5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

dokumen-dokumen yang mirip
6. RENCANA POLA RUANG

19 Oktober Ema Umilia

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Penataan Ruang Berbasis Bencana. Oleh : Harrys Pratama Teguh Minggu, 22 Agustus :48

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

6.6 Sistem Manajemen Lingkungan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur

2.1 Visi Misi Sanitasi

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB III ISU STRATEGIS

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

VI. REKOMENDASI 6.1. Analisis dan Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasar RTRW Rekomendasi Kebijakan untuk RTRW

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN LAMONGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN. rencana pembangunan jangka menengah daerah, maka strategi dan arah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Skoring Wilayah Rawan Bencana dan Daerah Perlindungan Bencana. Adipandang Y 11

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kepariwisataan di Kota Surabaya. KBS merupakan satu-satunya

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

Pelayanan Terbaik Menuju Hutan Lestari untuk Kemakmuran Rakyat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya, tergenang secara terus menerus atau musiman, terbentuk secara alami

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

Disampaikan Pada Acara :

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Timur

Oleh: Ir. Alwis, MM Nden Rissa H, S.Si. M.Si

BAB 2 KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga

BAB I. PENDAHULUAN. hutan harus dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian, keharmonisan, dan

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

PERATURAN BERSAMA GUBERNUR JAWA TIMUR DAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 20 TAHUN 2013 NOMOR TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

RENCANA KERJA TAHUNAN

1.1. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan Status Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat 2008

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB 2 Perencanaan Kinerja

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

REVITALISASI KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Transkripsi:

Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan, dengan memperhatikan kesesuaian lahan, bencana alam dan kerentanan lingkungan dilihat dengan sudut pandang perlindungan lingkungan, konservasi dan rehabilitasi sesuai dengan undang-undang dan pedoman dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam hal pengelolaan lingkungan. Wilayah tersebut sangat penting untuk menjamin keamanan pangan, pengelolaan lingkungan sumber daya air dan pengelolaan bencana. Meskipun saat ini masyarakat membayar kesempatan tersebut, perlindungan dan konservasi tetap harus dilakukan, atau masyarakat harus membayar dampak sosial yang lebih besar oleh generasi berikutnya. Gambar 5.2.1 menunjukkan faktor evaluasi yang harus dilaksanakan terhadap pola tata ruang atau perencanaan penggunaan lahan. Selain itu, hasil analisa yang berasal dari bagian sebelumnya, 5.1 menyediakan dengan implikasi yang bermanfaat terhadap pembentukan kebijakan penggunaan lahan. Berikut ini adalah langkah-langkah pengendalian penggunaan lahan: (1) Wilayah Perlindungan Lingkungan Meskipun tidak ada kawasan perlindungan nasional di GKS, beberapa daerah perlindungan provinsi harus dibuat seperti taman alam yang bernama Taman Hutan Raya di daerah pegunungan Kabupaten Mojokerto. (2) Wilayah Perlindungan Hutan Beberapa jenis wilayah perlindungan hutan di GKS diantaranya adalah sebagai berikut: - Kawasan Hutan Lindung - Kawasan Hutan Produksi - Kawasan Hutan Konservasi Kawasan hutan lindung ini harus benar-benar dilestarikan untuk melindungi DAS, untuk mencegah erosi tanah dan untuk mencegah banjir. Hal ini diamanatkan oleh UU No 41 tahun 1999. Kawasan hutan lindung harus benar-benar dikelola sesuai dengan UU, sementara untuk kawasan hutan produksi dapat dimasukkan ke dalam kawasan konservasi di mana beberapa kegiatan sosial dan ekonomi diijinkan untuk dilaksanakan secara terkendali. (3) Peraturan Ruang Hijau dan Ruang Terbuka Menurut UU No 26 2007, pengelolaan tata ruang, setidaknya 30% daerah terbuka harus tersedia di DAS masing-masing. Daerah ini harus dilestarikan, dan pada saat yang sama, zona penyangga harus ditetapkan di daerah sekitarnya. (4) Perlindungan Sumber Mata Air dan Wilayah Tangkapan Air Hutan lindung sumber mata air dan daerah sumber daya air harus benar-benar dilindungi dengan penegakan hukum. Kebanyakan dari mereka adalah termasuk dalam "Kawasan Hutan Lindung" yang ditunjuk oleh UU No 41 tahun 1999. Namun, beberapa tetap tidak diatur oleh UU. Masyarakat harus dimobilisasi untuk menjaga daerah tersebut. 5-8

Studi JICA untuk Merumuskan Rencana Tata Ruang Kawasan GERBANGKERTOSUSILA (GKS) Laporan Final (Ringkasan) (5) Lahan Pertanian Irigasi Departemen Pertanian Jawa Timur menyediakan kebijakan tentang lahan pertanian eksisting, dengan kebijakan bahwa lahan harus dipertahankan. Karena meningkatnya tekanan urbanisasi, lahan pertanian cenderung dikonversi menjadi perumahan dan / atau lahan industri. Namun, kecenderungan ini harus diminimalkan atau dikendalikan terutama di daerah lahan pertanian irigasi di mana investasi pertanian secara historis diakumulasikan untuk mengamankan produksi pangan, karena perubahan tersebut tidak dapat diubah selamanya. Kerugian ekonomi kadang-kadang lebih besar daripada manfaat ekonomi yang timbul dari konversi lahan. (6) Wilayah Pesisir Rawa dan Wilayah rawan banjir Daerah rawa yang luas tersebar di pesisir pantai timur dan utara. Daerah ini pada prinsipnya harus dilestarikan, karena keunikan ekologi dan pentingnya keanekaragaman hayati dan simbiosis dengan kegiatan perikanan. Wilayah yang rawan banjir besar di sepanjang Sungai Solo harus dilestarikan, sambil sekaligus mengontrol konversi penggunaan lahan untuk perumahan, industri dan tujuan komersial. Sebaliknya, penggunaan pertanian dapat dilakukan dengan tindakan rekayasa untuk drainase. (7) Wilayah Semburan Lumpur Lapindo Semburan lumpur Lapindo di Kab. Sidoarjo memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang cukup besar terhadap GKS, pemerintah Indonesia telah membentuk BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo). Badan ini memiliki misi: (a) upaya mitigasi terhadap semburan lumpur, (b) upaya penanganan genangan lumpur, (c) pengelolaan dampak sosial, dan (d) manajemen dampak terhadap infrastruktur. Wilayah lapindo harus dilestarikan untuk sementara waktu sampai dengan berhentinya fenomena tersebut dan terjaminnya stabilitas dilihat dari sudut pandang geologi. Di masa yang akan datang, daerah dapat dikembangkan untuk tujuan rekreasi dan pariwisata, apabila stabilitas geologis tanah sudah terjamin. 5-9

Bab 5 Gambar 5.2.1 Faktor Lingkungan yang harus Dipertimbangkan untuk Konservasi dan Preservasi 5-10

Studi JICA untuk Merumuskan Rencana Tata Ruang Kawasan GERBANGKERTOSUSILA (GKS) Laporan Final (Ringkasan) 5.2.2 Strategi-strategi Pengelolaan Lingkungan (1) Struktur Permasalahan Lingkungan di Kawasan GKS Struktur masalah lingkungan yang utama di Kawasan GKS ditunjukkan pada Gambar 5.2.2. Seperti yang diilustrasikan dalam gambar ini, masalah lingkungan di Kawasan GKS bergantung terutama pada kondisi topografi dan penggunaan lahan. Hal ini terutama ditandai oleh adanya masalah di daerah perbukitan, daerah pedesaan dan perkotaan. Di daerah perbukitan, misalnya, masalah yang terjadi berkaitan dengan konservasi hutan dan tanah, khususnya di Kab. Mojokerto. Di daerah perkotaan, masalah ini berkaitan dengan pertumbuhan penduduk, dan secara kolektif disebabkan oleh masalah industrialisasi, urbanisasi dan peningkatan populasi. Perlu dicatat bahwa sebagian besar tekanan pembangunan di Kawasan GKS telah datang dari hilir ke hulu. Manifestasi termasuk berkurangnya lahan pertanian yang diakibatkan oleh semakin banyaknya industri dan pemukiman dan perluasan perumahan. Wilayah tutupan hutan di daerah perbukitan, di sisi lain, diketahui menurun akibat konversi lahan ilegal di beberapa wilayah hutan untuk lahan pertanian. Dampak lingkungan ini berjalan berbeda dengan tekanan perkembangan dan pengaruh perkembangan yang terjadi dari hulu hingga hilir. Gambar 5.2.2 Struktur Permasalahan Lingkungan di Kawasan GKS (2) Kebutuhan terhadap Strategi Fungsional Pengelolaan Lingkungan Seperti yang terlihat di atas, perekonomian GKS telah berkembang pesat dalam dekade terakhir ini. Saat ini, pertumbuhan ekonomi tersebut telah menimbulkan masalah lingkungan akibat adanya industrialisasi dan urbanisasi. Di masa yang akan datang, ada kemungkinan bahwa kondisi lingkungan akan memburuk secara lebih serius jika tindakan yang diperlukan tidak diambil. Skenario di atas mungkin merupakan situasi umum yang terjadi di Indonesia, sehingga GKS harus menjadi model keberlanjutan pengembangan wilayah untuk Indonesia. Dalam rangka 5-11

Bab 5 mempertahankan dan memelihara posisi tertentu di Indonesia, Kawasan GKS harus mempromosikan pengembangan berkelanjutan wilayah yang memiliki unsur-unsur penting untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Isu-isu kebijakan lingkungan tersebut adalah: Simbiosis dengan lingkungan untuk kemakmuran yang berkelanjutan Menjamin lingkungan hidup dan memperbaiki kerusakan lingkungan Memberikan kontribusi dalam isu-isu lingkungan global terutama perubahan iklim 5.2.3 Pengelolaan Wilayah Lingkungan Sensitif (1) Identifikasi terhadap Wilayah Lingkungan Sensitif di Zona Pengenalan wilayah Lingkungan Sensitif / Environmentally Sensitive Area (ESA) merupakan pendekatan strategis untuk pengembangan wilayah yang berkelanjutan, dengan mempertimbangkan lanskap bernilai dan / atau rentan dan ekosistem dilihat dari sudut pandang lingkungan. Peta ESA, yang menunjukkan lokasi wilayah lingkungan yang sensitif, akan digambarkan sebagai salah satu peta zoning umum. Dari peta ESA, seseorang dapat mengidentifikasikan lokasi daerah mana harus dipelihara, dilestarikan dan dikembalikan dari sudut pandang lingkungan alam dan konservasi ekosistem seperti: - Untuk menjaga wilayah yang penting dan kritis, serta fitur-fitur uniknya; - Untuk melindungi habitat yang kritis, ekosistem dan proses ekologi; - Untuk memisahkan konflik kegiatan manusia; dan - Untuk meminimalisir dampak dari kegiatan manusia di wilayah daratan dan perairan pantai. Land Stability (2) Implikasi Perencanaan Peta ESA Hal ini penting untuk memastikan keseimbangan antara kebutuhan pembangunan, situasi sosial-ekonomi dan pelestarian lingkungan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebuah Peta ESA menunjukkan arah daerah yang harus dijaga, dilestarikan dan dipulihkan dari sudut pandang pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, peta ESA digunakan sebagai dasar untuk perencanaan tata guna lahan dan pembangunan infrastruktur dalam rangka mencapai pembangunan daerah yang berkelanjutan. Hal ini dapat digunakan dalam menetapkan pedoman bagi perencanaan tata ruang, pembangunan infrastruktur, dan studi penilaian dampak lingkungan. Secara khusus, tiga (3) ekosistem lingkungan yang harus dipertimbangkan dalam peta ESA adalah: Environmental Policies for: Preservation Conservation Restoration Stabilitas Lahan untuk perlindungan terhadap bencana seperti tanah longsor dan banjir Ekosistem Hutan untuk melindungi habitat kritis dan proses ekologi Ekosistem Hutan Bakau untuk melindungi sumber daya pantai Forest Ecosystem Mangrove Ecosystem Gambar 5.2.3 Peta ESA yang diusulkan berdasarkan pertimbangan diatas. 5-12

Studi JICA untuk Merumuskan Rencana Tata Ruang Kawasan GERBANGKERTOSUSILA (GKS) Laporan Final (Ringkasan) Gambar 5.2.3 Peta Wilayah Lingkungan Sensitif di Kawasan GKS 5-13

Bab 5 5.3 Skenario Urbanisasi dan Demand Penggunaan Lahan Perkotaan 5.3.1 Demand Penggunaan Lahan untuk Perumahan dan Wilayah Perkotaan (1) Populasi di Tahun 2030 Seiring dengan berjalannya proses urbanisasi, lahan akan dikonversi dari satu lahan ke lahan yang lain untuk perumahan, komersial dan industri. Perkembangan sosial dan ekonomi berjalan seiring dengan permintaan penggunaan lahan baru. Dengan demikian, perkiraan populasi di masa yang akan datang dapat diterjemahkan ke dalam demand penggunaan lahan di masa depan. Sebagaimana telah dibahas dalam Bab 3, kerangka kerja populasi pada tahun 2030 diusulkan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.3.1. Populasi pada tahun 2030 diproyeksikan mencapai 14.117.500, dibandingkan dengan jumlah pada tahun 2008 sebanyak 9.345.655 di Kawasan GKS. Tambahan populasi hingga tahun 2030 adalah sekitar 4.770.000 jiwa, yang akan membutuhkan lahan perumahan baru di wilayah tersebut. Tabel 5.3.1 Perkiraan Populasi di Zone GKS tahun 2030 Kab/Kota 2008 2030 Kenaikan Sidoarjo 1,920,312 3,257,400 1,337,088 Mojokerto 1,074,879 1,653,100 578,221 Lamongan 1,302,605 1,795,100 492,495 Gresik 1,169,347 1,910,600 741,253 Bangkalan 990,711 1,586,500 595,789 Kota. Mojokerto 123,566 191,100 67,534 Kota. Surabaya 2,764,245 3,723,700 959,455 Sumber: Tim Studi JICA GKS 9,345,665 14,117,500 4,771,835 (2) Skenario Urbanisasi Diasumsikan bahwa sekitar 39% dari total penduduk akan tinggal di wilayah pedesaan, dan 61% dari mereka akan cenderung berada di daerah perkotaan dan sub-urban, hal tersebut berdasarkan pada analisa distribusi populasi saat ini. Oleh karena itu, diadopsi suatu asumsi penting, yaitu total wilayah perkotaan akan menampung 61% dari total jumlah penduduk, atau sejumlah 8.629.800 jiwa, dan desa-desa di wilayah pedesaan akan menampung penduduk yang tersisa, sejumlah 5.487.700 jiwa di Kawasan GKS. (3) Demand Penggunaan Lahan untuk Perumahan dan Pelayanan Perkotaan Dalam rangka untuk memproyeksikan demand penggunaan lahan, maka dibuat suatu analisa kepadatan hunian. Secara umum, kepadatan penduduk di daerah pedesaan lebih kurang 60 orang / ha, yang dianggap sebagai sebuah trend spontan pemukiman manusia. Di daerah perkotaan, terdapat tiga klasifikasi wilayah, yaitu wilayah dengan kepadatan tinggi; kepadatan menengah; dan daerah kepadatan rendah. Asumsi kepadatan diberikan kepada 5-14

Studi JICA untuk Merumuskan Rencana Tata Ruang Kawasan GERBANGKERTOSUSILA (GKS) Laporan Final (Ringkasan) daerah-daerah dengan jumlah jiwa masing-masing adalah: 180, 120 dan 60 orang / ha. Meskipun daerah dengan kepadatan tinggi menunjukkan tingkat kepadatan yang sangat tinggi yaitu lebih dari 200 orang / ha, dan kadang-kadang 400 orang / ha di CBD dan wilayah sekitarnya, kepadatan dengan jumlah kurang lebih 180 orang / ha secara rata-rata adalah asumsi yang relevan untuk daerah dengan kepadatan yang tinggi. Daerah kepadatan rendah diberikan untuk wilayah dengan tingkat kepadatan yang sama yaitu sejumlah 60 orang / ha, sama dengan yang terdapat di wilayah pedesaan. Berdasarkan pada asumsi analitis tersebut, demand penggunaan lahan untuk perumahan dan wilayah pelayanan perkotaan pada tahun 2030 diproyeksikan pada Tabel 5.3.2. Sebagai hasilnya, total 170.590 ha akan dibutuhkan untuk mengakomodasi penduduk GKS di masa yang akan datang, 79.090 ha lahan harus didedikasikan untuk daerah perkotaan, sedangkan 91.500 ha untuk desa di wilayah pedesaan, seperti yang digambarkan pada Gambar 5.3. 1. Tabel 5.3.2 Demand Penggunaan Lahan untuk Perumahan dan Wilayah Pelayanan Perkotaan di GKS Tahun 2030 Total Population 2030: 14,118,000 Urban Population 8,629,800 (61%) Rural Population 5,487,700 (39%) High Density 2,136,600 (11,870 ha) Middle Density 4,920,000 (41,000 ha) Low Density 1,573,200 (26,220 ha) Urban Residential Area 2030 : 79,090 ha Villages 5,487,700 (91,500 ha) Wilayah Perkotaan Klasifikasi Kepadatan Tinggi Kepadatan Menengah Kepadatan Rendah Lahan yang Dibutuhkan Kepadatan Distribusi Populasi (ha) (%) (orang/ha) Penduduk (%) 11,870 7.0% 180 2,136,600 15.1% 41,000 24.0% 120 4,920,000 34.9% 26,220 15.4% 60 1,573,200 11.1% Total Perkotaan 79,090 46.4% 109 8,629,800 61.1% Pedesaan Desa 91,500 53.6% 60 5,487,700 38.9% Total 170,590 100.0% 83 14,117,500 100.0% Sumber: Tim Studi JICA Gambar 5.3.1 Perkiraan Penggunaan Lahan untuk Perumahan dan Pelayanan Perkotaan di GKS Tahun 2030 5-15

Bab 5 (4) Demand Penggunaan Lahan untuk Industri Persyaratan penggunaan lahan untuk menampung kegiatan industri seperti yang telah direncanakan, dihitung berdasarkan perkiraan proyeksi pekerjaan di sektor industri. Selama periode tahun 2007 dan 2030, total sekitar 777,000 pekerjaan tambahan akan diciptakan di sektor industri formal di Kawasan GKS. Dari mereka, 612,000 pekerjaan, atau 78,8%, akan disediakan oleh industri besar, dan 164 ribu atau 21,2%, akan disediakan oleh industri skala kecil, seperti terlihat pada Tabel 5.3.3. Dalam tabel ini, industri skala kecil diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu, usaha kecil (UK: dengan jumlah karyawan kurang dari 10 orang) dan usaha kecil-menengah (UKM: dengan jumlah karyawan kurang dari 30 orang). Usaha kecil mencakup industri cottage dan industri rumah tangga. Industri cottage (1~4 orang) dan sangat kecil (5~9 orang) tidak diikutkan dalam perhitungan demand untuk wilayah lahan industri, karena kebanyakan dari mereka biasanya beroperasi di luar kawasan industry khusus tetapi dalam sebuah bangunan serbaguna atau lainnya. Tabel 5.3.3 Kenaikan Jumlah Pekerjaan pada Industri Formal (2007-2030) Berdasarkan Ukuran Perusahaan Kab/Kota Jumlah Pekerja Rasio Asumsi UK UKM Besar Total UK+UKM Besar Bangkalan 17,483 23,462 10,236 51,181 80.0% 20.0% Gresik 1,477 37,387 220,231 259,095 15.0% 85.0% Lamongan 6,773 34,528 10,325 51,627 80.0% 20.0% Mojokerto 514 20,896 49,956 71,366 30.0% 70.0% Sidoarjo 2,991 9,470 236,755 249,216 5.0% 95.0% Kota Mojokerto 82 150 2,086 2,317 10.0% 90.0% Kota Surabaya 1,453 7,743 82,765 91,961 10.0% 90.0% GKS 30,773 133,636 612,354 776,763 21.2% 78.8% Sumber: Tim Studi JICA Catatan: Usaha Kecil didefinisikan sebagai industri dengan jumlah karyawan kurang dari 10 orang; UMK, dengan jumlah karyawan kurang dari 30 orang. Persyaratan lahan tambahan untuk mendukung kegiatan industri formal dapat dihitung berdasarkan pada sejumlah asumsi dari Kepadatan Pekerja berdasarkan ukuran perusahaan. Diidentifikasikan bahwa jumlah rata-rata kepadatan pekerja saat ini di sejumlah kawasan industry eksisting adalah 83 orang/ha, berdasarkan data dan statistik tahun 2007. Hasil dari proyeksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.3.4. Total tambahan lahan sejumlah 8,682 ha akan dibutuhkan untuk kegiatan industry pada periode antara tahun 2007 dan 2030. Di luar itu, wilayah dengan luas 7,654 ha akan dibutuhkan untuk industry berskala besar, yang akan berlokasi di kawasan industry dimana pendayagunaan lingkungan telah berkembang dengan baik. Sebagai tambhan, lahan dengan luas sekitar 1,000 ha akan dibutuhkan untuk mengakomodasi UKM di GKS secara keseluruhan. Dilihat dari distribusi demand, kawasan industri untuk perusahaan-perusahaan berskala besar sangat dibutuhkan di Sidoarjo (2.959 ha), Gresik (2.753 ha) dan Surabaya (1,035 ha). Sementara, kawasan industri untuk UKM diperlukan di Lamongan (258 ha), Bangkalan (256 ha) dan Gresik (243 ha). 5-16

Studi JICA untuk Merumuskan Rencana Tata Ruang Kawasan GERBANGKERTOSUSILA (GKS) Laporan Final (Ringkasan) Prosedur proyeksi untuk demand penggunaan lahan industri diilustrasikan pada Gambar 5.3.2. Tabel 5.3.4 Demand untuk Penambahan Lahan yang dibutuhkan oleh Sektor Industri Sampai Tahun 2030 Skala Besar (ha) (80 pax/ha) UKM (ha) (160 pax/ha) Total (ha) Bangkalan 128 256 384 Gresik 2,753 243 2,996 Lamongan 129 258 387 Mojokerto 624 134 758 Sidoarjo 2,959 78 3,037 Kota Mojokerto 26 1 28 Kota Surabaya 1,035 57 1,092 GKS 7,654 1,028 8,682 Sumber: Tim Studi JICA 5-17