000 data sampai empat hingga lima kali pengambilan data. Berikut adalah hasil yang diperoleh dalam bentuk grafik. Gambar 4.1 Grafik data uncertainty di titik 21 32

Gambar 4.2 Grafik data uncertainty pada titik 45 Dari grafik data uncertainty yang diperoleh, ternyata nilai kesalahan data di setiap titik pada jumlah pengambilan data yang bervariasi menghasilkan nilai yang cukup kecil yaitu berada pada nilai ±1%. Data yang diambil pada penelitian ini adalah sebanyak 300 data dan nilai kesalahan pada jumlah data tersebut cukup kecil, bahkan mendekati 0% sehingga data yang diperoleh memiliki nilai kesalahan yang dapat diterima. 4.2 Perhitungan Bilangan Reynolds Bilangan Reynolds merupakan bilangan tak berdimensi yang digunakan untuk mengetahui jenis aliran laminar atau aliran turbulen. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan persamaan (2.10).Untuk menentukan nilai d yang merupakan nilai diameter jet pipa, karena pipa pada kanal bukan berbentuk silinder maka harus menggunakan persamaan diameter hidrolik (2.11). Sedangkan untuk mengetahui nilai u yang merupakan kecepatan aliran CuSO 4 menggunakan persamaan (2.12). Hasil dari perhitungan tersebut ditunjukkan pada tabel 4.1. Nilai Re pada penelitian ini merupakan variabel kondisi yang akan diubahubah sesuai dengan kondisi yang diperlukan. Kondisi ini diubah dengan tujuan memperoleh karakteristik aliran yang berbeda pada bilangan Re yang berubah. Bilangan Re tersebut berubah dengan mengubah nilai debit aliran sehingga 33

kecepatan aliran akan berubah. Dimana nilai bilangan Re sebanding dengan nilai kecepatan aliran, sehingga semakin besar nilai debit aliran yang mengakibatkan nilai kecepatan aliran akan meningkat sehingga nilai bilangan Re menjadi bertambah. Tabel 4.1 Nilai Re jet dan Re duct dengan debit aliran sebesar 0,8 ltr/min, 1 ltr/min, 2 ltr/min dan 3 ltr/min. Debit (liter/min) Re jet Re duct 0,8 404,81 364,3284 1 551,4096186 496,2687 2 1513,266998 1361,94 3 2856,55058 2570,896 Dari data yang diperoleh, terlihat bahwa nilai Re pada penelitian ini berkisar antara 400 2900 sehingga aliran larutan CuSO 4 dalam penelitian ini memiliki jenis aliran laminar dan transisi. 4.3 Perhitungan Koefisien Perpindahan Massa Perhitungan koefisien transfer massa dilakukan untuk mendapatkan nilai koefisien untuk perpindahan massa yang terjadi dalam proses elektroplating dengan menggunakan plat tembaga dan larutan elektrolit CuSO 4. Perhitungan dilakukan setelah memperoleh data berupa besarnya arus pada digital multimeter untuk kemudian diolah dengan menggunakan properties dari masing-masing material yang digunakan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari 30 titik yang terdapat pada katoda. Hanya saja data pada mikroelektrode yang dapat terbaca oleh digital multimeter hanya berjumlah 22 titik dengan perbandingan 10 titik genap dan 12 titik ganjil. Dan kemudian yang diambil hanya satu bagian saja yaitu barisan pada titik ganjil karena memiliki jumlah yang lebih lengkap dan cukup mewakili areaarea yang ada pada kanal. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan 34

persamaan (2.6), dimana pada persamaan ini nilai variabel yang diperoleh berasal dari besaran arus yang dialirkan oleh mikroelektrode ke digital multimeter. Sedangkan besaran yang lain diperoleh dari nilai-nilai properties dan konstanta dari material. Hasil pengolahan data ditunjukkan pada tabel 4.2 untuk kondisi debit aliran 0,8 ltr/min, tabel 4.3 untuk kondisi debit aliran 1 ltr/min, tabel 4.4 untuk kondisi debit aliran 2 ltr/min, tabel 4.5 untuk kondisi debit aliran 3 ltr/min. Tabel 4.2 Nilai koefisien perpindahan massa pada kondisi 0,8 ltr/min Titik Jarak Koefisien Massa (mm) (m/s) 19 108 0.000305361 21 119 0.000325298 23 130 0.000258349 25 141 0.000241395 27 152 0.000314909 29 163 0.000329972 31 174 0.000302977 33 191 0.000303624 35 208 0.000298008 39 242 0.000259326 45 301 0.000250051 47 322 0.000214086 35

Tabel 4.3 Nilai koefisien perpindahan massa pada kondisi 1 ltr/min Titik Jarak Koefisien Massa (mm) (m/s) 19 108 0.000333233 21 119 0.000258457 23 130 0.0002205 25 141 0.000206 27 152 0.000280088 29 163 0.000312663 31 174 0.000252527 33 191 0.000242825 35 208 0.000247329 39 242 0.00021489 45 301 0.000201742 47 322 0.000197186 Tabel 4.4 Nilai koefisien perpindahan massa pada kondisi 2 ltr/min Titik Jarak Koefisien Massa (mm) (m/s) 19 108 0.000344984 21 119 0.000329803 23 130 0.000248261 25 141 0.000231225 27 152 0.000305451 29 163 0.000321221 31 174 0.000237964 33 191 0.000244485 35 208 0.000255051 39 242 0.00022075 45 301 0.00021755 47 322 0.000204086 36

Tabel 4.5 Nilai koefisien perpindahan massa pada kondisi 3 ltr/min Titik Jarak Koefisien Massa (mm) (m/s) 19 108 0.000389109 21 119 0.000381507 23 130 0.000314783 25 141 0.000269659 27 152 0.000312146 29 163 0.000318023 31 174 0.000253581 33 191 0.000255706 35 208 0.000264614 39 242 0.000228816 45 301 0.000202894 47 322 0.000198086 4.4 Perhitungan Diffusive Flux Perhitungan diffusive flux ini dilakukan agar dapat membandingkan data hasil pengujian eksperimen dengan pengujian menggunakan sistem komputasi dengan menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD) yang dilakukan oleh tim yang lain. Nilai diffusive flux ini didapatkan dari nilai Km (koefisien massa) dikalikan dengan konsentrasi (C) dari CuSO 4. Tabel 4.6 memperlihatkan nilai diffusive flux di setiap kondisi laju aliran 37

Tabel 4.6 Nilai diffusive flux di setiap kondisi Titik 0.8 L/min 1 L/min 2 L/min 3 L/min 19 0.15268 0.16662 0.17249 0.19455 21 0.16265 0.1545 0.1649 0.19075 23 0.12917 0.11025 0.12413 0.15739 25 0.1207 0.103 0.11561 0.13483 27 0.15745 0.14004 0.15273 0.15607 29 0.16499 0.15633 0.16061 0.15901 31 0.15149 0.12626 0.11898 0.12679 33 0.15181 0.12141 0.12224 0.12785 35 0.149 0.12366 0.12753 0.13231 39 0.12966 0.10744 0.11037 0.11441 45 0.12503 0.10087 0.10877 0.10145 47 0.09704 0.09859 0.10204 0.09904 4.5 Perhitungan Bilangan Sherwood Bilangan Sherwood merupakan bilangan tak berdimensi yang digunakan untuk mengetahui perpindahan massa. Jika untuk perpindahan kalor digunakan bilangan Nusselt, maka untuk perpindahan massa digunakan bilangan Sherwood dengan membedakan bilangan Prandtl pada bilangan Nusselt dengan bilangan Schmidt. Maka persamaan (2.9) yang digunakan untuk menentukan bilangan Sherwood, dimana nilai K m diperoleh dari hasil pengolahan data sebelumnya dan nilai d adalah diameter jet, sementara D adalah koefisien difusi perpindahan massa pada CuSO 4. Selain itu hubungan antara bilangan Sherwood, bilangan Reynolds dan bilangan Schmidt dinyatakan dalam persamaan (2.10). Hasil dari perhitungan tersebut ditunjukkan pada tabel 4.7. 38

Tabel 4.7 Data-data untuk memenuhi bilangan Sherwood Re jet Peak K m d jet D Schmidt 404.81 0.000329972 0.0089 4.43E-10 2418 551.4096186 0.000333233 0.0089 4.43E-10 2418 1513.266998 0.000344984 0.0089 4.43E-10 2418 2856.55058 0.000389109 0.0089 4.43E-10 2418 Tabel 4.8 Nilai bilangan Sherwood di setiap kondisi Re jet Sh 404.81 6620.961876 551.40962 6686.39077 1513.267 6922.167043 2856.5506 7807.54452 Tabel 4.8 di atas menunjukkan nilai bilangan Sherwood di setiap kondisi bilangan Reynolds. 39

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisa Koefisien Perpindahan Massa Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, didapatkan nilai koefisien perpindahan massa di setiap kondisi bilangan Reynolds yang berbeda, sehingga dapat dibuat grafiknya serta dapat dilihat tren alirannya, seperti yang ditunjukkan pada table 5.1 dan gambar 5.1. Tabel 5.1 Nilai koefisien perpindahan massa di setiap titik Titik Jarak K m (m/s) (mm) 0,8 ltr/min 1 ltr/min 2 ltr/min 3 ltr/min 19 108 0.000305361 0.000333233 0.000344984 0.000389109 21 119 0.000325298 0.000258457 0.000329803 0.000381507 23 130 0.000258349 0.0002205 0.000248261 0.000314783 25 141 0.000241395 0.000206 0.000231225 0.000269659 27 152 0.000314909 0.000280088 0.000305451 0.000312146 29 163 0.000329972 0.000312663 0.000321221 0.000318023 31 174 0.000302977 0.000252527 0.000237964 0.000253581 33 191 0.000303624 0.000242825 0.000244485 0.000255706 35 208 0.000298008 0.000247329 0.000255051 0.000264614 39 242 0.000259326 0.00021489 0.00022075 0.000228816 45 301 0.000250051 0.000201742 0.00021755 0.000202894 47 322 0.000214086 0.000197186 0.000204086 0.000198086 40

(a) (b) (c) (d) Gambar 5.1 Grafik koefisien perpindahan massa vs jarak disetiap kondisi bilangan Reynold yang berbeda. (a) 0,8 ltr/min (b) 1 ltr/min (c) 2 ltr/min (d) 3 ltr/min Berdasarkan grafik pada gambar 5.1 di atas, dapat dilihat nilai Km yang paling tinggi berada tidak jauh dari posisi step. Kemudian nilai Km tersebut cenderung turun seiring semakin jauh jaraknya dengan posisi step. 41

Batas Step Nilai pada kondisi diam Gambar 5.2 Grafik koefisien perpindahan massa pada eksperimen di setiap titik dengan berbagai bilangan Reynolds Gambar 5.3 Grafik koefisien perpindahan massa vs jarak [Oduoza, 1997] 42

Pada gambar 5.2, grafik K m vs axial distance yang didapatkan dari penelitian, dapat dilihat bahwa nilai K m mengalami lonjakan yang cukup tinggi sesaat setelah melewati step (mencapai nilai peak koefisien perpindahan massa). Setelah itu, nilai K m berangsur-angsur turun, seiring makin menjauh jaraknya dari step. Kecenderungan yang sama juga dapat dilihat dari hasil yang diperoleh Oduoza [1997], walaupun kisaran bilangan Reynolds yang diperoleh dari penelitian tersebut sangat berbeda dengan penelitian ini, seperti ditunjukkan pada gambar 5.3. Karakteristik perpindahan massa yang diuraikan sebelumnya disebabkan pada daerah sesaat setelah melewati step, terjadi pola aliran separasi dan bertaut kembali akibat kontur tangga (step) pada kanal aliran, yang menyebabkan terjadinya pembesaran mendadak (sudden expansion) dalam aliran pipa. Pola aliran tersebut membentuk suatu pola aliran turbulensi yang sangat kompleks, yang terdiri dari region aliran resirkulasi (recirculation flow), lapisan geser (shear layer), dan lapisan batas yang berkembang kembali (redeveloping boundary layer). Karakteristik dari pola aliran turbulensi ini sangat ditentukan oleh konfigurasi geometris pengganggu aliran yang juga berfungsi sebagai pencetus turbulensi (dalam penelitian ini berbentuk step), serta parameter dinamika fluida aliran terutama kecepatan aliran utama di bagian hulu. Dapat dilihat juga dari kedua gambar di atas bahwa nilai peak dari Km dicapai oleh bilangan Reynolds yang paling tinggi. Kenaikan perpindahan massa yang terjadi akibat adanya kontrol turbulensi tersebut adalah sebesar 25,52 %. Kemudian, semakin jauh jaraknya dari step, nilai K m menjadi cenderung stabil (nilai K m untuk bilangan Reynolds yang besar tidak jauh berbeda dengan nilai Km untuk bilangan Reynolds yang lebih kecil). Hal ini dikarenakan aliran berangsur-angsur mulai stabil dan menjadi laminar, seperti yang terlihat pada gambar 5.4. 43

Gambar 5.4 Pola aliran separasi dan bertaut kembali akibat kontur tangga pada kanal aliran Sebagai perbandingan, terdapat juga grafik yang dibuat dengan metode komputasi menggunakan CFD. Lengt (a) Lengt (b) Lengt (c) Lengt (d) Gambar 5.5 Grafik diffusive flux vs jarak menggunakan CFD. (a) 0,8 ltr/min ; (b) 1 ltr/min ; (c) 2 ltr/min ; (d) 3 ltr/min Grafik pada gambar 5.5 didapat dengan menggunakan software COMSOL yang dikerjakan oleh tim yang lain. Pada grafik ini memperlihatkan nilai diffusive flux vs jarak. Nilai diffusive flux bisa didapatkan dari nilai Km dan konsentrasi CuSO 4 seperti yang sudah dibahas pada bab IV. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa nilai diffusive flux cukup tinggi sesaat setelah melewati step, dan kemudian menurun sampai akhirnya stabil, sehingga memiliki karakteristik yang hampir sama dengan grafik pada gambar 5.2 dan gambar 5.3. 44

Gambar 5.6 Profil kecepatan dan streamline aliran yang terjadi karena kontur tangga pada kanal aliran Pada gambar 5.6, terlihat bahwa terjadi fenomena turbulensi aliran sesaat setelah melewati step, yang kemudian meningkatkan terjadinya laju perpindahan massa. Hal ini dikarenakan pembesaran mendadak yang terjadi dalam aliran pipa tersebut disebabkan adanya kontur tangga. 5.2 Analisa Bilangan Reynolds dengan Nilai Maksimum Koefisien Perpindahan Massa Nilai koefisien perpindahan massa yang diperoleh dari penelitian ini kemudian dilihat hubungannya dengan bilangan Reynolds. Untuk itu, ditentukan nilai Km maksimum di setiap kondisi aliran. Dari perbandingan ini bisa didapatkan suatu karakteristik dari perpindahan massa yang disebabkan oleh perubahan jenis aliran akibat dari berubahnya nilai bilangan Reynolds. Berikut adalah hasil data yang diperoleh. Tabel 5.2 Bilangan Reynolds dengan nilai peak koefisien perpindahan massa.. Re Peak K m (m/s) 404.81 0.000329972 551.4096186 0.000333233 1513.266998 0.000344984 2856.55058 0.000389109 45

Gambar 5.7 Grafik nilai maksimum koefisien perpindahan massa vs bilangan Reynolds dengan menggunakan pencetus turbulensi berupa kontur tangga (step) Gambar 5.8 Grafik nilai peak K m vs bilangan Reynolds [Oduoza, 1997] Pada gambar 5.7, dimana digunakan step sebagai pencetus turbulensi, terlihat bahwa nilai peak koefisien perpindahan massa meningkat seiring dengan meningkatnya bilangan 46

Reynolds. Karakteristik ini serupa dengan hasil yang ditunjukkan pada gambar 5.8. Pada grafik tersebut juga diperlihatkan semakin besar bilangan Reynolds maka semakin besar pula nilai peak koefisien perpindahan massanya. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya bilangan Reynolds akan meningkatkan terjadinya turbulensi dan akan terjadi peningkatan laju koefisien perpindahan massa, seperti dalam penelitian Tagg [1979], dimana didapati peningkatan laju perpindahan massa pada aliran turbulen di bagian hilir sebuah nozzle yang membesar secara mendadak. Sebagai tambahan, pada penelitian ini rasio antara tinggi dan lebar kanal adalah 1 : 4 sedangkan pada referensi, mereka menggunakan rasio 1 : 10. Dengan menggunakan rasio yang lebih kecil maka posisi titik-titik pada mikroelektrode menjadi sangat dekat dengan dinding kanal. Akibat dari itu, maka ada kemungkinan aliran yang melalui minielektrode mengalami pengaruh dari adanya lapisan yang ditimbulkan dari aliran yang menabrak dinding kanal. Karena jika menggunakan rasio 1:10 maka lapisan dari dinding kanal ini tidak mempengaruhi aliran yang melalui mikroelektrode karena jarak dari dinding ke mikrolektrode cukup jauh. Gambar 5.9 Turbulence kinetics energy yang terjadi pada aliran Gambar 5.10 menunjukkan pola turbulensi yang terjadi pada aliran yang mengalami sudden expansion (pembesaran mendadak) pada kanal aliran yang disebabkan oleh adanya suatu kontur tangga pada kanal. Seperti terlihat, daerah yang berwarna merah merupakan daerah dimana terjadi turbulensi yang paling tinggi. Sedangkan pada daerah berwarna biru, aliran sudah menjadi laminar kembali. Grafik untuk pola turbulensi yang terjadi sesaat setelah melewati step tersebut dapat dilihat pada gambar 5.11 di bawah ini. 47

Gambar 5.10 Grafik Turbulence kinetics energy yang terjadi pada aliran 5.3 Analisa Bilangan Sherwood dengan Bilangan Reynolds Dengan mengetahui koefisien difusi (D) dari larutan CuSO 4 maka nilai bilangan Sherwood dapat diperoleh. Tabel 5.3 Nilai parameter pada bilangan Sherwood Re jet Peak K m d jet D Schmidt Sherwood Sherwood/Sc 0,33 404.81 0.000329972 0.0089 4.43E-10 2418 6620.961876 5.06E+02 551.4096186 0.000333233 0.0089 4.43E-10 2418 6686.39077 5.11E+02 1513.266998 0.000344984 0.0089 4.43E-10 2418 6922.167043 5.29E+02 2856.55058 0.000389109 0.0089 4.43E-10 2418 7807.54452 5.97E+02 48

Gambar 5.11 Grafik perbandingan Sherwood dengan Reynolds Bilangan Sherwood yang diperoleh pada tabel kemudian ditransformasikan dalam bentuk grafik diatas. Grafik berwarna merah menunjukkan grafik teoritis memiliki persamaan Sh=0.27Re 0.67 Sc 0.33, sedangkan grafik berwarna biru menunjukkan hasil grafik eksperimen yang memiliki persamaan Sh=315,0302Re 0.0767 Sc 0.33. Perbedaan yang muncul cukup besar, grafik teoritis memiliki nilai bilangan Sherwood yang meningkat dengan tajam seiring meningkatnya bilangan Reynolds, sedangkan nilai bilangan Sherwood pada grafik eksperimen hanya mengalami peningkatan yang tidak terlalu signifikan seiring dengan meningkatnya bilangan Reynolds. 49