ANALISIS FINANSIAL AGROINDUSTRI PENYULINGAN AKAR WANGI DI KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS SENSITIFITAS FINANSIAL SERAIWANGI

Peluang Investasi Minyak Akar Wangi

III. METODOLOGI. Tahap Pengumpulan Data dan Informasi

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Industri (HTI) sebagai solusi untuk memenuhi suplai bahan baku kayu. Menurut

IV. METODE PENELITIAN

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara

VIII. ANALISIS FINANSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Di tengah stagnasi perekonomian nasional, UKM telah membuktikan

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Wilayah Kabupaten Lampung Barat pada bulan Januari

METODOLOGI PENELITIAN. (Purposive) dengan alasan daerah ini cukup representatif untuk penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN. baik agar penambangan yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian baik. dari segi materi maupun waktu. Maka dari itu, dengan adanya

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 KERANGKA PEMIKIRAN

Mulai. Perancangan bentuk alat. Menggambar dan menentukan dimensi alat. Memilih bahan. Pengukuran bahan yang akan digunakan

ANALISA SISTEM. Analisa Situasional

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

BAB III METODE PENELITIAN. Rantauprapat Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi

III. METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS KELAYAKAN BUDIDAYA APEL (MALUS SYLVESTRIS MILL) DI DESA BULUKERTO,KECAMATAN BUMIAJI, KOTA BATU

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Proses produksi kopi luwak adalah suatu proses perubahan berbagai faktor

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

VII. RENCANA KEUANGAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN

LAMPIRAN Lampiran 1. Flow chart pelaksanaan penelitian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mempunyai

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Mulai. Merancang bentuk alat. Menggambar dan menentukan dimensi alat. Memilih bahan. Diukur bahan yang akan digunakan

IV METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS KELAYAKAN PENGGUNAAN PANAS BUMI PADA PENGOLAHAN TEH HITAM

III KERANGKA PEMIKIRAN

A. Kerangka Pemikiran

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2014.

KERANGKA PEMIKIRAN. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang konsep dan teori yang

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

VIII. ANALISIS FINANSIAL

III. KERANGKA PEMIKIRAN

KERANGKA PEMIKIRAN. dengan membangun suatu tempat pengelolaan sampah, tetapi yang dapat

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

II. TINJAUAN PUSTAKA. berumpun lebat, akar tinggal, bercabang banyak, dan berwarna kuning pucat atau

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

layak atau tidak maka digunakan beberapa metode dengan harapan mendapatkan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil análisis dan pembahasan terhadap kelayakan investasi PT. ABC

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Lampung Timur. Lokasi penelitian

BAB V ANALISIS BIAYA PENGERINGAN GABAH MENGUNAKAN PENGERING RESIRKULASI

PROSPEK PENGEMBANGAN INDUSTRI MINYAK NILAM DI INDONESIA

IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

6 ANALISIS KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN SURIMI

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Rakyat (KUR) di Desa Ciporeat, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung.

III. METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran. 3.2 Metode Penelitian

MATERI 7 ASPEK EKONOMI FINANSIAL

BAB I PENDAHULUAN. Bergesernya pola hidup masyarakat secara global yang semakin hari

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

III METODOLOGI. 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Penentuan Metode Destilasi Minyak Pala

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Data dan Instrumentasi 4.3. Metode Pengumpulan Data

IV. METODE PENELITIAN. (Desa Cogreg dan Desa Ciaruteun Ilir), Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. Nilam (Pogostemon cablin Benth) yang termasuk dalam keluarga Labiatea

IV. METODE PENELITIAN

AGROTEKNO 13 (1): 8-13 ISSN KAJIAN ASPEK FINANSIAL INDUSTRI MINUMAN BUBUK KUNYIT ASAM

IV. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ABSTRAK. Kata Kunci: Capital Budgeting, Payback Period, Net Present Value, dan Internal Rate of Return. Universitas Kristen Maranatha

III. METODE PENELITIAN. Petani buah naga adalah semua petani yang menanam dan mengelola buah. naga dengan tujuan memperoleh keuntungan maksimum.

III KERANGKA PEMIKIRAN

1. Formulasi mellorin serta analisa sifat fisik dan proksimat.

BAB V HASIL ANALISA. dan keekonomian. Analisis ini dilakukan untuk 10 (sepuluh) tahun. batubara merupakan faktor lain yang juga menunjang.

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

ANALISIS FINANSIAL USAHA AGROINDUSTRI LEMPUK DURIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis kelayakan teknis meliputi : aspek bahan baku, aspek peralatan dan

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. ini yang dianalisis adalah biaya, benefit, serta kelayakan usahatani lada putih yang

ANALISA KELAYAKAN BISNIS PT. SUCOFINDO UNIT PELAYANAN DONDANG. Sahdiannor, LCA. Robin Jonathan, Suyatin ABSTRACT

Lampiran 1. Perkembangan ekspor impor minyak akar wangi. Ekspor Impor Minyak Akar Wangi Tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alat Pengolahan Padi 1.2. Penggilingan Padi

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS TEKNIS DAN EKONOMI RICE MILLING UNIT ONE PHASE (STUDI KASUS DI UD. BELEKE MAJU KABUPATEN LOMBOK BARAT NTB)

3.1. Kerangka Pemikiran

IV. METODE PENELITIAN

VII. KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alasan peneliti memilih desa Sipiongot kecamatan Dolok Kabupaten

VII. ANALISIS FINANSIAL

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN. Tulang Bawang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli

BAB III LANDASAN TEORI

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Kata kunci: gedung perkantoran, analisa teknis dan finansial, Kabupaten Kapuas

BAB I PENDAHULUAN. ini tentu akan meningkatkan resiko dari industri pertambangan.

ABSTRAK. Kata kunci: town house, pasar, teknis, NPV, BCR, IRR, PBP

Transkripsi:

ANALISIS FINANSIAL AGROINDUSTRI PENYULINGAN AKAR WANGI DI KABUPATEN GARUT, JAWA BARAT Chandra Indrawanto Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik ABSTRAK Minyak akar wangi merupakan salah satu ekspor minyak atsiri di Indonesia dengan sentra produksi di Kabupaten Garut. Pada umumnya agroindustri penyulingan akar wangi kering angin dengan bonggolnya yang memberikan tingkat rendemen yang rendah sehingga biaya produksi menjadi tidak efisien. Analisis finansial dalam penelitian ini menunjukkan pemakaian bahan baku akar wangi kering jemur tanpa bonggol memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pemakaian bahan baku akar wangi kering angin dengan bonggol maupun tanpa bonggol yang tercermin dari nilai NPV, IRR dan B/C ratio yang lebih besar. Analisis sensitivitas yang dilakukan juga menunjukkan pemakaian bahan baku kering jemur memiliki tingkat ketahanan yang lebih baik terhadap perubahan harga bahan baku maupun perubahan harga minyak akar wangi. PENDAHULUAN Agroindustri minyak atsiri merupakan salah satu industri yang patut diperhitungkan untuk dikembangkan mengingat Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam pengadaan bahan bakunya disamping teknologi pengolahannya yang cukup sederhana sehingga mudah dikembangkan. Selain itu pengembangan Industri minyak atsiri akan menimbulkan efek berganda berupa peningkatan kesejahteraan petani tanaman atsiri mengingat mayoritas perkebunan tanaman atsiri yang ada adalah perkebunan rakyat. Minyak atsiri akar wangi (vetiver oil) diperoleh melalui proses penyulingan dari bagian akar tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides Stapf). Minyak ini mempunyai aroma yang lembut dan halus yang dihasilkan oleh ester dari asam vetivenat serta senyawa vetiverone dan vetivenol yang saat ini belum dapat dibuat secara sintetis. Minyak akar wangi digunakan secara luas untuk pembuatan parfum, kosmetika, pewangi sabun dan obatobatan, serta pembasmi dan pencegah serangga. Di Indonesia, tanaman akar wangi telah lama dikenal sebagai komoditas ekspor. Sekitar 90% produksi minyak akar wangi Indonesia diekspor, dengan rata-rata volume ekspor dalam lima tahun terakhir sebanyak 80 ton atau seperempat dari total produksi dunia yang diperkirakan mencapai 300 ton setiap tahunnya. Di pasar dumia minyak akar wangi dari Indonesia dikenal dengan nama Java Vetiver Oil. Selain mengekspor minyak akar wangi, Indonesia juga mengekspor terna akar wangi dengan volume ekspor rata-rata 15 000 ton per tahun. Hal ini mengindikasikan usaha penyulingan akar wangi masih terbuka untuk dikembangkan. 78

Kabupaten Garut, Jawa Barat, merupakan sentra produksi utama (89%) akar wangi dengan luas areal perkebunannya sekitar 1.475 ha pada tahun 1990 dan meningkat menjadi 2.400 ha pada tahun 2001 dengan areal tersebar di empat kecamatan yaitu Kecamatan Samarang, Leles, Ciwalu dan Bayongbong. Seluruh perkebunan akar wangi tersebut adalah perkebunan rakyat. Penyulingan akar wangi di Kabupaten Garut umumnya menggunakan bahan baku akar wangi berupa akar dengan bonggolnya dengan kondisi kering angin, hanya sedikit yang memakai akar wangi kering angin tanpa bonggol dan hanya beberapa agroindustri yang kadang kala memakai akar wangi kering jemur tanpa bonggol. Kondisi bahan baku yang digunakan tentunya akan mempengaruhi tingkat rendemen yang didapat. Seiring semakin mahalnya biaya produksi minyak akar wangi per unit yang terutama dikarenakan semakin mahalnya harga bahan bakar minyak maka perlu didapat kondisi bahan baku akar wangi yang paling efisien dalam penyulingannya yang secara finansial memberikan keuntungan yang lebih baik dengan biaya produksi per unit yang lebih murah. AGRO INDUSTRI MINYAK AKAR WANGI DI KABUPATEN GARUT Agroindustri minyak akar wangi di Kabupaten Garut ada 33 usaha dengan 43 ketel (Dinas Perkebunan Garut, 2006) dengan rata-rata diameter 1,5 m dan tinggi 4,2 m, dengan ketebalan plat 6 mm dan kapasitas 3 500 liter. Teknik penyulingan yang digunakan umumnya sistem uap-air dengan lama penyulingan 12 jam. Umumnya agroindustri ini berupa akar dengan bonggolnya dengan kondisi kering angin. Hanya sedikit yang memakai akar wangi kering angin tanpa bonggol dan hanya beberapa agroindustri yang kadang kala kering jemur hingga kadar air sekitar 15%. Tingkat rendemen dan kapasitas ketel per kali suling dari setiap kondisi bahan baku akar wangi dapat dilihat pada tabel 2. Sedangkan jumlah penyulingan per bulan rata-rata sebanyak 16 kali. Tabel 1. Kondisi Agroindustri Minyak Akar wangi di Kabupaten Garut Jumlah Pengusaha Jumlah ketel penyulingan Rata-rata Investasi tetap Sistem Penyulingan Kapasitas Ketel : 33 Pengusaha : 43 Ketel : Rp 175 juta : Uap Air : 3 500 liter Tabel 2. Pemakaian Bahan Baku Akar wangi Kondisi Bahan Baku Kering angin dengan bonggol Kering angin tanpa bonggol Kering jemur tanpa bonggol Rendemen Berat BB/lt (gr) Berat BB/3500 lt (kg) 0,30% 400 1400 0,42% 300 1050 1,33% 100 350 79

Rendemen terendah pada akar wangi dengan kondisi kering angin adalah dengan bonggolnya. Hal ini karena bonggol akar wangi memiliki rendemen yang rendah. Pada kondisi akar wangi kering angin tanpa bonggol memiliki rendemen 0,42%. Tingkat rendemen ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Rusli (1985) sebesar 0,4% - 0,5%. Sedangkan tingkat rendemen akar wangi kering jemur tanpa bonggol lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Rusli (1985) sebesar 1,6% - 2,1% akan tetapi lebih tinggi dari yang dikemukakan oleh Suryatmi (2006) sebesar 1,0% 1,12%. Hal ini karena pada penelitian Rusli (1986) penyulingan dilakukan lebih lama yaitu 18 jam, sedangkan pada penelitian Suryatmi (2006) tekanan yang dipakai dalam penyulingan hanya 1 atm g 3 atm g sedangkan pengusaha agroindustri akar wangi di Kabupaten Garut ratarata memakai tekanan 4 atm g. ANALISIS FINANSIAL AGROINDUSTRI AKAR WANGI DI KABUPATEN GARUT Dalam upaya menganalisis finansial agroindustri akar wangi, maka berbagai data diperlukan data primer maupun sekunder. Data primer dikoleksi dari 12 usaha agroindustri penyulingan akar wangi di Kecamatan Leles dan Kecamatan Samarang Kabupaten Garut pada bulan September 2006, sedangkan data sekunder dikoleksi dari Dinas perkebunan, kehutanan dan hortikultura serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Garut. Pengkoleksian data primer dilakukan melalui wawancara dengan para pengusaha meliputi data tentang kondisi bahan baku yang dipakai, biaya penyulingan, tingkat rendemen, biaya investasi tetap, biaya modal kerja, harga bahan baku dan harga produk minyak akar wangi. Dengan metode analisa finansial agroindustri yang sama diterapkan pada perusahaan komersial, demikian pula criteria yang menentukan keputusan manajemen dan investasi (Brown, 1994). Faktor penting yang perlu dikaji dalam analisis finansial menurut Husnan dan Suwarsono (1994) adalah kebutuhan dana, biaya modal, cash flow, criteria penilaian investasi dan analisis sensitivitas. Untuk analisis finansial agroindustri akar wangi ini digunakan instrumen analisis seperti net present value (NPV), internal rate of return (IRR), benefit cost ratio (B/C ratio), dan analisis sensitivitas. Kriteria NPV mencerminkan nilai sekarang dari selisih antar arus kas masuk dan arus kas keluar dari suatu usaha (Kadariyah, et al.). Apabila nilai NPV < 0 berarti usaha tersebut mengalami kerugian secara finansial sehingga menjadi tidak layak, bila NPV = 0 berarti usaha tersebut dalam posisi break event point dan bila NPV > 0 berarti usaha tersebut mendapat keuntungan secara finansial yang berarti pula layak untuk diusahakan. Semakin besar nilai NPV maka semakin besar keuntungan yang didapat. Kriteria IRR menunjukkan persentase keuntungan pertahun yang 80

berhasil didapat. Bila nilai NPV lebih kecil daripada tingkat diskonto atau nilai bunga maka usaha mengalami kerugian, bila nilai IRR sama dengan tingkat diskonto maka usaha dalam posisi break event point, dan bila nilai IRR lebih tinggi dari tingkat diskonto maka usaha mengalami kerugian. Semakin besar nilai IRR semakin besar keuntungan yang dicapai usaha. Kriteria B/C ratio adalah perbandingan antara seluruh nilai kini keuntungan yang didapat dengan seluruh nilai kini biaya yang dikeluarkan. Bila nilai B/C ratio lebih kecil dari satu maka usaha mengalami kerugian, jika nilai B/C ratio sama dengan satu maka usaha dalam kondisi break event point dan bila B/C ratio lebih besar dari satu maka usaha mengalami keuntungan. Semakin besar nilai B/C ratio semakin besar keuntungan usaha yang didapat (Gittinger, 1986). Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh perubahanperubahan parameter dalam aspek finansial terhadap keputusan yang diambil (Soeharto, 1990). Analisis ini diperlukan untuk mencegah resiko jika terjadi kesalahan dalam menaksir biaya atau manfaat dan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahanperubahan parameter tersebut diluar kendali usaha. Semakin besar perubahan nilai parameter yang dapat ditanggung suatu usaha maka semakin baik usaha tersebut. Hasil analsis finansial menunjukkan pemakaian bahan baku akar wangi dengan kondisi kering jemur tanpa bonggol memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pemakaian bahan baku akar wangi dengan kondisi kering angin baik dengan bonggol maupun tanpa bonggol (table 2). Hal ini terlihat dari lebih besarnya nilai NPV, B/C ratio maupun IRR nya. Analisis ini memakai tingkat harga bahan baku dan harga minyak yang terjadi pada saat survey. Keuntungan yang lebih besar dari pemakaian bahan baku akar wangi kering jemur tanpa bonggol ini disebabkan oleh menurunnya biaya produksi minyak akar wangi yang dihasilkan sebagai akibat menurunnya biaya tetap per unit produk minyak akar wangi. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan pemakaian bahan baku akar wangi kering jemur lebih tahan terhadap gejolak harga akar wangi maupun harga minyak akar wangi yang terjadi. Jika kondisi parameter lain tetap maka usaha penyulingan dengan kering jemur akan berada pada posisi break event point jika harga bahan bakunya naik sebesar 17,6% menjadi Rp 2 645/kg yang berarti jika harga bahan baku lebih tinggi dari harga tersebut maka usaha akan mengalami kerugian. Sedangkan pada pemakaian bahan baku akar wangi kering angin dengan bonggol dan tanpa bonggol posisi tersebut sudah tercapai jika harga bahan bakunya naik masing-masing sebesar 7% dan 12,9% atau masingmasing menjadi Rp 535/kg dan Rp 790/kg. 81

Tabel 3. Analisis Finansial Agroindustri Penyulingan Akar wangi kapasitas alat 3500 liter (15 tahun) Uraian Bahan Baku I Bahan Baku II Bahan Baku III Harga Terna kering angin (Rp/kg) 500 700 2,250 Kapasitas ketel (kg) 1,400 1,050 350 Rendemen 0.30% 0.42% 1.33% Frekwensi Suling Per Bulan 16 16 16 Harga Minyak Akar wangi (Rp/kg) 400,000 400,000 400,000 Discount Faktor Pertahun 18% 18% 18% NPV (Rp) 43,917,182 85,341,588 123,347,107 B/C Ratio 1.21 1.41 1.58 IRR 22.66% 26.83% 30.47% Keterangan: Bahan baku I = Akar wangi kering angin dengan bonggol Bahan baku II = Akar wangi kering angin tanpa bonggol Bahan Baku III = Akar wangi kering jemur tanpa bonggol Pada analisis sensitivitas terhadap perubahan harga minyak akar wangi, Jika kondisi parameter lain tetap maka usaha penyulingan dengan kering jemur akan berada pada posisi break event point jika harga minyak akar wangi turun sebesar 7,5% menjadi Rp 370 000/kg yang berarti jika harga minyak akarwani lebih rendah dari harga tersebut maka usaha akan mengalami kerugian. Sedangkan pada pemakaian bahan baku akar wangi kering angin dengan bonggol dan tanpa bonggol posisi tersebut sudah tercapai jika harga minyak akar wangi turun masing-masing sebesar 3% dan 5,5% atau masing-masing menjadi Rp 388 000/kg dan Rp 378 000/kg. KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini memberikan suatu gambaran yang menuju pada suatu kesimpulan bahwa pemakaian bahan baku akar wangi kering jemur akan meningkatkan efisiensi produksi sehingga keuntungan usaha menjadi meningkat. Efisiensi produksi penting dilakukan mengingat semakin tidak menentunya harga bahan bakar minyak yang berkontribusi sekitar 41% dari total biaya produksi agroindustri penyulingan akar wangi. Perubahan kebiasaan para pengusaha agroindustri penyulingan akar wangi untuk memakai bahan baku kering jemur tidak dapat dilakukan jika pengusaha tersebut belum dapat melihat bukti bahwa pemakaiana bahan baku tersebut memang menguntung- 82

kan, untuk itu penelitian dan penyuluhan lebih lanjut harus dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Brown, J.G, Deloitte, Toache, 1994. Agroindustrial Investment and Operations. EDI Development Studies. Washington DC. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Hortikultura, 2006. Rekapitulasi Data Agroindustri Minyak Atsiri. Kabupaten Garut. Gittinger, JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. UI Press-John Hopkins, Jakarta. Husnan S dan Suwarsono, 1994. Studi Kelayak Proyek. UPP AMP YKPN. Yogyakarta Kadariyah, Karlina L dan Gray, C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta Rusli S. 1985. Penelitian dan Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. Edsus No2. Balittro, Bogor Soeharto, 1990. Manajemen Proyek Industri. Erlangga, Jakarta. Suryatmi, R.D. 2006. Kajian Variasi Tekanan Pada Penyulingan Minyak Akar wangi Skala Laboratorium. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006. IPB, Bogor 83