PEMBUKTIAN TIDAK SEDERHANA TERHADAP KEADAAN MEMAKSA DALAM PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 13 PK/N/2002 ) STUDI KASUS HUKUM Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana ( Strata-1 ) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Oleh : HAEDAR RAHMAN No. Mahasiswa : 06410288 Program Studi : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2010
A. Latar Belakang Pemilihan Kasus Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan mengatakan salah satu dari syarat perusahaan dapat diajukan pailit adalah adanya utang, yakni utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. 1 Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mensyaratkan adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih. Syarat adanya utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih adalah syarat kumulatif meskipun terdapat kata dapat ditagih hal ini tetap diartikan bahwa setiapa utang yang jatuh tempo memberikan hak kepada kreditor untuk menagih kepada debitor. Namun demikian, keberadaan kata dapat membutuhkan pembuktian lebih lanjut bahwa kewajiban debitor benar-benar telah sampai pada saatnya untuk ditagih oleh kreditor. 2 Seorang debitor yang digugat di depan hakim karena ia telah dikatakan melalaikan kewajibannya, dapat membela dirinya untuk menghindarkan dirinya dari penghukuman yang merugikan dengan mengajukan keadaankeadaan di luar kekuasaannya yang memaksanya hingga ia tidak dapat menepati perjanjian (overmacht). Pembelaan ini bermaksud agar ia tidak dipersalahkan tentang tidak ditepatinya perjanjian itu. 3 Untuk dapat dikatakan suatu keadaan memaksa (overmacht atau force majeur), selain keadaan itu, di luar kekuasaannya si berutang dan memaksa 1 Selanjutnya ditulis Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Undang-Undang ini diganti dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, selanjutnya ditulis Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. pada 18 Oktober 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443. 2 Siti Anisah, Inkonsistensi Putusan-Putusan Pengadilan terhadap Dalil Keadaan Memaksa yang Diajukan oleh Debitor, Laporan Hasil Penelitian Individual. FH, UII, Yogyakarta, hlm. 2. 3 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Ctk Ketigapuluh Satu, Intermasa, Jakarta, 2003, hlm. 150 1
keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul resikonya oleh siberutang. Jika siberutang berhasil dalam membuktikan adanya keadaan yang demikian itu, tuntutan si berpiutang akan ditolak oleh hakim dan siberutang akan luput dari penghukuman, baik yang berupa penghukuman untuk memenuhi perjanjian, maupun penghukuman untuk membayar penggantian kerugian. 4 Dalam kasus PT Bank Niaga, Tbk, v. PT Barito Pacific Timber, Tbk., dimana PT Barito Pacific Timber, Tbk., sebagai debitor melakukan pembelaan terhadap permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh PT Bank Niaga, Tbk, karena utang yang dimiliki debitor telah jatuh tempo tetapi tidak dapat ditagih, karena keadaan memaksa (force majeur). Pada mulanya PT Barito Pacific Timber, Tbk sebagai debitor mengajukan pembelaan keadaan memaksa yang menimpanya yaitu berupa gempa bumi di pulau mangole (Maluku) pada tanggal 29 November 1998. Akibat gempa bumi tersebut menyebabkan hancurnya pabrik-pabrik milik PT Barito Pacific Timber, Tbk. dalam perkara ini Majelis Hakim berpendapat pembelaan PT Barito Pacific Timber, Tbk hanyalah bukti awal dan perlu dibuktikan lagi seberapa jauh dampak akibat kejadian keadaan memaksa tersebut dapat mempengaruhi kemampuan membayar PT Barito Pacific Timber, Tbk kepada PT Bank Niaga, Tbk, sehingga membutuhkan pembuktian yang tidak 4 Ibid., hlm 150 2
sederhana dan penyelesainnya harus melalui proses perdata biasa di Peradilan Umum. Hal yang menarik dari kasus ini adalah pada tingkat kasasi, dimana salah satu hakim Mahkamah Agung memberikan pendapat yang berbeda (dissenting opinion), dan dua anggota Majelis sependapat dengan putusan Penagdilan Niaga, yaitu menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh PT Bank Niaga Tbk. satu anggota Majelis yang berbeda pendapat menyatakan menerima permohonan kasasi, karena PT Barito Pacific Timber, Tbk tidak membantah bukti-bukti dipersidangan. Dengan demikian, PT Barito Pacific Timber, Tbk terbukti memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, serta terdapat dua tau lebih kreditor, sebagai syarat untuk dapat dinyatakan pailit. Kemudian Majlis Hakim Peninjauan Kembali menyatakan menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh PT Bank Niaga, Tbk., sehingga PT Barito Pacific Timber Tbk tidak pailit. Berdasarkan kasus di atas, maka dapat dikatakan bahwa di Mahkamah Agung terdapat perbedaan pendapat dalam melihat suatu peristiwa hukum tertentu. Hakim Mahkamah Agung tidak memiliki kesamaan pendapat dalam melihat dan mempertimbangkan keadaan memaksa objektif karena keadaan memaksa yang bersifat objektif itu telah berhenti sekitar Tahun 1999 s/d 2000. Sedangkan gempa bumi di mangole ( Maluku Utara ), salah satu anak perusahaan PT Barito Pacific Timber Tbk. Telah terbukti merupakan keadaan memaksa yang bersifat objektif dan telah berhenti sekitar tahun 1999-2000, jauh sebelum permohonan pailit diajukan dan terdaftar di kepaniteraan 3
Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta pusat tanggal 29 Januari 2002. Dalam kasus PT Bank Niaga Tbk, v. PT Barito Pacific Timber Tbk, Majelis Hakim menyatakan utang debitor belum jatuh tempo dan tidak dapat ditagih, karena perlu pembuktian dipengadilan negeri terhadap dampak akibat adanya keadaan memaksa (force majeur). Untuk itu penulis akan mencoba menganalisis masalah tersebut dalam tugas akhir ini. B. Para Pihak Para pihak yang terlibat dalam permohonan pernyataan pailit PT Barito Pacific Timber, Tbk ini terdiri dari : 1. Para pihak yang berperkara Dalam kasus ini yang menjadi para pihak adalah : a. PT Bank Niaga, Tbk sebagai pemohon pailit beralamat di Graha Niaga Lt. 7, Jl. Jend. Sudirman Jakarta selatan. Dalam hal ini memberi kuasa kepada Achmad Muiszudin, SH. MH, dan K.A. Syukri, SH. Keduanya advokat yang beralamat di Jalan Tebet Timur Dalam Raya Nomor 17, Jakarta selatan, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 24 April 2002. b. PT Barito Pacific Timber Tbk, sebagai termohon pailit beralamat di Wisma Barito Pacific Tbk Lt. 9 Tower B, Jl. Letjen. S. Parman Kav. 62-63 jakarta 11410. Dalam hal ini memberi kuasa kepada Hotman Paris Hutapea, SH dan Marx Andryan, SH., MM., beralamat di Summitmas Tower 18 th floor, Jl. Jend. Sudirman Kav. 61-62, Jakarta 12069, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 6 Mei 2002. 4
2. Pengadilan yang mengadili a. Sidang pada tingkat pertama mengenai permohonan pernyataan pailit diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada sidang tingkat pertama hakim yang memeriksa dan mengadili, yaitu : 1) Tjahjono, SH, sebagai Ketua Majelis Hakim 2) Erwin Mangatas Malau, SH, sebagai Hakim anggota 3) Sirande Palayukan, SH, sebagai Hakim anggota b. Sidang pada tingkat kasasi diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada sidang permohonan kasasi hakim yang memeriksa dan mengadili, yaitu : 1) H. Toton Suprapto, SH, sebagai Ketua Majelis Hakim 2) M. Said Harahap, SH, sebagai Hakim anggota 3) H. Tjung Abdul Mutallib, SH, sebagai Hakim anggota c. Sidang pada tingkat Peninjauan Kembali diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pada sidang permohonan peninjauan kembali hakim yang memeriksa dan mengadili, yaitu : 1) H. Taufiq, SH. MH, sebagai Ketua Majelis Hakim 2) Ny. Marianna Sutadi, SH, sebagai Hakim anggota 3) H. Soeharto, SH, sebagai Hakim anggota. 5
3. Tanggal putusan a. Sidang pada tingkat pertama diputus pada hari Rabu, tanggal 29 Februari 2002. b. Sidang permohonan kasasi diputus pada hari Kamis, tanggal 4 April 2002. c. Sidang permohonan peninjauan kembali diputus pada hari Kamis, tanggal 30 Mei 2002. C. Posisi Kasus PT Barito Pacific Timber, Tbk. Pada Tanggal 10 Juli 1997 telah menerbitkan obligasi atas unjuk, 5 dengan nilai nominal Rp. 400.000.000.000,- (empat ratus milyar rupiah) dengan nama obligasi PT Barito Pacific Timber, Tbk. I tahun 1997 dengan tingkat bunga tetap. Atas penerbitan obligasi tersebut debitor membuat dan menandatangani perjanjian perwalianamanat dan perubahannya yang dibuat dalam Akta No. 75 Tanggal 15 Mei 1997, dan Akta No. 123 19 Juli 1997 dihadapan kristianto, SH, Notaris di Jkarta, dalam Akta tersebut PT Barito Pacific Timber, Tbk telah menunjuk PT Bank Niaga, Tbk sebagai Wali Amanat dan Akta pengakuan utang pada 15 Mei 1997, yang mengakui utangnya kepada para pemegang obligasi. 5 Obligasi atas unjuk (bearer bond), adalah suatu jenis obligasi dimana pemegangnya dianggap sebagai pemilik obligasi tersebut, dan penerbit tidak mendaftar nama-nama pemilik, dan bunga dibayar berdasarkan kupon. Lihat Johar Arifin, Kamus Istilah Pasar Modal, Akutansi, Keuangan, dan Perbankan, Elex Media Komputindo, Jakarta, 1999, hal. 244 6
Pengakuan utang ini dilakukan oleh PT Barito Pacific Timber, Tbk kepada PT Bank Niaga, Tbk yang bertindak untuk dan atas nama pemegang obligasi. Pada saat kupon bunga obligasi ketujuh jatuh tempo pada 10 Januari 2001, PT Barito Pacific Timber, Tbk tidak dapat memenuhi kewajibannya. Atas keterlambatan ini diadakan beberapa kali rapat umum pemegang obligasi, namun PT Barito Pacific Timber, Tbk tetap tidak dapat memenuhi kewajibannya. Selanjutnya PT. Bank Niaga, Tbk mengajukan pernyataan permohonan pailit. Terhadap permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh PT Bank Niaga, Tbk. Pada Tanggal 29 Januari 2002 di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta pusat. PT Barito Pacific Timber, Tbk mengajukan pembuktian adanya keadaan memaksa (force majeur) yang menimpanya, yaitu berupa gempa bumi di pulau mangole (Maluku utara) pada 29 November 1998, yang mengakibatkan hancurnya pabrik-pabrik milik debitor. Meskipun PT Barito Pacific Timber, Tbk. Dapat membuktikan adanya keadaan memaksa yang menimpanya yaitu berupa gempa bumi di pulau mangole (Maluku) pada 29 November 1998 yang mengakibatkan hancurnya pabrik-pabrik milik debitor, namun Majelis Hakim berpendapat bahwa hal itu hanyalah bukti awal dan perlu dibuktikan lagi seberapa jauh dampak akibat kejadian keadaan memaksa tersebut dapat mempengaruhi kemampuan membayar debitor kepada kreditor, sehingga membutuhkan pembuktian yang tidak sederhana 7
dan harus melalui proses perdata biasa di Pengadilan Umum. Oleh karena itu permohonan pernyataan pailit ditolak oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. 6 Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi membenarkan pertimbangan hukum hakim Pengadilan Niaga yang menyatakan pembuktian keadaan memaksa (force majeur) tidak sumir (sederhana). Namun satu hakim Mahkamah Agung berbeda pendapat dengan menyatakan bahwa Pengadilan Niaga telah lalai memenuhi syarat yang diwajibkan peraturan perundangundangan yang mengancam batalnya putusan yakni kurang lengkap memberikan pertimbangan hukum, karena sengketa hukum tentang perjanjian menjadi gugur atau masih terkait sangat erat dengan gempa bumi di mangole, Maluku utara pada 29 November 1998 yang bersifat absolut (mutlak). Menurut pendapat satu Hakim Agung ini lebih lanjut, keadaan memaksa tersebut telah disepakati oleh PT Bank Niaga, Tbk. Dan PT Barito Pacific Timber, Tbk. Dalam rapat umum pemegang obligasi 19 Februari 2001 dan 27 Juni 2001, yang disetujui melalui Restrukturisasi obligasi. Gempa bumi dimaluku tersebut merupakan keadaan yang sudah diketahui secara umum, sehingga merupakan suatu keadaan yang penilaian hasil pembuktiannya tidak tunduk keadaan memaksa, dalam hal ini adalah keadaan memaksa relatif, karena keadaan itu telah berhenti sekitar 1999/2000, jauh sebelum pernyataan pailit diajukan dan terdaftar dikepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta pusat pada 29 Januari 2002. Karena keadaan memaksa bersifat relatif itulah, maka perjanjian antara PT Bank Niaga, Tbk dan PT Barito Pacific Timber, Tbk. 6 Putusan Pengadilan Niaga Nomor 03/Pailit/2002/PN.Niaga/Jkt.Pst. PT Bank Niaga, v. PT Barito Pacific Timber, Tbk. 8
Dianggap masih ada dan masih dapat dituntut pemenuhannya. Dengan tidak dipenuhinya kewajiban PT Barito Pacific Timber, Tbk, membuktikan bahwa PT Barito Pacific Timber Tbk, tidak mempunyai iktikad baik untuk melaksanakan perjanjiannya. Pengadilan Niaga telah melampaui batas wewenangnya, mengingat berdasarkan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit terpenuhi. Tugas ini merupakan suatu kompetensi afbakening, 7 suatu tugas Pengadilan Niaga yang harus dipenuhi dengan seksama (tidak boleh lebih atau kurang), yang pada Asasnya Pengadilan Niaga tidak boleh mendengarkan saksi-saksi ahli dalam pemeriksaan di persidangan yang tidak berhubungan langsung dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, sehingga pembuktian sederhana dalam Pasal 6 ayat (3) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998 menjadi terbelah, rancu, dan kehilangan makna. 8 Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali mempertimbangkan bahwa keadaan memaksa (force majeur) yang dijadikan pertimbangan hukum oleh judex facti dalam memutus perkara a quo tersebut ternyata hanya bersifat sementara dan telah berhenti pada tahun 1999-2000. Berdasarkan dalil-dalil yang telah dikemukakan maka jelas bahwa keadaan memaksa (force majeur) 7 Afbakening adalah membatasi dengan (tanda-tanda). Lihat S. Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeven, Jakarta, 1995, hal. 22 8 Putusan Mahkamah Agung. pada tingkat Kasasi Nomor 09/K/N/2002, PT Bank Niaga, Tbk, v. PT Barito Pacific Timber, Tbk. 9
yang dijadikan pertimbangan hukum oleh judex facti dalam memutus perkara bukan keadaan memaksa absolut hanya keadaan memaksa relatif. Oleh karena keadaan memaksa (force majeur) yang menimpa PT Mangole Timber Producer tersebut hanyalah keadaan memaksa relatif, maka perjanjian antara PT Barito Pacific Timber Tbk dengan PT Bank Niaga Tbk, selaku Wali Amanat tetap berlaku dan dapat dituntut pemenuhannya sehingga tidaklah dapat dijadikan alasan untuk tidak membayar utang kepada pemohon pailit. Majelis hakim berpendapat bahwa permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh PT Bank Niaga Tbk, tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, PT Barito Pacific Timber, Tbk. tidak dinyatakan pailit. 9 D. Ringkasan Putusan Hakim merupakan salah satu anggota dari catur wangsa penegak hukum di Indonesia. Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang judisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. 10 Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili. 11 Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan 9 Putusan Mahkamah Agung Nomor 09/K/N/2002. Pada Tingkat Peninjauan Kembali Antara PT Bank Niaga, Tbk. v PT Barito Pacific Timber, Tbk. 10 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, ctk. Pertama, UII press, Yogyakarta, 2006, hlm. 5 11 Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 10
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. 12 Dalam kasus ini, sejak awal mulai sampai tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, telah dikeluarkan 3 (tiga) buah putusan, yaitu : 1. Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 03/pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst. 2. Putusan Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi Nomor 09 K/N/2002. 3. Putusan Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali Nomor 13 PK/N/2002. Putusan-putusan tersebut dikeluarkan dengan berbagai macam pertimbangan hukum sebagai upaya untuk menyelesaikan perkara ini. Adapun isi putusan tersebut dapat diringkas sebagai berikut: 1. Putusan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh PT Bank Niaga, Tbk selaku Wali Amanat Obligasi, pada tanggal 29 Januari 2002 di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta pusat. yang diwakili oleh kuasa hukumnya Achmad Muiszudin, SH dan K.A. Syukri, SH., advokat pada Simon & Simon Law Firm. Oleh Pengadilan Niaga Jakarta pusat Nomor 03/pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dalam putusannya, Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang telah memeriksa dan mengadili permohonan pailit tersebut dan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan termohon tidak dapat dinyatakan pailit. Selanjutnya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta 12 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi keenam, Liberty,Yogyakarta, 2002, hlm. 202. 11
Pusat menghukum pemohon untuk dibebankan membayar biaya perkara yaitu sebesar Rp. 5.000.000.- (lima juta rupiah). Setelah diucapkan putusan pada persidangan terbuka untuk umum oleh pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang telah memeriksa permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh PT Bank Niaga, Tbk. yang disebut sebagai pemohon pailit pada hari Rabu, Tanggal 29 Februari 2002 oleh hakim dan dibantu oleh Ibnu Sutama, SH., sebagai panitera pengganti, yang menolak permohonan pemohon dan menyatakan termohon tidak dinyatakan pailit. Akan tetapi PT Bank Niaga, Tbk, sebagai pemohon pernyataan pailit tidak sependapat dengan pertimbangan hakim yang tidak menerima dalil pemohon yang menyatakan keadaan memaksa hanyalah bukti awal dan perlu dibuktikan lagi seberapa jauh dampak akibat kejadian keadaan memaksa tersebut dapat mempengaruhi kemampuan membayar debitor kepada kreditor, sehingga membutuhkan pembuktian yang tidak sederhana dan harus melalui proses perdata biasa di pengadilan umum. Kemudian sesudah putusan pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut diucapkan atau diberitakan kepada pemohon tanggal 29 Februari 2002, pemohon melalui kuasa hukumnya berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 28 Februari 2002 mengajukan permohonan kasasi secara tertulis permohonan disertai dengan memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 12
2. Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi Nomor 09 K/N/2002. PT Bank Niaga, Tbk. mengajukan Kasasi setelah adanya putusan yang diberikan Mahkamah Agung, yang diwakili oleh kuasa hukumnya Achmad Muiszudin, SH. MH dan K.A. Syukri. SH. Mahkamah Agung pada tingkat kasasi membenarkan pertimbangan hukum hakim Pengadilan Niaga yang menyatakan pembuktian keadaan memaksa tidak sumir (sederhana). Namun satu hakim Mahkamah Agung berbeda pendapat dengan menyatakan bahwa Pengadilan Niaga telah lalai memenuhi syarat yang diwajibkan peraturan perundang-undangan yang mengancam batalnya putusan yakni kurang lengkap memberikan pertimbangan hukum, Menurut pendapat satu Hakim Agung ini lebih lanjut, keadaan memaksa tersebut telah disepakati oleh PT Bank Niaga, Tbk. dan PT Barito Pacific Timber, Tbk. Dalam rapat umum pemegang obligasi 19 Februari 2001 dan 27 Juni 2001, yang disetujui melalui Restrukturisasi obligasi. Karena keadaan memaksa bersifat relatif itulah, maka perjanjian antara PT Bank Niaga, Tbk dan PT Barito Pacific Timber, Tbk. Dianggap masih ada dan masih dapat dituntut pemenuhannya. Dengan tidak dipenuhinya kewajiban PT Barito Pacific Timber, Tbk, membuktikan bahwa PT Barito Pacific Timber Tbk, tidak mempunyai iktikad baik untuk melaksanakan perjanjiannya. Pengadilan Niaga telah melampaui batas wewenangnya, mengingat berdasarkan pasal 6 ayat (3) undang-undang nomor 4 tahun 1998 permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan 13
yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit terpenuhi. Mahkamah Agung mempertimbangkan dan mengadili serta mengambil keputusan Nomor 09 K/N/2002 dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari kamis, Tanggal 4 April 2002 oleh H. Toton Suprapto, S.H. Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, M. Said Harahap, S.H. dan H. Tjung Abdul Mutallib, S.H. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, serta Asra, SH sebagai Panitera Pengganti. Sebagaimana didalam diktumnya menyatakan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi PT Bank Niaga Tbk. Selanjutnya Mahkamah Agung dalam diktumnya menghukum pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara pada semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah). 3. Putusan Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali Nomor 13 PK/N/2002. PT Bank Niaga, Tbk. mengajukan kasasi setelah adanya putusan yang diberikan Mahkamah Agung, pada tingkat kasasi yang menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi. yang diwakili oleh kuasa hukumnya Achmad Muiszudin, SH. MH dan Idham Hayat, SH. Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali pun sependapat dengan putusan pengadilan Niaga Jakarta pusat, karena pembuktian utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih berkaitan dengan adanya keadaan memaksa tidak dapat dibuktikan secara sederhana. Sehingga 14
membutuhkan pembuktian yang tidak sederhana dan harus melalui proses perdata biasa di pengadilan umum. Mahkamah Agung mempertimbangkan dan mengadili serta mengambil keputusan Nomor 13 PK/N/2002 dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari kamis, tanggal 30 Mei 2002 oleh H.Taufih, SH., MH. Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Ny. Marianna Sutadi, SH. dan H. Soeharto, S.H. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, serta Asra, SH sebagai Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak. Sebagaimana didalam diktumnya menyatakan menolak permohonan Peninjauan Kembali dari pemohon kasasi PT Bank Niaga Tbk. Selanjutnya Mahkamah Agung dalam diktumnya menghukum pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara pada semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat Peninjauan Kembali ini ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). E. Permasalahan Hukum Dalam kasus ini terdapat perbedaan pendapat antara Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan tingkat pertama dengan Majelis Hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi mengenai keadaan memaksa (force majeur). Benarkah gempa bumi yang dijadikan alasan oleh debitor untuk tidak dinyatakan pailit pembuktiannya adalah sederhana? Selanjutnya apakah dengan adanya keadaan memaksa 15
(force majeur) menjadikan utang debitor yang jatuh tempo menjadi tidak dapat ditagih dan pembuktiannya sederhana? F. Pertimbangan Hukum Dalam Pasal 184 HIR dan pasal 23 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman terdapat ketentuan bahwa semua putusan harus memuat dasar-dasar yang dijadikan alasannya. 13 Segala putusan Hakim harus disertai alasan-alasan, berdasarkan alasan-alasan itulah, maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena Hakim tertentu yang menjatuhkannya. 14 Dasar-dasar atau alasan yang dirumuskan oleh hakim inilah yang harus dimuat dalam pertimbangan atau konsideran yang mendukung putusan sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa dia mengambil putusan demikian sehingga putusan mempunyai nilai objektif. 15 Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis mengenai perkara yang sedang diperiksa. Pendapat para hakim tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan itu. Apabila dalam sidang permusyawaratan tidak tercapai mufakat bulat, maka pendapat Hakim yang berbeda maka wajib dimuat dalam putusan (dissenting 13 Sri Wardah, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia, ctk. Pertama, Gama Media, 2007, hlm. 217 14 Sudikno Mertokusumo, op. cit., hlm. 14. 15 Sri Wardah, loc. cit. 16
opinion). 16 Memang janggal apabila hakim memutus bertentangan dengan putusannya sendiri atau dengan putusan pengadilan diatasnya dengan jenis perkara yang sama karena dinilai tidak ada kepastian hukun. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur tentang ketentuan dissenting opinion, dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara anggota dengan ketua majelis maka perbedaan pendapat tersebut wajib dimuat dalam putusan kasasi. 17 Dissenting opinion ini akan mendorong hakim lain mempunyai pilihan dalam menentukan putusan dalam perkara yang sama dan oleh karena itu akan mendorong lahirnya yurisprudensi tetap yang berkualitas. di lain pihak masyarakat juga harus dikondisikan untuk melakukan kajian kritis terhadap putusan itu guna menciptakan keseimbangan pendapat dan terciptanya rasa keadilan. 18 Perbedaan pendapat tersebut dapat dilihat dari putusan Majelis Hakim Niaga dengan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara kepailitan yang diajukan oleh PT Bank Niaga Tbk, terhadapa PT Barito Pacific Timber Tbk, berikut ini : 1. Putusan pailit yang diajukan oleh PT Bank Niaga Tbk, oleh Pengadilan Niaga Jakarta pusat Nomor 03/Pailit/2002/PN.Niaga.Jkt.Pst. Majelis Hakim menjatuhkan putusan tersebut dengan pertimbangan hukum, antara lain : a. Pada Tanggal 10 Juli 1997 PT Barito Pacific Timber, Tbk. telah menerbitkan obligasi atas unjuk dengan nilai nominal Rp.400.000.000.000,- (Empat Ratus Milyar Rupiah) dengan nama 16 Ibid., hlm. 220 17 Pasal 13 Angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 18 Sri Wardah, op. cit., hlm. 221 17
obligasi PT Barito Pacific Timber, Tbk. I Tahun 1997 dengan tingkat bunga tetap. b. Atas penerbitan obligasi tersebut debitor membuat dan menandatangani akta pengakuan utang pada 15 Mei 1997, yang mengakui utangnya kepada para pemegang obligasi. Pengakuan utang ini dilakukan oleh debitor kepada kreditor yang bertindak untuk dan atas nama pemegang obligasi. c. Pada saat kupon bunga obligasi ketujuh jatuh tempo pada 10 januari 2001, debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya. Atas keterlambatan ini diadakan beberapa kali Rapat Umum Pemegang Obligasi, namun debitor tetap tidak dapat memenuhi kewajibannya. Selanjutnya PT Bank Niaga, Tbk selaku Wali Amanat mengajukan pernyataan permohonan pailit melalui surat permohonannya tertanggal 29 Januari 2002 di kepaniteraan pengadilan negeri Jakarta Pusat Nomor 03/PAILIT/2002PN.NIAGA.JKT.PST. d. Terhadap permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditornya ini, debitor mengajukan pembuktian adanya keadaan memaksa (force majeur) yang menimpanya, yaitu berupa gempa bumi di pulau mangole (Maluku utara) pada 29 November 1998, yang mengakibatkan hancurnya pabrik-pabrik milik debitor. e. Majelis Hakim berpendapat bahwa hal itu hanyalah bukti awal dan perlu dibuktikan lagi seberapa jauh dampak akibat kejadian keadaan memaksa tersebut dapat mempengaruhi kemampuan membayar 18
debitor kepada kreditor, sehingga membutuhkan pembuktian yang tidak sederhana dan harus melalui proses perdata biasa di Pengadilan Umum. f. Oleh karena itu permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh PT Bank Niaga Tbk, ditolak oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. 2. Putusan tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung dengan Nomor 09 K/N/2002. Pertimbangan hukum yang dijadikan alasan untuk memutus perkara ini, yaitu : a. Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi membenarkan pertimbangan hukum hakim Pengadilan Niaga yang menyatakan pembuktian keadaan memaksa (force majeur) tidak sumir (sederhana). b. Namun satu hakim Mahkamah Agung berbeda pendapat dengan menyatakan bahwa Pengadilan Niaga telah lalai memenuhi syarat yang diwajibkan peraturan perundang-undangan yang mengancam batalnya putusan yakni kurang lengkap memberikan pertimbangan hukum, karena sengketa hukum tentang perjanjian menjadi gugur atau masih terkait sangat erat dengan gempa bumi di mangole, Maluku utara pada 29 November 1998 yang bersifat absolut (mutlak). c. Gempa bumi dimaluku tersebut merupakan keadaan yang sudah diketahui secara umum, sehingga merupakan suatu keadaan yang penilaian hasil pembuktiannya tidak tunduk keadaan memaksa, dalam hal ini adalah keadaan memaksa relatif, karena keadaan itu telah berhenti sekitar 1999/2000, jauh sebelum pernyataan pailit diajukan 19
dan terdaftar dikepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta pusat pada 29 Januari 2002. d. Karena keadaan memaksa bersifat relatif itulah, maka perjanjian antara PT Bank Niaga, Tbk dan PT Barito Pacific Timber, Tbk. Dianggap masih ada dan masih dapat dituntut pemenuhannya. e. Dengan tidak dipenuhinya kewajiban PT Barito Pacific Timber, Tbk, membuktikan bahwa PT Barito Pacific Timber Tbk, tidak mempunyai iktikad baik untuk melaksanakan perjanjiannya. f. Berdasarkan pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 sekarang Undng-Undang Nomor 37 tahun 2004 permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit terpenuhi. 3. Putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung dengan Nomor putusan 13 PK/N/2002. Pertimbangan hukum yang dijadikan alasan memutus perkara, yakni : a. Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali mempunyai pendapat yang sama dengan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta pusat, karena pembuktian adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, berkaitan dengan keadaan memaksa (force majeur) yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana dan harus melalui peradilan umum. 20
b. Permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh PT Bank Niaga Tbk, tidak beralasan sehingga harus ditolak. c. PT Barito Pacific Timber, Tbk. tidak dinyatakan pailit. G. Analisis Hukum Untuk syarat dinyatakan pailit pada prinsipnya masih sama antara persyaratan permohonan pernyataan pailit yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Hanya pengaturan pasalnya saja yang berubah bahwa dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 2 ayat (1). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menentukan debitor dapat dinyatakan pailit apabila tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat di tagih kepada kreditor. 19 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan. 20 Pembuktian terhadap persyaratan permohonan pernyataan pailit itu dilakukan secara sederhana. Persyaratan permohonan pernyataan berkaitan dengan adanya hal-hal sebagai berikut : 1. Adanya utang. 2. Sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. 3. Adanya debitor. 19 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 20 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 21