BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim global, krisis pangan dan energi yang berdampak pada kenaikan harga pangan dan energi, sehingga negara-negara pengekspor pangan cenderung menahan produknya untuk dijadikan stok pangan. Mengingat kondisi global tersebut juga terjadi di Indonesia, maka ke depan Indonesia dituntut untuk terus meningkatkan ketahanan pangan agar mampu menyediakan pangan yang cukup bagi penduduknya. Mengingat strategisnya sektor pertanian, maka pembangunan pertanian tidak hanya pada upaya meningkatkan ketahanan pangan, tetapi juga mampu untuk menggerakkan perekonomian nasional melalui kontribusinya dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bio-energi, penyerapan tenaga kerja, sumber devisa negara dan sumber pendapatan masyarakat serta berperan dalam pelestarian lingkungan melalui praktik budidaya pertanian yang ramah lingkungan (Kementerian Pertanian, 2012). Menurut Adiyoga (1999), kemampuan sektor pertanian untuk memberikan kontribusi secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga tani tergantung pada tingkat pendapatan usahatani dan surplus yang dihasilkan dari sektor pertanian itu sendiri. Dengan demikian, tingkat pendapatan usahatani, disamping merupakan penentu utama kesejahteraan rumah tangga petani, juga muncul sebagai salah satu faktor penting yang mengkondisikan pertumbuhan pertanian. Tingkat pendapatan usahatani ini sangat ditentukan oleh 1
efisiensi petani untuk mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya ke dalam berbagai alternatif aktivitas produksi. Jika petani tidak menggunakan sumber daya tersebut secara efisien maka akan terdapat potensi yang tidak/belum tereksploitasi untuk meningkatkan pendapatan usahatani dan menciptakan surplus. Salah satu Program Pembangunan Pertanian periode 2010-2014 yaitu peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu produk tanaman hortikultura berkelanjutan. Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang sangat penting dan strategis karena merupakan komponen penting dari Pola Pangan Harapan, yang harus tersedia setiap saat, dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman konsumsi, harga yang terjangkau, serta dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat Indonesia yang merupakan konsumen di dalam negeri, merupakan pasar yang sangat potensial, yang dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Usaha agribisnis hortikultura (buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman biofarmaka) merupakan sumber pendapatan tunai bagi masyarakat dan petani baik berskala kecil, menengah, maupun besar, karena didukung dengan keunggulan berupa nilai jualnya yang tinggi, jenisnya beragam, tersedianya sumberdaya lahan dan teknologi, serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan internasional yang terus meningkat (Kementerian Pertanian, 2012). Aneka sayuran sebagai produk hortikultura dapat digolongkan menjadi jenis komersial dan non komersial. Komersial berarti sayuran tersebut mempunyai banyak peminat meskipun harganya relatif rendah atau sayuran tersebut diminati 2
kalangan tertentu dengan harga tinggi atau mempunyai peluang bagus untuk komoditi ekspor (Rahadi, 1995). Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama telah diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah, serta mempunyai potensi pasar dalam negeri dan ekspor yang baik. Tingkat konsumsi bawang merah umumnya relatif kecil namun secara agregat dibutuhkan cukup besar oleh masyarakat. Sekarang ini penggunaan bawang merah bukan saja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga tetapi juga untuk restoran, hotel, industri pengolahan makanan dan industri bawang goreng. Bawang merah tergolong komoditi yang mempunyai nilai jual tinggi dipasaran. Keadaan ini berpengaruh baik terhadap perolehan pendapatan. Apalagi didukung dengan cepatnya perputaran modal usaha bawang merah. Pada umur 55-70 hari tanaman sudah bisa dipanen. Dengan demikian keuntungan bisa diraih dengan cepat dalam waktu relatif singkat (Rahayu dan Berlian, 1994). Karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka pengusahaan budidaya bawang merah telah menyebar di hampir semua provinsi di Indonesia. Berdasarkan data dari BPS tahun 2012, produksi bawang merah di Indonesia tahun 2011 menunjukan bahwa bawang merah telah diusahakan dihampir semua provinsi di Indonesia kecuali Provinsi Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. 3
Provinsi DI Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang mengembangkan komoditas bawang merah. Data statistik produksi bawang merah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat pada tabel 1.1. berikut ini. Tabel 1.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah di Provinsi DIY, Tahun 2011 Kabupaten/Kota Luas Panen (ha) Produksi (kw) Produktivitas (kw/ha) Kulon Progo 308 25.223 81,89 Bantul 939 117.947 125,61 Gunung Kidul 20 611 30,55 Sleman 4 295 73,75 Yogyakarta - - - JUMLAH 1.271 144.076 113,36 Sumber : Statistik Pertanian Tanaman Pangan Provinsi DIY, BPS DIY, 2012 Tabel diatas menunjukan bahwa salah satu sentra pengembangan agribisnis bawang merah di provinsi DI Yogyakarta yaitu Kabupaten Bantul yang mempunyai luas panen dan produksi paling tinggi. Bawang merah termasuk salah satu komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan petani di Kabupaten Bantul. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, komoditas bawang merah menjadi sasaran penting dalam pembangunan pertanian di Kabupaten Bantul khususnya dalam pengembangan agribisnis bawang merah. Menurut data dari BPS Kabupaten Bantul, pada tahun 2011, ada enam kecamatan di Kabupaten Bantul yang merupakan penghasil bawang merah dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Bantul. Daerah penghasil utama bawang merah di Kabupaten Bantul adalah di sepanjang pantai selatan yaitu Kecamatan Sanden dan Kecamatan Kretek. Produksi bawang merah dari Kecamatan Sanden sebanyak 65,82% (77.633 kw dengan luas lahan 612 ha), dari Kecamatan Kretek 4
sebanyak 33.06% (38.990 dengan luas lahan 300 ha), dan sisanya berasal dari empat kecamatan lainnya, yaitu dari Kecamatan Srandakan, Kecamatan Imogiri, kecamatan Pundong, dan Kecamatan Pandak. Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Kabupaten Bantul, disajikan pada tabel 1.2. Tabel 1.2. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah di Kabupaten Bantul, 2007 2011 Tahun Luas Panen (ha) Produksi (kw) Produktivitas (kw/ha) 2007 1.368 131.085 95,82 2008 1.273 151.447 118,97 2009 1.227 166.559 135,74 2010 1.723 178.010 103,00 2011 939 117.947 125,61 Sumber : Bantul Dalam Angka 2012, BPS Bantul, 2012 Tabel diatas menunjukan bahwa luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Kabupaten Bantul mengalami fluktuasi setiap tahunnya, peningkatan luas panen pada tahun 2010 yaitu sebesar 40,42% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang menunjukan bahwa dengan peningkatan luas panen ini terjadi peningkatan penanaman bawang merah, yang juga memperlihatkan semakin meningkatnya jumlah petani yang berusahatani bawang merah dan menjadikan usahatani bawang merah ini sebagai sumber pendapatan mereka. Namun menurut data terakhir tahun 2011, luas panen dan produksi bawang merah mengalami penurunan, menurut informasi dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul penurunan tersebut diakibatkan adanya bencana banjir pada tahun 2010 yang melanda lahan bawang merah, sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan luas panen dan produksi bawang merah diantaranya melalui perbaikan aplikasi teknologi dan rehabilitasi lahan serta meningkatkan penggunaan bibit yang berkualitas. 5
1.2. Perumusan Masalah Usahatani pada hakekatnya adalah perusahaan, maka seorang petani atau produsen sebelum mengelola usahataninya akan mempertimbangkan antara biaya dan pendapatan, dengan cara mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien, guna memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Pilihan terhadap kombinasi penggunaan tenaga kerja, benih, pupuk, obat-obatan yang optimal, akan mendapatkan hasil yang maksimal. Dengan kata lain suatu kombinasi input dapat menciptakan sejumlah produksi dengan cara yang lebih efisien. Namun dalam kenyataannya, masalah penggunaan faktor produksi yang terdapat pada usahatani merupakan masalah utama yang selalu dihadapi petani disamping faktor produksi juga masalah keahlian. Secara umum kondisi petani di Indonesia dalam penggunaan faktor produksi dalam usahatani dilaksanakan secara turun temurun, sehingga penggunaan faktor produksi tidak ditakar secara persis. Hal ini yang menyebabkan penggunaan faktor produksi tidak efisien. Tidak efisiennya penggunaan faktor produksi disebabkan pula oleh permasalahan seperti, rendahnya modal petani untuk membeli pupuk dan pestisida dalam jumlah yang memadai. Selain itu tingkat pendidikan, keterampilan dan pengalaman petani yang rendah mempengaruhi kemampuan petani untuk menggunakan faktor produksi secara optimal. Seperti di Kabupaten Bantul yang merupakan sentra bawang merah di Provinsi DI Yogyakarta banyak petani yang menanam bawang merah tiap tahunnya sejak lama yang merupakan sumber pendapatan bagi petani tersebut, 6
walaupun dalam pengusahaan komoditas bawang merah ini memerlukan biaya yang cukup tinggi dibanding komoditas sayuran lain untuk daerah dataran rendah seperti kacang panjang dan sawi. Disamping itu harga produk bawang merah yang berfluktuasi saat panen apalagi ditambah dengan masuknya bawang impor yang dapat menurunkan harga bawang merah lokal, semakin mahalnya harga sarana produksi maupun semakin mahalnya upah tenaga kerja. Selain itu bawang merah dalam pengusahaannya sangat ditentukan oleh faktor iklim seperti curah hujan, angin, dan temperatur. Setiap petani mengharapkan untuk memperoleh keuntungan yang memadai bahkan dapat digunakan untuk mengembangkan usahanya. Dengan berbagai kondisi tersebut diatas maka petani harus dapat mengalokasikan faktor produksi yang digunakan sedemikian rupa agar dapat mengelola usahatani bawang merah secara efisien. Melihat hal yang demikian, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi usahatani bawang merah di Kabupaten Bantul? 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pendapatan usahatani bawang merah di Kabupaten Bantul? 3. Apakah usahatani bawang merah di Kabupaten Bantul sudah efisien secara teknis, alokatif dan ekonomi? 7
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi usahatani bawang merah di Kabupaten Bantul. 2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan usahatani bawang merah di Kabupaten Bantul. 3. Mengetahui tingkat efisiensi teknis, alokatif dan ekonomi usahatani bawang merah di Kabupaten Bantul. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna: 1. Bagi peneliti, sebagai sarana dalam meningkatkan kemampuan analisa dalam Ilmu Usahatani dan sebagai bentuk penerapan teori yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Pascasarjana UGM, serta sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Master of Science (M. Sc.) pada Program Studi Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM; 2. Bagi petani, sebagai informasi bagi prospek pengembangan usahatani bawang merah. 3. Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam merancang kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui usahatani bawang merah di Kabupaten Bantul. 4. Bagi peneliti lain, sebagai bahan kajian referensi untuk pengembangan kajian penelitian selanjutnya. 8