PENGARUH WAKTU PELAYUAN PADA SUHU 4 0 C SECARA VAKUM TERHADAP BEBERAPA SIFAT FISIK DAGING SAPI AUSTRALIAN COMMERCIAL CROSS BAGIAN PEREMPAT DEPAN

dokumen-dokumen yang mirip
Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

Pengaruh Lama Penyimpanan dalam Lemari Es terhadap PH, Daya Ikat Air, dan Susut Masak Karkas Broiler yang Dikemas Plastik Polyethylen

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

PENGARUH ENZIM PAPAIN TERHADAP MUTU DAGING KAMBING SELAMA PENYIMPANAN

HASlL DAN PEMBAHASAN. Hasil pengukuran secara obyektif untuk ph (derajat keasaman) dagingusie Reubohn dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, April 2017, Hal Vol. 12 No. 1 ISSN :

HASIL DAN PEMBAHASAN

KUALITAS FISIK (DAYA IKAT AIR, SUSUT MASAK, DAN KEEMPUKAN) DAGING PAHA AYAM SENTUL AKIBAT LAMA PEREBUSAN

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING

Kualitas Fisik Daging Sapi Peranakan Simmental dengan Perlakuan Stimulasi Listrik dan Lama Pelayuan yang Berbeda

Karakteristik Fisik Daging Sapi Bali dan Wagyu

PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASI SARI BUAH MARKISA KUNING

KUALITAS FISIK DAGING LOIN SAPI BALI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MODEREN DAN TRADISIONAL

PENGARUH BUNGKIL BIJI KARET FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK DAGING DOMBA PRIANGAN JANTAN

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2011, Hal Vol. 6, No. 2 ISSN :

Karakteristik mutu daging

PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG AREN ( Arenga pinnata) TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA DAN AKSEPTABILITAS KORNET IRIS ITIK PETELUR AFKIR

Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan Vol 1(3):16-20, Desember 2017 e-issn:

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Kualitas Daging Sapi Peranakan Ongole yang Berasal dari Otot Longissimus Dorsi dan Gastrocnemius

PENGARUH PEMBERIAN ANGKAK SEBAGAI PEWARNA ALAMI TERHADAP PRODUKSI KORNET DAGING AYAM

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

Sifat Fisik Daging Domba yang Diberi Perlakuan Stimulasi Listrik Voltase Rendah dan Injeksi Kalsium Klorida

HASIL DAN PEMBAHASAN

KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG. Physical Quality of Beef from Slaughterhouses in Bandar Lampung

EFEK LAMA STIMULASI LISTRIK DENGAN TEGANGAN BERBEDA TERHADAP KUALITAS FISIK DAGING AYAM PETELUR AFKIR. Oleh: Adnan Syam 1) dan La Ode Arsad Sani 1)

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL

PERBAIKAN MANAJEMEN PEMOTONGAN TERNAK UNTUK MENGHASILKAN DAGING SAPI LOKAL BERKUALITAS IMPOR

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

Korelasi Antara Nilai Frame Score Dan Muscle Type... Tri Antono Satrio Aji

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

PENGGUNAAN ENZIM PAPAIN SEBAGAI BAHAN TENDERIZER DAGING. Oleh : Tedi Akhdiat RINGKASAN

Lilis Suryaningsih, Jajang Gumilar, Andry Pratama Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

KUALITAS FISIKOKIMIA NAGET AYAM YANG MENGGUNAKAN FILER TEPUNG SUWEG (Amorphophallus campanulatus B1). Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Protein Kasar. Hasil penelitian pengaruh penambahan asam propionat dan formiat dengan

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Pertumbuhan Ternak

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c

PENGARUH SUBSTITUSI DAGING SAPI DENGAN KULIT CAKAR AYAM TERHADAP DAYA IKAT AIR (DIA), RENDEMEN DAN KADAR ABU BAKSO SKRIPSI. Oleh:

PENGGUNAAN STIMULASI LISTRIK PADA KAMBING LOKAL TERHADAP MUTU DAGING SELAMA PENYIMPANAN SUHU KAMAR

HASIL DAN PEMBAHASAN

Muhamad Fatah Wiyatna Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

PENDAHULUAN. Populasi ayam ras petelur di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

ABSTRAK KUALITAS DAN PROFIL MIKROBA DAGING SAPI LOKAL DAN IMPOR DI DILI-TIMOR LESTE

HASIL DAN PEMBAHASAN

JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2016, VOL.16, NO.2

KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN

Jajang Gumilar, Obin Rachmawan, dan Winda Nurdyanti Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

DAYA IKAT AIR (DIA) Istilah lain: Pengertian: Kemampuan daging didalam mengikat air (air daging maupun air yang ditambahkan)

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1

SUSUT MASAK DAN ph DAGING ITIK LOKAL AFKIR BERDASARKAN SISTEM PEMELIHARAAN DAN LOKASI YANG BERBEDA

PENGARUH PERENDAMAN DALAM BERBAGAI KONSENTRASI EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELLA

KUALITAS DAGING SAPI SEGAR DI PASAR TRADISIONAL KECAMATAN PONCOKUSUMO KABUPATEN MALANG

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

PENDAHULUAN. dikonsumsi oleh manusia dan termasuk salah satu bahan pangan yang sangat

KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING SAPI BALI PADA BEBERAPA RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DI SULAWESI SELATAN

KAJIAN KUALITAS FISIKO KIMIA DAGING SAPI DI PASAR KOTA MALANG

SIFAT FISIK DAGING AYAM PETELUR AFKIR

AGRIPLUS, Volume 22 Nomor : 01Januari 2012, ISSN

DAYA MENGIKAT AIR DAN SUSUT MASAK DAGING SAPI BLANSIR YANG DIKERINGKAN DALAM OVEN DAN DIKEMAS VAKUM. John Ernst Gustaaf Rompis

Animal Agriculture Journal, Vol. 2. No. 1, 2013, p Online at :

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

DAGING. Pengertian daging

PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO

Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas dan kualitas fisik daging sapi Brahman Cross Steer

TINGKAT PERUBAHAN KUALITAS BAKSO DAGING SAPI BALI BAGIAN SANDUNG LAMUR (Pectoralis profundus) SELAMA PENYIMPANAN DENGAN PEMBERIAN ASAP CAIR

KAJIAN PENAMBAHAN TETES SEBAGAI ADITIF TERHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN NUTRISI SILASE KULIT PISANG

KUALITAS DAGING SAPI BALI PADA LAHAN PENGGEMUKAN YANG BERBEDA

EFEK LAMA STIMULASI DAN TEGANGAN LISTRIK TERHADAP KOMPOSISI KIMIA, KUALITAS FISIK, DAN SENSORI DAGING AYAM PETELUR AFKIR

PENGOLAHAN DAGING PENGEMPUKAN (TENDERISASI) Materi 7 TATAP MUKA KE-7 Semester Genap BAHAN KULIAH TEKNOLOGI HASIL TERNAK

KEEMPUKAN DAYA MENGIKAT AIR DAN COOKING LOSS DAGING SAPI PESISIR HASIL PENGGEMUKAN

PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGOVENAN TERHADAP KUALITAS FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING AYAM KAMPUNG DENGAN PENAMBAHAN NANAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

PERSENTASE KARKAS, TEBAL LEMAK PUNGGUNG DAN INDEKS PERDAGINGAN SAPI BALI, PERANAKAN ONGOLE DAN AUSTRALIAN COMMERCIAL CROSS

SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA BERBAGAI LAMA POSTMORTEM DI SUHU RUANG SKRIPSI

POKOK BAHASAN VII VII. MANAJEMEN PEMASARAN. Mengetahui kelas dan grade ternak potong yang akan dipasarkan

Pengaruh Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda Pada Proses Pengomposan Terhadap Kualitas Kompos

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP SUSUT BOBOT DALAM PENGANGKUTAN SAPI DARI LAMPUNG KE BENGKULU

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING

I. PENDAHULUAN. ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran gizi, dan perbaikan

PENGARUH PENAMBAHAN AMPAS Virgin Cococnut Oil (VCO) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS FISIK DAGING AYAM BROILER

Hubungan Antara Bobot Potong... Fajar Muhamad Habil

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau (Bubalus bubalis)

KARYA ILMIAH. Oleh : Jajang Gumilar, SPt. MM. NIP

PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN. (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats)

Tepung Ampas Tahu Dalam Ransum, Performa Ayam Sentul... Dede Yusuf Kadasyah

KUALITAS FISIK DAGING DARI PASAR TRADISIONAL DI BANDAR LAMPUNG. The Physical of Beef from Traditional Market in Bandar Lampung

2ooG KUALITAS FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING AYAM BROILER YANG RANSUMNYA DIBERI PENAMBAHAN MINYAK IKAN YANG MENGANDUNG OMEGA3 SKRIPSI MAD TOBRI

PERBANDINGAN KUALITAS KIMIA (KADAR AIR, KADAR PROTEIN DAN KADAR LEMAK) OTOT BICEPS FEMORIS PADA BEBERAPA BANGSA SAPI

KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK

Transkripsi:

PENGARUH WAKTU PELAYUAN PADA SUHU 4 0 C SECARA VAKUM TERHADAP BEBERAPA SIFAT FISIK DAGING SAPI AUSTRALIAN COMMERCIAL CROSS BAGIAN PEREMPAT DEPAN Obin Rachmawan, Muhammad Ali Akbar, Jajang Gumilar Fakultas Peternakan Unpad. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pelayuan dan waktu pelayuan terbaik pada suhu 4 0 C secara vakum terhadap beberapa sifat fisik daging sapi Australian Commercial Cross bagian perempat depan. Penelitian ini menggunakan metode experimental dengan Rancangan Acak Kelompok. Terdapat empat jenis perlakuan (P 1 = 4 hari, P 2 = 8 hari, P 3 = 12 hari, dan P 4 = 16 hari) dengan enam kelompok (K 1 = Sengkel depan, K 2 = Sandung Lamur, K 3 = Paha Depan, K 4 = Iga, K 5 = Lamusir, dan K 6 = Punuk). Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa waktu pelayuan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap ph, daya ikat air, dan keempukan, tetapi tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap susut masak. Disamping itu sifat fisik terbaik dihasilkan selama 11-12 hari. Kata Kunci: Waktu pelayuan, sifat fisik daging, bagian perempat depan, kemasan vakum THE EFFECT OF AGING TIME AT 4 0 C IN VACUUM PACKED ON SOME PHYSICAL CHARACTERISTICS OF FOREQUARTER AUSTRALIAN COMMERCIAL CROSS BEEF Obin Rachmawan, Muhammad Ali Akbar, Jajang Gumilar Faculty of Animal Husbandry - Unpad Abstract The objective of this research was to identify the effect of aging time and the the best aging time at 4 0 C in vacuum packed on some physical characteristics of forequarter Australian Commercial Cross beef. The research used experimental method with Randomized Block Design. There were four treatments (T 1 = 4 days, T 2 = 8 days, T 3 = 12 days, and T 4 = 16 days) with six blocks (B 1 = Shank, B 2 = Brisket, B 3 = Chuck, B 4 = Rib, B 5 = Cube Roll, and B 6 = Blade). The result indicated that aging time has a significant effect (p<0,05) on ph, water holding capacity and tenderness, but it has not have a significant effect (p>0,05) on cooking loss. In addition, the best physical characteristics produced at 11 th -12 th day. Key words: Aging time, physical characteristics of beef, forequarter, vacuum packed

Pendahuluan Sapi potong merupakan ternak yang memberikan kontribusi besar dalam pemenuhan kebutuhan daging. Kebutuhan daging sapi di Indonesia cukup besar. Tahun 2007 konsumsi daging sapi di Indonesia sebesar 1,7 kg/perkapita dan kebutuhan daging sapi di dalam negeri mencapai 370,8 ribu ton, sedangkan kapasitas produksi dalam negeri sebanyak 245,2 ribu ton. Kekurangan 125,6 ribu ton atau 33,9 persen dipenuhi lewat impor. Impor daging sebesar 28 persen berasal dari Australia yang terdiri dari 10.000 ton daging beku dan 500 ribu ekor sapi bakalan (APFINDO, 2008). Sapi yang banyak diimport dari Australia adalah jenis Australian Commercial Cross, karena mudah beradaptasi terhadap lingkungan tropis dan memiliki pertumbuhan yang cepat. Kualitas daging ditentukan oleh beberapa sifat fisik, seperti ph, DIA (daya ikat air), susut masak, dan keempukan. Keempukan merupakan faktor utama dari sifat fisik yang menentukan kualitas daging. Kualitas daging yang rendah ditandai dengan rendahnya nilai keempukan. Nilai keempukan yang rendah akan membuat daging menjadi alot. Kealotan salah satunya dipengaruhi oleh otot dan kadar jaringan ikat pada daging. Daging bagian perempat depan atau forequarter yang di pasaran pada umumnya lebih alot dibandingkan dengan bagian perempat belakang atau hindquarter, karena daging bagian perempat depan mempunyai otot dan jaringan ikat yang lebih kompak daripada bagian perempat belakang, salah satu penyebabnya adalah pengaruh dari gelombang pertumbuhan. Prinsip gelombang pertumbuhan dimulai dari kepala lalu menyebar ke arah badan (dari cranial ke caudal) dan dimulai dari ujung-ujung anggota badan ke arah bagian atas (dari distal ke proximal) (Lawrie, 2003). Gelombang pertumbuhan yang dimulai dari kepala membuat komponen-komponen penyusun forequarter ini lebih dulu tumbuh dan berkembang, sehingga daging menjadi alot. Gelombang pertumbuhan yang dimulai dari ujung anggota badan ke arah bagian atas

membuat kadar jaringan ikat yang berbeda diantara potongan-potongan daging bagian forequarter, seperti pada sengkel depan, sandung lamur, paha depan, dan punuk. Jaringan ikat juga dipengaruhi oleh aktivitas otot. Aktivitas otot yang tinggi dapat meningkatkan protein jaringan ikat (kolagen) (Lawrie, 2003). Bagian potongan-potongan daging perempat depan mempunyai aktivitas otot yang berbeda-beda, sehingga membuat kadar kolagen jaringan ikat yang berbeda diantara tiap potongan daging. Kealotan daging perempat depan dapat diatasi dengan cara menyimpan daging segar postmortem selama waktu dan suhu tertentu diatas titik beku daging yang secara relatif belum mengalami kerusakan oleh mikroorganisme atau disebut dengan pelayuan. Pelayuan dapat dilakukan dengan menggunakan suhu rendah (0-5 0 C) atau suhu lebih tinggi (6-43 0 C) (Soeparno, 2005). Pelayuan dengan suhu lebih tinggi dapat mempercepat proses glikolisis, tetapi tidak dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pelayuan dengan menggunakan suhu rendah dapat memperlambat proses glikolisis dan pertumbuhan mikroorganisme (Soeparno, 2005). Selama proses glikolisis anareob berlangsung, enzim mempunyai peranan yang penting di dalam merubah glikogen menjadi asam laktat. Enzim aktif atau bekerja optimum pada suhu tinggi (30-50 0 C), sedangkan pada suhu rendah kerja enzim akan diperlambat (Pelczar dan Chan, 1986). Oleh karena itu pelayuan dengan suhu rendah dapat memperlambat proses glikolisis. Suhu di bawah 5 0 C dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak atau pembusuk dan mencegah hampir semua mikroorganisme patogen. Pelayuan daging dengan suhu rendah pada suhu 4 0 C merupakan suhu aman untuk menyimpan daging pada saat dilayukan, karena dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Soeparno, 2005).

Daging selama dilayukan pada suhu 4 0 C akan lebih baik bila dilakukan pengemasan secara vakum, karena dapat mencegah kontaminasi mikroorganisme, penguapan, oksidasi lemak, dan memperlambat proses glikolisis anaerob. Selain itu, kondisi vakum dapat mempertahankan warna daging tetap merah keunguan dan mencegah proses oksidasi yang dapat menyebabkan daging berubah menjadi berwarna coklat (Lawrie, 2003). Proses glikolisis anaerob yang diperlambat selama pelayuan vakum berpengaruh terhadap sifat fisik daging. Beberapa sifat fisik daging, seperti ph dan susut masak akan diperlambat penurunannya, sedangkan pada daya ikat air dan keempukan akan terjadi peningkatan. Proses glikolisis anaerob berlangsung setelah hewan dipotong atau pada kondisi daging posmortem. Proses glikolisis anaerob yang diperlambat selama pelayuan vakum menyebabkan diperlambatnya pembentukan asam laktat. Asam laktat yang diperlambat pembentukannya menyebabkan penurunan ph juga diperlambat. ph ultimat atau ph akhir daging normal adalah 5,4-5,8 (Soeparno, 2005). Penurunan ph yang diperlambat selama pelayuan akan memberikan kesempatan untuk enzim proteolitik postmortem, yaitu CANP (Calcium Activated Neutral Proteinase) dan katepsin lebih lama bekerja atau aktif. Enzim CANP akan aktif pada permulaan proses pelayuan sekitar ph 6,5-8,0 yang berfungsi mendegradasi miofibril (aktin dan miosin). Setelah enzim CANP bekerja, lalu enzim katepsin yang aktif dan bekerja pada kisaran ph 3,0-7,0 yang berfungsi mendegradasi miofibril dan kolagen (Soeparno, 2005). Protein miofibril dan kolagen yang didegradasi menyebabkan daging menjadi lebih empuk. Keempukan daging sapi yang dihasilkan dengan menggunakan sari nenas berkisar antara 2,49-3,54 mm/gram/detik (Obin Rachmawan, 1991), sedangkan pada daging kerbau berkisar antara 9,66-10,27 mm/gram/detik (Wina Juniarti, 1992). Keempukan yang umumnya dapat diterima oleh konsumen berkisar antara 4,88 + 3,16 kg/cm 2 (Rillley, dkk., 1986).

Miofibril yang melemah akibat kerja dari enzim proteolitik tersebut menyebabkan DIA meningkat, karena masuknya molekul air ke dalam ruangruang di dalam miofibril. Selain itu, peningkatan DIA selama pelayuan disebabkan oleh proses steric effect atau terjadi pertukaran ion Ca ++ dan Mg ++ dengan air (Forrest, 1975). Sebaliknya, penyimpanan yang terlalu lama juga akan menurunkan DIA dan terjadinya perubahan struktur protein daging. (Soeparno, 2005). DIA daging sapi Australian Commercial Cross ketika mencapai ph ultimat berkisar antara 21,11-23,07% (Nono Ngadiyono, 1988). DIA berpengaruh terhadap susut masak. DIA yang tinggi menyebabkan susut masak yang rendah. DIA yang tinggi selama pemasakan mempunyai peran sebagai penahan sejumlah air bebas oleh protein otot, sehingga tidak banyak jus daging yang keluar. Susut masak bervariasi antara 1,5%-54,5% dengan kisaran 15%-40% (Soeparno, 2005). Pelayuan daging paha depan dan belakang pada suhu 2 C selama 28 hari (7, 14, 21, dan 28) secara vakum menghasilkan keempukan yang optimal pada hari ke-14 (Bratcher, 2004). Keempukan daging yang disimpan pada suhu 2 0 C tidak akan bertambah baik setelah disimpan selama 14 hari (Palupi, 1986). Hal ini disebabkan pada hari ke-14 enzim katepsin menjadi kurang aktif, karena daging telah mencapai ph ultimat. Enzim katepsin yang kurang aktif menyebabkan tidak terjadi peningkatan keempukan, sehingga keempukan optimal terdapat pada hari ke-14. Pelayuan daging sapi postmortem bagian paha depan, iga dan has luar menghasilkan keempukan maksimal pada hari ke-14 (Lorenzen, dkk., 1998). Pelayuan daging sapi selama 14 hari dapat memperbaiki keempukan daging sapi. Potongan daging yang dilayukan selama 7 hari mengalami peningkatan nilai WBS (Warner Bratzler Shear) dari awalnya, yaitu untuk daging choice menjadi sebesar 66 kg/cm 2 dan untuk daging sapi select sebesar 61 kg/cm 2. Pelayuan selama 14 hari menghasilkan nilai WBS sebesar 68 kg/cm 2 untuk daging choice dan 67

kg/cm 2 untuk daging select (Miller, 1997). Peningkatan keempukan berkaitan erat dengan ph. ph yang diperlambat penurunannya selama pelayuan menyebabkan enzim katepsin lebih lama aktif atau bekerja, sehingga pelayuan selama 14 hari menghasilkan tingkat keempukan yang lebih tinggi daripada pelayuan selama 7 hari. Daging yang alot jika dilakukan pelayuan membutuhkan waktu yang lebih lama. Daging forequarter bila disimpan pada suhu 4 0 C secara vakum selama 16 hari (dengan interval 4, 8, 12, dan 16 hari) menghasilkan sifat fisik terbaik pada hari ke-16. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diambil hipotesis, bahwa pelayuan daging perempat depan pada suhu 4 0 C secara vakum selama 16 hari menghasilkan sifat fisik terbaik (meningkatkan keempukan, daya ikat air, dan menurunkan susut masak serta memperlambat penurunan ph). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu pelayuan dan waktu pelayuan terbaik pada suhu 4 0 C secara vakum terhadap beberapa sifat fisik daging sapi Australian Commercial Cross bagian perempat depan. Metode Metode Penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dengan pengamatan langsung terhadap daging bagian perempat depan pada fase prerigor. Jenis sapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seekor sapi jantan steer dengan jenis Australian Commercial Cross berumur 2 tahun atau lebih dengan berat 500 kilogram berasal dari Lampung Feedlot (Desa Bumiaji Kec. Anak Tuha Kab. Lampung). Sapi tersebut dipotong di Abattoir PT. Santosa Agrindo.yang beralamat di Jl. Andini Sakti KM. 44, Desa Gandasari Cibitung- Bekasi, Jawa Barat. Rancangan yag digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (Randomized Block Design) dengan 4 perlakuan dan 6 kelompok. Perlakuannya adalah sebagai berikut :

P 1 : waktu pelayuan daging pada hari ke-4 P 2 : waktu pelayuan daging pada hari ke-8 P 3 : waktu pelayuan daging pada hari ke-12 P 4 : waktu pelayuan daging pada hari ke-16 Kelompoknya adalah sebagai berikut : K 1 : potongan daging sengkel depan K 2 : potongan daging sandung lamur K 3 : potongan daging paha depan K 4 : potongan daging iga K 5 : potongan daging lamusir K 6 : potongan daging punuk Analisis yang digunakan untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan menggunakan analisis ragam dan untuk menduga waktu pelayuan yang menghasilkan sifat fisik terbaik digunakan analisis Polinomial Ortogonal (Gasperz, 1995). Sampel diperoleh dari perwakilan otot dari potongan sandung lamur, paha depan, iga, lamusir, dan punuk, yaitu otot pectoralis superficialis, infraspinatus, serratus ventralis, rhomboideus, dan trapezius (Soeparno, 2005). Daging sengkel depan diwakili oleh deep digital flexor-thoraric (Jones, dkk., 2004). Sampel diambil masing-masing sebanyak 75 gram sebanyak 4 kali atau untuk 4 perlakuan. Sampel yang diperoleh kemudian dikemas menggunakan plastik cryovac. Setelah itu kemudian dilakukan pengemasan vakum menggunakan mesin vakum ultravac. Sampel yang sudah dikemas vakum lalu dilakukan pelayuan dengan disimpan pada ante room dengan suhu 4 0 C selama 16 hari dengan interval 4, 8, 12, dan 16 hari. Masing-masing sampel pada interval-interval tersebut kemudian diuji sifat fisiknya, meliputi: pengukuran ph, uji daya ikat air, uji susut masak, dan uji keempukan. Pengukuran ph menggunakan metode yang dikemukakan oleh Anton Apriyantono, dkk., 1989. Pengujian daya ikat air mengacu pada metode

ph Hamm (1972) didalam Kusmajadi (2002). Susut masak diuji dengan menggunakan metode yang dikemukakan oleh Soeparno, 2005. Metode yang digunakan untuk menguji keempukan menggunakan metode yang dikemukakan oleh Tien dkk, 1992. Hasil Dan Pembahasan Pengaruh Perlakuan Terhadap (ph) Daging Bagian Perempat Depan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap ph daging (P < 0,05), untuk mengetahui sejauh mana terjadinya perubahan ph sebagai akibat perlakuan yang diberikan, maka dilakukan uji lanjut. Berdasarkan hasil analisis Polinomial Ortogonal menunjukkan pengaruh nyata pada regresi kuadratik dengan persamaan Y 2 6,68 0,19x 0,01x. 6.40 6.20 6.00 5.80 5.60 5.40 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Waktu Pelayuan (hari) Ilustrasi 1. Kurva Pengaruh Waktu Pelayuan Terhadap ph Daging Bagian Perempat Depan Berdasarkan persamaan Ilustrasi 1, pengaruh waktu pelayuan terhadap ph minimum diperoleh pada turunan pertama sama dengan nol, yaitu 0,19 0,02x 0. Dari turunan pertama tersebut diperoleh x = 13 dan y = 5,52 atau dengan artian bahwa waktu pelayuan selama 13 hari menghasilkan ph minimum. Selama pelayuan pada suhu 4 0 C secara vakum, penurunan ph menuju ph akhir berlangsung selama 13 hari, hal ini lebih lama daripada yang dikemukakan Soeparno (2005) bahwa penurunan ph menuju ph akhir pada suhu 7 0 C berlangsung selama 20 jam. Hal ini terjadi karena selama pelayuan pada suhu

4 0 C secara vakum menyebabkan laju penurunan ph lebih diperlambat, pendapat ini sejalan dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa penurunan ph daging postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan suhu penyimpanannya, suhu tinggi dapat mempercepat penurunan ph sedangkan suhu rendah dapat memperlambat laju penurunan ph. Laju penurunan ph dipengaruhi oleh enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerob sebagaimana dikemukakan oleh Soeparno (2005) bahwa proses glikolisis melibatkan banyak reaksi dan enzim (glikoltik) yang mengkatalis reaksi. Kerja dari enzim ini akan diperlambat pada suhu rendah, seperti pendapat Pelczar dan Chan (1986) bahwa pada suhu rendah kerja enzim akan diperlambat. Selain dengan suhu 4 0 C, kondisi vakum juga dapat memperlambat laju penurunan ph. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa terjadi reaksi-reaksi pada proses glikolisis anaerob, seperti fosforilasi, enolasi, dan dehidrogenasi. Rekasi-reaksi ini akan diperlambat pada kondisi vakum. Daging perempat depan mempunyai aktivitas otot yang lebih tinggi daripada bagian perempat belakang, sehingga dapat menyebabkan meningkatnya simpanan glikogen otot. Hal ini sejalan dengan pendapat Lawrie (2003) bahwa aktivitas otot dapat meningkatkan simpanan glikogen otot daging dan menyebabkan ph akhir posmortem yang tinggi. Pelayuan pada suhu 4 0 C secara vakum menghasilkan ph akhir sebesar 5,52. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa ph daging akhir normal berkisar antara 5,4-5,8. ph akhir daging ini terjadi karena telah berhentinya pembentukan asam laktat yang diperoleh dari proses glikolisis anaerob. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeparno (2005), bahwa penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen menjadi habis atau setelah ph cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerob. Pendapat ini ditunjang pula oleh pendapat Wheeler, dkk (2003) bahwa pada penyimpanan suhu rendah terjadi glikolisis anaerob yang merombak glikogen

daya ikat air menjadi asam laktat, sehingga cadangan glikogen otot akan semakin menurun dan diikuti dengan penurunan ph menuju titik isoelektrik 5,5-5,6. Pengaruh Perlakuan Terhadap Daya Ikat Air Daging Bagian Perempat Depan Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini menunjukkan pengaruh nyata (P < 0,05) terhadap daya ikat air. Guna mengetahui terjadinya peningkatan atau penurunan daya ikat air sebagai akibat perlakuan yang diberikan, maka dilakukan analisis lanjut. Berdasarkan hasil analisis Polinomial Ortogonal menunjukkan hasil berpengaruh nyata pada regresi kubik dengan persamaan: Y 2 3 5,59 1,73x 0,24x 0,01x. 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00-0 2 4 6 8 10 12 14 16 Waktu Pelayuan (hari) Ilustrasi 2. Kurva Pengaruh Waktu Pelayuan Terhadap Daya Ikat Air Berdasarkan persamaan Ilustrasi 2, pengaruh waktu pelayuan terhadap daya ikat air (DIA) maksimum diperoleh pada turunan pertama sama dengan nol, yaitu 1,73 0,47x 0,02x 2 0. Dari turunan pertama tersebut diperoleh x 1 = 5 dan x 2 = 14, berdasarkan nilai x terbesar diperoleh y = 5,16 atau dengan artian bahwa waktu pelayuan selama 14 hari menghasilkan daya ikat air maksimum. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa pada pelayuan terjadi peningkatan DIA karena terjadi perubahan hubungan antara air dan protein, yaitu peningkatan muatan melalui abrbsorpsi ion K + dan pembebasan Ca ++. Daya ikat air maksimum dicapai pada waktu pelayuan vakum selama 14 hari. Hal ini hampir sejalan dengan pendapat Sutardi (1987) bahwa selama pelayuan terjadi pembebasan ion

natrium dan kalsium secara kontinyu oleh protein otot, sementara itu ion kalium diserap setelah 24 jam periode postmortem dan akan berlangsung antara 5-13 hari yang diikuti dengan turunnya ion magnesium. Pelayuan vakum dapat memperlambat penurunan ph, sehingga abrbsorpsi ion K + dan pembebasan Ca ++ akan berlangsung lebih lama lagi, sehingga daya ikat air lebih meningkat. Daya ikat air daging perempat depan dapat ditingkatkan dengan dilakukan pelayuan vakum, karena pada pelayuan terjadi perpindahan antara ion Ca ++ dan Mg ++ dengan air. Hal ini sejalan dengan pendapat Forrest (1975) bahwa selama pelayuan terjadi proses steric effect atau terjadi pertukaran antara ion Ca ++ dengan Mg ++, sehingga menyebabkan air masuk. Sutardi (1987) mengemukakan bahwa lintasan kation menuju dan dari protein otot memberikan kesempatan berlangsungnya perpindahan kation pada protein otot di dalam daging. Hal ini akan menaikkan muatan listrik protein otot dan menyebabkan terhentinya pembentukkan H 3 O +. Fenomena ini membuktikan adanya kemampuan mengikat air yang berlangsung selama pelayuan. Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Masak Daging Bagian Perempat Depan Berdasarkan hasil pengamatan, nilai susut masak daging bagian perempat depan sebagai akibat dari pengaruh perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Susut Masak Kelompok Perlakuan Jumlah P1 P2 P3 P4 Kelompok.%... K1 50 42 40 35 167 K2 43 41 45 43 172 K3 40 40 32 39 151 K4 38 43 42 37 160 K5 41 38 38 33 150 K6 40 41 37 50 168 Jumlah 252 245 234 237 968 Rataan 42,00 40,83 39,00 39,50 161,33

Berdasarkan data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terjadi penurunan rataan susut masak dimulai dari waktu pelayuan hari ke-4 (P1) sebesar 42,00% sampai waktu pelayuan hari ke-12 (P3) sebesar 39,00%. Setelah itu terjadi peningkatatan rataan susut masak kembali pada waktu pelayuan hari ke-16 (P4) sebesar 39,50%. Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap susut masak dilakukan analisis sidik ragam. Hasil sidik ragam diketahui bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap susut masak. Hal ini berhubungan dengan DIA yang dihasilkan oleh perlakuan, bahwa nilai DIA mempengaruhi susut masak yang tidak berbeda pada setiap perlakuan. Susut masak yang dihasilkan pada waktu pelayuan hari ke-4 sampai ke-16 berkisar antara 39,00%-42,00%. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa susut masak berkisar antara 15%- 40%. Penyusutan terkecil dihasilkan pada waktu pelayuan hari ke-12 (P3) sebesar 39,00%, yaitu sebagai akibat dari pengaruh DIA terbesar yang dihasilkan pada waktu pelayuan hari ke-12 (P3) sebesar 23,36%. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa susut masak daging mempunyai hubungan yang erat atau dipengaruhi oleh DIA. DIA yang tinggi menyebabkan susut masak rendah. Pengaruh Perlakuan Terhadap Keempukan Daging Bagian Perempat Depan Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini memberikan berpengaruh nyata ( P < 0,05) terhadap keempukan, untuk mengetahui terjadinya penurunan atau peningkatan keempukan sebagai akibat perlakuan yang diberikan, maka dilakukan uji lanjut. Berdasarkan hasil analisis Polinomial Ortogonal menunjukkan pengaruh nyata pada regresi kuadratik dengan persamaan sebagai berikut: Y 2 10,80 2,83x 0,12x.

Keempukan (mm/g/10 detik) 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00-0 2 4 6 8 10 12 14 16 Waktu Pelayuan (hari) Ilustrasi 4. Kurva Pengaruh Waktu Pelayuan Terhadap Keempukan Berdasarkan persamaan Ilustrasi 4, pengaruh waktu pelayuan terhadap keempukan maksimum diperoleh pada turunan pertama sama dengan nol, yaitu 2,83 0,24x 0. Dari turunan pertama tersebut diperoleh x = 12 dan y = 28,03 atau dengan artian bahwa waktu pelayuan selama 12 hari menghasilkan keempukan maksimum. Keempukan maksimum dicapai pada waktu pelayuan selama 12 hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutardi (1987) bahwa daging mencapai tingkat keempukan yang optimum setelah periode pelayuan, yaitu antara 10-18 hari pada suhu 0-5 0 C. Keempukan daging dipengaruhi oleh kerja enzim proteolitik. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa selama penurunan ph mencapai ph akhir, terdapat aktivitas enzim proteolitik sehingga ketika mencapai ph akhir maka keempukan akan maksimum. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa enzim ini dapat mendegradasi kolagen dan miofibril. ph yang diperlambat penurunannya selama pelayuan vakum menyebabkan enzim proteolitik lebih lama aktif atau bekerja, sehingga keempukan akan meningkat. Hal ini sejalan dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa penurunan ph yang diperlambat menyebabkan enzim proteolitik akan lebih aktf atau bekerja. Daging perempat depan mempunyai tingkat kealotan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian perempat belakang. Hal ini sejalan dengan

pendapat Soeparno (2005) bahwa kolagen jaringan ikat yang lebih banyak pada daging bagian perempat depan menyebabkan daging bagian perempat depan lebih alot daripada daging bagian perempat belakang. Kealotan ini dapat diatasi dengan cara pelayuan vakum, karena enzim proteolitik akan lebih lama mendegradasi kolagen dan miofibril sehingga daging akan menjadi lebih empuk. Hal ini sejalan dengan pendapat Abustam, (2008) bahwa selama pelayuan akan terjadi pemecahan protein miofibril oleh enzim alami (CANP dan katepsin) sehingga menghasilkan perbaikan keempukan daging. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Waktu pelayuan berpengaruh terhadap ph, daya ikat air, dan keempukan, tetapi tidak berpengaruh terhadap susut masak. 2. Sifat fisik terbaik dihasilkan pada waktu pelayuan selama 11-12 hari Daftar Pustaka Abustam. 2008. Konversi Otot Menjadi Daging. http://cinnatalemieneabustam.blogspot.com, diakses 12 September 2008. APFINDO (Asosiasi Produsen Daging Sapid dan Feedlot Indonesia). 2008. Konsumsi Daging Sapi di Indonesia. http://cjfeed.co.id, diakses 18 Mei 2008. Apriyantono, dkk. 1989. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor. 33-34 Bratcher. 2004. The Effects Of Quality Grade, Aging And Location On Selected Muscles Of Locomotion Of The Beef Chuck And Round. M.Sc. Thesis, University Of Florida. Forrest, dkk. 1975. Principles of Meat Science. Fourth Edition. W.H. Freeman and Company. San Francisco, United States of America. 177-178 Gaspersz. 1995. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan I. Tarsito. Bandung. 106-109; 123-124; 198-201.

. 1995. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan 2. Tarsito. Bandung. 107-122. Jones, dkk. 2004. Bovine Myology and Muscle. http://bovine.unl.edu. diakses 1 Juni 2008 Kusmajadi, S. 2002. Petunjuk Laboratorium : Ilmu Daging. Jurusan Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Lawrie. 2003. Ilmu Daging. Diterjemahkan oleh Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. 12; 66 ;102-103; 146; 245-250; 277; 278; 300. Lorenzen, dkk. 1998. Determination Of An Aging Index. A Final Report To The Texas Beef Council, Austin, From The Meat Science Section, Department Of Animal Science, Texas A&M University, College Station. Miller, dkk. 1997. Slaughter Plant Location, Usda Quality Grade, External Fat Thickness, and Aging Time Effects on Sensory Characteristics of Beef Loin Strip Steak. Journal of Animal Science. 75:662. Nono Ngadiyono. 1988. Studi Perbandingan Beberapa Sifat Produksi Peranankan Ongole, Shorthorn Cross, dan Brahman Cross.. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Obin Rachmawan. 1991. Pengaruh Berbagai Dosis Sari Nenas Matang dan Lama Pencampuran Terhadap Keempukan Daging Paha Depan Sapi Peranakan Ongole Jantan. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran Fakultas Peternakan. Sumedang. Palupi. 1986. Tinjauan Literatur Pengolahan Daging. Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional LIPI. Jakarta. 6. Pelczar dan Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Diterjemahkan oleh Ratna Siri Hadioetomo, dkk. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. 140; 326-327. Riley, R.R., G.C. Smith, H.R. Cross, J.W. Savell, C.R. Long and T.C. Cartwright, 1986. Choronological Age and Breed Type Effect on carcass Characterictics and Palatability of Bull Beef. J. Meat Sci. 17: 187-198. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan ke-4. Gadjah Mada Press: Yogyakarta. 1; 2-3; 28; 136; 137-138; 139-145; 147; 148-152; 153; 155; 204; 213; 266; 289-290; 291; 293; 296; 300; 301; 303-305. Sutardi. 1987. Biokimia Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 9; 31-32.

Tien dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU IPB dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. 15; 17; 18; 19; 35. Wina Juniarti. 1992. Pengaruh Berbagai Dosis Sari Nenas Matang Dari Bagian Boggol dan Daging Buah Terhadap Keempukan Daging Round Kerbau. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Sumedang. Wheeler, kochmaraie, D. A. King. 2003. Chilling and Cooking Rate Effects on Some Myofibrillar Determinants of Tenderness of Beef. Journal of Animal Science 81: 1473 1481.