Oleh: Tarsoen Waryono **) Bab I Pendahuluan

dokumen-dokumen yang mirip
TELAAH RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) PERTANIAN DAN KEHUTANAN PROPINSI DKI JAKARTA*) Oleh: Tarsoen Waryono **) Abstrak

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

Oleh: Tarsoen Waryono **) Pendahuluan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH

KOMPROMI PEMULIHAN AIR TANAH DENGAN SUMUR RESAPAN *)

Oleh: Tarsoen Waryono **) Bab I Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

Oleh: Tarsoen Waryono **) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

MENYOAL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT POTENSI DI ERA OTONOMI. Oleh : Eddy Suryanto, HP. Fakultas Hukum UNISRI Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan

Oleh: Tarsoen Waryono **)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan secara proporsional, artinya pelimpahan tanggung jawab akan diikuti

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

BAB 2 Perencanaan Kinerja

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

(2) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Banten mempunyai fungsi sebagai berik

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat.

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia menuntut Pemerintah Daerah untuk

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

I. PENDAHULUAN. Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

BAB I PENDAHULUAN. hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan adalah suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional

RENCANA STRATEGIS DINAS KEHUTANAN TAHUN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA.

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DI PROPINSI JAWA TIMUR

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB I PENDAHULUAN. Selain isu kerusakan hutan, yang santer terdengar akhir - akhir ini adalah

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. (PAD) yang dapat membantu meningkatakan kualitas daerah tersebut. Maka

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di segala

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 865/KPTS-II/1999 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2009 NOMOR 19 SERI D

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 16,9 juta ha hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Transkripsi:

1 BEBERAPA ASPEK PEMBERDAYAAN PERHUTANAN SOSIAL (Paparan Studi Kasus Kabupaten Sukabumi *) Oleh: Tarsoen Waryono **) Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Penyempurnaan Undang-undang (UU) Nomor 5 tahun 1967, tentang Pokok-pokok Kehutanan, disusun dengan mengakomodasikan perkembangan tuntutan dan perubahanperubahan yang telah terjadi, seperti mengedepannya keberpihakan kepada rakyat, berkembangnya aspirasi rakyat, serta menguatnya tuntutan keadilan dan otonomi daerah. Dengan demikian penyempurnaan UU kehutanan, tentunya akan saling mengisi dan melengkapi UU yang telah terbit terdahulu, khususnya UU tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur masalah otonomi dan UU tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah disyahkan tanggal 7 dan 19 Mei 1999. Pengertian otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi dalam pengertian orisinal adalah the legal self sufficiency of social body and is actual independence. Sedangkan menurut UU Nomor 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat, sesuai dengan peraturan perudangan. Dari pemahaman tentang otonomi daerah, maka hakikat otonomi daerah bagi pembangunan kehutanan dan perkebunan, adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu derah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada derah. Di sektor Kehutanan dan Perkebunan, upaya pelimpahan sebagian wewenang kepada daerah telah dirintis sejak tahun 1994, dengan dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan No. 86/Kpts-II/94, tentang penyerahan sebagian urusan Pemerintah Pusat di Sektor Kehutanan kepada Pemerintah Dati-II. Pada tahap ini, tercatat 5 (lima) urusan yang diserahkan yaitu: (a) penghijauan dan konservasi tanah dan air, (b) persutraan alam, (c) perlebahan, (d) hutan rakyat dan hutan milik, dan (e) penyuluhan kehutanan. Untuk menyelenggarakan ke lima urusan tersebut, telah dibentuk Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (DPKT) Dati II, yang saat ini telah tersebar di 98 Dati-II. *). Makalah penunjang seminar Perhutanan Sosial LITBANG DEPHUTBUN, Hotel Salak Bogor; 17 Desember 2002. **). Staf Pengajar Jurusan Geografi FMIPA-Universitas Indonesia.

Perkembangan selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 62 tahun 1998, telah diserahkan sejumlah urusan lagi kepada Pemerintah Dati-I dan Dati-II. Kepada Dati-I diserahkan urusan pengelolaan taman hutan raya dan penataan batas hutan, sedangkan kepada Dati-II, diserahkan sebanyak 10 urusan yaitu lima urusan seperti tersebut di atas ditambah dengan pengelolaan hutan lindung, pengelolaan hasil hutan non kayu, perburuan tradisional satwa liar yang tidak dilindungi pada areal buru, perlindungan hutan serta pelatihan ketrampilan masyarakat di sektor perhutanan. Langkah kebijakan otonomi daerah menjadi semakin jelas, seperti tertuang dalam UU No.22 tahun 1999, pasal 7 ayat (1), yang menjelaskan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Selanjutnya pasal 7 ayat (2) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain, meliputi antara lain konservasi, dan pendayagunaan sumberdaya alam. Sumberdaya alam disini tentunya antara lain mencakup sumberdaya hutan yang merupakan urusan bidang kehutanan. Penyempurnaan UU Kehutanan, tentunya masih dalam koridor, bahwa otonomi sektor kehutanan lebih diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakan prakarsa dan peran aktif masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung-jawab, serta mampu memacu perolehan pendapatan asli daerah (PAD). Atas dasar itulah dalam paparan ini, ingin mencoba untuk mengungkap dan menelaah tantangan otonomi daerah melalui pemberdayaan perhutanan sosial, yang merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah. 1.2. Maksud dan Tujuan Menelaah lebih jauh peranan fungsi perhutanan sosial, melalui pemberda-yaan masyarakat untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pada hakekatnya merupakan maksud dan tujuan dalam paparan ini, sedangkan sasaran yang hendak dicapai adalah tercipta pemberdayaan perhutanan sosial, dalam bentuk hutan rakyat (studi kasus Kabupaten Sukabumi). 1.3. Ruang Lingkup Bahasan Telaah lebih jauh dalam kaitannya dengan pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Sukabumi, mencakup uraian-uraian sebagai berikut; (a). Konsep dan kriteria dasar pembangunan hutan rakyat, dalam kaitannya dengan otonomi daerah, sesuai dengan arah kebijakan sektor kehutanan di tingkat Kota maupun Kabupaten; (b). Analisis kecenderungan atas pembangunan hutan rakyat, berdasarkan prospek urgensinya, serta aspek spatial keterkaitan dengan pembangunan daerah. (c). Beberapa aspek pemberdayaan hutan rakyat dalam kaitannya dengan kajian sosial, ekonomi, dan pelestariannya. 2

3 Bab II Konsep dan Kriteria Dasar Pemberdayaan Pembangunan Hutan Rakyat 2.1. Arah Kebijakan Pembangunan Hutan Rakyat Garis kebijakan Pemerintah pada Sektor Kehutanan, seperti tertuang dalam penyempurnaan UU Kehutanan, semakin menjadi jelas dalam kaitannya dengan otonomi daerah. Tindakan pemerintah yang cukup strategis, dalam pelimpahan wewenang pengurusan sebagian kegiatan perhutanan, secara langsung maupun tidak langsung akan memacu terhadap penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat; serta diperolehnya nilai tambah setiap bidang lahan yang diusahakan. Di sisi lain, pengurusan sebagain kegiatan perhutanan, juga merupakan salah satu sumber perolehan PAD, dan pada saatnya akan mampu menjamin tingkat kesejahteraan masyarakat pada Sektor Kehutanan. Hutan rakyat pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk usaha perhutanan sosial, baik pada tanah milik masyarakat maupun pemerintah, yang secara mandiri dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat, melalui dukungan pendanaan, yang bersumber dari pemerintah (instansi terkait). Hal ini dapat dimengerti, karena kegiatan dimaksud merupakan bagian dari program pendayagunaan sumberdaya lahan secara optimal untuk tujuan konservasi tanah dan air. Dengan demikian hadirnya pengurusan perhutanan sosial yang diwujudkan dalam bentuk hutan rakyat, mendudukan posisi strategis bagi Pemda Kabupaten Sukabumi, untuk berperan aktif dalam meningkatkan produktivitas lahan; dalam kaitannya dengan pemberdayaan otonomi, yang akan berpengaruh langsung terhadap tumbuh berkembangnya pembangunan daerah. 2.2. Konsep dan Kriteria Dasar Pembangunan Hutan Rakyat Berbagai pemahaman dan pengertian tentang hutan rakyat, telah banyak dicetuskan oleh para rimbawan baik yang ada di Indonesia maupun yang berasal dari manca negara. Secara keseluruhan hutan rakyat diharapkan dapat memecahkan masalah pemanfaatan dan peningkatan produktifitas lahan secara optimal melalui jasa biologis pepohonan, hingga terjaminya tingkat kesuburan tanah, sebagai wahana sumber bahan baku industri, serta terpenuhinya harapan kesejahteraan bagi masyarakat. Secara garis besar konsep dan kriteria dasar pembangunan hutan rakyat, di wilayah Kabupaten Sukabumi, hendaknya dipaduserasikan dengan program rehabilitasi lahan (BRLKT) yang sebelumnya telah direncanakan, antara lain mencakup upaya-upaya sebagai berikut: (1). Rancangan pembangunan hutan rakyat (Kabupaten), seyogianya dipaduserasikan dengan program rehabilitasi lahan (BRLKT). Hal ini mengingat bahwa pelimpahan wewenang pengurusannya, masih dalam kontek peralihan, yang secara lambat laun akan diserahkan secara penuh.

(2). Konsepsi penerapan sistem tumpangsari dan atau agroforestry, dalam pembangunan hutan rakyat, pada dasarnya untuk tetap dipertahankan karena erat kaitannya dengan upaya peningkatan produktifitas lahan. (3). Pemilihan jenis yang dikembangkan, hendaknya disesuaikan dengan fakta fisik wilayahnya; atas dasar hasil evaluasi kesesuaian lahan dan jenis yang dikembangkan. (4). Pembangunan hutan rakyat, diarahkan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat, melalui perluasan lapangan kerja dan berusaha, dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya dan peranan fungsinya sebagai pengatur tata air dan habitat satwa liar. 4 2.3. Aplikasi Pemberdayaan Pembangunan Hutan Rakyat Digalakannya hutan rakyat oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan, melalui program sengonisasi, sungkenisasi, sukunisasi dan turinisasi di Jawa Barat, nampaknya belum memberikan kesan atas keberhasilannya ditinjau dari niat kesungguhan masyarakat terhadap program tersebut. Hal ini nampaknya disebabkan: (a) belum sepenuhnya memahami makna dan maksud atas pemberdayaan hutan kemasyarakatan, (b) suatu anggapan bahwa dengan program hutan rakyat, menyebabkan berkurangnya pendapatan. Tanah garapan yang merupakan sumber kehidupan sehari-hari, peluangnya menjadi relatif lebih kecil (sempit) karena dibudidayakannya tetumbuhan hutan, (c) munculnya persepsi negatif karena pendapatan yang diperoleh relatif lama (5-8 tahun). Mencermati atas fenomena permasalahan yang dihadapi seperti uraian di atas, dan tingkat keberhasilan seperti dalam pemberdayaan ulat sutera dan lebah madu di beberapa Margasaren (Jawa Tengah dan Jawa Timur); Nampaknya kunci keinginan masyarakat yang dikehendaki adalah; terciptanya kuntinuitas pendapatan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh sebab itu pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan pemahaman atas penerapan sistem tumpangsari pada waktu tanaman masih muda, untuk kemudian dilanjutkan dengan agroforestry, hingga tanaman pokok mencapai daur ekonomis. Atas dasar itulah menempatkan kaidah-kaidah pembangunan hutan rakyat dengan cara-cara rasional, akan menjamin kontinuitas pendapatan masyarakat, merupakan kunci harapan atas keberhasilan program. Beberapa aspek penting upaya pemberdayaan masyarakat melalui pembangunan hutan secara terpadu, antara lain menjamin (a) peningkatan atas kemampuan lahan milik masyarakat dalam memproduksi hasil hutan, sebagai salah satu sumber pendapatan jangka waktu menengah, (b) peningkatan pendapatan dari hasil budidaya usaha tani (tumpangsari dan agroforestry), merupakan sumber pendapatan sehari-hari, (c) terkendalinya kesuburan tanah dan erosi, berarti memperpanjang masa pakai tanah, (d) terbentuknya ekosistem habitat satwa liar, dan (e) pengaturan terhadap tata air tanah secara alamiah, yang berarti pula terjaminnya kelangsungan hidup beberapa jenis satwa pada ekosistem perairan pada waktu musim kemarau.

5 Bab III Analisis Kecenderungan Pembangunan dan Pengembangan Hutan Rakyat 3.1. Urgensi Pengembangan Hutan Rakyat Pengelolaan sumberdaya lahan, yang diwujudkan dalam bentuk hutan rakyat, dinilai mempunyai kelayakan usaha yang positif, apabila jelas urgensi dan prospeknya. Semakin tinggi urgensinya, akan semakin cerah aspek dan prospek pengembangannya. Mencermati atas permintaan bahan baku kayu olahan lokal di Kabupaten Sukabumi yang cukup tinggi (± 23.450 m 3 pada tahun 1997, dan meningkat menjadi ± 56.420 m 3 pada tahun 2000), serta prediksi kebutuhan tahun 2005 (± 75.000 m 3 ); nampaknya hadirnya pembangunan hutan rakyat di wilayah ini, dinilai cukup strategis dan potensial untuk segera diwujudkan. Untuk memenuhi bahan baku kayu olahan lokal pada tahun 2005; dengan taksasi volume jenis sengon (Paraserianthes falcataria) sebesar 150 m3/ha pada daur ekonomis 8 tahun (estimasi rendah), dengan rendemen proses produksi 50%, kawasan hutan rakyat yang diperlukan seluas 2(150.000)/150 = 2.000 ha. 3.2. Analisis Spatial Potensi Kawasan Pengembangan Hutan Rakyat Program pengembangan perhutanan sosial di wilayah Kabupaten Sukabumi, pada dasarnya telah diperdayakan sebelum sumberdaya hutan dikelola oleh Perum Perhutani Unit- III Propinsi Jawa Barat, dimana tumpang sari dan agroforestry menjadi salah satu bentuk andalannya. Akan tetapi bentuk kegiatan tersebut terbatas pada kawasan-kawasan hutan yang diremajakan. Kecenderungan meningkatnya lahan kritis yang sementara itu dikelola dan menjadi tanggung jawab Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (RRL), melalui BRLKT (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah), cenderung semakin meningkat luasannya. Pada tahun 1987 tercatat ± 3.446 ha dan berubah menjadi ± 8.750 ha pada tahun 1999, tersebar pada dua wilayah yaitu (a) pada tanah milik masyarakat (82,43%), dan (b) tanah kehutanan (17,57%). Berdasarkan hasil evaluasi Dirjen RLL (1997), realisasi program penghijauan lahan kritis di beberapa DAS dan Sub-DAS (dalam wilayah administrasi Kabupaten Sukabumi) tercatat 1.235 ha. Dengan prediksi bahwa program kegiatan tahun anggaran 1996/1997 s/d 1999/2000 terealisasi 2.000 ha, maka potensi kawasan peluang untuk pembangunan hutan rakyat atas dasar lahan kritis seluas 8.750 3.235 ha = 5.515 ha. Mengacu pada persyaratan tumbuh sengon, nampaknya kebutuhan bahan baku kayu olahan lokal sebesar 75.000 m3 dan atau memerlukan kawasan seluas 2.000 akan dapat terpenuhi.

6 Bab IV Beberapa Aspek Pemberdayaan Pembangunan Hutan Rakyat 4.1. Aspek Sosial Hadirnya pembangunan hutan rakyat di wilayah Kabupaten Sukabumi, akan berpengaruh langsung terhadap aspek sosial yang bersifat lokal maupun regional. Penilaian terhadap aspek sosial, akan dapat diketahui dengan menghitung besarnya sumbangan proyek terhadap perluasan lapangan kerja, meningkatnya pendapatan masyarakat, dan peningkatan terhadap kesempatan berusaha bagi masyarakat. Tersedianya bahan bangunan kayu olahan lokal, dengan harganya relatif terjangkau, serta dekat pada pusat-pusat produksi, berarti masyarakat akan lebih mudah memperolehnya, yang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap tatanan kehidupan masyarakat yang dicerminkan dari bentuk-bentuk permukimannya. 4.2. Aspek Ekonomi Suatu indikasi dari perkembangan aktivitas dunia usaha yang terus meningkat, akan tercermin dari tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang cukup menonjol. Hadirnya program pembangunan hutan rakyat, di beberapa lokasi di seluruh pelosok Kabupaten Sukabumi, ditandai dengan perkembangan investasi yang berarti pula memacu terhadap perolehan pendapatan asli daerah, (PAD), serta memacu peningkatan aktivitas perekonomian lainya, seperti tumbuh berkembangnya pusat-pusat kegiatan ekonomi pedesaan. Berdasarkan angka prediksi pemenuhan kebutuhan bahan bangunan kayu olahan lokal sebesar 75.000 m3/tahun, atau setara dengan 150.000 m3 dalam bentuk kayu glondongan (log) maka perolehan PAD yang bersumber dari hutan rakyat atas dasar restribusi pajak sumberdaya alam (PSA), sebesar Rp 14.000,- X 150.000 = Rp 2.100.000.000,-. Dengan demikian jelas bahwa progran pembangunan hutan rakyat dinilai strategis dalam kaitannya dengan PAD. 4.3. Aspek Lingkungan Hadirnya pembangunan dan pengembangan hutan rakyat, seperti halnya uraian terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat, baik secara lokal maupun regional, juga memberikan pengaruh terhadap lingkungannya. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh aspek lingkungan baik terhadap kondisi fisik wilayahnya. Bentuk tatanan hutan sejenis secara ekologis dinilai kurang menguntungkan; akan tetapi dengan jarak tanam rapat (3 X 3 meter), serta dipaduserasikan dengan penerapan sistem tumpangsari dan dilajutkan dengan agroforestry, akan memacu terkendalinya erosi dan terjaminnya kesuburan tanah. Demikian halnya penilaian secara hidrologis, teknik penanaman yang rapat, akan memacu terhadap besaran laju infiltrasi (resapan air), hingga terkendalinya tata air tanah.

4.4. Aspek Pemberdayaan Kemitraan Mencermati atas (a) potensi kawasan peluang yang memungkinkan untuk didayagunakan sebagai wahana pembangunan dan pengembangan hutan rakyat, serta (b) niat kesungguhan Pemda Sukabumi dalam mewujudkannya. Namun demikian bukan berarti bahwa program pembangunan hutan rakyat dapat diwujudkan tanpa dukungan kedua potensi di atas. Atas dasar itulah dorongan, dukungan masyarakat yang dalam hal ini adalah pemilik lahan, serta kepedulian semua pihak terkait menjadi strategis urgensinya untuk diperdayakan. Pengertian semua pihak terkait, dalam mewujudkan pembangunan hutan rakyat, pada hakekatnya merupakan unsur institusi dan atau lembaga baik dari unsur pemerintah, swasta maupun perorangan yang perduli sebagai pemrakarsa stake holder untuk ikut berperan aktif dan berkiprah. 7 Bab V. Kesimpulan Dan Saran (1). Konsepsi pengertian hutan seperti tertuang dalam penyempurnaan UU Kehutanan; bahwa hutan berperanan fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, yang bukan saja untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia, namun juga bagi kepentingan kehidupan lainnya. (2). Sebagaimana diketahui bahwa lahan kritis di Kabupaten Sukabumi, cenderung semakin meningkat, yang perlu ditangani dan dikendalikan, serta upaya peningkatan produktifitasnya. Oleh sebab itu melalui penggalaan pembangunan hutan rakyat, yang diprakarsai oleh Pemerintah Daerah, diharapkan dapat dibangun suatu sistem yang mampu memperkuat institusi pemberdayanya. (3). Memperhatikan atas fakta fisik wilayah Kabupaten Sukabumi, nampaknya pemberdayaan perhutanan sosial dalam bentuk hutan rakyat, penyusunan rancangan programnya perlu diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan sektor lain, dalam lingkup pembangunan daerah. (4). Hadirnya pembangunan hutan rakyat, cenderung memacu ekses terjadinya kesenjangan, antara masyarakat yang memiliki lahan dan membangunnya dengan masyarakat lainnya; dimana ekses tersebut tidak jarang menimbulkan kerawanan sosial yang berdampak negatif terhadap pengelolaan hutannya. (5). Dalam kaitannya dengan kemungkinan diberlakukannya otonomi daerah, bahwa pemberdayaan pembangunan hutan rakyat, merupakan sumber perolehan pendapatan asli daerah yang sangat berarti.

Daftar Pustaka Laporan Tahun Anggaran 1999/2000 Kabupaten Sukabumi. Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Departemen Kehutanan dan Perkebunan; 2000. Konsepsi Perhutanan Sosial Dalam Menunjang Era Otonomi Daerah. Waryono, T. 1990. Beberapa Aspek Tinjauan Manfaat Nilai Tangible dan Intangible Pembangunan Kawasan Hijau Perkotaan (Studi Kasus DKI Jakarta), Jurusan Geografi FMIPA-UI., 1997. Aspek Pemberdayaan Atas Kekurang Perdulian Masyarakat Terhadap Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Publikasi HK-07/1997. Pelaksana Program Pembangunan Hutan Kota Universitas Indonesia., 2000. Konsepsi Pemberdayaan Perhutanan Sosial Sebagai Wujud Pemulihan Ekosistem Wilayah Kepulauan. Penyuluhan Pembangunan Kawasan Hijau Kepulauan Seribu Jakarta Utara. Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta. 8