Desain Sistem Proyeksi Distorsi Minimum Untuk Pengintegrasian Berbagai Skala Peta Dalam Upaya Mewujudkan Satu Peta Indonesia Raya

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2013 /2001 TENTANG SISTEM REFERENSI GEOSPASIAL INDONESIA 2013

BAB II DASAR TEORI II.1 Sistem referensi koordinat

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521

SISTEM KOORDINAT SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT RG091521

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

By. Y. Morsa Said RAMBE

Materi : Bab IV. PROYEKSI PETA Pengajar : Ira Mutiara A, ST

BENTUK BUMI DAN BIDANG REFERENSI

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

Datum dan Ellipsoida Referensi

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

DAFTAR PUSTAKA. 1. Abidin, Hasanuddin Z.(2001). Geodesi satelit. Jakarta : Pradnya Paramita.

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

PROYEKSI PETA DAN SKALA PETA

Proyeksi Peta. Tujuan

BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG SISTEM DAN KERANGKA REFERENSI KOORDINAT UNTUK DKI JAKARTA. Hasanuddin Z. Abidin

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

MEMBACA DAN MENGGUNAKAN PETA RUPABUMI INDONESIA (RBI)

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

MAKALAH SISTEM TRANSFORMASI KOORDINAT 2 DIMENSI DISUSUN OLEH : HERA RATNAWATI 16/395027/TK/44319

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis

K NSEP E P D A D SA S R

Sistem Proyeksi Peta. Arif Basofi PENS 2015

Modul 13. Proyeksi Peta MODUL KULIAH ILMU UKUR TANAH JURUSAN TEKNIK SIPIL POLIBAN. Modul Pengertian Proyeksi Peta

Sistem Proyeksi Peta. Arif Basofi PENS 2012

BAB I PENDAHULUAN I-1

2015, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,

Konsep Geodesi untuk Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

BAB I PENDAHULUAN. tujuan dan manfaat penelitian. Berikut ini uraian dari masing-masing sub bab. I.1. Latar Belakang

GEODESI DASAR DAN PEMETAAN

A. Peta 1. Pengertian Peta 2. Syarat Peta

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

Bab ini memperkenalkan mengenai proyeksi silinder secara umum dan macam proyeksi silinder yang dipakai di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

REKONSTRUKSI/RESTORASI REKONSTRUKSI/RESTORASI. Minggu 9: TAHAPAN ANALISIS CITRA. 1. Rekonstruksi (Destripe) SLC (Scan Line Corrector) off

Home : tedyagungc.wordpress.com

SURVEYING (CIV 104) PERTEMUAN 2 : SISTEM SATUAN, ARAH DAN MENENTUKAN POSISI DALAM SURVEYING

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBLE

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

KONSEP GEODESI UNTUK DATA SPASIAL

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

Pertemuan 3. Penentuan posisi titik horizontal dan vertikal

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.

MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA

BAB III PEMANFAATAN SISTEM GPS CORS DALAM RANGKA PENGUKURAN BIDANG TANAH

BAB II DASAR TEORI 2.1 Populasi Penduduk 2.2 Basis Data

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

BAB IV PENGOLAHAN DATA

Transformasi Datum dan Koordinat

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

Sistem Geodetik Global 1984 (WGS 1984 ) Dalam Menentukan Nilai Gravitasi Normal (G n )

Can be accessed on:

STUDI EVALUASI METODE PENGUKURAN STABILITAS CANDI BOROBUDUR DAN BUKIT

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Dr. Ramadoni Syahputra Jurusan Teknik Elektro FT UMY

Pengenalan Peta & Data Spasial Bagi Perencana Wilayah dan Kota. Adipandang Yudono 13

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Geodesi dan Keterkaitannya dengan Geospasial

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015

PERANGKAT LUNAK UNTUK PERHITUNGAN SUDUT ELEVASI DAN AZIMUTH ANTENA STASIUN BUMI BERGERAK DALAM SISTEM KOMUNIKASI SATELIT GEOSTASIONER

PENENTUAN MODEL GEOID LOKAL DELTA MAHAKAM BESERTA ANALISIS

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

BAHAN AJAR ON THE JOB TRAINING

Gambar 1. prinsip proyeksi dari bidang lengkung muka bumi ke bidang datar kertas

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab III KAJIAN TEKNIS

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL

TUGAS 1 ASISTENSI GEODESI SATELIT. Sistem Koordinat CIS dan CTS

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Sistem Informasi Geografis

MODUL 3 REGISTER DAN DIGITASI PETA

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

Bab I Pendahuluan I.1. Latar belakang

SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b...

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

Perlunya peta dasar guna pendaftaran tanah

Konsep Geodesi Data Spasial. Arif Basofi PENS 2013

PEMANFAATAN GPS UNTUK PERENCANAAN PENGELOLAAN DAN PEMETAAN LAHAN LAPORAN PRAKTIKUM MEKANISASI PERTANIAN

Adipandang YUDONO

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN PETA RENCANA TATA RUANG

ACARA I. Pengenalan Sistem Proyeksi Peta Kartografis

PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR

APA ITU ILMU UKUR TANAH?

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penentuan posisi/kedudukan di permukaan bumi dapat dilakukan dengan

LENGKUNG MENDATAR LENGKUNG SEDERHANA LENGKUNG DGN TITIK PERANTARA LENGKUNG DGN PERANTARA KOORDINAT LENGKUNG SEPEREMPAT BAGIAN

MODUL 2 REGISTER DAN DIGITASI PETA

BAB III METODE PENELITIAN. melalui tahapan tahapan kegiatan pelaksanaan pekerjaan berikut :

BIG. Peta. Rencana Tata Ruang. Pengelolaan. Tata Cara.

Transkripsi:

Dalam Upaya Mewujudkan Satu Peta Indonesia Raya Ringkasan Sistem Koordinat Planimetrik Nasional (SKPN), selama ini lebih dikenal sebagai sistem proyeksi transverse mercator yaitu TM6 atau Universal Transverse Mercator (UTM) dan TM3. SKPN didesain untuk memudahkan dalam menggunakan koordinat planimetrik -dimensi bagi praktisi survei dan pemetaan, teknik rekayasa, sistem/sains informasi geografi, sistem informasi kadaster, dan pekerjaan lainnya, yang sekaligus bersamaan dengan menggunakan Datum Geodesi Nasional yang saat ini dinamakan Sistem Referensi Geospasial Indonesia (SRGI). Aspek fungsionalisasi SKPN dan SRGI, akan tidak optimal dalam implementasinya bila hal-hal berikut menjadikan tidak atau enggan diterima oleh khalayak, yaitu: (1) Jarak-jarak di peta pada kenyataannya berbeda signifikan dengan jarak-jarak horizontal sebenarnya di tanah, () pada umumnya praktisi dan pengguna akan menghindari hal yang membuat rumit dan tidak dipahami mereka, dan (3) manfaat yang diperoleh tidak menjadi pembenaran dengan melalui hitungan rumit dan ekstra data. Namun, ketiga hambatan tersebut dapat diatasi melalui pendidikan, pelatihan dan spesifikasi teknis, dan dengan ketersediaan kecanggihan instrumentasi ukur dan/atau rekam ditambah begitu digdayanya mesin hitungan komputer diera serba digital, berbagai solusi hanya tinggal memilih. Dan dari pilihan yang tersedia, sudah pada saatnya untuk men.de.sa.in ulang kebijakan SKPN yang selama ini digunakan. Satu alternatif pilihan logis adalah dengan mengimplementasikan Sistem Proyeksi Distorsi Minimum atau SPDM, agar perbedaan signifikan jarak-jarak di peta dan jarak-jarak horizontal sebenarnya di tanah, secara virtual terminimalisir. SPDM layak diimplementasikan, supaya seluruh data geospasial (DG) dan produk informasi geospasial (IG) dapat inter-operabilitas, dan upaya mewujudkan Satu Peta Indonesia Raya menjadi suatu keniscayaan. Pada konteks kekinian melakukan jalan pintas map rubber-sheeting and/or rubber-cheating harus dihindarkan, hari gini... apa kata dunia?. Tulisan ini mengulas algoritma Sistem Proyeksi Distorsi Minimum sebagai suatu alternatif dari SKPN yang digunakan selama ini, untuk mendukung terwujudnya Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy supaya dalam implementasinya menjadi lebih mudah. Latar Belakang Tuntutan dari para pengguna akan ketersediaan produk DG dan IG berkualitas dengan ketelitian tinggi pada saat ini dan mendatang, adalah merupakan suatu keharusan. Hal ini terjadi, karena kebutuhan suatu sistem koordinat yang menghasilkan jarak-jarak di bidang proyeksi atau peta, baik di lembaran kertas maupun di basis data geospasial digital, dapat sedekat mungkin dengan jarak-jarak sebenarnya dipermukaan rupabumi dari hasil pengukuran terestris.

Sistem koordinat proyeksi dipastikan mengandung distorsi ini suatu kenyataan adanya. Suatu distorsi linier adalah terdapat perbedaan antara jarak titik berkoordinat dibidang proyeksi atau peta dan jarak horizontal sebenarnya di titik yang sama dipermukaan rupabumi. Perbedaan jarak akibat distorsi ini, dapat signifikan dan menimbulkan keraguan tentang jarak mana yang benar. Jarak horizontal sebenarnya pada titik dipermukaan rupabumi = 1000 m, di peta TM6 atau UTM dengan faktor-skala: 0,9996 di meridian sentral, jaraknya = 999,6 m, artinya terjadi distorsi sebesar 40 cm. Hal yang sama, di peta TM3 dengan faktor-skala: 0,9999 di meridian sentral, jaraknya = 999,9 m, terjadi distorsi sebesar 10 cm. Dan titik-titik yang lokasinya makin jauh dari meridian sentral, distorsi membesar. Walaupun, distorsi tersebut tidak dapat dieliminir, tetapi masih dapat diminimalisir sekecil mungkin, diantaranya dengan Sistem Proyeksi Distorsi Minimum. Dan SPDM adalah masih merupakan sistem proyeksi peta konformal TM, yang bertujuan untuk membuat cakupan area seluas mungkin dengan distorsi linier minimal, dan tetap dapat mempertahankan bentuk, jarak, dan lebih lanjut sudut dan azimuth. Desain SPDM adalah untuk lebih memudahkan antar produk survei terestris dengan data sistem/sains informasi geografi dan data sistem informasi kadaster terjadi interoperabilitas. Sehingga, kondisi dan letak objek-objek sebenarnya dipermukaan rupabumi atau di-tanah dapat ter-representasi-kan dengan seamless pada seluruh DG dan produk IG, serta dalam pelayanannya untuk pemanfaatan bersama. Sistem Koordinat Geodesi Suatu posisi yang dinyatakan dengan tingkat ketelitian koordinat pada komponen horizontal dan vertikal, adalah untuk menunjukkan ukuran kedekatan nilai koordinat tersebut hasil data pengukuran dan/atau pengamatan berikut proses hitung perataan data, terhadap nilai koordinat sebenarnya. Pada aspek solid geometry, nilai koordinat sebenarnya dari suatu penentuan posisi di permukaan rupabumi adalah yang berawal atau mengacu pada pusat massa gayaberat Bumi, Earth Center Earth Fixed (ECEF). Dan dinyatakan dalam Sistem Koordinat Kartesian X, Y, Z (X o, Y o, Z o = Geosentris). Sistem Koordinat Kartesian X, Y, Z direpresentasikan kepermukaan rupabumi, berupa stasiunstasiun geodetik referensi yang sebaran lokasinya hampir merata secara geometris di daratan bumi secara global, dan posisinya ditentukan dengan teknologi space geodesy. Selanjutnya, nilai koordinat stasiun-stasiun geodetik referensi global tersebut, direalisasikan berupa daftar koordinat dalam kerangka terestris referensi International Terrestrial Reference Frame (ITRF). Dan proses evolusinya pada saat ini adalah ITRF014 epoch 010.00. Para pengguna dalam penentuan posisi geodetik, dapat mengakses langsung nilai koordinat sebenarnya ITRF pada stasiun-stasiun geodetik referensi global, yang pada umumnya dapat dilakukan dengan penentuan posisi berbasis konstelasi satelit Global Positioning System (GPS)/Global Navigation Satellite System (GNSS). Kualitas tingkat ketelitian koordinat yang diperoleh dari penentuan posisi-posisi tersebut, sangat tergantung pada metode pengamatan, piranti lunak yang digunakan, dan strategi proses hitung perataan jaringan data lanjutan yang dapat mengeliminir sumber-sumber kesalahan teridentifikasi.

Selanjutnya, dari nilai koordinat posisi-posisi yang ditentukan dipermukaan rupabumi tersebut dan dinyatakan dalam koordinat Kartesian X, Y, Z, di-konversi keberbagai sistem koordinat lainnya disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Diagram 1. menggambarkan alur proses dari koordinat X, Y, Z di-konversi ke sistem koordinat lainnya. Diagram 1. Proses konversi dari koordinat X, Y, Z ke koordinat lainnya 3 Dalam proses hitungan konversi koordinat metode langsung, setelahnya sangat disarankan melakukan proses hitungan konversi koordinat metode terbalik, untuk dapat dikembalikan ke koordinat semula sebelum konversi. Hal ini dimaksudkan selain untuk validasi rumus atau persamaan yang digunakan, juga dikembalikan ke koordinat semula, utamanya: ke koordinat lintang (), bujur (), tinggi (h) dan/atau X,Y,Z adalah untuk memudahkan pengintegrasian berbagai jenis data. Seluruh proses hitungan konversi koordinat didokumentasikan dengan lengkap dan rapih, sebagai metadata!!. Untuk pemberian koreksi dari perubahan koordinat linier dan/atau non-linier akibat proses aktifitas seismik atau perubahan koordinat sebab-sebab lainnya, hanya dapat diimplementasikan pada nilai koordinat toposentrik (e,n,u).

4 Distorsi pada proyeksi peta Pada proses hitungan suatu proyeksi peta, dipastikan akan terjadi distorsi, hal yang tidak dapat dihindarkan. Terjadinya distorsi adalah merupakan konsekuensi dari suatu upaya merepresentasikan permukaan rupabumi dari bidang lengkung dengan variasi elevasi (3- Dimensi=3D) ke bidang datar (=D). Dan distorsi tersebut dapat diartikan sebagai terjadinya suatu perubahan pada hubungan antara lokasi titik-titik yang benar di permukaan rupabumi dan titik-titik yang direpresentasikan di-bidang datar atau peta. Distorsi tidak dapat dieliminir. Apa yang masih dapat dilakukan adalah meminimalisir efek-efek yang mengakibatkannya. Secara umum, terdapat tipe distorsi pada proyeksi peta, yaitu: 1. Distorsi linier, adalah beda jarak antara koordinat dua titik di-bidang proyeksi atau peta dan dibandingkan dengan jarak horizontal sebenarnya pada dua titik yang sama di permukaan rupabumi atau di-tanah. Dan dinyatakan dengan simbol. Dapat dinyatakan sebagai rasio dari panjang distorsi dan panjang jarak: misal. meter dari distorsi per-km; dan dinyatakan dengan satuan part-per-million (=mm/km) 0,3 m/1,5 km = 00 ppm = 00 mm/km. Distorsi linier bisa positif atau negatif: distorsi NEGATIF, menunjukkan bahwa panjang jarak di-peta LEBIH PENDEK daripada panjang jarak horizontal sebenarnya di-tanah. distorsi POSITIF, menunjukkan bahwa panjang jarak di-peta LEBIH PANJANG daripada panjang jarak horizontal sebenarnya di-tanah.. Distorsi sudut, pada proyeksi konformal TM sama dengan sudut konvergensi peta, dan dinyatakan dengan simbol. Sudut konvergensi adalah beda sudut antara Utara-grid (peta) dan Utara-sebenarnya (geodetik). parameter yang sangat dibutuhkan untuk aplikasi pengukuran terestris dan teknik rekayasa. Sudut konvergensi sama dengan nol di meridian-sentral (MS) proyeksi, positif di timur dari meridian-sentral, dan negatif di barat meridian-sentral (Gambar 1.). Gambar 1. Sudut Konvergensi Meridian

5 Makin jauh dari meridian-sentral sudut konvergensi makin besar, dan laju perbesarannya mengikuti besaran lintang koordinat. Misal, pada lintang 0 dan 1,6 km dari MS, maka konvergensi sebesar 0 00' 00ʺ; pada lintang 5 dan 1,6 km dari MS, maka konvergensi sebesar ±0 00' 05ʺ, dan seterusnya. Pada umumnya konvergensi tidak begitu berpengaruh signifikan sebagai suatu distorsi, dan dapat diminimalkan selama area proyeksi dekat atau disekitar MS atau disekitar ekuator. Akan halnya bahwa distorsi linier tidak dapat dihindarkan, sebagai konsekuensi dari suatu bidang lengkung 3-D dengan variasi elevasi dipermukaan rupabumi yang diproyeksikan ke bidang datar -D, maka distorsi linier juga akan makin besar dengan perbedaan elevasi makin tinggi terhadap permukaan ellipsoida referensi. Dan dapat diasumsikan bahwa fungsi elevasi terhadap ellipsoida memberikan kontribusi signifikan pada distorsi linier. Dengan demikian, suatu kombinasi distorsi linier yang disebabkan oleh faktor kelengkungan bumi dan variasi elevasi di rupabumi terhadap ellipsoida referensi adalah sebagai total distorsi linier horizontal. Dan besarnya distorsi relatif dari tiap komponen koordinat tergantung pada variasi elevasi rupabumi dan luas cakupan area proyeksi. Secara terminologi meridian-sentral (MS) sama dengan sumbu proyeksi adalah sepanjang garis dimana skala proyeksi konstan dan minimum (distorsi terhadap ellipsoida). Distorsi linier horizontal daripada koordinat proyeksi yang disebabkan oleh kelengkungan bumi pada berbagai lebar zona proyeksi ditampilkan secara ringkas pada Tabel 1. Table1. Distorsi linier horizontal dari koordinat proyeksi yang disebabkan kelengkungan bumi Distorsi linier yang disebabkan oleh faktor kelengkungan bumi adalah sebesar ±5 ppm untuk cakupan area dengan lebar 56 km (tegak lurus terhadap sumbu proyeksi atau MS), dan sebagai ilustrasi ditunjukkan pada Gambar.

6 Gambar. Sketsa distorsi linier pada koordinat proyeksi disebabkan oleh kelengkungan bumi. Distorsi linier horizontal daripada koordinat proyeksi yang disebabkan oleh variasi elevasi dipermukaan rupabumi terhadap ellipsoida referensi ditampilkan secara ringkas pada Tabel. Tabel. Distorsi linier horizontal daripada koordinat proyeksi yang disebabkan oleh variasi elevasi dipermukaan rupabumi diatas ellipsoida referensi. Distorsi akibat perubahan elevasi (tinggi) dipermukaan rupabumi adalah sebesar ±5 ppm pada ketinggian ±30 m, sebagai ilustrasi ditampilkan pada Gambar 3.

7 Gambar 3. Sketsa distorsi linier yang disebabkan oleh perubahan tinggi diatas ellipsoida. Desain untuk suatu Sistem Proyeksi Distorsi Minimum (SPDM) Objektif dari desain SPDM adalah untuk meminimalkan distorsi linier pada cakupan area (proyeksi) seluas mungkin. Dan sebagaimana diketahui, bahwa dalam setiap proses proyeksi peta, suatu distorsi tidak dapat dihindarkan, maka dari itu desain SPDM bertujuan untuk pengoptimalan upaya dalam mengatasi masalah distorsi tersebut. Dengan perkataan lain, suatu desain SPDM adalah agar produk koordinat-koordinat proyeksi dan ikutannya yaitu jarak-jarak di bidang proyeksi atau peta, dapat sedekat mungkin dengan nilai sebenarnya dipermukaan rupabumi atau di-tanah, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah sistem proyeksi peta. Proses tahapan suatu SPDM dijelaskan sebagai berikut: 1. Pendefinisian distorsi untuk cakupan area proyeksi dan penentuan tinggi ellipsoida (= h) yang dapat mewakili seluruh cakupan area (h rata-rata ). Walaupun, tinggi ellipsoida rata-rata seringkali belum dapat mewakili untuk desain faktor-skala (=k o ) ideal, yang disebabkan oleh faktor kelengkungan bumi dan/atau variasi (ekstrem) elevasi rupabumi, terkecuali untuk area proyeksi relatif datar dan cakupan area kecil. Objektif untuk distorsi minimum secara umum adalah ±0 ppm (± 0,00 m/km), tetapi hal ini kemungkinan tidak dapat dicapai disebabkan oleh variasi beda tinggi rupabumi dan/atau luasnya desain cakupan area proyeksi. Namun demikian, sebagai patokan apa yang digambarkan pada Gambar, Gambar 3, Tabel 1 dan Tabel dapat dijadikan petunjuk untuk digunakan sebagai desain awal. Desain ukuran/luas area. Distorsi yang disebabkan oleh faktor kelengkungan bumi adalah ±5 ppm untuk lebar cakupan area 56 km. Dan lebar cakupan area tersebut adalah tegak-lurus terhadap sumbu proyeksi atau meridian-sentral kearah barat dan timur. Dan efek distorsi tidak linier: besarnya distorsi kelengkungan bumi

8 semakin bertambah dengan bertambah lebarnya zona proyeksi dan proporsional dengan perkalian luas lebar zona. Misalkan, melebarkan zona proyeksi kalinya akan memperbesar distorsi sekitar faktor 4 kalinya, jadi dalam hal ini lebar zona berlipat kalinya menjadi 11 km, maka distorsi jarak menjadi sebesar ±0 ppm. Variasi tinggi ellipsoida referensi di rupabumi. Distorsi yang disebabkan oleh faktor perubahan tinggi adalah ±5 ppm untuk ketinggian ±30 m. Hanya saja efek distorsinya linier, misalkan, perubahan ketinggian ke ±100 m sebanding dengan distorsi ±16 ppm. Pada suatu cakupan area dengan tinggi ellipsoida rata-rata (h rata-rata ), akan dijumpai h rata-rata tidak memadai untuk dapat mewakili tinggi untuk seluruh area-proyeksi, utamanya di area pegunungan. Untuk area pegunungan tidak perlu mengestimasi h rata-rata sampai dengan tingkat ketelitian ±6 m yang sebanding dengan distorsi ±1 ppm. Tetapi, pada tahap awal dalam penentuan faktor-skala proyeksi (=k o ) yang menggunakan h rata-rata, akan diperbaiki pada tahapan proses desain sampai maksimal (kompromistis).. Pilih dan tempatkan koordinat Bujur-awal sumbu proyeksi peta atau MS, menurut pembagian zona sistem proyeksi TM standar (lihat pada Apendiks A), atau tempatkan koordinat Bujur-awal MS di sentral cakupan suatu area proyeksi. Dengan menempatkan koordinat Bujur-awal MS sedekat mungkin di sentral desain cakupan area proyeksi, sebagai permulaan yang baik pada proses desain. Dalam hal dimana perubahan tinggi dipermukaan rupabumi cenderung ke satu arah atau di-area pegunungan, dengan menggeser-geser MS secara fleksibel berkecenderungan akan diperoleh hasil yang baik. Seringkali penempatan koordinat Bujur-awal MS pada suatu proyeksi peta dekat dengan tengah-tengah timur-barat zona proyeksi adalah untuk meminimalisir sudut konvergensi (beda sudut antara utara geodetik dan utara peta). 3. Penentuan faktor-skala (=k o ) sumbu proyeksi peta atau MS, mewakili tinggi di-tanah Dengan melakukan hitungan faktor-skala, k o, MS di tanah (tinggi h rata-rata ): R m adalah nilai rata-rata radius kelengkungan bumi geometrik di meridian () dan di vertikal utama (), diringkas pada Tabel 3., dan diilustrasikan pada Gambar 4.:

9 Tabel 3. Nilai rata-rata radius kelengkungan bumi geometrik R m di-meridian () dan vertikal utama () untuk wilayah NKRI sebagai fungsi dari koordinat Lintang (). Gambar 4. Sketsa hubungan antara jarak: di-tanah; di-ellipsoida (geodetik); di-peta; dan radius rata-rata kelengkungan bumi.

10 4. Penentuan distorsi di seluruh cakupan area proyeksi dan perbaikan parameter desain Dengan melakukan hitungan distorsi di suatu titik proyeksi (pada tinggi ellipsoida h): k Rm Rm h 1 Dimana, k = faktor-skala di suatu titik dibidang proyeksi, yaitu, distorsi di titik itu terhadap ellipsoida referensi. Dan nilai k, diperoleh dari hasil proses proyeksi TM, atau dengan menggunakan persamaan (Stem, 1990, halaman 3-35) berikut ini: k ko1 cos e cos cos e cos 1 1 5 4 tan 9 4 tan 1 e 1 dimana: = o (dalam satuan radian) o = bujur geodetik meridian-sentral ; = bujur geodetik titik proyeksi Untuk mendapatkan nilai distorsi, pada satuan parts per million (ppm), dikalikan 1000000. 1 e Untuk mendapatkan distorsi minimum pada seluruh cakupan area dan menghasilkan distorsi peta, adalah dengan melakukan evaluasi kembali pada nilai k o yang berbeda, sampai mendapatkan nilai k o terbaik. Hal ini dengan memindahkan koordinat Bujurawal ( o ) sumbu proyeksi atau MS, sampai di tempat yang terbaik. 5. Pendefinisian sederhana dan jelas Definisikan k o dengan nilai angka desimal setelah tanda koma (,) tidak lebih dari 6 angka. Contoh: 0,999918 (eksak). Suatu perubahan 1 angka pada 6 angka desimal (±1 ppm), akan menimbulkan distorsi terhadap komponen tinggi ±6 m. Definisikan bujur meridian-sentral o dan lintang awal grid peta sampai dengan bilangan menit integer. Misalkan: o = 106 30' 00ʺ BT atau 106,5 BT. Definisikan koordinat awal (origin) grid peta pada bilangan integer (misal, koordinat timur semu, x semu = 00000 m, dan koordinat utara semu, y semu = 1500000 m untuk wilayah di selatan ekuator, dan y semu = 0 m untuk wilayah di utara ekuator). Dalam pendefinisian koordinat awal grid peta, tidak akan mempunyai pengaruh sama sekali terhadap distorsi proyeksi peta. Untuk menghindari nilai koordinat SPDM sama dengan nilai koordinat TM6 (UTM) dan/atau TM3, sebaiknya pendefisian koordinat awal (origin) grid peta SPDM dapat diawali dengan nomor zona (misal, x TM3 = 38589,759 m; y TM3 = 7884,07 m x SPDM = 38593,464 m = 488593,464 m (48 = nomor zona); y SPDM = 7815,10 m = 4815,10 m (48 = nomor zona). Akan lebih baik dalam pendefinisian nilai koordinat awal grid peta pada komponen timur (x) dan utara (y) berbeda untuk setiap daerah yang dipetakan.

11 Dituntut suatu kedisplinan kerja dalam pencatatan dan pendokumentasian setiap langkah proses kerja, yaitu METADATA!!. 6. Pendefinisian satuan (unit) linier dan sistem referensi solid geometric (= datum geodetik) Satuan (unit) linier didefinisikan dalam meter. Sistem referensi solid geometric (=datum geodesi), yaitu SRGI013 yang sebelumnya DGN95. Suatu realisasi sistem referensi ( datum tag = tanda tahun realisasi datum) selama ini belum (sepenuhnya) direalisasikan dalam pendefinisian sistem koordinat planimetrik nasional, baik TM6 dan/atau TM3. Padahal, tuntutan akan seluruh DG dan produk IG dimasa datang menjadi suatu kebutuhan, bila ingin mendapatkan produk IG berkualitas dengan ketelitian memadai, untuk saling bersinergi dan dapat terintegrasi. Dan tanda tahun realisasi datum biasanya diletakkan dalam tanda kurung () setelah nama datum geodetik, yang menunjukkan produk daftar koordinat stasiun-stasiun geodetik referensi hasil proses data hitung perataan jaringan selesai dan dinyatakan sah. Misal, SRGI013 epoch 01 (013.??? = datum tag ). Bilamana sistem referensi solid geometric dengan tanda tahun realisasi datum diimplementasikan, artinya setiap terdapat perubahan koordinat linier dan nonlinier yang disebabkan oleh aktivitas proses seismik, evolusi ITRF sebagai acuan, dan sebab-sebab lainnya, nilai-nilai perubahan koordinat tersebut hanya dapat diimplementasikan pada sistem koordinat toposentrik (lihat Diagram 1.). Pendefinisian sistem referensi solid geometric dengan tanda tahun realisasi datum, yaitu SRGI013 epoch 01 (tttt.hhh: t=tahun; h=hari kalender tahun) fungsi utamanya adalah didesain supaya seluruh DG dan produk IG berintegrasi pada satu sistem koordinat referensi dalam mewujudkan Kebijakan Satu Peta Indonesia Raya. Namun, sistem referensi solid geometric dengan tanda tahun realisasi datum ini sangat berrisiko tinggi, yang berpotensi menambah akumulasi kerumitan dikemudian hari. Terkecuali, tahapan proses pengumpulan DG sampai jadi produk IG dilaksanakan dengan tertib, taat aturan spesifikasi teknis komprehensip tanpa kompromi. Selain daripada itu, dengan ketersediaan fasilitas serba ada dan canggih, pola pikir dan paradigma ber-kinerja cara sebelumnya sangat segera harus dirubah. Misal, Sistem Koordinat Planimetrik Nasional yang selama ini digunakan, dapat ditinjau ulang dengan mengimplementasikan Sistem Proyeksi Distorsi Minimum. Bila masih keukeuh nyaman dengan paradigma lama, hakul yakin pengintegrasian Informasi Geospasial Dasar akan menghadapi kesulitan tingkat tinggi dan hampir mustahil dapat menghasilkan map edge matching and/or seamless, apalagi untuk pengintegrasian Informasi Geospasial Tematik. Dan yang terbangun malahan hanya IGD (Informasi Geometrik Darurat) dan IGT (Informasi Gaya Tampilan), dengan syarat dan ketentuan berlaku pada kalangan sendiri-sendiri dan terbatas.

1 Sistem Koordinat Pada konteks sistem koordinat proyeksi peta, terdapat 4 jenis sistem koordinat yang berkaitan erat satu sama lain. Ke-4 jenis sistem koordinat tersebut, yaitu: Kartesian Geosentrik; Kartesian Lokal Toposentrik; Geodetik; dan Kartesian Planimetrik. Sistem koordinat Kartesian Geosentrik sering disebut sebagai Earth-centered, Earth-fixed (ECEF), Conventional Terrestrial Reference System (CTRS), dan juga XYZ ; Koordinat Lokal Toposentrik biasanya dinyatakan dalam komponen timur (e), utara (n), dan vertikal (up); Koordinat geodetik adalah lintang (), bujur () dan tinggi diatas ellipsoida referensi (h); dan Koordinat Kartesian Planimetrik biasa dinyatakan dalam komponen timur (x) dan utara (y). Koordinat Kartesian Geosentrik, secara matematik menggambarkan hubungan spasial pada satelit GPS yang didefinisikan dalam suatu sistem koordinat Kartesian geosentrik. Sebagai contoh dari koordinat XYZ, bila dalam penentuan posisi dari satelit (GPS) ke alat penerima sinyal satelit (receiver) yang dinyatakan dalam koordinat Kartesian geosentrik, maka jarak aktual (berkebalikan dengan pseudo-range ) antara satelit dan receiver adalah sebagai suatu garis lurus. Dan jarak (J) 3-D dinyatakan dalam persamaan: 1/ J s r X s X r Y dimana: X, Y, dan Z sebagai koordinat Kartesian geosentrik; s dan r masing-masing sebagai satelit dan receiver. Dalam suatu penentuan posisi berbasis GPS, pseudo-ranges melibatkan minimal 4 satelit adalah merupakan hubungan matematik menggunakan s trilaterasi untuk menentukan posisi (koordinat) suatu receiver. Jarak J, dapat diketahui dari hasil pengamatan di instrumentasi rekam (hardware). Dan X s r, Y s, dan Z s dapat diketahui dari koordinat satelit-satelit yang diperoleh dari bagian navigation messages disebut broadcast ephemeris. Bila dalam penentuan jarak dengan menggunakan s persamaam J, maka akan menghasilkan suatu jarak miring, sama seperti jarak miring r hasil pengukuran dengan electronic distance measurement (EDM) yang belum terkoreksi. Dalam pembuatan peta, jarak miring belum sepenuhnya dapat digunakan, terkecuali, jarak miring tersebut dikonversi ke jarak horizontal dengan vertikal. Dan untuk melakukan konversi jarak miring ke jarak horizontal, dengan cara sederhana adalah bila jarak miring diukur langsung dengan pengukuran terestris menggunakan instrumentasi-ukur seperti total station (TS), dengan pra-asumsi bahwa sudah terorientasi sesuai keadaan vertikal lokal sewaktu pengukuran dilakukan. Namun, pada pengukuran berbasis konstelasi satelit GPS tidak ada berhubungan dengan istilah pengaruh vertikal lokal. Keluaran akhir dari proses hitungan data GPS lanjutan menggunakan piranti lunak di-komputer, adalah berupa daftar koordinat dari posisi-posisi yang ditentukan. Secara formal yang baku, daftar koordinat tersebut dinyatakan dalam koordinat Kartesian geosentrik XYZ dan dalam ellipsoida referensi World Geodetic System 1984 (WGS84) {evolusi saat ini WGS84(G176) epoch 005.00}. Untuk mendapatkan jarak dari titik dengan menggunakan koordinat Kartesian geosentrik XYZ, hasilnya akan sama juga sebagai jarak miring (J), melalui hitungan dengan persamaan: J = [(X X 1 ) + (Y Y 1 ) + (Z Z 1 ) ] 1/ Y s r Z s Z r

13 Bagaimanapun, suatu jarak horizontal antara titik atau stasiun sangat diperlukan dalam kompilasi peta, tetapi bukan jarak miring. Maka, untuk mendapatkan suatu jarak horizontal terlebih dahulu harus dilakukan suatu konversi dari koordinat Kartesian XYZ ke koordinat geodetik lintang, bujur dan tinggi diatas ellipsoida referensi. Kemudian dari koordinat geodetik tersebut, jarak horizontal dan/atau jarak geodesik dapat dihitung. Koordinat Kartesian Lokal Toposentrik, Timur (e): Utara (n): Vertikal (up) atau enu. [notasi e, n, up digunakan untuk membedakan dengan koordinat planimetrik peta timur (x) dan utara (y) ]. Koordinat Kartesian Lokal Toposentrik (lihat pada Diagram 1.) adalah sistem koordinat yang berguna dalam mengeksaminasi secara statistik jarak-jarak basis (baselines) GPS, dan pendifinisiannya adalah sebagai suatu sumbu lokal enu ditengahtengah suatu area-kerja atau pada/diatas permukaan rupabumi. Pada prinsipnya sistem koordinat enu mirip dengan sistem koordinat Kartesian geosentrik XYZ, dan keduanya mempunyai tiga sumbu koordinat bersama yang saling tegak lurus dan koordinatnya merupakan jarak dari titik awal (origin) geosentrik. Sesungguhnya, setiap titik pada sistem koordinat enu adalah sistem koordinat XYZ yang di-translasi-kan dari geosentris ke titik awal (origin) lokal, dan kemudian di-rotasi-kan sedemikian rupa hingga sumbu-y menjadi komponen sumbu-utara (n), sumbu-x menjadi komponen sumbu-timur (e), dan sumbu-z menjadi komponen sumbu-vertikal (up). Untuk mengkonversi dari XYZ ke enu pada suatu titik atau stasiun lokal dipermukaan rupabumi, terlebih dahulu dibutuhkan koordinat geodetik lintang (), bujur () dan koordinat (X, Y, Z) dari titik tersebut, dengan melalui persamaan berikut: e sin cos n sin up cos cos sin sin cos cossin cos sin X T x Y T y Z T z Sistem koordinat enu, tidak diartikan sebagai suatu sistem proyeksi, yang sesungguhnya adalah merupakan bentuk dari suatu translasi dan rotasi dari sistem koordinat XYZ. Walaupun, dalam pendefinisiannya sistem koordinat enu titik awal lokal toposentrik tangent, disinggungkan atau bertemu dipermukaan ellipsoida referensi pada satu titik, dan sistem koordinat enu diproyeksikan ke bidang permukaan ellipsoida. Untuk itu hampir seperti sistem koordinat proyeksi, arah komponen Timur dan Utara pada sistem koordinat enu deviasinya bertambah terhadap Timur-Utara geodetik begitu jaraknya membesar dari titik awal. Dan fenomena ini dikenal sebagai konvergensi (lihat pada Gambar 1.). Koordinat Geodetik, adalah koordinat geodetik lintang (), bujur () dan tinggi diatas ellipsoida referensi (h). Lintang geodetik merupakan suatu sudut yang terbentuk dimana radius kelengkungan bumi di vertikal utama bertemu dengan bidang ekuatorial (lihat pada Diagram 1.). Dan tinggi ellipsoida adalah panjang vektor dimulai dari permukaan dan normal terhadap ellipsoida referensi yang berakhir di suatu titik dipermukaan rupabumi. Untuk mengkonversi dari sistem koordinat XYZ ke koordinat geodetik dengan solusi langsung tanpa iterasi (hanya dapat mencapai ketelitian sentimeter untuk tinggi < 1 km), dengan menggunakan persamaan berikut: 0

14 dimana: Za p X Y ; a tan ; pb dan, Z e b sin tan p e a cos ; a tan Y, X ; = radius kelengkungan bumi di vertikal utama, a = setengah sumbu panjang ellipsoida referensi b = setengah sumbu pendek ellipsoida referensi f = faktor pegepengan ellipsoida referensi e = f f 3 a 3 e a b b p h cos Koordinat Kartesian Planimetrik, adalah merupakan produk proyeksi kartografik dari koordinat geodetik 3-D (,, h) objek-objek dipermukaan rupabumi ke bidang proyeksi -D atau peta, dan dikenal dengan dinyatakan sebagai koordinat timur (x) dan utara (y). Terdapat banyak sekali sistem proyeksi kartografik yang unik. Hanya saja, semua sistem proyeksi akan ter-distorsi pada karakteristik spasial tertentu atau pada hubungan objekobjek dipermukaan rupabumi yang diproyeksikan. Ada yang tidak mengalami distorsi pada proses proyeksi, yaitu: jarak di lingkaran besar atau great circle (gnomic); arah atau sudut jurusan (azimuthal); bentuk (conformal); dan luas area (equal-area). Peta-peta umumnya dikompilasi dengan suatu sistem proyeksi tertentu, dimana biasanya dalam penentuan atau pemilihan sistem proyeksi yang dapat merepresentasikan dan menggambarkan sebanyak mungkin karakteristik objek-objek dipermukaan rupabumi tanpa distorsi dan/atau distorsi minimum. Suatu sistem proyeksi yang mempertahankan bentuk dinamakan conformal atau konformal. Lebih spesifik, suatu sistem proyeksi konformal jika dan hanya jika sudut antara garis yang berpotongan dibidang proyeksi sama dengan sudut antara garis yang sama dipermukaan rupabumi. Maka, dengan hubungan analisis matematik dari proyeksi konformal lebih mudah dalam aplikasinya, seperti sistem proyeksi transverse mercator (TM). Variasi Skala, tidak ada satupun sistem proyeksi yang dapat mempertahankan faktorskala secara konstan diseluruh cakupan area proyeksi. Dan distorsi skala kebanyakan dihitung pada arah meridian (sentral) dan paralelnya, yang diberi notasi k. Sebagai ilustrasi di sketsakan pada Gambar 5 dan 6, berikut: Gambar 5. Distorsi faktor-skala (FS), pada tangent bidang muka peta Gambar 6. Distorsi faktor-skala (FS), pada secant bidang muka peta

15 Proyeksi Transverse Mercator (TM), didefinisikan dengan tiga parameter: o ; o ; k o. o, mendefinisikan koordinat bujur di meridian-sentral; k o, adalah faktor skala di o ; dan o, adalah koordinat lintang awal (origin) proyeksi. Pada Gambar 5. dan Gambar 6., menunjukkan bahwa proyeksi TM dengan k o (FS) < 1 semua objek-objek dibidang proyeksi (standar) akan lebih kecil dari yang sebenarnya dipermukaan rupabumi, dan sebaliknya akan lebih besar. Sampai disini nampak terang benderang, bahwa selama ini peta yang diproduk dengan sistem proyeksi TM berapapun skala peta-nya, belum sepenuhnya me-representasi-kan IG dipermukaan rupabumi sebenarnya, melainkan hanya representasi IG diatas permukaan ellipsoida referensi. Hal ini dapat dikatakan, karena faktor variasi elevasi dipermukaan rupabumi terhadap ellipsoida referensi tidak ikut diperhitungkan, sehingga jarak di peta masih harus dikonversi ke jarak horizontal di tanah dengan melakukan: jarak di peta faktor skala jarak horizontal Jarak Pada bahasan ini, mendefinisikan dan membandingkan berbagai jarak dari produk hitungan dengan sistem koordinat yang dijelaskan diatas, adalah untuk dapat membedakan antara jarak di-tanah, jarak di-ellipsoida referensi (geodesik), dan jarak di bidang proyeksi atau peta., yang ketiganya saling berbeda nilainya (lihat pada Gambar 7.). Gambar 7. Sketsa hubungan jarak di-petajarak di-ellipsoidajarak di-tanah Jarak antara titik atau lebih di permukaan rupabumi dinamakan jarak di-tanah. Sesuai dengan perkembangan teknologi instrumentasi ukur dan/atau rekam dan metoda hitungan, jarak dipermukaan rupabumi diperoleh mulai dengan melakukan pengukuran menggunakan rantaiukur, odometer beroda terkalibrasi, sipat-datar trigonometri, EDM, dan TS-EDM.

16 Pengukuran-pengukuran jarak inilah yang kebanyakan diaplikasikan dalam setiap pekerjaan teknik konstruksi jembatan dan pelabuhan, jalan-raya, jalan kereta-api, pemasangan pipa yang mengalirkan zat cair dan gas, dan pekerjaan lainnya yang memerlukan tingkat ketelitian tinggi seperti penentuan batas persil-tanah, sains informasi geografi, dan sistem informasi kadaster. Pada umumnya, sebelum melaksanakan suatu pekerjaan selalu dilakukan suatu perencanaan teknis, untuk membuat desain tata-letak pekerjaan sesuai cakupan area kerja, supaya dalam pelaksanaannya berjalan efektif dan efisien. Dalam pembuatan suatu desain pekerjaan, peta berkualitas mempunyai peran penting dan strategis, dan yang dinamakan peta berkualitas adalah peta dengan distorsi linier geometris minimum, artinya adalah IG di peta posisinya dapat sedekat mungkin dengan yang ada sebenarnya dipermukaan rupabumi. Reduksi Jarak, selama ini jarak horizontal pada bidang lokal di-tanah (=B, lihat pada Gambar 8.) hasil pengukuran terestris, terlebih dahulu harus di-reduksi ke jarak diellipsoida referensi (jarak geodesik), kemudian ke jarak reduksi dibidang proyeksi atau peta (J reduksi -C) UTM dan/atau TM3, dengan mengaplikasikan faktor-skala (ko). Gambar 8. Sketsa geometri reduksi jarak horizontal di bidang lokal ke ellipsoida referensi Pada Gambar 8. Pendekatan terhadap ellipsoida referensi adalah dengan radius lengkungan R, dimana: 11 R adalah radius lengkungan di titik P 1 1 sin 1 1 cos 1 normal pada arah 1 ( = azimut dan radius lengkungan). Dan Jarak reduksi -D = P 1 P merupakan jarak miring produk pengukuran terestris, kemudian jarak horizontal di bidang lokal (B = FG) adalah reduksi P 1 P jarak miring pada tinggi diatas ellipsoida referensi ratah rata: h h 1 m. B = FG disebut sebagai jarak horizontal di bidang lokal, yang diasumsikan sama dengan jarak horizontal produk pengukuran terestris menggunakan TS-EDM. R Dengan segi-tiga yang sama, jarak di-ellipsoida referensi: s = B R hm

17 R dan rasio dari dapat dikatakan sebagai suatu faktor skala untuk didefinisikan R hm R sebagai fakto-skala tinggi (= FST), maka: FST =. R hm Bila, jarak di bidang proyeksi atau peta (= J peta ) sebagai suatu garis lurus, maka: J peta = [(x x 1 ) + (y y 1 ) ] 1/ Dan suatu faktor-skala garis (k = FSG), sebagai rasio jarak-di-peta ke jarak-geodesik, dinyatakan dengan persamaan: k = J peta /s. Dan selanjutnya jarak-di-peta adalah: R J peta = ks = k B = FSG x FST x B, dan produk dari kedua faktor- R hm skala ini yang dikenal sebagai gabungan fakto-skala (= GSF) = FSG x FST, maka: J peta = GSF x B Aplikasi praktis untuk hitungan reduksi jarak menggunakan faktor skala. Katakanlah, stasiun GPS di ANCOL dan PRIOK, dengan nilai koordinat geodetik: ancol = 106 51' 53,6763ʺ BT; ancol = 6 7' 5,8671ʺ LS; h wgs84 =,619 m priok = 106 5' 56,14791ʺ BT; priok = 6 6' 36,37975ʺ LS; h wgs84 = 1,09 m Untuk uji komparatif, dalam mendapatkan reduksi jarak horizontal ANCOL-PRIOK ditanah, dilakukan hitungan dengan koordinat geodetik dibidang-lengkung ellipsoida menggunakan formula Vincenty, akan diperoleh jarak geodesik, dan dikalikan dengan faktor variasi elevasi, maka: J ditanah = Jarak-geodesik x (((h ancol + h priok )/) + R m )/R m [R m, dari Tabel 3.] = 116,60 m x (((,619 m + 1,09 m)/) + 635717,307 m)/635717,307 m = 116,67 m. Asumsi, sama nilainya dari hasil pengukuran terestris TS-EDM. kemudian, J ditanah direduksi ke jarak di ellipsoida referensi (geodesik), maka: s = (R m /(R m + ((h ancol + h priok )/)) x J ditanah ; R m R = (635717,307 m/(635717,307 m + ((,619 m + 1,09 m)/)) x 116,67 m = 116,60 m. Selanjutnya, nilai koordinat geodetik kedua stasiun GPS tersebut, di konversi ke standar TM6 pada faktor-skala, k o = 0,9996, dengan metode hitungan langsung menggunakan formula Redfearn; Gauss-Krüger; atau lainnya, yang umum digunakan. Maka akan diperoleh: x ancol = 706379,41 m; y ancol = 933378,41 m; k ancol = 1,00017; = 0 11' 55,79ʺ; Zn=48 x priok = 708303,707 m; y priok = 93459,80 m; k priok = 1,000137; = 0 1' 1,51ʺ; Zn=48

18 dan jarak-di-peta ANCOL-PRIOK pada faktor skala, k o = 0,9996, dapat dihitung dengan persamaan: J peta = [(708303,707 706379,41) + (93459,80 933378,41) ] 1/ = 116,541 m. Untuk menentukan jarak-horizontal-di-tanah dari jarak-di-peta, pertama tentukan nilai k rata-rata = (k ancol + k priok )/ = (1,00017 +1,000137)/ = 1,00013, maka selanjutnya: J ditanah = J peta : k rata-rata = 116,541 m : 1,00013 = 116,61 m Bila, nilai koordinat geodetik kedua stasiun GPS tersebut, di konversi ke standar TM3 pada faktor skala, k o = 0,9999, dengan metode hitungan langsung menggunakan formula yang sama. Dan x semu = 00000 m ; y semu = 1500000 m, maka akan diperoleh: x ancol = 40387,887 m; y ancol = 83519,815 m; k ancol = 0,99990; = 0 ' 6,48ʺ; Zn=48- x priok = 4309,301 m; y priok = 84406,39 m; k priok = 0,9999; = 0 ' 0,01ʺ; Zn=48- dan jarak-di-peta ANCOL-PRIOK pada faktor skala, k o = 0,9999, dapat dihitung dengan persamaan: J peta = [(4309,301 40387,887) + (84406,39 83519,815) ] 1/ = 116,093 m. dengan cara yang sama, untuk menentukan jarak-horizontal-di-tanah dari jarak-di-peta, tentukan nilai k rata-rata = (k ancol + k priok )/ = (0,99990 + 0,9999)/ = 0,99991, maka: J ditanah = J peta : k rata-rata = 116,093 m : 0,99991 = 116,60 m. Selanjutnya bila, nilai koordinat geodetik kedua stasiun GPS tersebut, di konversi ke TM dengan menggunakan Sistem Proyeksi Distorsi Minimum (SPDM) pada faktor skala, k o = 0,999996 dengan memperhitungkan tinggi ellipsoida rata-rata antara stasiun (h m ), dengan metode hitungan langsung menggunakan formula yang sama. Dan x semu = 35000 m ; y semu = 000000 m ; o = 106 49' 00ʺBT ; o = 5 30' 00ʺLS, maka akan diperoleh: x ancol = 40339,913 m; y ancol = 14401,046 m; k ancol = 0,999996; = 0 0' 18,51ʺ; Zona = 48 x priok = 460,950 m; y priok = 1588,81 m; k priok = 0,999997; = 0 0' 5,14ʺ; Zona = 48 dan jarak-di-peta ANCOL-PRIOK pada faktor skala, k o = 0,999996, dapat dihitung dengan persamaan: J peta = [(460,950 40339,913) + (1588,81 14401,046) ] 1/ = 116,53 m. dengan cara yang sama, untuk menentukan jarak-horizontal-di-tanah dari jarak-di-peta, ditentukan nilai k rata-rata = (k ancol + k priok )/ = (0,999996 + 0,999997)/ = 0,9999965, maka selanjutnya: J ditanah = J peta : k rata-rata = 116,53 m : 0,9999965 = 116,60 m.

19 Sebagai uji komparatif, pada hitungan reduksi jarak horizontal di-tanah ANCOL-PRIOK dari jarak di-peta menggunakan TM faktor-skala, masing-masing: 0,9996; 0,9999; dan 0,999996, kemudian dibandingkan kedekatan antara nilai jarak di-peta dan jarak ditanah, yang diringkas seperti pada Tabel 4. Tabel 4. Ringkasan kedekatan antara nilai jarak di-peta dan jarak di-tanah. JARAK [AncolPriok] (meter) faktor-skala di-peta di-tanah (ko) beda-jarak () 116,541 116,61 0,9996 0,80 116,093 116,60 0,9999 0,167 116,53 116,60 0,999996 0,007 ko: 0,999996 adalah faktor-skala Sistem Proyeksi Distorsi Minimum. Pada Tabel 4., hasil hitungan reduksi jarak horizontal di-tanah ANCOL-PRIOK dari jarak di-peta, menunjukkan bahwa jarak di-peta produk SPDM-TM pada faktor-skala = 0,999996 adalah nilai yang paling mendekati jarak horizontal di-tanah sebenarnya, dengan beda-jarak sebesar -0,007 m. Eyang...eyang.., aku pengen-nya koordinat di-peta dipindahin ke koordinat ditanah..!!?. Huusssh... koordinat di-peta bukan koordinat di-tanah..!!!!. Walaupun, dengan menggunakan hitungan faktor-skala, jarak di-peta dapat direduksi ke jarak di-ellipsoida referensi kemudian direduksi ke jarak di-tanah atau sebaliknya, itu hanyalah untuk memindahkan antar jarak. Namun, sesuai dengan konsep sistem proyeksi, nilai koordinat -D atau planimetrik hanya berada dibidang proyeksi (datar) atau di-peta dan/atau diatas bidang ellipsoida referensi (h=0). Nilai koordinat di-tanah umumnya dinyatakan dengan XYZ, h, dan enu. Dengan demikian, bila menginginkan koordinat di-tanah, maka nilai koordinat -D atau planimetrik [timur (x); utara (y)] terlebih dahulu dikonversi kembali ke h dan seterusnya (lihat pada Diagram 1.). Sesungguhnya, selama ini peta-peta TM6 atau UTM dan TM3 nilai-nilai koordinatnya bukan berada dipermukaan rupabumi melainkan di perut-bumi (dalam-dangkalnya tergantung tinggi diatas ellipsoida referensi), dan ter-distorsi linier horizontal. Sedangkan, pengukuran terestris, kadaster, konstruksi, sistem/sains informasi geografi, desain pekerjaan, perencanaan tata ruang wilayah dan banyak lagi, semua imaginasi spasialnya di(atas)permukaan rupabumi. Sehingga, supaya nilai-nilai koordinat pada semua objek-objek yang direpresentasikan dipeta-peta, mendekati keadaan sebenarnya dipermukaan rupabumi (the real world), adalah dengan mengimplementasikan Sistem Proyeksi Distorsi Minimum. Suatu pilihan terbaik, untuk menjawab tantangan kebutuhan masa-depan, diantara banyak alternatif.

0 Desain Sistem Proyeksi Distorsi Minimum (SPDM): suatu contoh. Berikut adalah desain SPDM untuk suatu daerah yang akan dipetakan, dengan variasi elevasi permukaan rupabumi relatif datar (di wilayah provinsi DKI-Jakarta dan sekitarnya) dan pegunungan (di wilayah kota Palu dan sekitarnya, provinsi Sulawesi-Tengah). Data-data stasiun-kontrol geodetik yang digunakan adalah dengan nilai koordinat faktual produk hitung perataan jaringan data GPS relatif terhadap IGb008 epoch 01.00 berdasarkan ITRF008 epoch 005.00. Daftar koordinat stasiun-kontrol GPS dengan nilai koordinat geodetik (,,h) dan koordinat planimetrik (x,y), selengkapnya dapat dilihat di Apendiks B. Untuk uji komparatif, dilakukan dengan jarak antara tiap dua stasiun-gps produk hitungan jarak di-peta dan direduksi ke jarak di-tanah dari koordinat planimetrik (TM6 atau UTM; TM3; dan SPDM) menggunakan faktor-skala (k) dimasing-masing titik-proyeksi. Desain pasangan titik yang akan dibandingkan, dimulai dari titik/stasiun kontrol geodetik yang posisinya paling Barat dan mendekat ke Meridian-Sentral (MS) sistem proyeksi, dan/atau dari sekitar MS dan menjauh ke Timur. Desain SPDM di wilayah DKI-Jakarta dan sekitarnya yang diasumsikan datar, dengan desain area; barat-timur 63 km ( 31,5 km barat-timur dari MS) dan utara-selatan 118 km; menurut pada Tabel 1. desain area barat-timur dengan lebar zona 56 km, distorsi linier horizontal maksimum adalah ±5 ppm; dan MS awal Bujur ( o ) = 106 49' 00ʺ BT dan awal Lintang ( o ) = 5 30' 00ʺ LS dengan x semu = 35000 m dan y semu = 000000 m. Dengan tinggi diatas ellipsoida referensi WGS84(G176), h rata-rata 7 m, maka diperoleh ko = 0,999996. Pada sistem proyeksi standar TM6 atau UTM, wilayah DKI-Jakarta berada di Timur MS awal Bujur ( o ) = 105 00' 00ʺ BT dan awal Lintang ( o ) = 0 0' 0ʺ di ekuator dengan x semu = 500000 m dan y semu = 10000000 m, ko = 0,9996, pada Zona 48 (lihat pada Apendiks A.). Dan pada sistem proyeksi standar TM3, wilayah DKI-Jakarta juga masih berada di Timur MS awal Bujur ( o ) = 106 30' 00ʺ BT dan awal Lintang ( o ) = 0 0' 0ʺ di ekuator dengan x semu = 00000 m dan y semu = 1500000 m, ko = 0,9999, pada Zona 48- (lihat pada Apendiks A.). Dan, posisi stasiun kontrol geodetik paling barat dari MS pada desain SPDM, berdekatan dengan MS TM3. Uji komparatif, dengan jarak antara tiap dua stasiun-gps produk hitungan jarak di-peta dan ditanah dari koordinat planimetrik (TM6 atau UTM; TM3; dan SPDM), diringkas pada Tabel 5., dengan penjelasan: Beda () = jarak di-tanah minus jarak di-peta ; distorsi linier horizontal (), dan R m (nilainya didapatkan pada Tabel3.), dihitung dengan persamaan: k Rm Rm h 1 635717,307, misalkan: = 0,9999965 x 1 = 1,7 ppm 635717,307 58, 49

1 Tabel 5. Ringkasan Beda jarak di-peta dan di-tanah dan distorsi linier horizontal diarea desain SPDM relatif datar, untuk contoh diwilayah DKI-Jakarta JARAK Dari Ke Sistem Proyeksi Di-peta (m) Di-tanah (m) Beda () (m) Distorsi (ppm) TM6 76375,3 76378,40 3,170-4 088-098 TM3 76370,795 76378,433 7,638-100 SPDM 76379,019 76378,408-0,611 3 TM6 510,44 510,964 0,540-098-jk3 TM3 5100,486 510,971,485-99 SPDM 5103,090 510,965-0,16 TM6 60680,003 60679,548-0,455 7 jk3-ctgr TM3 60673,659 60679,545 5,886-97 SPDM 60679,594 60679,533-0,061-6 TM6 14970,865 14970,475-0,390 6 ctgr-jku9 TM3 14969,045 14970,467 1,4-95 SPDM 14970,454 14970,469 0,015-8 TM6 564,009 563,818-0,191 34 jku9-jku5 TM3 563,86 563,814 0,59-94 SPDM 563,807 563,818 0,011-5 TM6 1434,100 1433,55-0,548 39 jku5-jk1 TM3 143,13 1433,544 1,331-93 SPDM 1433,53 1433,551 0,08-5 TM6 6708,018 6706,790-1,8 46 jk1-jku3 TM3 6704,300 6706,771,470-93 SPDM 6706,718 6706,785 0,067-7 TM6 17891,583 17890,339-1,44 69 jku3-jku1 TM3 17888,737 17890,338 1,601-89 SPDM 17890,80 17890,34 0,063-13 TM6 14041,953 14040,696-1,57 90 jku1-bpnp TM3 14039,480 14040,695 1,15-86 SPDM 14040,641 14040,697 0,056-16 TM6 7816,006 7815,40-0,766 98 bpnp-jk10 TM3 7814,573 7815,37 0,664-85 SPDM 7815,08 7815,39 0,031-1 TM6 9300,133 999,105-1,08 110 jk10-jku8 TM3 998,334 999,106 0,77-83 SPDM 999,070 999,108 0,037-9 TM6 6055,883 605,861-3,0 116 jku8-bako TM3 6050,76 605,86,136-8 SPDM 605,756 605,860 0,104-0 TM6 4183,354 4178,318-5,036 1 bako-pcol TM3 4174,974 4178,318 3,344-81 SPDM 4178,149 4178,314 0,165-18

TM6 116,541 116,61-0,80 13 pcol-jku6 TM3 116,093 116,60 0,167-79 SPDM 116,53 116,61 0,007-7 TM6 50,966 50,931-0,035 138 jku6-cjkt TM3 50,91 50,93 0,00-78 SPDM 50,99 50,99 0,000-7 TM6 8516,165 8511,974-4,191 147 cjkt-jku TM3 8509,807 8511,974,167-76 SPDM 8511,883 8511,954 0,071-1 TM6 13140,73 13138,581 -,14 163 jku-jku4 TM3 13137,68 13138,581 0,953-73 SPDM 13138,549 13138,576 0,06-1 TM6 17496,66 17493,59-3,097 177 jku4-jku7 TM3 1749,316 17493,53 1,16-69 SPDM 17493,503 17493,59 0,06-6 TM6 6874,396 6873,114-1,8 186 jku7-jk11 TM3 687,654 6873,115 0,460-67 SPDM 6873,110 6873,114 0,003-4 TM6 1919,913 1914,98-4,985 8 jk11-cbtu TM3 1913,696 1914,94 1,7-56 SPDM 1915,009 1914,91-0,088-3 TM6 63178,080 63171,068-7,01 111 088-cbtu TM3 63166,47 63171,084 4,611-73 SPDM 63171,590 63171,084-0,505-1 Pada Tabel 5., bahwa diarea desain Sistem Proyeksi Distorsi Minimum (SPDM) diwilayah dengan permukaan rupabumi relatif datar, menunjukkan distorsi linier horizontal minimum, bila dibandingkan dengan sistem proyeksi standar TM6 atau UTM dan TM3. Distorsi linier horizontal minimum pada SPDM > 10 ppm, adalah disebabkan oleh stasiun kontrol geodetik yang terhubung pada variasi elevasi h > 100 m, seperti stasiun yang terhubung dengan stasiun bako (h = 158,118 m) dan stasiun-stasiun kontrol geodetik diatas gedung (misal, bpnp [h = 74,941 m] atau jku [h = 85,973 m]). Namun, diarea pada ketinggian rata-rata, nilai distorsi linier horizontal minimum << 10 ppm. Selanjutnya, desain SPDM diarea pegunungan diwilayah kota Palu dan sekitarnya, provinsi Sulawesi-Tengah dengan variasi elevasi dipermukaan rupabumi dari ketinggian pada stasiun kontrol geodetik h = 6 m sampai pada ketinggian h = 1314 m (h, tinggi diatas ellipsoida referensi WGS84). Dengan desain area; barat-timur 60 km (30 km barat-timur dari MS) dan utara-selatan 1 km; dan MS awal Bujur ( o ) = 119 51' 00ʺ BT dan awal Lintang ( o ) = 0 00' 00ʺ di ekuator, dengan x semu = 30000 m dan y semu = 10000 m. Dengan tinggi diatas ellipsoida referensi WGS84(G176), h rata-rata 341 m, maka diperoleh ko = 0,999946. Pada sistem proyeksi standar TM6 atau UTM, wilayah kota Palu dan sekitarnya persis berada di -Zona sistem proyeksi, Zona 50 dan 51 yang dibatasi Bujur () = 10BT (lihat pada Apendiks A.). Sehingga, hitungan dilakukan pada Zona 50 dengan MS awal Bujur ( o ) = 117BT dan pada

3 Zona 51 dengan MS awal Bujur ( o ) = 13BT dan kedua Zona dengan awal Lintang ( o ) = 0 0' 0ʺ di ekuator dengan x semu = 500000 m dan y semu = 10000000 m, ko = 0,9996. Demikian pula, pada sistem proyeksi standar TM3, wilayah kota Palu dan sekitarnya persis berada di -Zona sistem proyeksi, Zona 50- dan 51-1 yang dibatasi Bujur () = 10BT (lihat pada Apendiks A.). Sehingga, hitungan dilakukan pada Zona 50- dengan MS awal Bujur ( o ) = 118 30' 00ʺBT dan pada Zona 51-1 dengan MS awal Bujur ( o ) = 11 30' 00ʺBT dan kedua Zona dengan awal Lintang ( o ) = 0 0' 0ʺ di ekuator dengan x semu = 00000 m dan y semu = 1500000 m, ko = 0,9999. Dengan cara yang sama uji komparatif seperti area desain SPDM diwilayah DKI-Jakarta, dengan jarak antara tiap dua stasiun-gps produk hitungan jarak di-peta dan di-tanah dari koordinat planimetrik (TM6 atau UTM; TM3; dan SPDM), untuk wilayah pegunungan diwilayah kota Palu dan sekitarnya, diringkas pada Tabel 6. Tabel 6. Ringkasan Beda jarak di-peta dan di-tanah dan distorsi linier horizontal diarea desain SPDM pegunungan, untuk contoh diwilayah kota Palu. JARAK Dari Ke Sistem Proyeksi Di-peta (m) Di-tanah (m) Beda () (m) Distorsi() (ppm) TM6 10184,765 10178,195-6,570 646 watp-pl0 TM3 10179,10 10177,458-1,644 161 SPDM 10177,73 10178,190 0,458-56 TM6 9133,945 917,707-6,39 684 pl0-pl03 TM3 918,669 917,701-0,968 106 SPDM 917,63 917,706 0,443-58 TM6 486,09 48,564-3,465 719 pl03-pl04 TM3 483,147 48,563-0,584 11 SPDM 48,31 48,565 0,44-71 TM6 9488,451 9466,057 -,394 760 pl04-domb TM3 9470,171 9466,061-4,111 139 SPDM 9464,517 9466,049 1,53-171 TM6 1857,738 1840,517-17,1 789 domb-loli TM3 1843,846 1840,516-3,331 153 SPDM 1839,347 1840,504 1,158-16 TM6 0833,610 0816,999-16,61 798 loli-wayu TM3 080,64 0816,996-3,68 157 SPDM 0815,880 0816,994 1,114-130 TM6 3135,860 3133,304 -,557 816 wayu-blne TM3 3133,81 3133,30-0,519 166 SPDM 3133,134 3133,303 0,169-15 TM6 5091,96 5087,734-4,8 831 blne-pl14 TM3 5088,611 5087,733-0,878 17 SPDM 5087,458 5087,733 0,75-9

4 TM6 41,449 41,414-0,035 834 pl14-p14p TM3 41,41 41,414-0,007 174 SPDM 41,413 41,415 0,00-76 TM6 16643,49 1669,338-13,910 837 p14p-pl09 TM3 1663,155 1669,16 -,993 180 SPDM 1668,64 1669,16 0,898-71 TM6 16643,831 1669,696-14,135 850 pl09-pl18 TM3 1663,60 1669,519-3,101 186 SPDM 1668,66 1669,54 0,898-65 TM6 1965,083 1948,395-16,688 867 pl18-pl10 TM3 195,043 1948,395-3,648 189 SPDM 1947,36 1948,401 1,039-68 TM6 1466,78 14613,970-1,758 873 pl10-pl08 TM3 14616,783 14613,977 -,806 19 SPDM 14613,190 14613,979 0,789-70 TM6 13917,810 13905,573-1,37 880 pl08-pl11 TM3 13908,95 13905,576 -,719 196 SPDM 13904,89 13905,579 0,751-7 TM6 1934,48 1917,359-17,13 891 pl11-palp TM3 191,0 1917,358-3,863 01 SPDM 1916,39 1917,366 1,038-77 TM6 0358,5 0339,966-18,86 899 palp-karu TM3 0344,134 0339,964-4,170 05 SPDM 0338,881 0339,969 1,088-80 TM6 15360,4 15346,511-13,91 907 karu-pdam TM3 15349,710 15346,510-3,00 09 SPDM 15345,693 15346,507 0,813-10 TM6 936,4 933,73 -,699 90 pdam-rti TM3 934,355 933,75-0,631 15 SPDM 933,568 933,74 0,155-134 TM6 15437,011 154,644-14,366 93 rti-pl1 TM3 1546,047 154,646-3,401 1 SPDM 1541,833 154,651 0,817-139 TM6 673,419 65,194-1,5 937 pl1-pl0 TM3 657,54 65,0-5,051 3 SPDM 651,008 65,198 1,189-11 TM6 503,633 48,30-1,313 948 pl0-pl19 TM3 487,465 48,37-5,137 8 SPDM 481,156 48,35 1,169-137 TM6 561,05 558,583 -,469 965 pl19-pl17 TM3 559,190 558,583-0,606 37 SPDM 558,45 558,583 0,13-136 TM6 5649,099 5598,000-51,099 971 sbli-slby TM3 5610,645 5597,995-1,650 40 SPDM 5595,376 5598,006,630-141