I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembangunan perekonomian nasional Indonesia salah satunya ditopang oleh sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian penduduk Indonesia. Sektor pertanian sendiri terbagi menjadi tiga sub sektor, yaitu sub sektor tanaman perkebunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Disub sektor perkebunan, Indonesia sudah lama dikenal sebagai penghasil berbagai komoditas perkebunan yang dapat diandalkan. Sub sektor perkebunan mempunyai peranan yang cukup besar dalam pengembangan sektor pertanian. Oleh sebab itu pembangunan disub sektor perkebunan juga terus mengalami peningkatan, dan salah satu tujuan utama pembangunan disub sektor ini adalah meningkatkan mutu dan produksi (Pradnyani dan Bagus, 2014). Kakao (Theobroma cacao L.) adalah salah satu komoditas unggulan sub sektor perkebunan. Indonesia merupakan negara ketiga terbesar penghasil kakao di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Menurut Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (2010), t iga besar negara penghasil kakao tersebut adalah sebagai berikut; Pantai Gading ( ton), Ghana ( ton), dan Indonesia ( ton). Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Komoditas andalan perkebunan Indonesia ini memiliki peranan yang cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri (Departemen Perindustrian, 2007). Pada tahun 2014, menurut Badan Pusat Statistik produksi kakao di Indonesia sebesar 709,33 ribu ton. Jumlah ini tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Di provinsi DIY sendiri, pada tahun 2014 produksi kakao yang dihasilkan sebanyak 0.84 ribu ton. Terdapat 4 kabupaten yang memiliki potensi komoditas kakao yaitu, Kabupaten Kulon Progo, Bantul, Gunungkidul, dan Sleman. Luas tanaman kakao di DIY tahun 2014 disajikan pada tabel

2 Tabel 1.1 Luas Tanaman Kakao di DIY Tahun 2014 No. Kabupaten/Kota Luas Lahan (ha) 1. Kulon Progo 3.616,97 2. Bantul 25,26 3. Gunungkidul 1.373,5 4. Sleman 101,4 5. Yogyakarta - DIY 5.117,13 Sumber: Badan Pusat Statistik DIY, 2015 Berdasarkan tabel 1.1 luas tanaman kakao di Kabupaten Gunungkidul menempati posisi kedua terluas di DIY setelah Kabupaten Kulon Progo. Kepala Dishutbun DIY Sutarto mengatakan, saat ini produksi kakao di Gunungkidul masih tertinggi di DIY, yakni 0,6 kilogram per batang dan kualitas biji kakao yang dihasilkan tidak kalah baik dengan kabupaten lainnya (Susmayanti, 2015). Kabupaten Gunungkidul memiliki luas lahan tanaman kakao seluas 1.373,5 ha, dan mampu memproduksi kakao sebanyak 228,86 ton dengan luas panen 475,50 ha dan rata-rata produksi sebesar 0,48 ton/ha (Badan Pusat Statistik DIY, 2015). Hal ini memberikan peluang bagi Kabupaten Gunungkidul untuk lebih mengembangkan komoditas kakao. Terdapat 4 kecamatan yang memiliki potensi pengembangan komoditas kakao di Kabupaten Gunungkidul, yaitu Kecamatan Ponjong, Karangmojo, Patuk, dan Gedangsari. Tabel 1.2 Produksi Tanaman Kakao Menurut Kecamatan di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2014 No. Kecamatan Produksi (Ton) 1. Ponjong 76,00 2. Karangmojo 70,00 3. Patuk 110,65 4. Gedangsari 8,00 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul, 2015 Pada tahun 2014, berdasarkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul kecamatan yang memiliki produksi kakao terbesar yaitu Kecamatan Patuk. Hal ini dikarenakan pemerintah melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan mulai membentuk desa-desa kakao, salah satunya berada di Kecamatan Patuk. Tujuan pembentukan desa kakao adalah untuk memaksimalkan pengembangan produksi kakao DIY. Di desa 2

3 kakao, pemerintah melakukan peremajaan tanaman dengan mengembangkan tanaman kakao bibit unggul. Kebun-kebun kakao yang dikelola masyakarat juga diintegrasikan dengan sektor peternakan dan pengolahan biji kakao menjadi cokelat. Melalui pengembangan desa kakao diharapkan produksi kakao di Kabupaten Gunungkidul terus mengalami peningkatan dan ditargetkan bisa mencapai 1 ton per hektar ( Susmayanti, 2015). Petani kakao di Kecamatan Patuk sudah melakukan usahatani kakao selama kurang lebih 20 tahun dan menjalani kerjasama kemitraan dengan beberapa perusahaan. Tujuan dilakukannya kemitraan ini adalah mengurangi permasalahan utama yang dihadapi petani dalam mengelola usahataninya, yaitu pemasaran, modal, dan teknologi. Banyaknya permasalahan yang terjadi pada peningkatan kesejahteraan maupun pendapatan para petani, khususnya petani tanaman kakao, menurut Pradnyani dan Bagus (2014), disebabkan karena pengetahuan petani yang masih rendah, keterbatasan modal, lahan garapan yang sempit serta kurangnya keterampilan yang dimiliki oleh petani sehingga dapat berpengaruh pada penerimaan petani. Kenyataan ini dapat terjadi karena manajemen usahatani belum sepenuhnya mampu diterapkan oleh petani, sehingga para petani kurang mampu menghitung skala ekonomis dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksinya untuk memperoleh pendapatan maksimal. Pengukuran efisiensi sangat penting untuk melihat sampai sejauh mana setiap rupiah korbanan yang akan dikeluarkan oleh para petani yang dapat memberikan penerimaan. Oleh karena itu, petani harus mengerti mengenai pengetahuan manajemen pengolahan tanaman kakao baik tentang teknik budidaya sampai dengan pemasaran hasil panen tanaman tersebut. Di samping itu tujuan petani dalam melaksanakan usahataninya adalah untuk memperoleh produksi yang tinggi dengan biaya yang rendah (Pradnyani dan Bagus, 2014). Menurut Dahya (2009), permasalahan tersebut sangat sulit untuk dipecahkan dengan hanya mengandalkan sumberdaya yang dimiliki oleh petani sehingga perlu dikembangkan suatu sistem yang melembaga melalui pola kemitraan. Hubungan kemitraan antara kelompok tani dengan kelompok mitra telah diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/Ot.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian. Kemitraan Usaha Pertanian sendiri memiliki definisi, yaitu kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra di bidang usaha pertanian. Adapun 3

4 tujuannya yaitu untuk meningkatkan kualitas sumberdaya kelompok mitra, peningkatan skala usaha, dalam rangka menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mitra yang mandiri. Kemitraan usaha pertanian didasarkan pada azas persamaan kedudukan, keselarasan, dan peningkatan keterampilan kelompok mitra oleh perusahaan mitra melalui perwujudan sinergi kemitraan yaitu hubungan yang saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Contoh pola kemitraan usaha pertanian antara lain; inti plasma, sub kontrak, dagang umum, keagenan, atau bentuk-bentuk lain, misalnya kerjasama operasional agribisnis (KAO). Seiring dengan meningkatnya produksi kakao di Kecamatan Patuk, prospek dan peluang usahatani kakao di kecamatan tersebut masih sangat terbuka lebar. Usahatani kakao diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perekonomian masyarakat sekitar. Terlebih dengan adanya sistem pola kemitraan yang telah dilaksanakan petani. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui bagaimana tingkat efisiensi alokatif dan pendapatan usahatani kakao mitra, supaya petani dapat mengefisiensikan penggunaan faktor-faktor produksi sehingga pendapatan yang diperoleh maksimal. 2. Rumusan Masalah Sektor perkebunan khususnya komoditas kakao kini menjadi primadona baru di Kabupaten Gunungkidul. Pengembangan usahatani kakao di Kabupaten Gunungkidul, khususnya di Kecamatan Patuk sangat gencar dilakukan oleh pemerintah melalui dinas terkait. Usahatani yang telah berlangsung selama kurang lebih 20 tahun ini memberikan prospek dan peluang yang baik untuk dikembangkan. Sayangnya masih ada banyak permasalahan yang terjadi misalnya pengetahuan petani yang masih kurang, keterbatasan modal, lahan garapan yang sempit, dan pemakaian sarana/faktor produksi yang kurang sesuai. Manajemen usahatani yang belum sepenuhnya mampu diterapkan oleh petani, juga menyebabkan usahatani belum optimal, sehingga para petani kurang mampu menghitung skala ekonomis dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksinya untuk memperoleh pendapatan maksimal. Adanya sistem kemitraan pada usahatani kakao di Kecamatan Patuk memberikan dampak positif bagi petani, yaitu produk kakao dapat dipasarkan dan disalurkan dengan mudah. Sistem kemitraan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan usahatani petani kakao. Dari uraian tersebut maka peneliti berniat untuk 4

5 melakukan suatu penelitian mengenai efisiensi alokatif dan pendapatan usahatani kakao kemitraan di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul. Perumusan masalah tersebut dapat dituangkan dalam pertanyaan: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produktivitas usahatani kakao kemitraan di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul? 2. Bagaimana tingkat efisiensi alokatif usahatani kakao kemitraan di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul? 3. Apakah ada perbedaan pendapatan usahatani kakao dengan mitra yang berbeda di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul? 3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usahatani kakao kemitraan di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul. 2. Mengetahui tingkat efisiensi alokatif usahatani kakao kemitraan di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul. 3. Mengetahui perbedaan pendapatan usahatani kakao dengan mitra yang berbeda di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul. 4. Kegunaan Penelitian 1. Bagi peneliti, bermanfaat untuk menambah pengetahuan dibidang sosial ekonomi pertanian terutama usahatani kakao dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat Sarjana Pertanian Universitas Gadjah Mada. 2. Bagi petani, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat untuk kesejahteraan petani dan keberlangsungan usahatani kakao. 3. Bagi pemerintah atau pihak-pihak terkait lainnya, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam pembuatan atau pengambilan keputusan kebijakan dan penyusunan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan usahatani kakao kemitraan. 5