LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

dokumen-dokumen yang mirip
FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN MARKETED SURPLUS GABAH Factors That Determine The Surplus Marketed Gabah

III KERANGKA PEMIKIRAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alokasi Produk

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN.

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MARKETED SURPLUS PADI

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

VI ALOKASI PRODUK. Tabel 23. Sebaran Petani Berdasarkan Cara Panen di Kabupaten Karawang Tahun Petani Padi Ladang Cara Panen

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

KEBIJAKAN MENYANGGA ANJLOKNYA HARGA GABAH PADA PANEN RAYA BULAN FEBRUARI S/D APRIL 2007

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

ARAH PEMBANGUNAN PERTANIAN JANGKA PANJANG

VIII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. A. Kesimpulan. 1. Pada daerah sentra produksi utama di Indonesia, perkembangan luas panen,

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

TINJAUAN DISTRIBUSI PANGAN

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Sawah. memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan sektor pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sebuah negara pengekspor beras. Masalah ketahanan pangan akan lebih ditentukan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

PEMERINTAH KABUPATEN

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

II. TINJAUAN PUSTAKA

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara agraris di dunia, dimana sektor

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA

I. PENDAHULUAN. tani, juga merupakan salah satu faktor penting yang mengkondisikan. oleh pendapatan rumah tangga yang dimiliki, terutama bagi yang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

KAJIAN PENURUNAN KUALITAS GABAH-BERAS DILUAR KUALITAS PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

I. PENDAHULUAN. Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia sangat menentukan kelangsungan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

KETAHANAN PANGAN: B E R A S

BAB I. PENDAHULUAN A.

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Dinamika Sosial Ekonomi Perdesaan dan Faktor- Faktor yang Mempengaruhinya pada Berbagai Agroekosistem

ANALISIS TATANIAGA BERAS

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGAMANAN PRODUKSI BERAS NASIONAL DALAM MENGHADAPI KONDISI IKLIM EKSTRIM

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

VIII. EFEK PERUBAHAN HARGA INPUT DAN HARGA OUTPUT PADA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI. Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan hasil pendugaan model ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

RENCANA KINERJA TAHUNAN DINAS PERTANIAN KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2015 KETERANGAN

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

III KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN, DAN SARAN UNTUK PENELITIAN LANJUTAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH URBANISASI TERHADAP SUKSESI SISTEM PENGELOLAAN USAHATANI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBERLANJUTAN SWASEMBADA PANGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

III KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR LAMPIRAN...

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

Transkripsi:

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM BESARAN KARAKTERISTIK MARKETABLE SURPLUS BERAS Oleh : Nunung Kusnadi Rita Nurmalina Nyak Ilham Eva Yolynda Aviny Sri S. P. Lestari PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2008

Pendahuluan RINGKASAN EKSEKUTIF 1. Perubahan iklim berimplikasi pada arah perkembangan pasokan pangan dunia. Diprediksikan bahwa ketahanan pangan sebagian besar negara-negara berkembang, terutama yang berpenduduk banyak, menghadapi situasi yang rawan. Karena itu dibutuhkan penyesuaian dalam strategi kebijakan pangan dengan memperhatikan pada karakteristik pasokan dan permintaan pangan utama yaitu beras dikaitkan dengan konteks kebijakan ekonomi secara keseluruhan. 2. Mengantisipasi kondisi tersebut dengan kebijakan yang efektif sangat kompleks karena karakteristik produsen beras di Indonesia tidak sepenuhnya dapat didefinisikan secara tegas. Sebagian besar dari produsen adalah penduduk miskin yang juga merupakan konsumen. Di sisi lain, karakteristik permintaan beras Indonesia juga kompleks karena variabel-variabel yang mempengaruhi permintaan tidak hanya mencakup dimensi ekonomi tetapi juga sosial budaya. 3. Selama ini, instrumen kebijakan yang direkomendasikan berdasar pada hasil studi lingkup makro, sehingga secara empiris masih banyak persoalan yang belum teratasi. Untuk merumuskan kebijakan yang tepat tidak hanya berdasar pada studi-studi makro semata, tetapi juga berdasar pada hasil studi lingkup mikro.salah satu studi mikro yang penting adalah aspek marketable surplus pada tingkat rumah tangga petani yang dikelompokkan menurut agroekosistem. 4. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui karakteristik sosial ekonomi petani menurut kategorinya dalam konteks marketable surplus padi pada beberapa agroekosistem; (2) mengetahui cara dan bentuk penjualan produksi padi yang dihasilkan petani dan implikasinya terhadap karakteristik marketable surplus beras menurut waktu; (3) menganalisis faktor-faktor ekonomi dan sosial budaya yang mempengaruhi sikap dan perilaku petani dalam pemasaran padi dan atau beras; (4) menganalisis pengaruh kenaikan harga gabah dan atau beras terhadap kesejahteraan petani pada berbagai tipe agroekosistem; dan (5) merumuskan saran kebijakan di bidang tataniaga gabah dan atau beras yang berorientasi pada kesejahteraan petani. Metoda Penelitian 5. Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil penelitian PATANAS dan JBIC dan menggunakan data primer pada sembilan provinsi: Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Kalsel, Sulsel, Sulut, dan NTB. Pada masing-masing provinsi dipilih 3-4 kabupaten, sehingga setiap provinsi ada sembilan desa. Dari 36 desa penelitian terbagi menjadi agroekosistem sawah (21 desa) dan agroekosistem non sawah (15 desa). Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara pada petani dan FGD pada tokoh masyarakat desa. 6. Model empirik yang dibangun merupakan persamaan tunggal linear yang diduga dengan metode Ordinary Least Squares (OLS). Untuk memperdalam analisis juga dilakukan analisis deskriptif terutama untuk data kualitatif dan kuantitatif yang belum terakomodasi dalam model ekonometrika di atas.

Hasil dan Pembahasan Kaitan Marketed Surplus dengan Pola Tanam dan Pemanfaatan Lahan Sawah 7. Salah satu faktor penting yang menentukan pola tanam adalah ketersediaan air untuk pertanaman padi. Pola tanam padi-padi-padi bisa dilakukan bila didukung oleh sistem irigasi teknis yang baik. Diikaitkan dengan marketed surplus, desa agroekosistem sawah dengan pola tanam padi-padi-padi dikenal sebagai sentra produksi. Pada musim panen banyak gabah yang diperdagangkan dari daerah ini ke daerah lain. Artinya desa-desa beragroekosistem sawah dengan pola tanam padi-padi-padi dan padi-padi-bera merupakan wilayah marketed surplus atau marketable surplus, sedangkan daerah agroekosistem sawah dengan pola tanam padi-tanaman lain/bera-tanaman lain/bera tidak demikian. 8. Namun demikian, ada juga desa agroekosistem sawah dengan pola tanam padibawang-bawang-bawang. Karena kesibuka petani, hasil padi dari satu kali tanam sebagian besar dijual. Akan tetapi dari hasil penjualan bawang yang mereka dapat pada musim tanam berikutnya, mereka tidak kesulitan untuk mendapatkan beras sebagai bahan pangan pokok dengan membeli di pasar. Artinya, jika secara nasional produksi gabah mencukupi kebutuhan nasional, sistem distribusi antar wilayah baik, maka konsep marketed surplus dan marketable surplus pada tingkat desa, apalagi tingkat rumah tangga menjadi kurang berarti. Justru dengan adanya pergerakan gabah dari daerah surplus ke daerah defisit menyebabkan terjadinya pergerakan ekonomi regional. Dengan demikian sentra produksi hendaknya difokuskan pada daerah-daerah sentra produksi utama yang harus didukung dengan sistem irigasi yang baik, infrastruktur pemasaran yang baik. Cara dan Penggunaan Hasil Panen 9. Ada lima cara panen yang digunakan petani yaitu bawon, tebasan, upah/kg, upah/hari, dan mapalus (gotong royong). Bawon merupakan cara panen yang sudah cukup lama dan banyak dipertahankan. Perkembangan yang terjadi hanya rasio bagi hasilnya, dalam studi ini bervariasi dari 5:1, 6:1, 7:1, 8:1 sampai 10:1. Variasi ini ditentukan oleh ketersediaan tenaga kerja, makin sulit tenaga kerja maka rasio bagian yang diterima pemilik sawah akan semakin kecil. Karena bawon adalah upah natura, maka makin kecil rasio bawon makin kecil marketed surplus petani pemilik sawah. Dengan kata lain, pada desa yang sulit tenaga kerja maka marketed surplus semakin kecil. 10. Penggunaan hasil panen pada umumnya digunakan untuk konsusmsi rumah tangga dengan cara menyimpan kebutuhan selama semusim. Dengan cara ini petani di desa beragroekosistem sawah, dalam kondisi tidak ada bencana, tidak pernah mengalami kekurangan pangan. Bahkan mereka dapat menjual untuk membeli kebutuhan rumah tangga lain. Kelebihan stok pangan selama semusim dijual ke pedagang/penebas atau ke RMU yang ada di desa. Sebagian pedagang menjual ke RMU dalam desa dan sebagian dijual ke pedagang besar atau RMU luar desa. Pada desa dengan pola tanam 2 3 menanam padi ketersediaan RMU cukup banyak yaitu 3-7 unit per desa. Bahkan pada daerah ini sudah terdapat RMU-Keliling. Keterkaitan Karakteristik Sosial Ekonomi dan Marketed Surplus 11. Keterkaitan marketed surplus beras dengan perbedaan agroekosistem dan karakteristik sosial ekonomi petani di Jawa dan luar Jawa menunjukkan ada perbedaan perilaku. Namun jika membandingkan pada petani yang berada pada agroekosistem sawah, tidak ada perbedaan perilaku keterkaitan marketed surplus beras dan karakteristik sosial

ekonomi petani. Perbedaan yang terjadi hanya pada besaran semata. Nilai marketed surplus beras di Pulau Jawa (81,85 %) lebih besar dibandingkan di luar Pulau Jawa (77,04 % dan 76,94%). Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh: (1) usahatani padi sawah di Pulau Jawa lebih terspesialisasi sehingga produksi lebih tinggi, proporsi pendapatan usahatani padi lebih besar; (2) perbedaan pasar tenaga kerja di Pulau Jawa lebih kompetitif dan semakin sulit dan cara penjualan dengan tebasan lebih banyak; dan (3) luas lahan yang dimiliki di luar Jawa lebih merata, sehingga walau pengaruhnya ada namun tidak begitu nyata. 12. Karakteristik sosial ekonomi seperti jumlah anggota keluarga berpengaruh negatif terhadap marketed surplus. Makin besar jumlah anggota keluarga makin kecil marketed surplus beras karena hasil produksi yang digunakan untuk konsumsi rumah tangga menjadi lebih banyak. Jumlah anggota rumah tangga terkait juga dengan penggunaan tenaga kerja dalam usahatani. Makin besar jumlah anggota keluarga seharusnya proporsi tenaga kerja luar keluarga yang digunakan dalam usahatani semakin kecil. Namun hal sebaliknya dapat terjadi, karena kesempatan untuk bekerja di usahatani rendah akibat ada anggota keluarga yang masih sekolah atau berusaha di sektor non pertanian. Hal ini sangat terkait juga dengan sistem upah. Jika pembayaran upah menggunakan uang tunai yang bersumber bukan dari hasil penjualan gabah pada musim tersebut maka proporsi tenaga kerja luar keluarga yang besar tidak akan menurunkan marketed surplus beras. Namun jika pembayaran upah menggunakan sistem bawon akan menurunkan marketed surplus beras. Dengan demikian karakteristik proporsi tenaga kerja luar keluarga sifatnya tidak unik. 13. Besaran marketed surplus beras di setiap agroekosistem juga konsisten dengan besaran proporsi pendapatan padi terhadap pendapatan total rumahtangga. Proporsi pendapatan padi terhadap total pendapatan rumahtangga tertinggi terjadi di pulau Jawa pada agroekosistem sawah. Hal ini menunjukkan bahwa pada agroekosistem ini padi menjadi komoditas utama dan menyumbang pendapatan relatif lebih besar dibandingkan pada agroekosistem sawah dan non sawah di luar pulau Jawa. Tingginya proposi pendapatan padi tersebut secara konsisten berhubungan positif dengan marketed surplus beras. Secara umum hal ini menunjukkan adanya pilihan antara menempatkan beras sebagai produk subsisten atau produk komersial. Hasil analisis ini dapat mengindikasikan bahwa pada agroekosistem sawah beras merupakan produk komersial. 14. Semakin luas lahan yang dikuasai rumahtangga petani marketed surplus beras semakin besar. Hal ini secara konsisten terjadi di seluruh agroekosistem yang dipelajari. Artinya, dilihat dari luas penguasaan lahan, perbedaan agroekosistem tidak menghasilkan perbedaan arah marketed surplus beras. Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa persoalan semakin menyempitnya luas penguasaan lahan oleh rumahtangga petani dapat mengganggu marketed surplus beras. Cara dan Bentuk Penjualan Produksi Padi yang Dihasilkan Petani 15. Pada agroekosistem sawah, jumlah petani yang melakukan penjualan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah petani di agroekosistem non sawah. Hal menarik adalah bahwa cara penjualan sekaligus dan bertahap paling banyak dilakukan oleh petani dan telah berlangsung lama di masyarakat petani. Alasan menjual sekaligus adalah terbatasnya jumlah tenaga kerja, petani butuh uang tunai segera untuk rumahtangga dan tidak tersedianya fasilitas pengolahan dan penyimpanan gabah sehingga lebih baik dijual sekaligus. Alasan menjual secara bertahap adalah kertersediaan fasilitas pengolahan dan penyimpanan serta menunggu harga naik. Perilaku menunggu harga

naik memperkuat dugaan bahwa marketed surplus beras di Pulau Jawa responsif terhadap harga beras. Alasan yang sama terlihat tidak menonjol di luar Pulau Jawa. Hal ini mengindikasikan bahwa marketed surplus beras di luar Pulau Jawa tidak responsif terhadap harga beras. 16. Cara penjualan lain adalah tebasan. Pada daerah tertentu cara ini masih relatif baru, atau bahkan pada daerah tertentu cara tebasan belum ada. Dengan demikian penjualan dengan cara tebasan tidak terdapat pada setiap daerah. Dilihat dari cara penyerahan barang (padi) cara penjualan tebasan sebenarnya sama dengan cara penjulan sekaligus. Namun ciri khas dari cara penjualan dengan tebasan adalah padi tidak sempat dipanen oleh petani. Padi diserahkan kepada pembeli dalam keadaan masih belum dipanen. Alasan menggunakan cara ini adalah keterbatasan tenaga kerja, kebutuhan uang tunai dan menghindari risiko gagal panen. 17. Sebagian besar petani di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa menjual gabah secara sekaligus dalam bentuk GKP. Demikian halnya dengan penjualan secara bertahap menghasilkan kecenderungan yang sama antara Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa. Penjualan secara bertahap banyak dilakukan dalam bentuk GKS dan sedikit dalam bentuk GKG atau beras. Bentuk penjualan yang lebih banyak dalam bentuk tidak terolah (GKP) dibandingkan dengan terolah (GKG dan beras) pada agroekosistem sawah berlaku sama di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa. 18. Pilihan bentuk gabah yang dijual petani sudah lama berjalan tanpa banyak mengalami perubahan. Artinya petani belum banyak melakukan diversifikasi vetikal pada industri hilir beras. Sarana pengolahan padi tidak banyak dikembangkan di tingkat petani diduga karena memerlukan investasi mahal terutama bagi petani yang menghasilkan padi dalam jumlah sedikit. Investasi dalam bentuk lumbung, lantai jemur, dryer dan blower, memerlukan investasi tidak sedikit. Oleh karena itu industri pengolahan hasil berkembang di luar petani seperti pabrik beras (PB) dan Rice Milling Unit (RMU). Untuk menghasilkan beras petani cenderung memanfaatkan jasa dari PB atau RMU tersebut. Konsekuensi dari masalah ini adalah maka nilai tambah yang diciptakan akan terbagi pada PB atau RMU sehingga kurang memberi insentif bagi petani untuk menjual dalam bentuk beras. Stabilitas harga beras yang secara efektif dilakukan oleh pemerintah dalam upaya melindungi konsumen beras juga mengurangi insentif ekonomi bagi petani untuk menjual dalam bentuk beras. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Marketed Surplus 19. Secara umum faktor yang berpengaruh positif terhadap adalah harga beras, pendapatan total rumahtangga [etani, dan luas lahan yang dimiliki petani. Pada agroekosistem sawah di pulau Jawa pengaruhnya nyata dan marketed surplus responsif terhadap harga beras. Berbeda dengan di agroekosistem sawah di luar pulau Jawa dan agroekosistem non-sawah di luar pulau Jawa, marketed surplus tidak responsif terhadap harga beras. Secara statistik juga tidak lebih berpengaruh nyata. Sementara itu hubungan harga jagung dan harga singkong dengan marketed surplus secara umum tidak dapat dijelaskan dengan baik. Hasil ini mengindikasikan bahwa bahwa perilaku petani dalam mengalokasikan beras yang dikonsumsi dan dijual tidak mempertimbangkan harga jagung. Perilaku seperti ini mengindikasikan bahwa beras merupakan makanan pokok yang tidak mudah disubstitusi oleh singkong atau jagung. Pada agroekosistem sawah di pulau Jawa pendapatan total berpengaruh nyata namun ukuran elastitisas tidak responsif. Hal ini mengindikasikan bahwa beras merupakan kebutuhan konsumsi keluarga yang dapat dipenuhi dari produksi usahatani sendiri atau dari pasar. Pendapatan total rumahtangga yang tinggi memungkinkan rumahtangga

tersebut memenuhi kebutuhan konsumsinya dengan cara membeli dari pasar. Hubungan positif antara pendapatan rumahtangga dan marketed surplus beras juga menunjukkan bahwa produksi beras (padi) tidak hanya ditujukan untuk kebutuhan konsumsi tetapi untuk tujuan memperoleh keuntungan.pada agroekosistem sawah dan non-sawah di luar Jawa, pendapatan total ini tidak berpengaruh nyata dan ukuran elastisitas tidak responsif. Marketed surplus dipengaruhi secara nyata dan positif oleh luas lahan pada agroekesistem sawah di Jawa dan di luar Jawa. Pada agroekosistem non sawah di luar pulau Jawa hubungan luas lahan dengan marketed surplus juga positif namun tidak nyata. Ini diduga karena luas lahan sawah yang dikuasai pada agroekosistem tersebut relatif sempit, produksi padi terbatas, sehingga tidak banyak menentukan marketed surplus. 20. Faktor sosial ekonomi yang berpengaruh negatif terhadap marketable surplus adalah Jumlah anggota rumahtangga dan jumlah tenaga kerja luar keluarga. Hubungan negatif antara jumlah anggota keluarga dengan marketable surplus nampak jelas pada agroekosistem sawah di luar pulau Jawa dan tidak nyata pada agroekosistem sawah di pulau Jawa dan agroekosistem non sawah di luar pulau Jawa. Temuan ini mengindikasikan juga bahwa beras merupakan makanan pokok rumahtangga petani. Marketed surplus beras pada agroekosistem sawah di pulau Jawa dan agroekosistem non sawah di luar pulau Jawa berhubungan negatif dengan jumlah relatif tenaga kerja luar keluarga, namun secara statistik pengaruhnya tidak nyata. Keterangan yang dihimpun dari lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja luar keluarga sering dibayar tidak dalam bentuk uang tunai tetapi dalam bentuk fisik berupa bawon, sehingga semakin banyak proporsi tenaga kerja luar keluarga dalam rumahtangga petani semakin banyak bagian produk yang dihasilkan petani digunakan untuk membayar tenaga kerja luar keluarga dan marketed surplus semakin kecil. 21. Berdasarkan hasil pendugaan model marketed surplus beras di atas dapat disimpulkan bahwa variasi agroekosistem menghasilkan perilaku yang berbeda terhadap arah dan besaran marketed surplus beras. Pemilahan menurut agroekosistem sawah dan non sawah menghasilkan perbedaan perilaku marketed surplus melalui perbedaan produksi padi/beras dicerminkan dengan pengaruh variabel luas lahan yang nyata secara statistik di agroekosistem sawah di pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Hasil ini menunjukkan marketed surplus beras cenderung tinggi pada petani dengan penguasaan lahan usahatani luas. Respons Petani Terhadap Perubahan Harga 22. Secara umum, petani berpendapat bahwa kenaikan harga gabah tidak banyak mempengaruhi pengelolaan usahataninya. Bahkan lebih banyak petani yang merespon negatif dibandingkan positif. Faktor utama yang menyebabkan lemahnya respons petani terhadap kenaikan harga gabah dan beras diduga disebabkan pada saat yang sama terjadi kenaikan harga BBM, kepemilikan lahan yang relatif sempit, fasilitas irigasi yang terbatas, dan harga pupuk yang makin mahal dan ketersediaannya yang terbatas. petani pada agroekosistem nonsawah lebih tegas menilai bahwa harga gabah selama ini belum sesuai dengan yang diharapkan dibandingkan dengan perkembangan harga input usahatani dan biaya hidup. Pemilahan menurut wilayah Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok.

Kesimpulan 23. Secara umum studi ini menunjukkan bahwa berdasarkan besaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran marketable surplus telah terjadi perubahan orientasi petani dalam mengusahakan padi dari subsisten ke arah komersial sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat dan ketersediaan infrastruktur. Namun demikian, ciri-ciri subsistensi masih tetap melekat pada komoditas padi. 24. Marketable surplus di agroekosistem sawah rata-rata lebih besar dibandingkan dengan marketable surplus di agroekosistem non-sawah. Marketable surplus juga lebih besar di Pulau Jawa dibandingkan dengan marketable surplus di Luar Pulau Jawa. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh: usahatani padi sawah di Pulau Jawa lebih terspesialisasi, proporsi pendapatan usahatani padi lebih besar; perbedaan pasar tenaga kerja di Pulau Jawa lebih kompetitif dan semakin sulit dan cara penjualan dengan tebasan lebih banyak; dan luas lahan yang dimiliki di luar Jawa lebih merata, sehingga walau pengaruhnya ada namun tidak begitu nyata. 25. Sebagian besar petani pada agroekosistem sawah pada MH dan MK di Jawa dan Luar Jawa menjual hasil gabahnya secara sekaligus kemudian diikuti dengan cara bertahap dan tebasan. Alasan melakukan penjualan secara sekaligus karena butuh uang tunai, mengurangi risiko, dan kurang sarana. Jika dipilah berdasarkan daerah Jawa dan luar Jawa alasan utamanya sama, namun besarannya yang berbeda. Pada agroekosistem sawah bentuk gabah yang penjualannya sekaligus sebagian besar berupa gabah kering panen (GKP) dan pada cara penjualan bertahap bentuk gabah y ang dijual umumnya dalam bentuk GKS dan sebagian telah menjualnya dalam bentuk GKP. Pada agroekosistem non-sawah, keterbatasan produksi menyebabkan gabah yang dihasilkan sebagian digunakan untuk konsumsi, sisa untuk konsumsi dijual dengan cara bertahap, karena itu pada lokasi ini banyak petani yang menjual secara bertahap dalam bentuk GKS. 26. Karakterisitik sosial ekonomi yang berpengaruh nyata terhadap marketable surplus adalah jumlah anggota keluarga dan pendapatan total rumahtangga. Semakin besar jumlah keluarga marketable surplus semakin kecil, dan sebaliknya semakin besar pendapatan rumahtangga marketable semakin besar. Variabel lain, yaitu luas lahan dan proporsi penggunaan tenaga kerja luar keluarga secara statistik tidak berpengaruh nyata. Namun ada kecenderungan semakin luas lahan usahatani yang dikuasai petani marketable surplus semakin besar, sebaliknya ada kecenderungan semakin besar proporsi jumlah penggunaan tenaga kerja luar keluarga marketable surplus semakin kecil. 27. Perbaikan harga gabah cenderung lebih efektif dirasakan petani pada agroekosistem sawah dibandingkan dengan agroekosistem non sawah. Namun tidak banyak mempengaruhi pengelolaan usahatani akibat kepemilikan lahan yang sempit, fasilitas irigasi yang terbatas, dan harga pupuk yang makin mahal. Saran Kebijakan 28. Pengembangan sentra produksi padi sebaiknya difokuskan pada daerah dengan sistem irigasi yang lebih baik. Pada sisi lain, pada agroekosistem non-sawah lebih difokuskan pada tanaman yang sesuai dengan agroekosistemnya. Pertanaman padi di agroekosisten non sawah hanya sebagai pelengkap. Dengan demikian menjadi lebih fokus dalam pemanfaatan sumberdaya alam (air), tenaga (penyuluh) dan dana pembangunan. Namun agar sistem distribusi beras/gabah dari agroekosistem sawah

dan non sawah tidak terhambat diperlukan infrastrukutr pemasaran yang baik. Akan lebih baik jika dalam satu kawasan tertentu terdapat kawasan agroekosistem sawah yang mampu memasok gabah/beras untuk kawasan agroekosisten non sawah dan pusat-pusat perkotaan di kawasan tersebut. 29. mengembangkan prgram kredit mikro untuk membiayai penggunaan tenaga kerja luar keluarga dan biaya produksi yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu. 30. Untuk meningkatkan keefektifan kebijakan harga beras harus diikuti dengan kebijakan dalam peningkatan sarana irigasi dan pengendalian harga input.