BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hepatosomatic Index Hepatosomatic Indeks (HSI) merupakan suatu metoda yang dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam hati secara kuantitatif. Hati merupakan tempat terjadinya proses vitelogenesis. Pada penelitian ini nilai HSI dihitung untuk mengetahui perkembangan proses vitelogenesis pada ikan uji. Berdasarkan data hasil penelitian (Tabel 5) nilai rata rata HSI tertinggi terdapat pada perlakuan C (pakan + 20 g TTS per Kg induk) yaitu sebesar 0,87% dan nilai HSI terendah terdapat pada perlakuan A (Kontrol atau tanpa pemberian TTS) yaitu sebesar 0,35, sedangkan perlakuan B (pakan + 10 g TTS per Kg induk) mempunyai nilai HSI sebesar 0,61%. Tabel 5. Data Hasil Pengamatan HSI Induk Ikan Nilem Perlakuan HSI Rata-rata (%) A : Kontrol (Pelet Komersil) B : Pelet Komersil + 10 g TTS per Kg Induk 0,35 ± 0,2623 a 0,61 ± 0,2600 a Keterangan C : Pelet Komersil + 20 g TTS per Kg Induk 0,87 ± 0,3151 a : Nilai yang diikuti huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata (Non Signifikan) pada taraf kepercayaan 95% Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai HSI akan semakin meningkat atau berbanding lurus dengan pertambahan jumlah TTS yang diberikan pada ikan uji (Gambar 6) meskipun berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 5) menunjukkan bahwa pemberian TTS pada ikan nilem tidak berpengaruh nyata terhadap nilai HSI ikan nilem. Pertambahan nilai HSI tersebut terjadi diduga oleh adanya pertambahan jumlah testosteron di dalam tubuh ikan uji. 32
33 Gambar 6. Grafik Hepatosomatic Index Rata-rata per Perlakuan. Tepung Testis Sapi (TTS) merupakan sumber testosteron alami. Berdasarkan analisis kandungan hormon testosteron pada TTS dengan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography) menunjukkan bahwa kandungan testosteron yang terdapat dalam TTS yaitu sebesar 10,01 µg /g TTS (Muslim 2010). Kandungan hormon testosteron yang ada pada TTS tersebut diduga akan menaikkan jumlah hormon tesosteron dalam darah ikan uji yang diberi pakan yang dicampur dengan TTS. Proses vitelogenesis secara alami dipengaruhi oleh adanya isyarat isyarat lingkungan seperti fotoperiod, suhu, aktivitas makanan dan faktor sosial yang semuanya akan merangsang hipotalamus untuk mensekresikan hormon hormon Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH). GnRH yang disekresikan tersebut kemudian akan merangsang hipofisa untuk mensekresikan hormon gonadotropin (GtH). GtH yang diproduksi oleh kelenjar pituitary (hipofisa) tersebut dibawa oleh darah ke dalam sel teka yang berada pada gonad untuk menstimulasi terbentuknya testosteron. Testosteron yang terbentuk kemudian akan masuk ke dalam sel granulosa untuk diubah oleh enzim aromatase menjadi hormon estradiol 17β yang selanjutnya akan dialirkan oleh darah kedalam hati untuk mensintesis vitelogenin. Vitelogenin yang dihasilkan kemudian dialirkan kembali oleh darah kedalam gonad untuk diserap oleh oosit sehingga penyerapan vitelogenin ini disertai dengan perkembangan diameter telur (Sumantri 2006). Penyerapan vitelogenin
34 akan terhenti pada waktu oosit mencapai ukuran maksimal atau telur mencapai kematangan. Selanjutnya telur memasuki masa dorman menunggu sinyal lingkungan untuk ovulasi dan pemijahan (Sarwoto 2001). Penambahan TTS pada pakan yang diberikan kepada ikan uji pada penelitian ini diduga akan meningkatkan kadar testosteron dalam darah. Pamungkas (2006) mengungkapkan bahwa implantasi hormon 17α- Metiltestosteron berpengaruh terhadap kadar testosteron dalam darah. Subagja (2006) menyatakan bahwa implantasi LHRH analog sebesar 100µg/Kg bobot badan yang dikombinasikan dengan hormon 17α-Metiltestosteron (hormon testosteron sintetik) sebesar 100 µg/kg bobot badan memperlihatkan nilai konsentrasi testosteron dalam plasma tertinggi yaitu sebesar 305,69 ng/ml. Sarwoto (2001) melaporkan bahwa pada akhir penyuntikan hormon testosteron pada ikan dengan dosis 0, 50, 100, 150 dan 200 µg/kg mengakibatkan terjadinya kenaikan kadar testosteron dalam darah masing-masing sebesar 0,5; 5,2; 11,4; 1,2 dan 5;4 kali dari kondisi awal percobaan. Hormon testosteron yang diproduksi tersebut akan masuk ke dalam sel granulosa gonad untuk diubah oleh enzim aromatase menjadi hormon estradiol 17β. Hormon estradiol 17β tersebut kemudian dialirkan oleh darah kedalam hati untuk mensintesis vitelogenin pada proses vitelogenesis. Aktivitas vitelogenesis dalam hati akan berdapmpak pada peningkatan nilai Hepatosomatic Index dari ikan uji. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Schulzt (1984) dan Cerda et al. (1996) dalam Indriastuti (2000) yang menyatakan bahwa aktivitas vitelogenesis akan meningkatkan Hepatosomatic Index dan Gonadosomatic Index. Penambahan jumlah testosteron dalam darah akibat adanya pemberian TTS pada pakan akan menyebabkan peningkatan jumlah testosteron yang terdapat pada darah. Peningkatan jumlah testosteron tersebut diduga akan menaikkan volume hormon estradiol 17β yang dialirkan oleh gonad melalui darah menuju hati yang kemudian akan meningkatkan nilai HSI. Indriastuti (2000) menyatakan bahwa ovari pada ikan betina akan merespon konsentrasi GtH dengan meningkatkan secara tidak langsung produksi estrogen yakni estradiol 17β. Pertambahan volume tersebut diduga akan diikuti oleh kenaikan volume dan
35 bobot hati yang kemudian akan meningkatkan nilai HSI. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Sarwoto (2001) yang menyatakan bahwa nilai HSI pada ikan jambal siam (Pangasius hypopthalmus) yang diberi hormon testosteron melalui emulsi W/O/W LG (C14) mengalami peningkatan pada akhir penelitian. Kenaikan tersebut disebabkan hati ikan telah aktif menyerap hormon estradiol 17 β dan memproduksi vitelogenin, sehingga bobot hati bertambah. 4.2 Indeks Kematangan Gonad Indeks kematangan gonad (IKG) atau Gonado Somatic Indeks (GSI) merupakan suatu metoda yang dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif. Berdasarkan data hasil penelitian (Tabel 6) nilai IKG rata rata tertinggi terdapat pada perlakuan A (kontrol atau tanpa pemberian TTS) yaitu sebesar 8,81% dan nilai IKG terendah terdapat pada perlakuan C (pakan + 20 g TTS per Kg induk) yaitu sebesar 8,05 %, sedangkan perakuan B (pakan + 10 g TTS per Kg induk) mempunyai nilai IKG sebesar 8,11%. Tabel 6. Data Hasil Pengamatan IKG Induk Ikan Nilem. Perlakuan IKG Rata-rata (%) A : Kontrol (Pelet Komersil) B : Pelet Komersil + 10 g TTS per Kg Induk 8,81 ± 1,8274 a 8,11 ± 1,1854 a C : Pelet Komersil + 20 g TTS per Kg Induk Keterangan 8,05 ± 4,1796 a : Nilai yang diikuti huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata (Non Signifikan) pada taraf kepercayaan 95% Hasil IKG rata-rata tersebut menunjukkan bahwa nilai IKG rata rata menurun seiring dengan pertambahan jumlah Tepung Testis Sapi (TTS) yang diberikan pada ikan uji (Gambar 7) meskipun berdasarkan hasil analisis sidik ragam (anova) menunjukkan bahwa pemberian TTS pada ikan nilem tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap nilai IKG ikan nilem (Tabel 6). Penurunan nilai IKG tersebut diduga oleh adanya penurunan bobot gonad akibat adanya
36 proses atresia yaitu penyerapan kembali telur telur yang telah mencapai perkembangan maksimal namun tidak diovulasikan (Gambar 8). Gambar 7. Grafik Nilai Indeks Kematangan Gonad Rata-rata per Perlakuan (a) Gambar 8. Telur ikan nilem yang mengalami atresia (a) Pada Perlakuan B dan (b) Pada perlakuan C. Tanda Panah Menunjukkan Oosit yang Mengalami Atresia. (b) Pemberian TTS yang ditambahkan pada pakan yang diberikan kepada ikan uji selama penelitian diduga akan meningkatkan kadar testosteron yang ada pada darah. Peningkatan kadar testosteron tersebut diduga akan meningkatkan sintesa hormon estradiol 17β yang terjadi dalam gonad ikan uji. Semakin banyaknya volume hormon estradiol 17 β yang diproduksi di dalam gonad diduga akan meningkatkan ukuran oosit yang selanjutnya akan meningkatkan volume dan
37 bobot gonad ikan tersebut. Peningkatan volume dan bobot gonad selanjutnya akan berpengaruh terhadap perkembangan nilai IKG dari ikan tersebut. Nilai IKG akan semakin meningkat dan akan mencapai batas maksimum pada saat akan terjadi pemijahan. Perkembangan nilai IKG terjadi dikarenakan adanya perkembangan garis tengah telur sebagai hasil dari pengendapan kuning telur, hidrasi dan pembentukkan butir butir minyak (Effendi 1997). Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukkan bahan bahan kuning telur di dalam oosit (sel telur) dan berakhir setelah oosit mencapai ukuran tertentu atau nucleolus tertarik ke tengah nucleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, oosit tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat sambil menunggu kondisi lingkungan yang baik (tahap tersebut dinamakan tahap istirahat atau dorman). Sebagian oosit tersebut atau bahkan kadang kadang seluruhnya, jika kondisi lingkungan tidak mendukung akan mengalami degradasi. Oosit yang demikian dinamakan oosit atresia (Ernawati 1999). Oosit atresia akan diabsorbsikan kembali oleh sel sel ovarium ke dalam tubuh (de Vlaming 1983 dalam Ernawati 1999). Gambar 9. Fase Perkembangan Sel Telur (Sumber : Woynarovich dan Horvath 1984 dalam Ernawati 1999)
38 Proses atresia tidak hanya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Woodhead (1979) dalam Ernawati (1999) mengungkapkan bahwa atresia disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal antaralain disebabkan oleh lingkungan yang tidak sesuai dengan habitat optimum dari ikan, sedangkan faktor internal disebabkan antara lain oleh umur ikan dan mekanisme hormonal dari ikan tersebut. Proses atresia pada ikan uji yang diberi pakan yang dicampur TTS pada penelitian ini diduga disebabkan oleh faktor hormonal. Hal tersebut didasari oleh adanya penambahan jumlah testosteron yang ada pada tubuh yang diakibatkan oleh pemberian hormon testosteron yang terkandung dalam TTS yang diberikan pada ikan uji. Penambahan hormon testosteron tersebut diduga akan mempercepat proses pematangan telur yang terjadi di dalam gonad. Semakin cepatnya proses pematangan telur pada penelitian kali ini tidak diikuti dengan penanganan lanjutan yaitu proses pemijahan. Hal tersebut dikarenakan oleh adanya penentuan waktu pengamatan pada ikan uji yaitu 3 bulan setelah proses stripping awal. Penentuan waktu pengamatan tersebut mengakibatkan nilai IKG pada saat pengamatan menurun seiring dengan peningkatan jumlah TTS yang diberikan pada ikan uji. Penurunan nilai IKG tersebut diduga diakibatkan oleh adanya proses atresia pada telur yang ada pada gonad yang diakibatkan oleh tidak dilakukannya proses penanganan lanjutan (proses pemijahan). 4.3 Diameter Telur Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang dari suatu telur yang diukur dengan menggunakan mikroskop (Hoar 1969 dalam Murtejo 2008). Diameter telur merupakan parameter yang diperlukan untuk menilai kualitas terkait dengan volume pemijahan. Diameter telur sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan pemijahan (Murtejo 2008). Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 7) nilai rata rata diameter telur mengalami penurunan seiring dengan pertambahan jumlah TTS yang diberikan pada ikan uji yaitu 0,9825 mm pada perlakuan A (pemberian TTS 0 gr/kg induk),
39 0,9755 mm pada perlakuan B (pemberian TTS 10 g/kg induk) dan 0,960 mm pada perlakuan C (pemberian TTS 20 g/kg induk). Namun hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian TTS pada ikan nilem tidak berpengaruh nyata terhadap nilai rata rata diameter telur ikan nilem. Penurunan nilai rata rata diameter telur tersebut diduga terkait oleh adanya proses atresia seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya. Tabel 7. Data Hasil Pengamatan Diameter Telur Rata-rata Induk Ikan Nilem Perlakuan Rata-rata Keterangan A : Kontrol (Pelet Komersil) B : Pelet Komersil + 10 g TTS per Kg Induk C : Pelet Komersil + 20 g TTS per Kg Induk 0,9825 ± 0,0250 a 0,9775 ± 0,0222 a 0,9650 ± 0,0451 a : Nilai yang diikuti huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata (Non Signifikan) pada taraf kepercayaan 95% Pemberian hormon testosteron dapat memberikan umpan balik positif terhadap hipotalamus atau hipofisis untuk memproduksi hormon gonadotropin (GtH) (Ernawati 1999; Sarwoto 2001; Subagja 2006). Hormon GtH yang diproduksi oleh kelenjar pituitary akan dibawa oleh darah ke dalam sel teka yang berada pada gonad untuk menstimulasi terbentuknya testosteron. Testosteron yang terbentuk kemudian akan masuk ke dalam sel granulosa untuk diubah oleh enzim aromatase menjadi hormon estradiol 17β yang selanjutnya akan dialirkan oleh darah kedalam hati untuk mensintesis vitelogenin. Vitelogenin yang dihasilkan kemudian dialirkan kembali oleh darah ke dalam gonad untuk diserap oleh oosit sehingga penyerapan vitelogenin ini disertai dengan perkembangan diameter telur (Sumantri 2006). Penyerapan vitelogenin akan terhenti pada waktu oosit mencapai ukuran maksimal atau telur mencapai kematangan. Selanjutnya telur memasuki masa dorman menunggu sinyal lingkungan untuk ovulasi dan pemijahan (Sarwoto 2001). Perkembangan diameter telur tersebut akan mencapai batas maksimum dan jika tidak diovulasikan akan menyebabkan terjadinya proses atresia. Harvey B
40 dan Carolsfeld (1993) dalam Subagja (2006) mengemukakan bahwa dalam proses pematangan oosit, jika keseimbangan hormon reproduksi dan kondisi lingkungan tidak mendukung maka oosit yang telah mengalami vitelogenesis akan mengalami degradasi atau kegagalan ovulasi yang dikenal dengan oosit atresia (Gambar 9). Proses tersebut terjadi karena adanya penyerapan kembali (reabsorbsi) materi oosit oleh sel-sel granulosa yang mengalami hipertrofi. Gambar 10. Kondisi Oosit yang Mengalami Atresia. Tanda Panah Menunjukkan Oosit yang Mengalami Atresia. 4.4 Fekunditas Ikan Fekunditas adalah jumlah telur per satuan berat atau panjang (Effendi 1979). Berat ovari dapat digunakan untuk menduga fekunditas dan agar memperoleh hasil yang tepat (Murtejo 2008). Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 8) nilai rata-rata fekunditas tertinggi terdapat pada perlakuan C yaitu sebesar 133.174 butir telur per kilogram ikan dan nilai rata-rata fekunditas terendah terdapat pada perlakuan A yaitu sebesar 128.928 butir telur per kilogram ikan. Sedangkan perakuan B mempunyai nilai rata-rata fekunditas sebesar 131.951 butir telur per kilogram ikan.
41 Tabel 8. Data Hasil Pengamatan Fekunditas per Kilogram Bobot Induk Ikan Nilem. Ulangan Kisaran Fekunditas Perlakuan Fekunditas Per 1 2 3 4 Rata-rata Perlakuan A 119.252 177.610 86.057 132.795 128.928 86.057 177.610 B 154.989 113.647 151.323 107.845 131.951 107.845 154.989 C 121.356 221.512 114.615 75.213 133.174 75.213 221.512 Keterangan : A = Kontrol (Pelet Komersil); B = Pelet Komersil + 10 g TTS per Kg Induk; C : Pelet Komersil + 20 g TTS per Kg Induk Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa nilai rata rata fekunditas perlakuan meningkat seiring dengan pertambahan jumlah TTS yang diberikan pada ikan uji (Gambar 11). Pemberian TTS pada ikan uji diduga akan meningkatkan jumlah testosteron yang ada pada tubuh ikan uji. Peningkatan jumlah testosteron tersebut diduga akan diikuti oleh peningkatan jumlah hormon estradiol 17β. Hormon estradiol 17β merupakan hormon yang menstimulus pembentukan vitelogenin di dalam hati. Peningkatan jumlah hormon estradiol 17β diduga akan meningkatkan jumlah vitelogenin yang diproduksi oleh hati yang selanjutnya akan meningkatkan jumlah telur yang dihasilkan. Peningkatan jumlah telur tersebut mengakibatkan nilai fekunditas dari ikan tersebut meningkat pula. Gambar 11. Grafik Nilai Rata-rata Fekunditas per Kilogram Bobot Ikan 4.5 Persentase Tingkat Kematangan Telur Ikan Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 9) nilai rata rata persentase tingkat kematangan telur berbeda beda antar perlakuan. Nilai persentase rata-rata fase
42 vitelogenik tertinggi terdapat pada perlakuan A yaitu sebesar 44,58%, nilai persentase rata-rata fase awal final oocyte maturation (FOM) tertinggi terdapat pada perlakuan B yaitu sebesar 49,17% dan nilai persentase rata-rata fase akhir FOM terdapat pada perlakuan C yaitu sebesar 17,92%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat kematangan telur akan semakin meningkat sesuai dengan pertambahan jumlah TTS yang diberikan pada ikan uji. Peningkatan nilai rata-rata tingkat kematangan telur tersebut diduga diakibatkan oleh adanya kenaikan kadar testosteron dalam darah setelah ikan uji diberi pakan yang mengandung TTS yang selanjutnya akan meningkatkan kadar estradiol 17β, sintesa vitelogenin dan jumlah telur yang mengalami fase kematangan telur (FOM). Tigkat kematangan telur diawali dengan adanya fase vitelogenik yang ditandai oleh adanya inti telur yang berada ditengah (cgv) yang selanjutnya akan berkembang secara bertahap menjadi fase awal FOM yang ditandai dengan adanya inti telur yang bermigrasi dari tengah ke tepi (mgv) dan inti yang berada di tepi (pgv). Perkembangan kematangan telur tersebut akan terhenti pada saat telur mengalami fase akhir FOM yang ditandai oleh adanya telur yang memiliki inti melebur (GVBD). Nilai rata-rata GVBD pada perlakuan A, B dan C berturutturut yaitu sebesar 9,17%, 15,00% dan 17,92%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai rata-rata GVBD akan semakin meningkat sesuai dengan pertambahan jumlah TTS yang diberikan pada ikan uji (Gambar 12) meskipun berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 9) menunjukkan bahwa pemberian TTS pada ikan nilem tidak berpengaruh nyata terhadap nilai rata-rata GVBD ikan nilem. Tabel 9. Data Hasil Pengamatan Tingkat Kematangan Telur Induk Ikan Nilem Persentase Tingkat Kematangan Telur Rata-rata (%) Perlakuan Fase Vitelogenik Fase Awal FOM Fase Akhir FOM A : Kontrol (Pelet Komersil) 44,58 ± 4,38 a 46,25 ± 7,12 a 9,17 ± 5,53 a B : Pelet Komersil + 10 g TTS per Kg Induk C : Pelet Komersil + 20 g TTS per Kg Induk Keterangan 35,83 ± 7,52 a 49,17 ± 8,33 a 15,00 ± 1,36 a 39,58 ± 6,44 a 42,50 ± 5,53 a 17,92 ± 10,40 a : Nilai yang diikuti huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata (Non Signifikan) pada taraf kepercayaan 95%
43 Gambar 12. Grafik Nilai Rata-rata GVBD per Perlakuan Penambahan TTS pada pakan terhadap ikan uji diduga akan menaikkan kadar testosteron dalam darah yang selanjutnya diduga akan menaikkan nilai HSI yang disebabkan oleh adanya kenaikan volume hormon estradiol 17β yang dialirkan oleh gonad melalui darah. Pertambahan nilai HSI dan volume hormon estradiol 17β tersebut diduga akan diikuti oleh pertambahan jumlah vitelogenin yang dihasilkan oleh hati. Vitelogenin yang dihasilkan kemudian akan diserap oleh oosit dan disimpan dalam bentuk kuning telur. Penyerapan vitelogenin tersebut akan terhenti pada waktu oosit mencapai ukuran maksimal atau telur mencapai kematangannya. Selanjutnya telur tersebut memasuki masa dorman menunggu sinyal lingkungan untuk ovulasi dan pemijahan. apabila konsentrasi GtH II (LH) cukup, maka LH akan masuk ke dalam sel teka dan merangsang sekresi 17αhidroksiprogesteron yang selanjutnya akan masuk menuju granulosa dan bersama enzim 20βhidroksi steroid dehidrogenase membentuk 17α, 20β-hidroksi-4- pregnen-3-one. Hormon tersebut kemudian akan menuju ke dalam sel telur dan mendorong pembentukkan maturation promoting faktor (MPF). MPF kemudian akan mendorong inti telur menuju tepi dan selanjutnya mengalami GVBD (Sarwoto 2001).
44 4.6 Pengukuran Kualitas Air Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan pada media penelitian terlihat bahwa suhu perairan pemeliharaan induk selama penelitian berkisar antara 22,4 24,5 o C, oksigen terlarut (DO) berkisar antara 3,7 6,6 ppm dan derajat keasaman (ph) berkisar antara 6,90 8,97. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ikan nilem yang dipelihara selama penelitian berada pada kisaran suhu yang optimum, sedangkan DO berada dibawah kondisi optimum dan ph memiliki nilai di atas nilai optimum (Tabel 10). Tabel 10. Hasil Pengamatan Kualitas Air Media Pemeliharaan Induk Ikan Nilem. Parameter Alat Ukur Metode Hasil Standar Sumber Pengukuran Pengukuran Oksigen DO meter Potensiometrik 3,7 6,6 ppm 5 6 ppm Wiloughby 1999 terlarut (DO) Derajat keasaman (ph) ph meter Potensiometrik 6,90 8,97 6,0-7,0 Cholik et al. 2005 dalam Mulyasari 2010 Suhu Termometer Potensiometrik 22,4 24,5 o C 18 28 0 C Cahyono 2001 Sumber : Wiloughby 1999; Cholik et al. 2005 dalam Mulyasari 2010; Cahyono 2001 Kondisi tersebut memang kurang sesuai dengan persyaratan kualitar air optimum untuk ikan nilem, namun hal tersebut menunjukkan bahwa ikan nilem dapat bertahan hidup dengan toleransi kondisi lingkungan yang cukup tinggi.