VARIASI TEMPORAL EMISI CO 2 DI BAWAH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT DI RIAU

dokumen-dokumen yang mirip
Sarmah 1, Nurhayati 2, Hery Widyanto 2, Ai Dariah 1

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

PENDAHULUAN Latar Belakang

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

PENGARUH PEMBERIAN BAHAN AMELIORAN TERHADAP PENURUNAN EMISI GAS CO2 PADA PERKEBUNAN SAWIT DENGAN TANAMAN SELA DI LAHAN GAMBUT

EMISI GAS KARBON DIOKSIDA (CO 2 ) PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) YANG DITUMPANGSARI DENGAN TANAMAN PANGAN DI LAHAN GAMBUT

The Effect of Lands Use Change From Peat Bog Forest to Industrial Forest Acacia Crassicarpa on Physical and Chemical Properties of Peat Soil

Pengelolaan lahan gambut

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari

ANALISIS SIFAT KIMIA TANAH GAMBUT PADA TIGA TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI DESA PANGKALAN PANDUK KECAMATAN KERUMUTAN KABUPATEN PELALAWAN

PENGARUH KEDALAMAN MUKA AIR TANAH DAN MULSA ORGANIK TERHADAP EMISI CO 2 PADA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.

Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung

FLUKS CO2 DARI TANAH ANDOSOL PADA PENGGUNAAN LAHAN KEBUN SAYUR DAN HUTAN DI KECAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR

CADANGAN, EMISI, DAN KONSERVASI KARBON PADA LAHAN GAMBUT

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

Penetapan Cadangan Karbon Bahan Gambut Saprik, Hemik, dan Fibrik

PENDAHULUAN Latar Belakang

The Lands Use Change from Natural Forest to Plantation Forest Acacia crassicarpa on Some Chemical Properties in Peat Soil

Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis

III. BAHAN DAN METODE

KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT DAN HUBUNGANNYA DENGAN EMISI GAS RUMAH KACA PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI RIAU DAN JAMBI

Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung

ESTIMASI EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

FLUKS CO 2 DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH ETIKA AGRIANITA A

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan

Rumus Emisi CO 2. E = (Ea + Ebb + Ebo Sa) / Δt. Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan dipermukaan tanah, misalnya pada waktu pembukaan lahan.

DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN TERHADAP SIFAT FISIK TANAH DAN EMISI KARBON GAMBUT TRANSISI DI DESA KANAMIT BARAT KALIMANTAN TENGAH

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Jl. Jakenan-Jaken Km. 5 Jakenan, Pati 59182

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

ANALISIS UNSUR HARA MIKRO TANAH GAMBUT SETELAH SETAHUN KEBAKARAN PADA HUTAN KONSERVASI DI KECAMATAN KERUMUTAN KABUPATEN PELALAWAN

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

Topik C6 Penurunan permukaan lahan gambut

Increasing P Retention in the Peat Column Amended with Mineral Soil and Some Rock Phosphates

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Km 10. Padang Marpoyan, Pekanbaru 10210

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalteng. Jl. G. Obos 5, Palangkaraya

Heri Wibowo 1, Tuti Sugiyarti 2, Setiari Marwanto 1, Fahmuddin Agus 1

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Tantangan dan strategi pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan sumberdaya alam dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi

PENUTUP. Status terkini lahan gambut

PUTRI YUNIASTUTI A

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

Pendugaan Emisi Karbon (CO 2 ) akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Penutupan Lahan di Propinsi Riau Tahun

EVALUASI POPULASI BEBERAPA JENIS CENDAWAN PADA PIRINGAN KELAPA SAWIT (Elaeis guinnensis Jacq.) AKIBAT PEMBERIAN PUPUK NPK KOMPLEKS SKRIPSI OLEH:

Pertumbuhan Tanaman Sawit Pada Berbagai Tipologi Lahan

Medan (*Penulis korespondensi, b Staf Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost

ANALISIS KARAKTERISTIK LAHAN GAMBUT DI BAWAH TEGAKAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU

Setitik Harapan dari Ajamu

Seminar Gelar Teknologi Kehutanan, 19 Nov. 2009

PERAN PUGAM DALAM PENANGGULANGAN KENDALA FISIK LAHAN DAN MITIGASI GAS RUMAH KACA DALAM SISTEM USAHATANI LAHAN GAMBUT

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

KEADAAN UMUM. Letak Geografi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

PENDAHULUAN Latar Belakang

Emisi Karbon Lahan Gambut pada Agroekosistem Kelapa Sawit

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Bahan dan Alat

ISU LINGKUNGAN DAN FAKTA ILMIAH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT Oleh: PUSAT PENELITIAN KELAPA SAWIT

Program Doktor Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta

OPTIMALISASI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT MENGGUNAKAN AMELIORAN TANAH MINERAL DAN TANAMAN PENUTUP LAHAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH

BASISDATA KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT DI INDONESIA

DILEMA DAN RASIONALISASI KEBIJAKAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK AREAL PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).

Prihasto Setyanto, Titi Sopiawati, Terry Ayu Adriani, Ali Pramono, Anggri Hervani, Sri Wahyuni, A. Wihardjaka

EMISI KARBON DIOKSIDA DARI TANAMAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT DI SUMATERA FITHRA KAMELA

BAB I PENDAHULUAN. di antara dua sungai besar. Ekosistem tersebut mempunyai peran yang besar dan

PERUBAHAN PENGGUNAAN SEMAK BELUKAR PADA LAHAN GAMBUT DITINJAU DARI ASPEK DINAMIKA CADANGAN KARBON TANAMAN

Jurnal Pertanian Tropik E-ISSN No : Vol.4, No.1. April (8) : ABSTRACT

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. Peningkatan aktivitas manusia di muka bumi telah mendorong terjadinya

SUSUTAN MUKA AIR TANAH PADA LAHAN GAMBUT NON PASANG SURUT AKIBAT PENAMBAHAN SALURAN SUB TERSIER

Oleh TIMBUL SIMBOLON ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN. Universitas Sumatera Utara

EFEK TINGGI MUKA AIR TANAH DAN PEMUPUKAN TERHADAP EMISI CO 2 PADA TANAH GAMBUT DENGAN SERASAH DAUN AKASIA (Acacia crassicarpa)

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Persyaratan ISPO Untuk Bahan Baku Energi Terbarukan (Bioenergi)

PENGARUH TINGGI MUKA AIR TANAH DAN MULSA ORGANIK TERHADAP SIFAT TANAH, PERTUMBUHAN KELAPA SAWIT DAN EMISI CO 2 DI LAHAN GAMBUT. Alhaq 1 dan Wawan 2

EMISI KARBON DIOKSIDA (CO 2 ), METANA (CH 4 ) DAN DINITROGEN OKSIDA (N 2 O) DARI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT TRI TIANA AHMADI PUTRI

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

I. PENDAHULUAN. Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri penghasil devisa non migas di

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Raya Jaken-Jaken Km 05 Pati 59182

Transkripsi:

21 VARIASI TEMPORAL EMISI CO 2 DI BAWAH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT DI RIAU TEMPORAL VARIATION OF CO 2 EMISSION UNDER OIL PALM PLANTATION ON PEATLAND IN RIAU Hery Widyanto 1, Nurhayati 1, Ai Dariah 2, Ali Jamil 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau, Jl. Kaharudin Nasution No. 341, Padang Marpoyan, Pekanbaru 10210. 2 Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114. Abstrak Pembukaan areal lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit memiliki tantangan tersendiri dari segi lingkungan hidup, salah satunya adalah tingkat Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi temporal emisi gas CO 2 diperkebunan kelapa sawit di lahan gambut.penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan Juli 2013 sampai Juni 2014. Pengukuran emisi dilakukan menggunakanirga (Infrared Gas Analyzer). Jumlah titik yang diukur sebanyak 16 titik yang terbagi menjadi 4 transek. Setiap titik pengukuran terletak diantara tanaman sela di pertanaman kelapa sawit. Emisi gas CO 2 bervariasi untuk pengukuran pagi hari berkisar antara 29,7-138,8 ton/ha/th dan 36,9 115,3 ton/ha/th untuk siang hari. Rata-rata emisi gas CO 2 siang hari lebih tinggi (63,1 ± 15,9 ton/ha/th) dibandingkan pagi hari (59,8 ± 24,7 ton/ha/th) dan tidak/berbeda nyata pada taraf 5%. Hal ini erat hubungannya dengan peningkatan suhu udara dan suhu tanah yang tinggi akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat. Korelasi tinggi muka air tanah dengan emisi gas CO 2 pada pertanaman kelapa sawit tidak nyata pada taraf 5% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar -0,06489. Emisi pada jarak terjauh dari saluran (108 m) sebesar 83,9 ton/ha/thn, kemudian secara berturut-turut nilai emisi pada jarak 36, 63 dan 99 meter dari saluran sebesar 51,0 ; 56,6 dan 54,2 ton/ha/th. Hasil ini menunjukkan emisi gas CO 2 siang hari lebih tinggi 5.67% dibandingkan pada pagi hari, tidak ada korelasi antara tinggi muka air tanah dengan emisi gas CO 2 pada pertanaman kelapa sawit dan tidak ada konsistensi antara jarak dari saluran drainase dengan peningkatan emisi gas CO 2. Kata kunci: Variasi emisi, lahan gambut, kelapa sawit Abstract The clearing of peatlands for oil palm plantations has its own challenges in terms of the environment, one of which is the level of greenhouse gas emissions (GHG). The purpose of this study was to determine the temporal variation of CO 2 emissions in the oil palm plantations on peatland. The experiment was conducted in the village of 285

Hery Widyanto et al. Lubuk Ogong, Sub District Bandar Sei Kijang, District of Pelalawan, Riau from July 2013 to June 2014. Emission measurements performed using IRGA (Infrared Gas Analyzer). The number of points measured by 16 points which is divided into 4 transects, each measuring point located between intercrops in oil palm plantations. CO 2 emissions were varied for morning measurements ranged from29.7 to 138.8tons/ha/yr and 36.9 to 115.3 tons/ha/yr for the day. Average CO 2 emissions in the morning were slightly higher (63.1 ±15.9 tonnes/ha/yr) than the emission at the daytime (59.4 ±23.9 tonnes/ha/yr) and no significantly different at 5% level. It is closely related to the increase in air temperature and high soil temperatures that probably stimulated activity of microorganisms in decomposition process. The correlation between water table depth and CO 2 emissions in the oil palm plantations was not significant at 5% level Pearson correlation with a correlation coefficient of-0.06489. Emissions at the farthest distance from the channel (108 m) of 83.9 tonnes/ha/yr, then successively emission values at a distance of 36, 63 and 99 meters from the channel at 51.0; 56.6 and 54.2 tons/ha/yr. These results show the CO 2 emissions during the day 5.67% higher than in the morning, there was no correlation between soil water level of CO 2 emissions in the oil palm plantations and there is no consistency between the distance from the drainage channel with an increase in CO 2 emissions. Keywords: Variationof emissions, peat land, oil palm PENDAHULUAN Saat ini, pengembangan areal perkebunan kelapa sawit sudah mulai banyak dilakukan pada lahan gambut. Lahan gambut merupakan lahan marjinal yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal perkebunan kelapa sawit karena sudah semakin terbatasnya areal yang ada saat ini. Luas lahan gambut di provinsi Riau merupakan yang terbesar di Indonesia, yaitu 4,04 juta ha atau sekitar 20 % dari total luas lahan gambut Indonesia (20,6 juta ha) (Wahyunto, dkk 2005). Pemanfaatan lahan gambut di Riau untuk perkebunan mencapai 817.593 ha (Dinas Perkebunan Provinsi Riau, 2009) sehingga masih sangat terbuka kesempatan untuk perkembangan kelapa sawit di provinsi Riau. Pembukaan areal lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit memiliki tantangan tersendiri, baik dari segi produktivitas lahan maupun dari segi lingkungan hidup. Potensi produktivitas lahan gambut selain ditentukan oleh faktor kesuburan alami gambut juga sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usahatani yang akan diterapkan. Pada umumnya gambut merupakan lahan sesuai marjinal dengan beberapa faktor pembatas yang dominan, seperti kondisi lahan yang jenuh air, bereaksi masam dan mengandung asam organik yang beracun serta status unsur hara rendah. Manajemen usahatani yang baik juga harus memperhatikan faktor-faktor lingkungan, karena lahan gambut sangat rentan terdegradasi. Degradasi lahan gambut 286

Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit terjadi apabila pengelolaan lahan tidak dilakukan dengan baik, sehingga laju dekomposisi terlalu besar dan atau terjadi kebakaran lahan yang menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) besar. Konsep pengelolaan lahan gambut berkelanjutan harus dilakukan dengan meningkatkan produktivitas secara maksimal dan menekan tingkat emisi yang ditimbulkan seminimal mungkin. Beberapa usaha yang dapat dilakukan dalam konsep pengelolaan lahan gambut berkelanjutan selain dalam hal pengelolaan air dan pembukaan lahan tanpa bakar adalah pemberian amelioran dan penanaman tanaman penutup tanah (cover crop). Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di lahan gambut terjadi karena pembakaran atau proses dekomposisi sebagai akibat perubahan kondisi anaerob (basah) menjadi aerob (kering). Konversi hutan dan pengelolaan lahan gambut, terutama yang berhubungan dengan drainase dan pembakaran, merubah fungsi lahan gambut dari penambat karbon menjadi sumber emisi GRK (Agus et al., 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi temporal emisi gas CO 2 di perkebunan kelapa sawit di lahan gambut sehingga dapat memberikan informasi-informasi mengenai besaran emisi CO 2 pada tanaman kelapa sawit di lahan gambut. BAHAN DAN METODE Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Sei. Kijang, Kabupaten Pelalawan, Riau dari bulan Juli 2013 sampai Juni 2014. Lokasi penelitian berada pada posisi geografis 00ᴼ20'59,3'' - 00ᴼ21'05,8'' LU dan 101ᴼ41'15,6'' - 101ᴼ41'22,9'' BT. Penelitian dilakukan pada lahan petani seluas 5,0 ha yang ditanami kelapa sawit berumur 6 (enam) tahun dan sudah termasuk tanaman menghasilkan (TM) dengan periode panen dua minggu sekali. Di sela tanaman kelapa sawit ditanami tanaman nenas. Tanaman nenas mulai ditanam tanggal 23 September 2013 dengan jarak tanam 1,75 x 1,5 meter di jaluran pembuangan pelepah pada tanaman kelapa sawit, dengan tujuan agar tidak mengganggu kelancaran proses pemanenan tanaman kelapa sawit di jalur produksi. Perlakuan dan Pengukuran Emisi CO 2 Perlakuan yang dicobakan adalah: 1) pengukuran emisi pada periode pagi dan siang hari dan 2) pengukuran emisi pada beberapa jarak yang berbeda dari saluran drainase. Jumlah titik yang diukur pada pengukuran emisi periode pagi dan siang hari sebanyak 16 titik yang terbagi menjadi empat transek dan masing-masing transek terdiri dari empat titik pengukuran. Titik pengukuran terletak diantara tanaman nenas yang 287

Hery Widyanto et al. menjadi tanaman sela di pertanaman kelapa sawit demplot ICCTF Fase 2. Untuk pengukuran emisi dari saluran drainase dilakukan pada titik yang sama dengan pengukuran pagi dan siang hari dengan memperhitungkan jarak titik pengukuran dari saluran drainase, yaitu : 36 meter dari saluran tersier selatan, 99 meter dari saluran tersier selatan, 63 meter dari saluran tersier utara dan 108 meter dari saluran tersier utara. Tata letak titik-titik pengukuran pada setiap transek diperlihatkan pada Gambar 1. Gambar 1. Tata letak titik pengukuran emisi Gas CO 2 Keterangan : 36 S = Titik pengukuran berjarak 36 meter dari saluran Tersier Selatan 99 S = Titik pengukuran berjarak 99 meter dari saluran Tersier Selatan 108 N = Titik pengukuran berjarak 108 meter dari saluran Tersier Utara 63 N = Titik pengukuran berjarak 63 meter dari saluran Tersier Utara Pengukuran emisi gas CO 2 dilakukan menggunakan Infrared Gas Analyzer (IRGA) model LI-820, LICOR Inc. USA dengan sungkup tertutup. Sungkup yang digunakan terbuat dari pipa PVC dengan diameter 25 cm dan tinggi 25 cm. Posisi sungkup dalam pengukuran emisi gas CO 2 dapat dilihat pada gambar 2. Pengukuran emisi dilakukan setiap dua minggu sekali pada pagi dan siang hari. Lamanya waktu pengukuran untuk setiap titik dilakukan ± 150 detik (2,5 menit), namun data yang akan diambil untuk menentukan perubahan konsentrasi CO 2 per satuan waktu hanya 120 detik. Selain 288

Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit pengukuran emisi CO 2, dilakukan juga pengukuran tinggi sungkup, suhu di dalam sungkup, suhu tanah, suhu udara, dan kedalaman muka air tanah. Tanaman Kelapa Sawit Posisi Sungkup Tanaman Sela/Nenas Gambar 2. Posisi sungkup dalam setiap titik pengukuran emisi gas CO 2 Penghitungan fluks CO 2 ditentukan berdasarkan persamaan di bawah ini: Ph dc fc x RT d t Keterangan: fc = fluks CO 2 (μmol/m 2 / det) P = tekanan atmosfer dari rata-rata cell pressure pembacaan IRGA (Pa) h = tinggi sungkup (m) R = konstanta gas =8,314 Pa m 3 / K / mol dc = perubahan konsentrasi CO 2 persatuan waktu (μmol/det) dt 289

Hery Widyanto et al. Hasil pengukuran emisi gas CO 2 kemudian dikonversi kedalam satuan ton/ha/tahun dan dibandingkan variasinya dari waktu pengukuran, jenis perlakuan amelioran dan jarak dari saluran drainase. Data hasil pengamatan dianalisis ragam menggunakan analisis ragam menurut rancangan acak kelompok. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran emisi gas CO 2 sampai dengan bulan Juni 2014 telah dilakukan sebanyak 25 kali. Hasil pengukuran emisi gas CO 2 diperlihatkan pada Gambar 3. Waktu pengukuran emisi dibedakan menjadi dua, yaitu pada pagi hari dimulai pukul 09.00 WIB dan siang hari dimulai pukul 14.00 WIB. Tingkat emisi CO 2 sangat bervariasi baik pada pengukuran pagi hari maupun siang hari. Emisi pengukuran pagi hari berkisar antara 29,7-138,8 ton/ha/th, sedangkan pada pengukuran di siang hari berkisar antara 36,9 115,3 ton/ha/th. Rata-rata emisi gas CO 2 pada pengukuran pagi hari sebesar 59,8 ± 24,7 ton/ha/th sedangkan pada pengukuran siang hari emisi CO 2 sebesar 63,1±15,9 ton/ha/th dan tidak berbeda nyata berdasar uji t pada taraf 5 %. Gambar 3. Grafik Emisi gas CO 2 pada Pertanaman Kelapa Sawit di Riau Emisi gas CO 2 pada pengukuran siang hari lebih tinggi 5,67 % dibandingkan pengukuran emisi pada pagi hari. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Husnain, et.al (2014) bahwa ada kecenderungan yang konsisten fluks CO 2 pada pagi hari adalah yang terendah dan pada siang hari adalah yang tertinggi. Marwanto,et.al (2013) mengatakan bahwa fluks CO 2 pada siang hari memiliki nilai tertinggi karena suhu tanah dan udara pada waktu tersebut tinggi. Sedangkan pengukuran pada pagi hari, dimana suhu 290

Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit udara dan tanah yang minimum juga menunjukkan fluks CO 2 yang terendah. Pada suhu tinggi, gas CO 2 dan CH 4 merupakan bentuk gas yang segera terbentuk dan besar jumlahnya. Suhu dan kelembaban baik udara maupun tanah gambut di kawasan tropik sangat dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan vegetasi yang menutupinya. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat (Noor, 2001 dalam Yuniastuti, 2011). Perbedaan suhu udara dan suhu tanah pada pengukuran pagi dan siang hari tidak terlalu besar sehingga perbedaan emisi CO 2 tidak signifikan (Tabel 1). Tabel 1. Emisi gas CO 2, suhu tanah dan suhu udara dari pertanaman kelapa sawit di lokasi ICCTF Riau Perlakuan Emisi GRK (t CO 2 -e/ha/th) Suhu Tanah (ᴼC) Suhu Udara (ᴼC) Mean + SD Mean + SD Mean + SD Pagi Hari 59.4 + 23.9 28.3 + 2.1 31.4 + 2.7 Siang Hari 63.1 + 16 31.2 + 2.6 33.0 + 2.5 Rata-rata 61 + 20 29.7 + 2.3 32.2 + 2.6 Keterangan: SD = Standar deviasi Korelasi tinggi muka air tanah dengan emisi gas CO 2 pada pertanaman kelapa sawit tidak nyata pada taraf 5% korelasi Pearson dengan koefisien korelasi sebesar - 0,06489 dan standar deviasi tinggi muka air tanah 29.76 serta standar deviasi emisi gas CO 2 sebesar 38,92. Hal ini menunjukkan kedalaman muka air tanah tidak berpengaruh terhadap fluks CO 2. Hasil penelitian Sarmah et al., (komunikasi pribadi) menunjukkan bahwa pada lahan semak belukar dan kelapa sawit tidak menunjukkan adanya korelasi antara fluks CO 2 dan kedalaman muka air tanah. Juhiainen et al., (2012) menyatakan bahwa pengaruh perbedaan kedalaman muka air tanah terhadap emisi rendah. Gambar 4. Persamaan regresi antara Tinggi Muka Air Tanah dengan emisi gas CO 2 Pertanaman Kelapa Sawit di Lokasi ICCTF Riau 291

Hery Widyanto et al. Hasil rata-rata emisi CO 2 pada pertanaman kelapa sawit berdasarkan pengaruh jarak dari saluran drainase, besaran emisi yang tertinggi didapatkan pada jarak yang terjauh dari saluran, 108 meter dari saluran yaitu sebesar 83,9 ton/ha/thn, kemudian secara berturut-turut besaran emisi pada jarak 36, 63 dan 99 meter dari saluran yaitu sebesar 51,0 ; 56,6 dan 54,2 ton/ha/thn (Gambar 5). Gambar 5. Rata-rata Fluks CO 2 dan Tinggi Muka Air Berdasarkan Jarak dari Saluran di Pertanaman Kelapa Sawit di Lokasi ICCTF Riau Dari data diatas menunjukkan emisi CO 2 pada titik pengamatan dengan jarak terjauh dari saluran drainase (108 meter) memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan titik yang lebih dekat dengan saluran drainase. Kedalaman muka air tanah pada titik tersebut juga memiliki nilai paling tinggi (80.4 cm) dibanding dengan yang lain meskipun nilainya tidak berbeda nyata. Drainase pada lahan gambut bertujuan untuk menurunkan permukaan air tanah. Chimner dan Cooper (2003) dalam Maswar (2011) mengatakan pada keadaan muka air tanah yang dangkal akan menyebabkan lingkungan tanah pada kondisi anaerobik sehingga mengurangi terjadinya proses dekomposisi, sebaliknya jika permukaan air tanah dalam (jauh) akan meningkatkan kondisi aerobik dan juga meningkatkan proses dekomposisi bahan gambut sehingga akan meningkatkan emisi CO 2. Meskipun demikian, terlihat adanya inkonsistensi antara nilai emisi CO 2 dengan jarak dari saluran drainase, yaitu adanya penurunan nilai emisi pada jarak 99 meter dari saluran drainase. Hasil penelitian Husnain et. al (2014) mengatakan bahwa jarak dari saluran drainase tidak secara signifikan mempengaruhi emisi CO 2. 292

Variasi Temporal Emisi CO2 di Bawah Perkebunan Kelapa Sawit KESIMPULAN 1. Emisi gas CO 2 pada pertanaman kelapa sawit di lokasi ICCTF Riau, pada pengamatan siang hari lebih tinggi sekitar 5,67 % jika dibandingkan dengan pengukuran pada pagi hari. 2. Tidak ada korelasi antara ketinggian muka air tanah dengan besaran emisi gas CO 2. 3. Jarak yang terjauh dari saluran (108 meter) memiliki nilai emisi yang paling besar dibandingkan dengan jarak yang lainnya, tetapi tidak ada hubungan yang konsisten atau signifikan antara jauhnya jarak dari saluran dengan tingkat kenaikan emisi gas CO 2. DAFTAR PUSTAKA Agus, F. dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah. 36p. Dinas Perkebunan Provinsi Riau. 2009. Statistik Perkebunan Riau. Pekanbaru. Husnain, H., I.G.P. Wigena, A. Dariah et al., 2014. CO 2 emissions from tropical drained peat in Sumatra, Indonesia. Mitig Adapt Strateg Glob Change. doi:10.1007/s11027-014-9550-y Jauhiainen, A., A. Hooijer and S.E. Page. 2012. Carbon dioxide emissions from an Acacia plantation on peatland in Sumatra, Indonesia. Biogeosciences, 9: 617 630 Marwanto, S. and F. Agus. 2013. Is CO2 flux from oil palm plantations on peatland controlled by soil moisture and/or soil and air temperatures?. Mitig Adapt Strateg Glob Change. doi:10.1007/s11027-013-9518-3 Maswar, M., O. Haridjaja, S. Sabiham et al., 2011. Kehilangan Karbon pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Gambut Tropika yang Didrainase. Jurnal Tanah dan Iklim No. 34/2011. Yuniastuti, P. 2011. Pengaruh Waktu dan Titik Pengukuran Terhadap Emisi Karbon Dioksida dan Metan di Lahan Gambut Kebun Kelapa Sawit PT. Perkebunan Nusantara IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Skripsi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB. Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo. 2005. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Pulau Sumatera, 1990 2002. Wetlands International - Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC). 293