HASIL DAN PEMBAHASAN. Keikutsertaan PAUD

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

67,3 54,5 43,6 32,7 1,8 0. Kategori umur orangtua contoh. Gambar 3 Sebaran umur orangtua contoh

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE. PAUD Cikal Mandiri. PAUD Dukuh. Gambar 2 Kerangka pemilihan contoh. Kls B 1 :25. Kls A:20. Kls B 2 :30. Kls B:25. Kls A:11

PENDAHULUAN Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

METODE PENELITIAN. n = z 2 α/2.p(1-p) = (1,96) 2. 0,15 (1-0,15) = 48,9 49 d 2 0,1 2

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

METODE PENELITIAN. n= z 2 1-α/2.p(1-p) d 2

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1 Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak balita

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Desain, Waktu dan Tempat Cara Pemilihan Contoh

PENGARUH PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI), KONSUMSI GIZI, DAN KELENGKAPAN KARTU MENUJU SEHAT (KMS) TERHADAP STATUS GIZI BAYI

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

Karakteristik sosial-ekonomi keluarga: Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Besarnya keluarga. Pengetahuan, sikap, dan praktik ibu contoh.

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Teknik Penarikan Contoh

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4

perkembangan kognitif anak. Kerangka pemikiran penelitian secara skematis di sajikan pada Gambar 1.

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kebutuhan nutrisi merupakan kebutuhan yang sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

KUESIONER POLA MAKAN, KECUKUPAN GIZI DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI PERUMNAS MANDALA, KELURAHAN KENANGAN BARU

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Esa Unggul

2. Tanggal Lahir : Umur : bulan. 4. Nama Ayah :. Umur : tahun. 5. Nama Ibu :. Umur : tahun

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing, maka

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

NASKAH PENJELASAN SEBELUM PERSETUJUAN

BAB I PENDAHULUAN. hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energy dan zat-zat gizi. Kekurangan

Lampiran 1 Tingkat ketahanan pangan di berbagai wilayah di Provinsi Jawa Tengah

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sosial yang ada di masyarakat umum di luar rumah. Seorang anak TK

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian n = (zα² PQ) / d²

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa kanak-kanak dibagi menjadi dua periode yang berbeda, yaitu masa awal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

Lampiran 1 Kuesioner. Nama sheet : Coverld. 1. Tanggal wawancara : MK1. 2. Nama responden : MK2. 3. Nama balita : MK3. 4.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PANDUAN PENGISIAN KUESIONER PEMANTAUAN STATUS GIZI (PSG) DAN MONITORING EVALUASI KEGIATAN PEMBINAAN GIZI

BAB I PENDAHULUAN. Titik berat tujuan pembangunan Bangsa Indonesia dalam pembangunan jangka

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang sering terjadi pada anak balita, karena anak. balita mengalami pertumbuhan badan yang cukup pesat sehingga

Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan.

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

METODE PENELITIAN. n1 = = 35. n2 = = 32. n3 =

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN Desain Penelitian Teknik Penarikan Contoh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE PENELITIAN Desain, Waktu, dan Tempat Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh Jenis dan Cara Pengambilan Data

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan waktu Jumlah dan Cara penarikan Contoh

METODE. Zα 2 x p x (1-p)

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang bermutu. Menurut data United Nations Development Program

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengasuhan berasal dari kata asuh(to rear) yang mempunyai makna

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Untuk mencapai SDM

KUESIONER HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN PRAKTEK KADARZI DI KECAMATAN TRIENGGADENG KABUPATEN PIDIE JAYA

METODE PENELITIAN. Kabupaten Sukabumi. Puskesmas Kadudampit Puskesmas Cikidang Puskesmas Citarik. Peserta program pemberian makanan biskuit fungsional

BAB I PENDAHULUAN. Selama usia sekolah, pertumbuhan tetap terjadi walau tidak secepat

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB I PENDAHULUAN. demikian derajat kesehatan di Indonesia masih terhitung rendah apabila

BAB I PENDAHULUAN. Status pendidikan dan ekonomi sebuah negara berkaitan erat dengan

HASIL PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

PENDAHULUAN. Setiap manusia mengalami siklus kehidupan mulai dari dalam. kandungan (janin), berkembang menjadi bayi, tumbuh menjadi anak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

PENGETAHUAN IBU DALAM PENATALAKSANAAN GIZI SEIMBANG PADA KELUARGA DI DESA SIBORBORON KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. tergantung orang tua. Pengalaman-pengalaman baru di sekolah. dimasa yang akan datang (Budianto, 2009).

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Keikutsertaan PAUD Konsep Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah konsep bermain sambil belajar yang merupakan fondasi yang akan mengarahkan anak pada pengembangan kemampuan yang lebih beragam. PAUD akan menjadi cikal bakal pembentukan karakter anak, dimana pendidikan anak yang sudah diawali sejak dini dapat mengembangkan potensi anak secara optimal. Anak yang mengikuti PAUD akan menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal (Sudjarwo 2010). Sekolah merupakan salah satu lingkungan bagi anak untuk memperoleh stimulasi tumbuh kembang, termasuk stimulasi psikososial untuk perkembangan kognitifnya. Gambar 3 menyajikan sebaran sampel dalam keikutsertaan dalam PAUD. Hasil penelitian ini dimana hampir sebagian besar (82.2%) anak tidak terlibat dalam kegiatan pendidikan anak usia dini, baik PAUD, Taman Kanak-Kanak, atau Taman bermain. Hanya 17.8% anak yang terlibat dalam pendidikan usia dini. Serupa halnya dengan laporan Depdiknas tahun 2002 yang menyatakan bahwa dari 26 juta anak usia dini (0-6 tahun), baru 17% yang mengikuti pendidikan usia dini (Kemendiknas, 2002). Rendahnya keikutsertaan anak untuk terlibat dalam PAUD diduga karena tingkat pendidikan orang tua yang rendah (Tabel 7) serta pendapatan per kapita yang rendah yang diterima oleh orang tua (Tabel 9). Selain itu untuk mengikuti kegiatan PAUD ini, setiap anak harus membayar uang sekolah sebesar Rp 15 000.00. p e r s e n 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 82.2 17.8 PAUD Non PAUD Keikutsertaan dalam PAUD Gambar 3 Sebaran sampel dalam keikutsertaan dalam PAUD.

35 Usia Orang Tua Karakteristik Keluarga Sampel Usia ibu berkisar dari 20 tahun hingga 44 tahun, dan usia ayah berkisar dari 22 tahun hingga 65 tahun. Rata-rata usia ibu secara keseluruhan adalah 29.89 ± 6.46 tahun dan rata-rata usia ayah secara keseluruhan adalah 35.16 ± 8.52 tahun. Ini menunjukkan bahwa usia orang tua tergolong usia yang masih produktif (Hurlock 2000). Usia orang tua dikelompokkan menjadi dua kategori (Tabel 5), yaitu dewasa muda (20-39 tahun) dan dewasa madya (40-65 tahun). Berdasarkan kelompok tersebut maka sebagian besar ibu berada di usia dewasa muda (90.8%) dan demikian pula untuk ayah sebagian besar berada di usia dewasa muda (69.1%). Kondisi usia muda cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kualitas dan kuantitas pengasuhan kurang terpenuhi (Hurlock 1998). Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata usia ibu pada kelompok PAUD (30.18 ± 6.98 tahun) adalah tidak jauh berbeda dengan usia ibu pada kelompok non PAUD (29.83 ± 6.37 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa usia ibu pada kedua kelompok adalah relatif sama dan termasuk kategori usia dewasa muda. Oleh karena itu, usia ibu tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.798. Tabel 5 Sebaran sampel berdasarkan usia orang tua terhadap keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD Usia Orang Tua PAUD Non PAUD Usia Ibu 20-39 Tahun 23 85.2 115 92.0 138 90.8 40-65 Tahun 4 14.8 10 8.0 14 9.2 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 30.18 ± 6.98 29.83 ± 6.37 29.89 ± 6.46 p-value (t-test) 0.798 Usia Ayah 20-39 Tahun 23 85.2 82 65.6 105 69.1 40-65 Tahun 4 14.8 43 34.4 47 30.9 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 33.96 ± 5.61 35.42 ± 9.03 35.16 ± 8.52 p-value (t-test) 0.283

36 Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata usia ayah pada kelompok PAUD (33.96 ± 5.61 tahun) adalah tidak jauh berbeda dengan usia ayah pada kelompok non PAUD (35.42 ± 9.03 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa usia ayah pada kedua kelompok adalah relatif sama dan termasuk kategori usia dewasa muda. Oleh karena itu, usia ayah tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.283. Besar keluarga Rata-rata besar keluarga sampel secara keseluruhan adalah 4.34 ± 1.26 orang. Variabel besar keluarga dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu keluarga kecil ( 4 orang ) dan keluarga besar ( 4 orang). Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 6) diperoleh bahwa sebagian besar (63.2%) termasuk ke dalam kategori keluarga kecil dengan rata-rata besar keluarga berjumlah empat orang, dimana terdiri dari ayah, ibu dan dua anak. Menurut Kustiyah (2005) menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga yang melebihi jumlah yang dianjurkan akan berdampak terhadap kurangnya curahan waktu, perhatian orang tua dan distribusi makanan untuk setiap anggota keluarga terutama anak. Bedasarkan hasil penelitian Salimar (2010) menyatakan besar keluarga akan berhubungan dengan pola asuh yang diberikan kepada anak, dimana keadaan sosial ekonomi yang kurang akan mempengaruhi konsumsi anggota keluarga. Kemudian ditambahkan Hajian-Tilaki et al. (2011) dalam penelitiannya di Iran terhadap 1000 anak sekolah dasar usia 7-12 tahun bahwa besar keluarga sangat berpengaruh pada jumlah makanan yang harus disediakan. Semakin sedikit jumlah anggota keluarga maka semakin mudah terpenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga atau sebaliknya. Tabel 6 Sebaran sampel berdasarkan besar keluarga terhadap keikutsertaan PAUD Besar Keluarga Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD Keluarga Kecil 18 66.7 78 62.4 96 63.2 Keluarga Besar 9 33.3 47 37.6 56 36.8 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 4.11 ±1.12 4.38 ± 1.29 4.34 ± 1.26 p-value (t-test) 0.311

37 Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata besar keluarga pada kelompok PAUD (4.11 ±1.12 orang) adalah tidak jauh berbeda dengan besar keluarga pada kelompok non PAUD (4.38 ± 1.29 orang). Hal ini menunjukkan bahwa besar keluarga pada kedua kelompok adalah relatif sama dan termasuk kategori besar. Oleh karena itu, besar keluarga tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.311. Pendidikan Orang Tua Pendidikan merupakan hak dari setiap warga negara dan salah satu aspek penting dalam kehidupan. Lama dan tingginya pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pekerjaan yang akan didapat, serta akan berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Program pendidikan yang saat ini pemerintah Indonesia terapkan adalah pendidikan dasar sembilan tahun, dimana setiap warga berhak untuk mendapatkan pendidikan dasar sembilan tahun atau dengan kata lain sampai dengan jenjang pendidikan SMP, sesuai UU Pendidikan RI No. 20 Tahun 2003 Pasal 17. Tabel 7 Sebaran sampel berdasarkan lama pendidikan orang tua Keikutsertaan PAUD Lama Pendidikan PAUD Non PAUD Orang Tua Lama pendidikan ibu Kurang dari 9 tahun 26 96.3 116 92.8 142 93.4 Lebih dari 9 tahun 1 3.7 9 7.2 10 6.6 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 7.63 ± 1.71 7.42 ± 1.91 7.46 ± 1.87 p-value (t-test) 0.606 Lama pendidikan ayah Kurang dari 9 tahun 25 92.6 106 84.8 131 86.2 Lebih dari 9 tahun 2 7.4 19 15.2 21 13.8 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 7.33 ± 2.09 7.53 ± 2.51 7.49 ± 2.43 p-value (t-test) 0.708

38 Secara umum, lama pendidikan ibu bervariasi mulai dari 5 tahun hingga 12 tahun, begitu pula untuk lama pendidikan ayah sangat bervariasi mulai dari tidak sekolah hingga 16 tahun. Rata-rata lama pendidikan ibu secara keseluruhan adalah 7.46 ± 1.87 tahun dan rata-rata lama pendidikan ayah secara keseluruhan adalah 7.49 ± 2.43 tahun (Tabel 7). Dalam penelitian ini pengkategorian pendidikan ada dua, yaitu tingkat pendidikan rendah bila lama pendidikan kurang dari sembilan tahun dan tingkat pendidikan tinggi bila lama pendidikan lebih dari sembilan tahun. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata lama pendidikan ibu pada kelompok PAUD (7.63 ± 1.71 tahun) adalah tidak jauh berbeda dengan lama pendidikan ibu pada kelompok non PAUD (7.42 ± 1.91 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu pada kedua kelompok adalah relatif sama dan termasuk kategori kurang dari 9 tahun. Oleh karena itu, lama pendidikan ibu tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.606. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata lama pendidikan ayah pada kelompok PAUD (7.33 ± 2.09 tahun) adalah tidak jauh berbeda dengan lama pendidikan ayah pada kelompok non PAUD (7.53 ± 2.51 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa lama pendidikan ayah pada kedua kelompok adalah relatif sama dan termasuk kategori kurang dari 9 tahun. Oleh karena itu, lama pendidikan ayah tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p- value>0.05, yaitu sebesar 0.708. Pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola pengambilan keputusan dalam keluarga. Pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola asuh konsumsi dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Rahmawati dan Kusharto (2006) menyatakan ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak. Menurut Engle et al. (1997) pendidikan dapat meningkatkan pendapatan keluarga dan dapat mengapresiasikan mengenai pentingnya perawatan. Wanita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan lebih menggunakan fasilitas jasa masyarakat, perawatan kesehatan, dan memiliki sikap yang baik pada saat

39 mengasuh anak balita. Sedangkan wanita yang tidak berpendidikan akan cenderung memegang kepercayaan nenek moyangnya dalam mengasuh anak balita. Ditambahkan Madanijah (2003) bahwa pendidikan ibu merupakan salah satu penentu mortalitas bayi dan anak karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap perawatan kesehatan, hygiene dan kesadaran terhadap kesehatan anak dan keluarga. Pekerjaan Orang tua Pekerjaan orang tua berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi keluarga, karena berhubungan dengan pendapatan yang akan diterima, yang kemudian akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tabel 8 menunjukan sebaran pekerjaan orang tua terhadap keikutsertaan PAUD. Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa pada umumnya ibu tidak bekerja atau tergolong ibu rumah tangga yaitu sebesar 75.7% dan bekerja sebesar 24.3%. Adapun jenis pekerjaan ibu sebagai petani, buruh tani, dan pedagang. Berdasarkan hal tersebut dapat diperkirakan bahwa porsi terbesar pendapatan diperoleh dari ayah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Selain itu, pengkategorian pekerjaan ayah dibagi menjadi dua, yaitu bekerja pada sektor pertanian dan bekerja pada sektor non pertanian (Tabel 8). Berdasarkan hasil penelitian bahwa pada umumnya ayah bekerja pada sektor non pertanian sebesar 63.8%, sedangkan ayah yang bekerja di sektor pertanian sebesar 36.2%. Tabel 8 Sebaran sampel berdasarkan pekerjaan orang tua terhadap keikutsertaan PAUD Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan Ibu Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD Tidak bekerja 21 77.8 94 75.2 115 75.7 Bekerja 6 22.2 31 24.8 37 24.3 27 100 125 100 152 100 p-value (t-test) 0.779 Pekerjaan Ayah Sektor pertanian 6 22.2 49 39.2 55 36.2 Non-sektor pertanian 21 77.8 76 60.8 97 63.8 27 100 125 100 152 100 p-value (t-test) 0.074

40 Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka pekerjaan ibu pada kelompok PAUD dan non PAUD relatif sama, yaitu tidak bekerja. Oleh karena itu pekerjaan ibu tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.779. Begitu pula pada pekerjaan ayah, jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka pekerjaan ayah pada kelompok PAUD dan non PAUD relatif sama, yaitu bekerja di non sektor pertanian. Oleh karena itu pekerjaan ayah tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.074. Gambar 4 menunjukkan sebaran secara keseluruhan jenis pekerjaan ayah. Adapun jenis pekerjaan sektor non pertanian yaitu bekerja sebagai buruh bukan tani (27%), jasa (27%) dan pedagang (9.9%). Pekerjaan buruh non tani yang dijumpai dalam penelitian ini adalah buruh bangunan, sedangkan untuk pekerjaan jasa yang banyak di jumpai adalah tukang ojek dan supir angkot. Sedangkan jenis pekerjaan untuk sektor pertanian, yaitu petani (12.5%) dan buruh tani (23.7%), Bila dilihat sebaran usia dari ayah terhadap jenis pekerjaannya bahwa ayah yang memiliki usia dewasa muda lebih memilih pekerjaan di sektor non pertanian, yaitu buruh non tani (31.9%) dan jasa (31%) dari pada pekerjaan petani dan buruh tani. Sebaliknya untuk ayah yang usia dewasa madya lebih banyak yang memilih pekerjaan petani (25.7%) dan buruh tani (45.7%). Ini menunjukkan bahwa pekerjaan di sektor pertaniaan kurang diminati untuk ayah yang masih berusia dewasa muda. Jasa 27 Buruh Bukan Tani 27 Pedagang 9.9 Buruh Tani 23.7 Petani 12.5 0 5 10 15 20 25 30 Persen Gambar 4 Sebaran berdasarkan jenis pekejaan ayah.

41 Pendapatan Per Kapita Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan keluarga yang berimplikasi terhadap kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan anggota keluarga (Kustiyah 2005). Pendapatan per kapita yang digunakan adalah standar dari Bank Dunia, yaitu US$ 2/hari. Nilai US$ 1 setara dengan Rp. 8 900.00, sehingga pendapatan per kapita dalam satu bulan yang digunakan sebesar Rp. 534 000.00. Berdasarkan hasil penelitian bahwa pendapatan per kapita terendah sebesar Rp. 42 857.00 dan yang tertinggi sebesar Rp. 525 000.00. Sedangkan untuk rata-rata pendapatan per kapita sebesar Rp. 266 005.70 dengan standar deviasi Rp. 116 729.68. Dengan menggunakan ketentuan Bank Dunia maka dapat dikatakan bahwa seluruh keluarga sampel termasuk keluarga miskin. Sebagian besar sampel (52%) memiliki pendapatan di bawah rata-rata (rendah) (Tabel 9). Pendapatan per kapita yang rendah berasal dari keluarga yang ayahnya sebagai petani dan buruh tani. Ini menggambarkan bahwa masih rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga. Kustiyah (2005) menyatakan bahwa kondisi ekonomi yang tidak mendukung merupakan faktor yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan anak yang optimal. Ditambahakan Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Tabel 9 Pendapatan per kapita dalam sebulan Pendapatan Per kapita Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD Dibawah rata-rata Diatas rata-rata 11 40.7 68 54.4 79 52.0 16 59.3 57 45.6 73 48.0 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 284 562.22 ± 129 279.86 261 997.49 ± 114 005.08 266 005.70 ± 116 729.68 p-value (t-test) 0.364

42 Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata pendapatan per kapita pada kelompok PAUD (Rp 284 562.22 ± Rp 129 279.86) adalah tidak jauh berbeda dengan pendapatan per kapita pada kelompok non PAUD (Rp 261 997.49 ± Rp 114 005.08). Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan per kapita pada kedua kelompok adalah relatif sama. Oleh karena itu, pendapatan per kapita tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p- value>0.05, yaitu sebesar 0.364. Karakteristik Sampel Usia dan Jenis Kelamin Anak Prasekolah Usia anak berkisar dari 36 bulan hingga 60 bulan. Rata-rata usia anak secara keseluruhan 47.34 ± 7.47 bulan. Kemudian usia anak dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 36-48 bulan dan 49-60 bulan. Tabel 10 menyajikan sebaran usia dan jenis kelamin dari anak terhadap keikutsertaan dalam kegiatan PAUD. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa mayoritas berasal pada kelompok usia 36-48 bulan (56.6%). Sementara itu, persentasi terbesar untuk jenis kelamin anak yang mengikuti penelitian ini adalah perempuan sebesar 53.9%, sedangkan persentasi untuk jenis kelamin laki-laki sebesar 46.1%. Tabel 10 Sebaran sampel berdasarkan usia dan jenis kelamin Keikutsertaan PAUD Karakteristik Anak PAUD Non PAUD Usia 36-48 bulan 11 40.7 75 60 86 56.6 49-60 bulan 16 59.3 50 40 66 43.4 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 50.37 ± 7.62 46.68 ± 7.31 47.34 ± 7.47 p-value (t-test) 0.020 Jenis kelamin Perempuan 13 48.1 69 55.2 82 53.9 Laki-laki 14 51.9 56 44.8 70 46.1 27 100 125 100 152 100 p-value (t-test) 0.508

43 Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata usia anak pada kelompok PAUD (50.37 ± 7.62 bulan) sedikit lebih tua dibandingkan dengan usia anak pada kelompok non PAUD (46.68 ± 7.31 bulan). Oleh karena itu, usia anak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.020. Anak yang mengikuti PAUD mayoritas berjenis kelamin laki-laki sebesar 9.3%, sedangkan untuk anak yang non PAUD mayoritas berjenis kelamin perempuan sebesar 45.4%. Oleh karena itu, jika dilihat dari keikutsertaan dalam PAUD, maka berdasarkan jenis kelamin anak tidak ada perbedaan yang signifikan. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.508. Berat Badan Lahir Berat badan lahir anak berkisar dari 1800 gram hingga 4600 gram. Ratarata berat badan lahir anak sebesar 3226.97 ± 521.32 gram. Berat badan lahir dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu barat badan lahir rendah ( 2500 gram) dan berat badan lahir normal ( 2500 gram). Tabel 11 menyajikan sebaran sampel berdasarkan berat badan lahir anak terhadap keikutsertaan dalam PAUD. Terlihat dari Tabel 11, sebagian besar (97.4%) lahir dengan berat badan normal dan terdapat 2.6% anak yang mengalami berat badan lahir rendah (BBLR). Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata berat badan lahir pada kelompok PAUD (3203.70 ± 555.03 gram) adalah tidak jauh berbeda dengan berat badan lahir pada kelompok non PAUD (3232 ± 515.97 gram). Hal ini menunjukkan bahwa berat badan lahir pada kedua kelompok adalah relatif sama. Oleh karena itu, berat badan lahir tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.799. Penelitaian Welsch dan Zimmer (2010) menyatakan bahwa berat badan lahir merupakan variabel yang signifikan akan mempengaruhi kognitif pada masa kecil. Ditambahkan Hack et al. (1991) menyatakan bahwa berat badan lahir rendah (BBLR) berhubungan dengan fungsi kognitif yang rendah, prestasi akademik dan tingkah laku pada anak usia delapan tahun. Ini dimungkinkan dengan belum sempurnanya pembentukan organ-organ tubuh untuk melakukan tugas dan fungsinya. Banyak faktornya menyebabkan terjadinya kejadian BBLR,

44 salah satu diantaranya tingginya kejadian KEP (Kekurangan Energi Protein) pada ibu hamil. Tabel 11 Sebaran sampel berdasarkan berat badan lahir anak terhadap keikutsertaan PAUD Karakteristik Anak Berat badan lahir Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD Normal 26 96.3 122 97.6 148 97.4 BBLR 1 3.7 3 2.4 4 2.6 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 3203.70 ± 555.03 3232 ± 515.97 3226.97 ± 521.32 p-value (t-test) 0.799 Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan Pengetahuan Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan Pengetahuan ibu yang dinilai meliputi pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Ada 15 soal pengetahuan gizi dan kesehatan dengan skor minimal adalah 0 dan skor maksimal adalah 15. Pengetahuan gizi dikategorikan menjadi dua, yaitu baik (>70%) dan kurang ( 70%). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 79.0% ibu memiliki pengetahuan yang kurang dan hanya 21.0% yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik (Tabel 12). Tabel 12 Sebaran sampel berdasarkan pengetahuan ibu dan keikutsertaan PAUD Pengetahuan Ibu Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD Baik (>70%) 7 25.9 25 20 32 21.0 Kurang ( 70%) 20 74.1 100 80 120 79.0 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 59.51 ± 13.1 56.53 ± 17.0 57.06 ± 16.37 p-value (t-test) 0.394

45 Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata pengetahuan ibu pada kelompok PAUD (59.51 ± 13.1) adalah tidak jauh berbeda dengan pengetahuan ibu pada kelompok non PAUD (56.53 ± 17.0). Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan ibu pada kedua kelompok adalah relatif sama dan tergolong memiliki pengetahuan yang kurang tentang gizi dan kesehatan. Oleh karena itu, pengetahuan ibu tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p- value>0.05, yaitu sebesar 0.394. Gambar 5 menyajikan pertanyaan yang diajukan kepada ibu dan persentase ibu yang menjawab pertanyaan dengan benar. Secara keseluruhan, pertanyaan yang paling banyak (86.2%) ibu menjawab dengan benar adalah omega 3 susu berfungsi untuk kecerdasan otak. Ini berarti bahwa sebanyak 86.2 % ibu sudah mengetahui bahwa omega 3 yang terdapat pada susu berfungsi untuk kecerdasan otak anak. Selain itu pertanyaan yang paling sedikit (9.9%) ibu menjawab dengan benar adalah berat badan lahir rendah adalah berat bayi lahir dibawah 2500 gram. Ini berarti bahwa hanya 9.9% ibu yang mengetahui bahwa berat badan lahir rendah adalah berat badan bayi lahir dibawah 2500 gram. Dengan kata lain bahwa masih banyak (90.1%) ibu yang tidak mengetahui informasi tersebut. Mayoritas ibu masih banyak yang salah bila ditanya tentang pengetahuan gizi terkait jenis pangan yang mengandung zat gizi tertentu dan fungsinya. Terlihat dari persentase yang menjawab benar untuk pertanyaan pangan yang termasuk sumber protein sebesar 44.7%, telur merupakan pangan yang kaya vitamin sebesar 45.4%, jenis makanan yang berfungsi untuk kecerdasan otak sebesar 46.7%. dan zat gizi untuk mendukung pertumbuhan anak-anak adalah sebesa 23.0%. Begitu pula jika ditanya tentang pengetahuan kesehatan, banyak itu yang masih tidak mengetahui bila ditanyakan balita yang keadaan gizinya buruk, berat badan menurut usia pada KMS (Kartu Menuju Sehat) berwarna (50.0%) dan bila anak jarang makan pangan hewani (daging atau telur) maka mudah menderita (36.2%). Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan yang rendah sejalan dengan pendidikan ibu yang mayoritas rendah sebesar 93.4% dengan lama pendidikan kurang dari 9 tahun.

46 Jenis makanan yang berfungsi untuk kecerdasan otak adalah ikan Bila anak jarang makan pangan hewani (daging/telur) maka mudah menderita sariawan 36.2 46.7 Berat bayi lahir rendah adalah berat bayi lahir < 2.5 kg 9.9 Telur adalah pangan yang kaya vitamin c Balita yang keadaan gizinya buruk, berat badan menurut umur pada KMS (Kartu Menuju Sehat) berwarna merah 45.4 50 Masa pertumbuhan dan perkembangan otak anak melaju pesat saat usia 2 tahun pertama Jenis sayuran yang bermanfaat bagi penglihatan anak adalah bayam Susu diperlukan dalam pertumbuhan balita karena dapat memperkuat tulang Omega 3 pada susu berfungsi untuk kecerdasan otak 77.6 81.6 74.3 86.2 Zat gizi untuk mendukung pertumbuhan anak-anak adalah protein 23 Pangan yang termasuk sumber protein telur 44.7 Buah-buahan dan sayuran merupakan bahan makanan yang mengandung zat gizi vitamin dan mineral Pada usia berapakah anak boleh diberikan makanan seperti orang dewasa setelah 1 tahun Untuk mendukung pertumbuhan anak sebaiknya makanan tambahan selain ASI diberikan setelah usia 6 bulan 73.7 77.6 77 Yang dimaksud dengan ASI ekslusif adalah pemberian ASI saja tanpa ada makanan apapun sampai usia 6 bulan 52 0 50 100 persen Gambar 5 Sebaran ibu yang menjawab pertanyaan pengetahuan gizi dengan benar. Sikap dan Praktik Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan Sikap ibu meliputi sikap ibu tentang gizi dan kesehatan. Ada 15 pernyataan sikap gizi dan kesehatan dengan skor minimal adalah 0 dan skor maksimal adalah 45. Sikap gizi dikategorikan menjadi dua, yaitu baik (> 70%) dan kurang ( 70%). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 96.0% ibu memiliki sikap yang baik, sementara hanya 4.0% yang memiliki sikap yang kurang terhadap gizi dan kesehatan (Tabel 13). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu telah memiliki sikap yang baik terhadap gizi dan kesehatan.

47 Tabel 13 Sebaran sampel berdasarkan sikap ibu dan keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD Sikap Ibu PAUD Non PAUD Baik (>70%) 27 100 119 95.2 146 96.0 Kurang ( 70%) 0 0 6 4.8 6 4.0 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 88.31± 6.45 84.96 ± 8.519 85.56 ± 8.27 p-value (t-test) 0.026 Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata sikap ibu pada kelompok PAUD (88.31± 6.45) adalah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sikap ibu pada kelompok non PAUD (84.96 ± 8.519). Hal ini menunjukkan bahwa sikap ibu pada kedua kelompok adalah relatif sama dan tergolong memiliki sikap yang baik terhadap gizi dan kesehatan. Oleh karena itu, sikap ibu terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.026. Gambar 6 menunjukkan pernyataan yang diajukan kepada ibu atau pengasuh, dan respon yang diharapkan adalah sikap setuju, ragu-ragu atau tidak setuju dari pernyataan yang diajukan. Terlihat bahwa sebanyak 98.2% ibu setuju untuk menggunakan garam yang beryodium saat memasak, karena pemeberian yodium tersebut akan membuat anak menjadi cerdas. Selain itu sebanyak 95.8% ibu setuju bahwa ASI eksklusif selama 6 bulan penting untuk menjaga kesehatan dan tumbuh kembang anak. Namun, masih ada sebayak 61.3% ibu yang menyatakan setuju bahwa makan dengan lauk hewani lebih baik dari pada dengan tahu dan tempe. Ini menunjukkan bahwa protein nabati masih dianggap kurang berkualitas dibandingkan protein hewani. Praktik yang digali dari para ibu merupakan praktik pola asuh makan anak, dimana terdapat 12 pertanyaan yang mencakup penyiapan makanan anak, pemberian makan anak, serta penyajian porsi makan anak. Skor minimal adalah 1 dan skor maksimal adalah 30. Sikap gizi dikategorikan menjadi dua, yaitu baik (>70%) dan kurang ( 70%). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 77.6% ibu memiliki praktik yang baik, sementara hanya 22.4% yang memiliki praktik yang kurang terhadap gizi dan kesehatan (Tabel 14). Ini menunjukkan bahwa masih terdapat ibu yang memiliki praktik yang kurang terhadap gizi dan kesehatan sebanyak 22.4%.

48 Makan dengan lauk hewani lebih baik daripada makan dengan tahu tempe 11.3 27.4 61.3 Tak perlu memberi makan sayur tiap hari untuk anak balita karena sayur tidak disukai anak. 6.5 33.3 60.1 minum susu untuk anak balita dengan gelas akan membuat pertumbuhan giginya lebih baik dibandingkan dengan botol. 10.7 15.5 73.8 Menimbang anak di posyandu tidak perlu tiap bulan apabila anaknya sehat. 3.6 29.2 67.3 Anak perlu dimarahi/dihukum bila ogah makan. 4.8 23.8 71.4 Ketika memasak, menggunakan garam beryodium penting karena yodium dapat mencerdaskan anak. 0.6 1.2 98.2 Jajanan bagi anak balita kadang tidak aman karena adanya formalin, boraks, atau pewarna berbahaya. 7.1 30.4 62.5 Ketika imunisasi anak sudah selesai maka anak balita tidak perlu lagi di bawa ke posyandu. 3.6 20.2 76.2 Cairan kolostrum sebaiknya segera diberikan pada bayi. 3.6 8.3 88.1 Anak balita perlu sesekali makan tempe karena tempe kaya akan protein untuk pertumbuhan. 3 10.1 86.9 Anak di bawah usia 1 tahun sudah boleh makan seperti makanan untuk orang dewasa. 8.3 26.2 65.5 Anak balita perlu dibiasakan sarapan pagi 3 14.9 82.1 Minum susu perlu dibiasakan untuk seluruh anggota keluarga. 5.4 13.1 81.5 makan pangan hewan setiap hari untuk pertumbuhan tinggi badannya ASI ekslusif sampai 6 bulan penting untuk menjaga kesehatan dan tumbuh kembang anak. 3.6 3 2.4 1.8 93.5 95.8 0 20 40 60 80 100 120 % setuju ragu-ragu tidak setuju Gambar 6 Sebaran sikap ibu terhadap gizi dan kesehatan.

49 Tabel 14 Sebaran sampel berdasarkan praktik ibu dan keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD Praktik Ibu PAUD Non PAUD Baik (>70%) 24 88.9 94 75.2 118 77.6 Kurang ( 70%) 3 11.1 31 24.8 34 22.4 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 80.49 ± 8.4 77.17 ± 9.7 77.76 ± 9.6 p-value (t-test) 0.104 Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata praktik ibu pada kelompok PAUD (80.49 ± 8.4) adalah tidak jauh berbeda dengan praktik ibu pada kelompok non PAUD (77.17 ± 9.7). Hal ini menunjukkan bahwa praktik ibu pada kedua kelompok adalah relatif sama dan tergolong memiliki praktik yang baik terhadap gizi dan kesehatan. Oleh karena itu, praktik ibu tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.104. Tabel 15 menyajikan sebaran sampel berdasarkan praktik pemberian makan anak usia prasekolah. Penilaian praktik ibu terhadap pemberian makan meliputi, yang mengasuh anak sehari-hari, yang menyiapkan makanan anak, kondisi anak apa masih disuapi, ibu mengawasi makan anak bila tidak disuapi, cara penyajian porsi makan anak, dan situasi saat memberikan makan anak. Terlihat bahwa praktik pengasuhan sehari-hari dan yang menyiapkan makanan anak sebagian besar (96.7%) dilakukan oleh ibu. Ini sejalan dengan pernyataan Hastuti et al. (2010) bahwa tugas pengasuhan umumnya dilakukan oleh ibu sebagai pengasuh utama. Sebayak 69.1% anak kadang-kadang masih disuapi dan sebanyak 36.8% ibu masih mengawasi makan anak jika sedang tidak disuapi. Penyajian porsi makan anak sebanyak 89.5% ibu menyajikan porsi makan sesuai kebutuhan anak dan sebanyak 54.6 % ibu mengusahakan situasi yang disiplin dan tidak boleh bermain saat makan. Sejalan dengan pernyataan Khomsan (2002) bahwa cara untuk membuat anak mau makan adalah dengan memperhatikan porsi makan sesuai kebutuhan, tidak perlu porsi maksimum disajikan dalam sekali makan. Oleh karena itu, saat porsi kecil sudah habis bisa ditawarkan porsi tambahan.

50 Tabel 15 Sebaran sampel berdasarkan praktik pemberian makan anak Praktik pemberian makan n % Yang sehari-hari mengasuh anak Ibu 147 96.7 Ayah 1 0.7 Nenek 2 1.3 Kakak 2 1.3 152 100 Yang menyiapkan makanan anak Ibu 146 96.1 Ibu dan orang lain 3 2 Orang lain 3 2 152 100 Anak sampai sekarang masih disuapi Kadang-kadang 105 69.1 Selalu 24 15.8 Tidak pernah 23 15.1 152 100 Ibu mengawasi makan anak jika tidak menyuapi Ya, selalu 56 36.8 Kadang-kadang 24 15.8 Tidak pernah, percaya saja 39 25.7 152 100 Cara ibu menyajikan porsi makan anak Porsi makan sesuai kebutuhan anak 136 89.5 Porsi makan dihidangkan sekaligus banyak 16 10.5 152 100 Situasi pada saat memberi makan anak Diusahakan disiplin dan tidak boleh bermain 83 54.6 Sambil bermain di sekitar rumah 55 36.2 Suasana tidak diperhatikan asal makanan habis 14 9.2 152 100 Tabel 16 menyajikan sebaran sampel berdasarkan praktik jadwal makan anak. Sebanyak 72.4% yang menentukan jadwal makan anak adalah anak sendiri, dengan jadwal makan anak yang tidak teratur sebanyak 59.2%. Jika ditelusuri alasan mengapa jadwal makan anak tidak teratur, sebagian besar ibu menyatakan bahwa anak memiliki masalah kesulitan makan dan keinginannya hanya jajan saja. Untuk jadwal minum susu sebagian besar (78.9%) ditentukan oleh anak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Khomsan (2002) bahwa mengkonsumsi susu untuk anak jangan menjadi paksaan namun tetap menjadi perhatian. Oleh karena itu, secara keseluruhan praktik ibu terhadap jadwal

51 makan anak sebagian besar adalah baik, dimana ibu harus tetap bertanggung jawab untuk memperhatikan pola asuh makan anak. Tabel 16 Sebaran sampel berdasarkan jadwal makan anak Jadwal Makan Anak n % Yang menentukan Jadwal makan Ibu sendiri 39 25.7 Ibu dan orang lain 3 2.0 Semau anak sendiri 110 72.4 152 100 Jadwal makan anak teratur Ya 62 40.8 Tidak 90 59.2 152 100 Yang menentukan jadwal minum susu anak Tidak minum susu 9 5.9 Ibu 22 14.5 Anak 120 78.9 Ibu dan orang lain 1 0.7 152 100 Tabel 17 menyajikan sebaran sampel berdasarkan sikap ibu dalam praktik pemberian makan anak. Jika anak menolak makanan tertentu sikap ibu tertinggi dengan cara memberikan jenis makanan tersebut dalam waktu tertentu 44.1% ibu tetap memberikan jenis makanan dalam waktu berbeda dan sebagian besar (40.8%) ibu memiliki sikap untuk membujuk atau merayu jika anak sulit makan. Bila anak menghabiskan makanannya maka sikap sebagian besar (62.5%) ibu adalah memujinya. Oleh karena itu, secara keseluruhan praktik ibu untuk pola asuh makan adalah baik. Penelitian yang dilakukan oleh Zeitlin et al. (2000) menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah dapat memiliki anak sehat dan bergizi baik bila ibu memberikan pengasuhan yang memadai dan tepat. Sikap merupakan kecenderungan seseorang untuk menyetujui atau tidak menyetujui terhadap suatu pernyataan yang diajukan terkait gizi dan kesehatan. Sikap sering kali terkait erat dengan pengetahuan, yaitu jika memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan baik maka cenderung memiliki sikap gizi dan kesehatan baik pula. Praktik atau perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya atau dengan kata lain praktik merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Pada penelitian ini ibu memiliki sikap dan praktik yang baik walaupun memiliki tingkat pengetahuan yang rendah.

52 Hal ini dimungkinkan dengan ibu mendapatkan informasi dari lingkungan sekitar, seperti saudara, tetangga dan kader di posyandu serta dari tradisi (adat istiadat) yang ada dalam keluarga dan tetangga. Karena pengalaman sesorang merupakan suatu pembelajaran tersendiri. Oleh karena itu, saat diberikan sebuah pernyataan, maka sikap yang diberikan adalah setuju, walaupun mereka tidak mengetahui alasan yang mendasarinya. Kemudian Suharjo (1996) menyatakan bahwa tingkat pendidikan itu sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi Oleh karena itu, masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan gizi. Tabel 17 Sebaran sampel berdasarkan sikap ibu dalam memberi makan anak Sikap ibu dalam memberi makan anak n % Sikap ibu jika anak menolak makanan tertentu Membuat inovasi makanan baru dengan bahan sama 30 19.7 Tetap diberikan dalam waktu berbeda 67 44.1 Tidak diberikan lagi 48 31.6 Lainnya 7 4.6 152 100 Sikap ibu jika anak sulit makan Tidak pernah sulit makan 38 25.0 Membujuk atau merayu 62 40.8 Memberikan makanan yang sesuai keinginannya 31 20.4 Memaksakan anak untuk makan 21 13.8 152 100 Sikap ibu jika anak menghabiskan makanannya Memuji 95 62.5 Diam saja 57 37.5 152 100 Asupan Zat Gizi Kecukupan gizi merupakan gambaran banyaknya zat gizi yang diperlukan oleh individu. Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan orang pada umumnya (LIPI 2004). Tabel 18 menyajikan angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan menurut kelompok usia.

53 Jumlah energi yang dibutuhkan seseorang tergantung pada usia, jenis kelamin dan berat badan seseorang. Dalam penelitian ini digunakan metode recall 2x24 jam untuk mengukur tingkat kecukupan gizi anak usia prasekolah. Kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari bila dilakukan hanya recall satu hari. Selain itu ketepatannya sangat bergantung pada daya ingat responden. Tabel 18 Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan menurut kelompok usia anak Usia (Tahun) Berat badan (kg) Tinggi Badan (cm) Energi (kkal) Protein (g) 1-3 12 90 1000 25.0 4-6 17 110 1550 39.0 Secara umum rata-rata konsumsi energi anak usia prasekolah dibagi dua, yaitu untuk usia 3 tahun 1117.52 kkal dan usia 4-5 tahun sebesar 1131.80 kkal. Begitu juga untuk rata-rata konsumsi protein anak usia prasekolah juga dibagi dua, yaitu untuk usia 3 tahun 34.46 g, dan usia 4-5 tahun sebesar 34.39 g. Ini berarti bahwa untuk kelompok usia 3 tahun, kecukupan energi dan protein tergolong berlebih. Namun, untuk kelompok usia 4-5 tahun, kecukupan energi tergolong defisit dan kecukupan protein tergolong berlebih. Tabel 19 menunjukkan sebaran sampel berdasarkan tingkat kecukupan energi dan keikutsertaan PAUD. Tingkat kecukupan energi dikategorikan menjadi dua, yaitu normal (90-119% AKG) dan tidak normal (< 90% AKG dan > 120% AKG). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 32.9% anak memiliki tingkat kecukupan energi yang normal, sementara ada 67.1% anak yang memiliki tingkat kecukupan energi yang tidak normal (Tabel 19). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak memiliki tingkat kecukupan energi yang tidak normal. Tabel 19 Sebaran sampel berdasarkan tingkat kecukupan energi dan keikutsertaan PAUD Tingkat Kecukupan Energi Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD Normal 9 33.3 41 32.8 50 32.9 Tidak Normal 18 66.7 84 67.2 102 67.1 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 96.52 ± 29.15 99.03 ± 33.48 99.58 ± 32.68 p-value (t-test) 0.719

54 Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata tingkat kecukupan energi pada kelompok PAUD (96.52% ± 29.15% ) adalah tidak jauh berbeda dengan tingkat kecukupan energi pada kelompok non PAUD (99.03% ± 33.48%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok adalah relatif sama dan tergolong memiliki tingkat kecukupan energi yang normal. Oleh karena itu, tingkat kecukupan energi tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.719. Tabel 20 menunjukkan sebaran sampel berdasarkan tingkat kecukupan protein dan keikutsertaan PAUD. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata tingkat kecukupan protein pada kelompok PAUD (120.17% ± 43.30%) adalah tidak jauh berbeda dengan tingkat kecukupan protein pada kelompok non PAUD (117.85% ± 55.78%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein pada kedua kelompok adalah relatif sama dan tergolong memiliki tingkat kecukupan protein yang tidak normal. Oleh karena itu, tingkat kecukupan protein tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p- value>0.05, yaitu sebesar 0.839. Tabel 20. Sebaran sampel berdasarkan tingkat kecukupan protein dan keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD Tingkat Kecukupan PAUD Non PAUD Protein Normal 10 37 30 24 40 26.4 Tidak Normal 17 63 95 76 112 73.6 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 120.17 ± 43.30 117.85 ± 55.78 118.26 ± 53.65 p-value (t-test) 0.839 Kondisi normal dan tidak normal ini akan diterangkan melalui Tabel 21 sebaran sampel secara keseluruhan berdasarkan tingkat asupan zat gizi anak usia prasekolah. Terlihat bahwa sebanyak 32.9% anak telah memiliki tingkat kecukupan energi yang normal. Namun, masih ditemukan sebanyak 21.1% anak memiliki defisit berat, dan sebanyak 24.3% anak memiliki tingkat kecukupan berlebih. Sementara untuk kecukupan protein, sebanyak 26.4% anak memiliki tingkat kecukupan protein yang norma. Namun masih ditemukan sebanyak 15.8% anak mengalami defisit berat dan sebanyak 42.6% anak yang mengalami tingkat kecukupan protein berlebihan.

55 Tabel 21 Sebaran tingkat asupan zat gizi anak usia prasekolah Tingkat Asupan Zat Gizi n % Tingkat Kecukupan Energi Defisit berat 32 21.1 Defisit Sedang 9 5.9 Defisit Ringan 22 15.8 Normal 52 32.9 Berlebihan 37 24.3 152 100 Tingkat kecukupan Protein Defisit Berat 24 15.8 Defisit Sedang 10 6.6 Defisit Ringan 13 8.6 Normal 40 26.4 Berlebihan 65 42.6 152 100 Tingkat kecukupan energi anak yang berlebih ini disebabkan tingginya konsumsi makanan yang mengandung banyak gula seperti permen dan minuman kemasan, yang merupakan makanan atau minuman yang mengandung energi, namun tidak mengandung zat gizi yang lain. Tingkat kecukupan protein memiliki kondisi yang sedikit lebih baik, terlihat bahwa anak-anak yang mengalami kondisi normal sebanyak 26.3% dan yang berlebih sebesar 42.8%. Kondisi kecukupan protein berlebih ini terjadi karena mayoritas keluarga mengkonsumsi pangan hewani seperti telur dan pangan nabati seperti tahu dan tempe, yang merupakan sumper protein yang cukup terjangkau oleh kondisi ekonomi mereka. Selain itu mayoritas anak-anak juga sering jajan makanan yang cukup mengandung protein seperti batagor, siomay, bakso, dan sosis. Tingkat kecukupan anak yang defisit berat, sedang dan ringan ini, disebabkan kurangnya akses pangan. Akses pangan dapat terjadi bila adanya ketersediaan pangan dan daya beli. Pada penelitian ini daya beli merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kecukupan energi dan protein. Sunarti (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa daya beli keluarga akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Oleh karena itu, konsumsi pangan dengan kualitas dan kuantitas yang baik

56 diharapkan akan menyediakan zat-zat gizi yang dibutuhkan secara memadai untuk pertumbuhan anak. Status Gizi Anak Usia Prasekolah Penilaian status gizi usia prasekolah didasarkan pada indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Sampel diukur tinggi badan dan berat badannya untuk kemudian di hitung nilai Z-score berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Status gizi berdasarkan indeks BB/U, memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum dan tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi lebih, gizi kurang atau gizi buruk akan mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut. Status gizi berdasarkan indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi saat ini. Berat badan menggambarkan massa tubuh yang sensitif terhadap perubahan mendadak, misalnya terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan makanan yang dikonsumsi. Tabel 22 menunjukkan sebaran sampel berdasarkan status gizi berdasarkan indeks BB/U dan keikutsertaan PAUD. Status gizi berdasarkan indeks BB/U dikategorikan menjadi dua, yaitu normal (Z-score - 2.0 SD s/d Z- score 2.0 SD) dan tidak normal (Z-score < -2.00 dan Z-score > 2.00). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 73.7% anak memiliki status gizi yang normal berdasarkan indeks BB/U, sementara ada 26.3% anak yang memiliki status gizi yang tidak normal berdasarkan indeks BB/U (Tabel 22). Ini menunjukkan bahwa prevalensi anak memiliki status gizi yang normal ada 73.7% berdasarkan indeks BB/U. Tabel 22 Sebaran sampel menurut status gizi indeks BB/U dan keikutsertaan PAUD Status Gizi Indeks BB/U Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD Normal 21 77.8 91 72.8 112 73.7 Tidak normal 6 22.2 34 27.2 40 26,3 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD -1.02 ± 1.3-1.50 ± 0.89-1.42 ± 1.00 p-value (t-test) 0.025

57 Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata status gizi indeks BB/U pada kelompok PAUD (-1.02 ± 1.3) relatif berbeda dengan status gizi indeks BB/U pada kelompok non PAUD (-1.50 ± 0.89). Hal ini menunjukkan bahwa status gizi indeks BB/U pada kedua kelompok tergolong memiliki status gizi indeks BB/U yang normal. Oleh karena itu, status gizi indeks BB/U terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.025. Status gizi berdasarkan indeks TB/U, dapat dilihat apakah anak termasuk pendek atau normal. Indeks TB/U digunakan untuk menggambarkan status gizi yang bersifat kronis, artinya muncul akibat dari keadaan yang berlangsung lama dengan kata lain menilai status gizi anak balita pada masa lampau. Riyadi (2003) indeks TB/U menggambarkan pertumbuhan skeletal yang dalam keadaan normal berjalan seiring dengan pertambahan usia. Tabel 23 menunjukkan sebaran sampel berdasarkan status gizi berdasarkan indeks TB/U dan keikutsertaan PAUD. Status gizi berdasarkan indeks TB/U dikategorikan menjadi dua, yaitu normal (Z-score - 2.0 SD) dan pendek (Z-score < -2.00). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 65.1% anak memiliki status gizi yang normal berdasarkan indeks TB/U, sementara ada 34.9% anak yang memiliki status gizi yang tidak normal berdasarkan indeks TB/U (Tabel 23). Ini menunjukkan bahwa prevalensi anak memiliki status gizi yang pendek ada 34.9% berdasarkan indeks TB/U. Tabel 23 Sebaran sampel menurut status gizi indeks TB/U dan keikutsertaan PAUD Status Gizi Indeks TB/U Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD Normal 17 63 82 65.6 99 65.1 Pendek 10 37 43 34.4 53 34.9 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD -1.36 ± 1.4-1.53 ± 0.93-1.50 ± 1.01 p-value (t-test) 0.424 Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata status gizi indeks TB/U pada kelompok PAUD (-1.36 ± 1.4) relatif berbeda

58 dengan status gizi indeks TB/U pada kelompok non PAUD (-1.53 ± 0.93). Hal ini menunjukkan bahwa status gizi indeks TB/U pada kedua kelompok tergolong memiliki status gizi indeks TB/U yang normal. Oleh karena itu, status gizi indeks TB/U tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.424. Status gizi berdasarkan indeks BB/TB, untuk melihat apakah anak termasuk status gizi kurus, normal atau gemuk. Indikator BB/TB mengambarkan status gizi yang sifatnya akut, sebagi akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang pendek atau singkat, seperti menurunnya nafsu makanan akibat sakit atau karena menderita diare. Dalam keadaan demikian berat badan anak akan cepat turun, sehingga tidak proporsional lagi dengan tinggi badannya dan anak menjadi kurus. Di samping mengindikasikan masalah gizi yang bersifat akut, indeks BB/TB juga dapat digunakan sebagai indikator kegemukan. Dalam hal ini berat badan anak melebihi proporsi normal terhadap tinggi badannya. Tabel 24 menunjukkan sebaran sampel berdasarkan status gizi berdasarkan indeks BB/TB dan keikutsertaan PAUD. Status gizi berdasarkan indeks BB/TB dikategorikan menjadi dua, yaitu normal (Z-score - 2.0 SD s/d Z- score 2.0 SD) dan tidak normal (Z-score < -2.00 dan Z-score >2.00). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 84.2% anak memiliki status gizi yang normal berdasarkan indeks BB/TB, sementara ada 15.8% anak yang memiliki status gizi yang tidak normal berdasarkan indeks BB/TB (Tabel 24). Ini menunjukkan bahwa prevalensi anak memiliki status gizi yang normal ada 84.2% berdasarkan indeks BB/TB. Tabel 24 Sebaran sampel menurut status gizi indeks BB/TB dan keikutsertaan PAUD Status Gizi Indeks BB/TB Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD Normal 23 85.2 105 84 128 84.2 Tidak Normal 4 14.8 20 16 24 15.8 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD -0.31 ± 1.21-0.91 ± 1.08-1.42 ± 1.00 p-value (t-test) 0.012

59 Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata status gizi indeks BB/TB pada kelompok PAUD (-0.31 ± 1.21) relatif berbeda dengan status gizi indeks BB/TB pada kelompok non PAUD (-0.91 ± 1.08). Hal ini menunjukkan bahwa status gizi indeks BB/TB pada kedua kelompok tergolong memiliki status gizi indeks BB/TB yang normal. Oleh karena itu, status gizi indeks BB/TB terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.012. Kondisi anak usia prasekolah yang mengalami tidak normal (underweight, stunting, dan wasting) ini sejalan dengan masih banyaknya anak yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya melalui asupan gizi terutama energi (42.3%) dan protein (31%). Selain faktor asupan gizi, kondisi status gizi anak usia prasekolah berkaitan langsung juga dengan penyakit infeksi (kerangka UNICEF 1990). Oleh karena itu, diharapkan orang tua dapat memperhatikan asupan dan status kesehatan anak, melalui pola asuh agar tidak berdampak pada status gizi anak usia prasekolah tersebut. Pola Asuh Lingkungan Pola asuh lingkungan adalah perangsangan yang datang dari lingkungan luar diri anak dan merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak. Bila anak mendapatkan stimulus terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang mendapat stimulus. Dengan demikian dengan tingginya pemberian stimulus psikososial maka perkembangan anak khususnya perkembangan sosial akan lebih baik. Soedjatmiko (2008) menyatakan bahwa semakin sering, bervariasi dan teratur rangsangan yang diterima anak maka akan meningkatkan kualitas sel-sel otak. Pengukuran pola asuh lingkungan dilakukan dengan alat bantu HOME Inventory. Stimulasi psikososial untuk anak usia 3-5 tahun atau usia prasekolah dilihat dari stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, modeling, variasi stimulasi, dan hukuman. Ada 55 pernyataan tentang pola asuh lingkungan yang diajukan kepada ibu, dengan skor minimal adalah 0 dan skor maksimal adalah 55. Rata-rata pola asuh lingkungan secara keseluruhan adalah 35.52 ± 4.72. Pola asuh lingkungan dikategorikan menjadi dua, yaitu baik ( 37 poin) dan kurang (<37 poin). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 77.0% anak memiliki pola asuh lingkungan yang kurang, dan terdapat sebanyak 23.0% anak yang

60 memiliki pola asuh lingkungan yang baik (Tabel 25). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu kurang melakukan pola asuh lingkungan kepada anak. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata pola asuh lingkungan pada kelompok PAUD (35.03 ± 5.76) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pola asuh lingkungan pada kelompok non PAUD (31.97 ± 4.30). Hal ini menunjukkan bahwa pola asuh lingkungan pada kedua kelompok tergolong memiliki pola asuh lingkungan yang kurang. Oleh karena itu, pola asuh lingkungan terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.014. Tabel 25 Sebaran sampel menurut status gizi berdasarkan indeks BB/TB dan keikutsertaan PAUD Pola Asuh Lingkungan Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD Baik 14 51.9 21 16.8 35 23.0 Kurang 13 48.1 104 83.2 117 77.0 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 35.03 ± 5.76 31.97 ± 4.30 35.52 ± 4.72 p-value (t-test) 0.014 Menurut Karyadi (1985) bahwa pengasuhan dipengaruhi oleh karakteristik pengasuh, antara lain status bekerja ibu, pendidikan formal, serta pengetahuan tentang gizi dan pengasuhan. Hal ini sesuai hasil penelitian ini, yaitu dengan pendidikan formal ibu yang rata-rata tingkat pendidikan yang rendah dengan lama pendidikan 7.46 tahun, serta rata-rata pengetahuan ibu tetang gizi dan kesehatan yang tergolong rendah. Sesuai dengan penelitian Latifah et al. (2009), di Kecamatan Ciawi yang keluarganya tergolong keluarga miskin, tidak memiliki pencapaian yang baik untuk pola asuh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketidakmampuan keluarga miskin untuk mencapai pola asuh lingkungan yang baik terhalang dengan keterbatasan ekonomi, karena keluarga tersebut akan mencukupi kebutuhan primer dahulu baru sekunder, seperti vasilitas belajar anak. Persentase terbesar dalam pencapaian skor dari delapan subskala HOME untuk anak usia prasekolah adalah subskala hukuman sebesar 96.0% dan subskala bahasa 95.4% (Tabel 26).