Arsitektur Hijau pada Morfologi Permukiman Tepi Sungai Tallo

dokumen-dokumen yang mirip
Tranformasi Ruang Awa bola Pada Rumah Tradisional Nelayan Di Pesisir Pantai Kabupaten Bone

Tranformasi Ruang Awa Bola pada Rumah Tradisional Nelayan di Pesisir Pantai Kabupaten Bone

BAB III TINJAUAN TEMA ARSITEKTUR HIJAU

PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG

Arsitektur Hijau BAB III TINJAUAN KHUSUS PROYEK. mengurangi kenyamanan dari club house itu sendiri.

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR II

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.2 Latar Belakang Permasalahan Perancangan

BAB IV : KONSEP. Adapun prinsip-prinsip pendekatan arsitektur hijau adalah sebagai berikut:

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

Persepsi Masyarakat terhadap Permukiman Bantaran Sungai

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

KAJIAN TERHADAP KONSEP ELEMEN ALAMI DALAM PEMBANGUNAN DAERAH TEPIAN PANTAI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. CATATAN DOSEN PEMBIMBING... iii. LEMBAR PERNYATAAN... iv. MOTTO... v. KATA PENGANTAR...

INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latar Belakang Proyek

PENATAAN TEPIAN SUNGAI CENRANAE DENGAN PENDEKATAN EKOLOGIS DI KOTA SENGKANG

PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERKOTAAN MELALUI PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU TERINTEGRASI IPAL KOMUNAL

Pengembangan RS Harum

POLA PENATAAN ZONA, MASSA, DAN RUANG TERBUKA PADA PERUMAHAN WATERFRONT (Studi Kasus : Perumahan Pantai Indah Kapuk)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang

Sustainable Waterfront Develepmont sebagai Strategi Penataan Kembali Kawasan Bantaran Sungai

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kurangnya keamanan atas kepemilikan tanah; Kurangnya fasilitas-fasilitas dasar;

BAB III TINJAUAN TEORI SUSTAINABLE ARCHITECTURE

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN WATERFRONT DI SEMARANG (Studi Kasus : Sungai Banjir Kanal Barat)

Penerapan Metode Consensus Design pada Penataan Kembali Sirkulasi Kampung Kota di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara

BAMBANG DJAU

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pemukim itu sendiri dan sering sekali terbentuk akibat dari proses

BAB V KESIMPULAN 5.1. Karakteristik Fisik Lingkungan Perumahan Pahandut Seberang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Eksistensi Proyek. kota besar di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan jumlah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Hubungan Karakteristik Penduduk dengan Pemilihan Ruang Publik di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan untuk memiliki tempat tinggal yaitu rumah sebagai unit hunian tunggal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perencanaan

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Konsep Arsitektur Hijau Sebagai Penerapan Hunian Susun di Kawasan Segi Empat Tunjungan Surabaya

Evaluasi Tingkat Kenyamanan Penghuni Pasca Perubahan Fungsi Taman Parang Kusumo Semarang

RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL

STUDI TERHADAP POTENSI TEPIAN SUNGAI KAHAYAN MENJADI KAWASAN WISATA DI KOTA PALANGKA RAYA

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

EVALUASI KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOMPLEKS PERUMAHAN BUMI PERMATA SUDIANG KOTA MAKASSAR

BUILDING AND ENVIRONMENT STRUCTURING OF PA JUKKUKANG S VILLAGE, SUBDISTRICT BONTOA KABUPATEN MAROS

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB VI PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Darda (2009) dijelaskan secara rinci bahwa, Indonesia merupakan

KAJIAN PERKEMBANGAN KOTA BATANG BERDASARKAN STRUKTUR RUANG KOTA TUGAS AKHIR

Gambar 6.1 Alternatif Gambar 6.2 Batara Baruna. 128 Gambar 6.3 Alternatif Gambar 6.4 Alternatif Gambar 6.

Ketahanan Masyarakat terhadap Bencana di Pulau Saugi

BAB I: PENDAHULUAN Latarbelakang.

Asrama Mahasiswa di Makassar Bentuk Fraktal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 A. Soni Keraf. ETIKA LINGKUNGAN HIDUP, hal Emil Salim. RATUSAN BANGSA MERUSAK SATU BUMI, hal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

IDENTIFIKASI MASALAH PERMUKIMAN PADA KAMPUNG NELAYAN DI SURABAYA

Konsep Penataan Kota berbasis Berkelanjutan: Belajar di Eropa WIDIASTUTI

Desain Spasial Kawasan sebagai Dasar Pengembangan Ekspresi Visual Tepi Sungai Kalimas Surabaya

BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

BAB I PENDAHULUAN TA Latar Belakang PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN SUNGAI GAJAH WONG DI YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN:

lebih dahulu pengertian atau definisi dari masing-masing komponen kata yang digunakan dalam menyusun judul tersebut :

Ini Dia, 5 Kota dengan Konsep Water Front City Terbaik Di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA TA 123 PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN SUNGAI GAJAH WONG DI YOGYAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia disamping kebutuhan sandang dan pangan. Dikatakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB 1 PENDAHULUAN. Palu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Hal II-01.

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Hubungan antara kota dengan kawasan tepi air telah terjalin sejak awal peradaban manusia.

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Materi ke-13 9/7/2014 DASAR EKOLOGI PADA PENGELOLAAN LANSKAP DAN IMPLEMENTASINYA TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

DAMPAK POLA PENGGUNAAN LAHAN PADA DAS TERHADAP PRODUKTIVITAS TAMBAK DI PERAIRAN PESISIR LAMPUNG SELATAN

Desain Hunian Terapung di Jakarta Utara

BAB I PENDAHULUAN. secara tidak terencana. Pada observasi awal yang dilakukan secara singkat, Kampung

BAB III INTERPRETASI DAN ELABORASI TEMA. Tema yang digunakan pada perencanaan Hotel Forest ini adalah Green

lib.archiplan.ugm.ac.id

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

Tabel 1.1. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun

Universitas Sumatera Utara

Kajian Lanskap Wisata Pantai Puteh di Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Latar Belakang Perancangan. Pusat perbelanjaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini.

BAB I KONDISI KAWASAN DALAM BEBERAPA ASPEK. kepada permukiman dengan kepadatan bangunan tinggi, dan permukiman ini

Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota pada Kawasan Padat, Studi Kasus di Wilayah Tegallega, Bandung

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Transkripsi:

TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Arsitektur Hijau pada Morfologi Permukiman Tepi Sungai Tallo Edward Syarif (1), Nurmaida Amri (2) (1) Lab Perumahan dan Permukiman, Morfologi Permukiman, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin. (2) Lab Perumahan dan Permukiman, Permukiman Pesisir, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin. Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan pola permukiman tepi sungai Tallo dan pengaruhnya terhadap konsep arsitektur hijau. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis synchronic reading yang didukung oleh metode space syntax dan dianalisis berdasarkan konsep arsitektur hijau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola permukiman Tallo awalnya membentuk pola menyebar di atas air, kemudian berkembang menjadi pola memanjang dan pola mengelompok. menyebar dan memanjang dipengaruhi oleh kegiatan masyarakat yang terkait dengan perariran, sedangkan pola mengelompok dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dalam masyarakat. memanjang merupakan pola yang susunan ruangnya paling terintegrasi, sedangkan pola menyebar merupakan pola yang paling sesuai dengan konsep arsitektur hijau.tulisan ini dapat menjadi konsep untuk mengembangkan permukiman di tepian air yang sesuai dengan karakteristik lingkungan dan kondisi sosial masyarakat setempat. Kata-kunci : arsitektur hijau, space syntax, Tallo Pendahuluan Meningkatnya kebutuhan akan ruang kota menyebabkan daerah pesisir menjadi salah satu alternatif kawasan pengembangan perkotaan. Kawasan tepi air merupakan bentuk pengembangan struktur kota yang berorientasi ke perairan seperti danau, sungai dan laut, yang memaksimalkan potensi dan karakteristik kota (Zhand, 1999). Pengembangan Makassar sebagai kota pesisir berdampak pada wilayah tepian air dan sekitarnya. Salah satunya adalah terbentuk permukiman di sekitar sungai tanpa memperhatikan karakteristik lingkungan. Fenomena di daerah tepi air Makassar menjelaskan bahwa permukiman Tallo terbentuk karena perubahan bantaran sungai menjadi pemukiman. Permukiman Tallo tumbuh secara spontan di atas sungai mengisi ruang kosong, sehingga mengubah pesisir sungai. Permukiman Tallo awalnya dibentuk sebagai adaptasi masyarakat terhadap lingkungan pesisir, dalam hal ini masyarakat nelayan. Sesuai dengan Schulz (1985) yang menjelaskan bahwa hidup dan berdiam di suatu tempat secara tidak langsung menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungannya. Hal ini menjelaskan bahwa akan selalu terjadi hubungan timbal balik antara penghuni dengan lingkungannya. pemukiman Tallo yang terbentuk tidak sesuai dengan karakteristik lingkungan. Hal ini menyebabkan wilayah pesisir kehilangan fungsi dan merusak lingkungan sungai. Menurut Dahuri, et al (1996) bentuk perkotaan dan permukiman di wilayah pesisir harus terintegrasi dan tidak bertentangan dengan ekologi pesisir. Hal ini menggambarkan bahwa pola permukiman tepi air memerlukan pengaturan yang terintegrasi dengan ekologis pesisir dan ramah lingkungan. Disisi lain, Karsono (2010) menjelaskan bahwa arsitektur hijau merupakan langkah untuk Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 G 009

Arsitektur Hijau pada Morfologi Permukiman Tepi Sungai Tallo mempertahankan eksistensinya di muka bumi dengan cara meminimalkan perusakan alam dan lingkungan di mana mereka tinggal. Arsitektur hijau meminimalkan penggunaan sumber daya alam oleh manusia untuk menjamin generasi mendatang dapat memanfaatkan bagi kehidupannya kelak. Arsitektur hijau juga menggarisbawahi perlunya meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh bangunan terhadap lingkungan. Arsitektur hijau merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mewujudkan arsitektur yang ekologis atau ramah lingkungan demi mencapai keseimbangan di dalam sistem interaksi manusia dengan lingkungan. Berdasarkan fenomena di atas, maka tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pola pemukiman tepi sungai yang terbentuk dan pengaruhnya terhadap konsep arsitektur hijau. Dasar Teori Waterfront merupakan daerah dinamis kota, tempat pertemuan daratan dan air (Breen dan Rigby, 1994). Permukiman tepi air adalah pemukiman yang terletak di tepi pantai, di mana permukiman secara optimal dan efisien memanfaatkan potensi yang ada di perairan (Rahman, 2006). Pembentukan proses wilayah tepi pantai dipengaruhi oleh aspek kondisi lingkungan, aspek sosial budaya, aspek ekonomi, aspek populasi penduduk dan aspek kebijakan pemerintah. Aspek paling berpengaruh dalam pembentukan permukiman tepi air adalah aspek sosial-budaya dan lingkungan, sehingga budaya perairan akan tercermin pada bentuk permukiman. Bentuk permukiman tepian air sangat ditentukan oleh kondisi fisik lingkungan. Hassan (2010:4) menjelaskan bahwa aspek topografi menyebabkan tata letak dan arah perkembangan permukiman tepian air berbentuk a) morfologi arah ke daratan (inland water village), b) morfologi arah ke air (outward water village), c) morfologi arah sejajar (parallel water village), d) morfologi di atas air (water village) dan e) morfologi muka G 010 Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 muara (river mouth water village). Bentuk dan arah perkembangan permukiman di atas air menurut Hassan (2010) dijelaskan pada gambar 1. Gambar 1. Morfologi Permukiman di atas Air (Hassan, 2010) Di sisi lain ketergantungan masyarakat pada pantai merupakan aspek yang mempengaruhi pola pemukiman pesisir (Sairinen dan Kumpulainen, 2006). Ini menggambarkan bahwa ketergantungan masyarakat pada pantai akan mempengaruhi pola pemukiman tepi laut. spasial permukiman pantai memiliki bentuk yang berbeda sesuai dengan karakteristik ekologi dan proses pertumbuhan. spasial permukiman pesisir umumnya membentuk pola memanjang, pola berkelompok dan pola menyebar (Kostof 1991 dan Darjosanjoto, 2007). Gambar 2 menunjukkan sketsa pola spasial permukiman pesisir: Gambar 2. Tata Ruang Permukiman Pesisir (Kostof, 1991, 2007 Darjosanjoto) Pengembangan kawasan tepi harus diarahkan terhadap perlindungan lingkungan dan meman-

Edward Syarif faatkan lahan yang tidak produktif. Pengembangan kawasan tepi air harus dilakukan sesuai dengan karakteristik lingkungan setempat. Karsono (2010) menjelaskan bahwa arsitektur hijau merupakan langkah untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi dengan cara meminimalkan perusakan alam dan lingkungan di mana mereka tinggal. Arsitektur hijau juga meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh bangunan terhadap lingkungan. Selanjutnya Vale dan Robert (1991) menjelaskan bahwa beberapa prinsip green architectture yang berkaitan dengan lingkungan meliputi : a. Respect for Site (Menanggapi keadaan tapak pada bangunan). Bangunan yang akan dibangun jangan sampai merusak kondisi tapak aslinya. b. Respect for User (Memperhatikan pengguna bangunan). Bangunan harus memperhatikan pengguna bangunan dan memenuhi semua kebutuhannya. c. Conserving Energy (Hemat Energi). Bangunan harus meminimalkan penggunaan energi listrik (sebisa mungkin memaksimalkan energi alam sekitar lokasi bangunan). d. Working with Climate (Memanfaatkan kondisi dan sumber energi alami). Bagunan harus berdasarkan iklim yang berlaku di lokasi tapak kita, dan sumber energi yang ada. e. Limitting New Resources (Meminimalkan Sumber Daya Baru). Bangunan harus mengoptimalkan kebutuhan sumberdaya alam yang baru, agar sumberdaya tersebut tidak habis dan dapat digunakan di masa mendatang. Arsitektur hijau ialah sebuah konsep arsitektur yang berusaha meminimalkan pengaruh buruk terhadap lingkungan alam maupun manusia dan menghasilkan tempat hidup yang lebih baik dan lebih sehat, yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber daya alam secara efisien dan optimal. Metode Penelitian ini akan menjelaskan pengaruh pola permukiman terhadap kondisi lingkungan tepi air. Penelitian ini menggunakan teknik analisis synchronic reading yang didukung oleh metode space syntax dan dianalisis menggunakan konsep arsitektur hijau. Untuk menggambarkan pola permukiman dilakukan dengan menggunakan teknik analisis sinkronik berdasarkan peta, observasi dan wawancara dari beberapa sumber (Darjosanjoto, 2006). Untuk meng-analisis konfigurasi pola pemukiman digunakan metode space syntax (Hiller dan Hanson, 1984). Hasilnya kemudian digunakan untuk me-nafsirkan pola pemukiman yang terbentuk. Selanjutnya, pola pemukiman yang terbentuk dianalisis berdasarkan perinsip arsitektur hijau (Vale and Robert, 1991) untuk menjelaskan pengaruh pola permukiman terhadap karakter lingkungan setempat. Penelitian ini dilakukan pada permukiman tepi sungai Tallo di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian digambarkan pada gambar 3: Gambar 3. Lokasi Penelitian (MDA and Google Earth 2015) Analisis dan Interpretasi Permukiman tepi sungai Tallo dibentuk oleh proses perubahan wilayah pesisir sungai menjadi pemukiman. Perkembangan permukiman sungai Tallo berbentuk memanjang dari daratan ke pesisir sungai dan mengisi kawasan sungai yang kosong. Sesuai dengan pernyataan Hassan (2010), maka permukiman Tallo merupakan permukiman yang membentuk morfologi arah ke air (outward water village). Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 G 011

Arsitektur Hijau pada Morfologi Permukiman Tepi Sungai Tallo Permukiman sungai Tallo tumbuh karena ketergantungan masyarakat pada perairan, dalam hal ini masyarakat nelayan dan lokasi dekat dengan pusat kota, sehingga banyak orang memilih untuk tinggal dan bekerja di kawasan Tallo. 1. menyebar di atas air Konfigurasi ruang yang terbentuk akibat pola menyebar berdasarkan metode space syntax dijelaskan dijelaskan pada tabel 1. Tabel 1. Konfigurasi Ruang Menyebar Pembentukan pemukiman baru di wilayah sungai Tallo telah menyebabkan perubahan fisik perairan Makassar. Terbentuknya pemukiman di atas sungai Tallo telah menyebabkan: 1) perubahan fungsi sungai dari sumber penghidupan dan kawasan konservasi menjadi permukiman, 2) terbentuk reklamasi daerah aliran sungai, 3) perubahan luas areal, 4) perubahan garis sempadan sungai 5) terjadi kepadatan bangunan, dan 6) membentuk permukiman yang tidak teratur. Bentuk permukiman tepi sungai Tallo dijelaskan pada gambar 4: Tata letak kelompok rumah Diagram Akses Peta Axial Kedalaman rata-rata : MD = 53/(22-1) = 2,52 Nilai integrasi : RA = 2 (2,52 1) /(22-2) = 0,152 Gambar tata letak rumah pola menyebar Gambar 4. Tata Letak Bangunan Permukiman Tepi Sungai Tallo Permukiman Tallo awalnya membentuk pola menyebar di atas air, kemudian berkembang menjadi pola memanjang dan pola mengelompok. menyebar dan memanjang dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat yang terkait pada perairan, sedangkan pola mengelompok dipengaruhi oleh faktor kekerabatan. Pertumbuhan dan tata letak bangunan berkorelasi dengan perubahan area sungai menjadi pemukiman. Selanjutnya pola permukiman sungai Tallo yang terbentuk dijelaskan sebagai berikut : G 012 Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 2. memanjang Konfigurasi ruang yang terbentuk akibat pola memanjang berdasarkan metode space syntax dijelaskan pada tabel 2. Tabel 2. Konfigurasi Ruang Memanjang Tata letak kelompok rumah Peta Axial

Edward Syarif Diagram Akses Kedalaman rata-rata : MD = 30/(17-1) = 1,88 Nilai integrasi : RA = 2 (1,88 1) /(17-2) = 0,117 Berdasarkan hasil analisa konfigurasi ruang yang terdapat pada tabel 1,2 dan 3, maka disimpulkan bahwa pola memanjang mempunyai nilai RA sebesar 0,117 lebih kecil dari pola menyebar dan mengelompok. Hal ini mengindikasikan bahwa pola memanjang mempunyai susunan ruang yang lebih terintegrasi dari pola menyebar dan mengelompok. Disamping itu, pola memanjang membentuk pola permukiman yang bersifat terbuka (distributness) karena ada rute melingkar untuk bergerak dari suatu tempat ke tempat lain. Gambar tata letak rumah pola memanjang 3. mengelompok Konfigurasi ruang yang terbentuk akibat pola mengelompok berdasarkan metode space syntax dijelaskan pada tabel 3. Tabel 3. Konfigurasi Ruang Mengelompok Tata letak kelompok rumah Diagram Akses Kedalaman rata-rata : MD = 19/(11-1) = 1,90 Nilai integrasi : RA = 2 (1,90 1) /(11-2) = 0,200 Peta Axial Selanjutnya untuk menentukan parameter konsep arsitektur hijau terhadap pola permukiman yang terbentuk, maka digunakan indikator yang meliputi meminimalisasi kerusakan lingkungan, pemanfaatan potensi lingkungan dan tata letak bangunan dalam tapak. Dari indikator-indikator tersebut, maka dapat diidentifikasi pengaruh pola permukiman terhadap arsitektur hijau pada permukiman tepi sungai Tallo. Identifikasi Pengaruh pola permukiman sungai Tallo terhadap arsitektur hijau dijelaskan pada tabel 4. Tabel 4. Penilaian Pengaruh Permukiman Sungai Tallo Terhadap Perinsip Arsitektur Hijau Permukiman Menyebar Meman jang 3 2 1 Mengelompok Tidak merusak tapak asli Memperhatikan 2 3 2 pengguna bangunan Hemat Energi 4 3 2 Memanfaatkan 4 3 2 kondisi dan sumber energi alami Meminimalkan 4 3 2 sumber daya baru Nilai 17 14 9 Ket : 1 =Kurang, 2 =Cukup, 3 =Baik. 4 =Sangat Baik Tabel 4 menjelaskan bahwa pola menyebar merupakan pola yang paling sesuai dengan konsep arsitektur hijau. menyebar dapat meminimalisasi kerusakan lingkungan. Disisi lain, pola menyebar dapat memaksimalkan potensi Gambar tata letak rumah pola mengelompok Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 G 013

Arsitektur Hijau pada Morfologi Permukiman Tepi Sungai Tallo lingkungan tepian air sehingga dapat menciptakan bangunan hemat energi. Kesimpulan Permukiman tepi sungai Tallo terbentuk secara tidak terencana. Perkembangan permukiman sungai Tallo telah menyebabkan perubahan kawasan pesisir dari area sungai menjadi pemukiman. Hal ini berdampak pada hilangnya fungsi kawasan konservasi sungai. Disisi lain terbentuk permukiman kumuh dan juga menyebabkan hilangnya nilai estetika serta memperburuk wajah kota tepian air. permukiman Mariso awalnya membentuk pola menyebar secara individual di atas air, kemudian berkembang membentuk pola memanjang dan pola mengelompok. individu dan pola memanjang dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat dalam hal keterkaitan pada perairan. mengelompok terbentuk karena faktor kekerabatan. memanjang menyebabkan arah pengembangan permukiman ke arah sungai dan mengubah garis sempadan sungai. mengelompok menyebabkan terbentuk pemukiman padat melebihi aturan kepadatan kawasan tepi air. permukiman Tallo tidak sesuai dengan konsep arsitektur hijau karena merusak lingkungan dan tidak memanfaatkan potensi lingkungan pesisir. memanjang membentuk susunan ruang yang paling terintegrasi pada permukiman tepian air. Hal ini disebabkan karena pola memanjang membentuk pola permukiman terbuka (distributness) karena ada rute melingkar untuk bergerak dari suatu tempat ke tempat lain. Disisi lain, pola menyebar merupakan pola yang paling sesuai dengan konsep arsitektur hijau karena pola menyebar dapat meminimalisasi kerusakan lingkungan dan dapat memaksimalkan potensi lingkungan tepian air. Dari kesimpulan di atas, disarankan agar tata ruang pemukiman tepi air, khususnya penataan tata letak bangunan, sirkulasi dan ruang terbuka disesuaikan dengan karakteristik lingkungan dan G 014 Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 kondisi sosial, sehingga memberikan kenyamanan kepada masyarakatnya. Oleh karena itu diperlukan suatu perencanaan kawasan tepi air yang memperhatikan konsep arsitektur hijau, sehingga pola pemukiman dapat terintegrasi dengan lingkungan pesisir. Disisi lain, sebagai pengambil keputusan pemerintah kota Makassar diharapkan untuk membuat kebijakan tentang perencanaan pengembangan wilayah pesisir dengan mempertimbangkan karakteristik lingkungan. Daftar Pustaka Breen, Ann & Dick Rigby. (1994), Waterfront-Cities Reclaim Their Edge. Mc. Graw-Hill, New York. Dahuri, Rokhmini dkk.. (1996), Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradya Pratama, Jakarta. Darjosanjoto, Endang TS. (2007), Permeability Maps of Residential Settlemets Within The Coastal Area of Surabaya, Indonesia, Proceedings, 6th International Space Syntax Symposium, İstanbul. Darjosanjoto, Endang TS. (2006), Penelitian Arsitektur di bidang Perumahan dan Permukiman, ITS Press, Surabaya. Hassan, Ahmad Sanusi (2010), Reviews On Old City Landscape With Reference to Traditional Fishing Village Settlements in Western Coastal Region, Peninsular Malaysia, Journal of Human Settlements, Vol. 2 July 2010, Bandung. Hillier, Bill. Hanson, Julienne. (1984), The Social Logic of Space, Cambridge University Press, London. Kostof, Spiro. (1991), The City Shaped, MIT Press, New York. Rahman, Hendra. (2006), Penataan Zona, Massa dan Ruang Terbuka Pada Perumahan Waterfront, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Petra Vol.34 No.2, Surabaya. Sairinen, Rauno and Kumpulainen, Satu. (2006), Assessing Social Impacts In Urban Waterfront Regeneration, Journal Elsevier, Environmental Impact Assessment Review 26. Schulz-Norberg, Christian. (1985), The Concept of Dwelling, Rizolli, New York. Zahnd, Markus. (1999), Perancangan Kota Secara Terpadu : Teori Perancangan Kota dan Penerapannya, Kanisius, Yogyakarta.