BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Tahap remaja melibatkan suatu proses yang menjangkau suatu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi dalam dirinya seorang remaja sehingga sering menimbulkan suatu hal yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tergantung pada orangtua dan orang-orang disekitarnya hingga waktu tertentu.

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu tahapan yang harus dilalui seorang individu untuk bergerak ke

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sebagai sebuah tahapan dalam kehidupan seseorang yang berada di

KEMANDIRIAN REMAJA AKHIR PUTERI PASCA KEMATIAN AYAH

BABI PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan media komunikasi yang semakin pesat,

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alfian Rizanurrasa Asikin, 2014 Bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan kesadaran gender siswa

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Program For Appropriate Technology in Health (PATH, 2000)

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi ini, kita sedang memasuki suatu abad baru yang banyak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

Tahap-tahap Tumbuh Kembang Manusia

BAB I PENDAHULUAN. tantangan dan tekanan dalam kehidupan dipengaruhi oleh persepsi, konsep

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN. dan transisi dalam moralitas (Suhud & Tallutondok., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan tahap perkembangan yang harus dilalui oleh

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. karena kehidupan manusia sendiri tidak terlepas dari masalah ini. Remaja bisa dengan

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. tetapi ada beberapa permasalahan seperti perkembangan seksual,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sosialnya. Pengertian dari pacaran itu sendiri adalah hubungan pertemanan antar lawan

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

BAB V PEMBAHASAN. A. Karakteristik responden yang mempengaruhi sikap seks pranikah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

Tari Sandjojo Head of Academic Division Rumah Main Cikal & Sekolah Cikal

BAB I PENDAHULUAN. bila arah pembangunan mulai memusatkan perhatian terhadap upaya peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di lingkungannya. hingga waktu tertentu. Seiring dengan berlalunya waktu dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida

BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Jelia Karlina Rachmawati, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB I PENDAHULUAN. lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

TAHAP PERKEMBANGAN ANAK USIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mega Sri Purwanida, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ela Nurlaela Sari, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mayang Wulan Sari,2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

Perkembangan Sepanjang Hayat

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tahap remaja melibatkan suatu proses yang menjangkau suatu periode penting dalam kehidupan seseorang. Namun, terdapat perbedaan antara individu satu dengan yang lain, yang dibuktikan dengan adanya fakta bahwa beberapa orang mengalami masa peralihan ini secara lebih cepat dari lainnya. Masa remaja menghadirkan begitu banyak tantangan, karena banyaknya perubahan yang harus dihadapi mulai dari perubahan fisik, biologis, psikologis, dan juga sosial. Proses- proses perubahan ini mampu dihadapi secara adaptif dan dengan sukses. Ketika seorang remaja tidak mampu berhadapan dan mengatasi tantangan perubahan ini secara sukses, akan muncul berbagai konsekuensi psikologis, emosional, dan behavioral yang merugikan. Pada berbagai konsekuensi inilah, konseling bisa sangat berguna dalam mengatasinya, dengan konselor yang akan membantu membimbing remaja menemukan cara- cara baru untuk meneruskan beradaptasi di sepanjang perjalanan perkembangan diri yang harus dilaluinya. Masa remaja dimulai dengan peristiwa kedewasaan yang disebut dengan pubertas. Pubertas merujuk pada peristiwa- peristiwa biologis yang menyertai menstruasi pertama pada perempuan dan ejakulasi pertama pada laki- laki. Peristiwa- peristiwa ini menandai permulaan dari sebuah proses perubahan fisik yang mendalam (Colarusso dalam Kathryn dan David Geldard, 2010: 7). Meskipun ini merupakan suatu proses

kedewasaan yang normal, proses ini dapat memberikan kesulitan bagi individu yang mengalaminya. Ketika perubahan biologis terjadi pada remaja, pada saat bersamaan terjadi juga perubahan kognitif. Remaja yang sedang mengalami perubahan kognitif ini akan mengembangkan suatu kemampuan untuk berpikir abstrak, menemukan cara untuk berpikir tentang masalah hubungan, memahami cara- cara baru untuk mengolah informasi, dan belajar bepikir secara kreatif dan kritis. Perubahan biologis dan kognitif tidak hanya menghadirkan tantangan secara langsung, tetapi juga memiliki dampak yang sangat berarti pada fungsi psikologis. Selain itu, terdapat sejumlah tantangan psikologis utama pada seorang reaja dalam kaitannya dengan fitur utama masa remaja yang melibatkan pembentukan sebuah identitas baru. Remaja ini bukanlah lagi seorang anak- anak, melainkan telah tumbuh menjadi seseorang baru. Tantangan terbesar bagi remaja berkenaan dengan kebutuhan mereka untuk menemukan tempat mereka dalam masyarakat dan merasakan bahwa tempat tersebut sesuai untuk mereka. Banyak diantara tugas remaja yang melibatkan pengharapan sosial yang kuat. R.J. Havighurst dalam Kathryn dan David Geldard (2010: 20) meyakini bahwa penguasaan 9 tugas perkembangan berikut di bawah ini sangatlah penting bagi penyesuaian remaja yang beradaptasi. 1. Menerima keadaan fisik dan peran seksual. 2. Membentuk hubungan pertemanan baru dengan kedua jenis kelamin. 3. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua.

4. Menyeleksi dan mempersiapkan pekerjaan. 5. Mengembangkan keahlian dan konsep intelektual yang diperlukan bagi kompetensi sipil. 6. Mencapai kepastian kemandirian ekonomi. 7. Menguasai pola perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. 8. Mempersiapkan diri untuk menikah dan berkeluarga. 9. Membangun nilai- nilai yang dipertimbangkan secara sadar yang berkesesuaian dengan lingkungan. Isu- isu pada proses perkembangan sosial dan pembentukan identitas pribadi adalah yang berkaitan dengan perkembangan moral dan spiritual. Masa remaja jelas merupakan masa perubahan dan krisis yang bisa secara adaptif ditemui oleh beberapa remaja dalam adaptasi mereka. Meski bagi beberapa yang lain menghadirkan kemungkinan atas konsekuensi psikologis, sosial, dan emosional yang tidak diharapkannya. Tujuan utama masa muda adalah membuat transisi dari tahap kanakkanak ke tahap dewasa. Remaja perlu melakukan hal ini sambil mengatasi berbagai tantang biologis, psikologis, dan sosial. Seorang remaja hanya dapat mengonstruksikan suatu identitas pribadi dalam konteks hubungannya dengan orang lain. Berhubungan dengan orang lain sudah barang tentu melibatkan sikap menghormati dan merespons yang berkesesuaian dengan harapan mereka. Kebutuhan akan individuasi menyediakan suatu tantangan konflik bagi remaja yang berjuang untuk mendapatkan identitas pribadi dan yang pada saat

bersamaan, menjajaki berbagai cara baru untuk memosisikan dirinya secara pas dalam masyarakat. Sebagai konsekuensinya, akan muncul ambivalensi yang mencolok pada banyak remaja berkenaan dengan isu ketergantungan dan kemandirian dan dalam hubungannya dengan mengekspresikan perubahan sikap dan perilaku, sementara pada saat bersamaan mempertahankan hubungan sosial (Archer dalam Kathryn Geldard, 2010: 20). V. Rutter dalam Kathryn dan David Geldard (2010: 22) meyakini bahwa banyak remaja tidaklah menyulitkan atau menyusahkan, tetapi persoalannya adalah, dalam masyarakat khususnya, bagaimana orangtua merespons mereka. Dia berpendapat bahwa respons dari orangtua bisa menciptakan perasaan negatif termasuk mengomunikasikan masalah yang dimilikinya dan melemparkan remaja ke dalam perilaku antisosial. Dalam pembahasannya tentang isu ini, dia merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh L. Steinberg dalam Kathryn dan David Geldard (2010: 22). Hipotesis Steinberg adalah bahwa ketika anak- anak mencapai masa pubertas, kombinasi dari tahap perkembangan remaja, perilaku dan emosi orangtua akan menghasilkan perubahan besar pada orangtua, yaitu meningkatnya tingkat stres. Hal ini seringkali dibarengi dengan menurunnya kepuasan pernikahan mereka, munculnya perasaan kecewa karena melewatkan berbagai kesempatan di masa kecil, penyadaran atas proses penuaan, penolakan dan isolasi emosional dari remaja yang sedang beranjak mandiri, meningkatnya kritik dari remaja yang

melawan, menurunnya rasa hormat bagi otoritas dan petunjuk yang sebelumnya diterima, hilangnya kekuasaan, memudarnya kemudaan, rasa ragu terhadap seksualitas mereka sendiri. Perubahan- perubahan ini, Steinberg dan Steinberg meyakini, seringkali mengakibatkan terlepasnya ikatan orangtua dengan anak- anak mereka ketika mereka menapaki masa remaja. Remaja perlu menarik diri karena menjadi mandiri sangat penting sifatnya bagi peran mereka. Mengurungkan niat untuk mengutarakan hal- hal yang dianggap remaja perlu disampaikan kepada orangtua merupakan bagian dari proses penarikan diri yang dilakukan remaja. Sayangnya, keadaan ini telah menyebabkan banyak orangtua merasa kecewa dan mengabaikan pada saat mereka membutuhkan perhatian dan curahan kasih sayang istimewa atas transisi yang sedang mereka jalani. Hal tersebut sejalan dengan wawancara yang dilakukan peneliti bahwa beberapa orangtua mengaku komunikasi dengan anak remajanya cenderung berkurang. Para orangtua mengaku bahwa anak- anak mereka tak lagi mau menanyakan beberapa materi pelajaran yang tidak diketahuinya, jarang memberitahu pekerjaan rumah (PR) apa saja yang harus dikerjakan, dan jarang memberitahu masalah pribadinya kepada orangtua. Hal itu tentunya membuat beberapa orangtua merasa khawatir dan disebabkan minimnya pengetahuan tentang bagaimana proses perkembangan remaja, mereka akhirnya membiarkan proses itu berjalan alamiah. Beberapa orang tua malah lebih cenderung memvonis, ketika

menemukan perilaku anak remajanya yang menyimpang dari norma masyarakat ketimbang memberi pengarahan melalui pendekatan sesuai perkembangannya. Keadaan tersebut tentunya membuat remaja semakin tidak percaya untuk mengomunikasikan masalah yang dimiliki dengan orangtua. Masalah keluarga, latar belakang pendidikan orangtua, dan lingkungan yang tidak mendukung mempunyai peranan besar dalam mempengaruhi remaja dalam mengomunikasikan masalahnya kepada orangtua dengan baik. Bahkan, ketika terdapat ketegangan dalam kehidupan keluarga sekalipun, keluarga tetap merupakan sarana yang paling efektif untuk mempromosikan nilai- nilai pada remaja, sehingga akan membuat remaja untuk meraih sukses, misalnya di sekolah dan memiliki kepercayaan diri dalam hubungan pertemanan. Steinberg dan Steinberg dalam Kathryn dan David Geldard (2010: 23) menemukan bahwa benang merah diantara remaja yang sukses adalah bahwa mereka umumnya memiliki hubungan positif dengan orangtua mereka. Dengan demikian, tantangan bagi remaja adalah menjaga hubungan yang positif dengan orangtua mereka, sementara pada saat bersamaan mencapai sasaran- sasaran perkembangan diri mereka, yang salah satu diantaranya, meski bersifat paradoks, adalah memisahkan diri dan menjauh dari keluarga mereka. Tentu saja, hal ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dicapai.

Banyak diantara anak- anak mulai menjauhkan diri dari orangtua pada usia sekitar 14 tahun. Walaupun terkadang merupakan akibat dari gagal berfungsinya keluarga, kejadian ini juga harus dipahami sebagai bagian dari proses yang normal bagi remaja. Terdapat perbedaan gender: anak laki- laki cenderung jauh lebih sedikit menghabiskan waktu dengan keluarga mereka dibandingkan dengan anak perempuan. Hal tersebut sejalan dengan pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti di lingkungan tempat tinggal remaja yang menjadi subjek penelitian. Anak laki- laki lebih membantu orangtua menggembala hewan ternak, mengikuti berbagai les tambahan atau mengaji. Sebaliknya, anak perempuan lebih sering di rumah karena harus membantu ibunya, menjaga adik, istirahat atau mengaji. Telah banyak diketahui bahwa remaja sering merasa bahwa mereka telah disalahpahami dan tidak dipercaya oleh orang dewasa. Jika konselor terlihat berperilaku dalam suatu sikap yang sesuai dengan pandangan stereotip remaja terhadap orang dewasa dengan tidak mau memercayai cerita mereka, kemungkinan untuk membangun hubungan konseling yang bermanfaat yang di dalamnya klien menaruh rasa percaya pada konselor akan semakin lenyap. Selain itu, remaja sering secara masuk akal merasa bahwa cerita yang mereka miliki untuk dibagi sulit untuk dipercayai. Cerita tersebut barangkali benar, tetapi kita memercayai apa yang dikatakan mereka. Jika kita tidak bisa memercayai apa yang diceritakannya, kita juga tidak akan dipercaya dan tidak akan

bisa membantu remaja untuk melangkah maju menceritakan cerita yang secara lebih akurat mencerminkan persepsi orang dewasa. Diketahui bahwa sebagian konselor tidak akan sepakat bahwa kita harus selalu memercayai klien. Namun, dengan menerapkan hal ini, kepercayaan akan bertumbuh dan klien akan didukung untuk mengulas kembali dan mengevaluasi konstruk mereka, membuang mana yang tidak sesuai dengan kenyataannya dan menggantinya dengan konstruk yang lebih adaptif. Pada prosesnya, kebenaran yang semakin objektif akan terungkap. Bagaimanapun, konselor tidak perlu selalu waspada terhadap kemungkinan gejala- gejala gangguan mental, dan merujuk pada yang paling berkewenangan mengurusinya ketika diperlukan. Banyak remaja akan masuk dan keluar dari proses percakapan, berpindah dari satu topik ke topik lain, dan berhasrat menguasai jalannya percakapan setiap saat. Sebagai konselor, jika ingin mampu beradu secara efektif dengan remaja, perlu secara perlahan- lahan sejajarkan diri dengan gaya percakapan mereka daripada berusaha mengendalikannya. Dengan demikian, digresi harus secara aktif dan cermat didorong. Kadang- kadang, konselor dapat memanfaatkan digresi untuk membantu dalam proses pemaduan dan kemudian kembali pada pembahasan tentang masalah- masalah yang dihadapi remaja. Hal itulah yang menjadi salah satu faktor dari kurangnya kemauan siswa untuk mengomunikasikan masalahnya dengan konselor. Berdasarkan wawancara dengan beberapa guru diketahui bahwa siswa cenderung menampakkan masalah yang dimiliki dengan sikap dan

tingkah laku yang tidak sesuai dengan aturan dan norma di sekolah. Sehingga, konselor baru mengetahui setelah masalah tersebut berdampak nyata. Upaya preventif yang minim dilakukan kaitannya dengan mengomunikasikan masalah remaja dan latar pendidikan konselor yang berbeda dari bidangnya menjadi satu hal yang menjadi kendala dalam melakukan berbagai strategi simbolis ataupun strategi kreatif lainnya dalam mengungkap masalah siswa. Pada orangtua sering merasa bahwa putra- putri remaja mereka mengganggu, untuk mengajak mereka berbincang di saat yang tidak tepat. Mereka juga sering merasa putra putri remaja tidak akan membicarakan masalah- masalah pribadi ketika mereka diajak untuk membicarakannya, tetapi justru membicarakannya pada waktu yang sering kali tidak pas. Menurut proses perkembangannya, hal ini adalah perilaku remaja yang normal. Konselor harus menghormati dan memanfaatkannya. Kebanyakan remaja mengalami kesulitan untuk membicarakan halhal penting menurut mereka. Tetapi, mereka terkadang membicarakannya pada waktu yang tidak tepat. Oleh karenanya, orang tua perlu memberi kesempatan untuk melakukan digresi dan berpindahpindah topik dalam membicarakan masalah- masalah penting. Dengan demikian, daripada menghindar dari membicarakan masalah- masalah penting dalam percakapan, lebih baik sejenak mengalihkan pembicaraan, menunggu waktu yang lebih nyaman bagi mereka untuk membicarakannya.

Orangtua tidak perlu merasa kecewa karena proses seperti ini, tetapi hanya perlu mengikuti mereka dan menambah energi pada percakapan. Hal ini akan memerlukan sikap sabar dan secara aktif memutuskan untuk menikmati mendengar percakapan yang kadang- kadang, terasa tidak secara langsung relevan dengan pokok perbincangan. Percakapan dengan remaja tidak perlu terlalu dibahas terus menerus serius dan mendalam. Dalam rangka membuat seorang remaja merasa nyaman dalam mengomunikasikan masalahnya, akan lebih berguna jika percakapan dibangun dengan percakapan yang bersahabat dan disisipi humor, karena hal- hal ini akan mengimbangi dampak pembahasan masalah- masalah serius. Strategi simbolis adalah salah satu teknik mengungkap masalah remaja dalam berkomunikasi dengan orangtua yang dinilai efektif. Hal itu dikarenakan simbol yang digunakan dalam konseling remaja adalah objek fisik tertentu yang dapat digunakan untuk mewakili perasaan, pemikiran, kepercayaan, orang, hubungan, dan berbagai macam hal lain. Akan sangat bermanfaat jika konselor memiliki sejumlah simbol yang mereka simpan dalam laci atau tempat lain dalam ruangan mereka. Terkadang, kerja memberikan konseling pada remaja berlangsung dalam lingkungan mereka, sehingga segala sesuatu yang tersedia dapat dipergunakan sebagai simbol. Kumpulan simbol yang dimiliki konselor selayaknya cenderung menyertakan hal- hal yang mungkin menarik bagi remaja, seperti batu, kayu, bulu angsa, ornamen, mainan, miniatur binatang, bola kristal,

pensil, bola, bantal, lilin, patung kecil, kotak dengan penutup, wadah lain dan berbagai benda kecil lainnya. C.G. Jung dalam Kathryn dan David Geldard (2010: 278) percaya bahwa simbol dapat bermanfaat dalam mengungkap materi bawah sadar. Pengaksesan materi bawah sadar pada khususnya dapat bermanfaat ketika bekerja menangani remaja, karena proses individuasi remaja melibatkan suatu interaksi antara diri bawah sadar dan sadar. Dengan menggunakan simbol, konselor dapat membantu remaja untuk mampu membawa materi bawah sadar ke dalam pikiran sadarnya, dengan konsekuensi kesadaran dirinya yang semakin meningkat. Dengan meningkatnya pengetahuan diri, mereka akan memiliki lebih banyak pilihan dan kontrol tentang bagaimana seharusnya berperilaku dan berubah. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini diberi judul: Pengaruh Konseling Remaja Dengan Teknik Kotak Pasir Terhadap Kemampuan Berkomunikasi Dengan Orang Tua Pada Siswa MTs Andalusia Kabupaten Simalungun T.A 2014/ 2015. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan, sebagai berikut: 1. Siswa tidak mampu berkomunikasi dengan orang tua dengan baik. 2. Siswa tidak mampu mengomunikasikan masalahnya dengan konselor.

3. Sekolah belum memberikan kontribusi positif terhadap pemecahan masalah siswa yang belum memiliki kemampuan berkomunikasi dengan orangtua. 4. Belum adanya konseling remaja strategi simbolis teknik kotak pasir dalam membantu siswa agar memiliki kemampuan berkomunikasi dengan orang tua. 5. Minimnya pengetahuan siswa untuk menemukan cara dalam mengungkap kemampuan berkomunikasi dengan orangtua. 1.3 Batasan Masalah Dengan perhitungan keterbatasan kemampuan peneliti dan guna menghindari kesimpangsiuran dan untuk lebih mendekatkan arah permasalahan yang akan dikaji, maka kajian peneliti dibatasi pada konseling remaja dengan teknik kotak pasir terhadap kemampuan berkomunikasi verbal dengan orang tua pada siswa MTs Andalusia Kabupaten Simalungun T.A 2014/ 2015. 1.4 Rumusan Masalah Apakah ada pengaruh konseling remaja dengan teknik kotak pasir terhadap kemampuan berkomunikasi dengan orang tua pada siswa MTs Andalusia Kabupaten Simalungun T.A. 2014/ 2015.

1.5 Tujuan Penelitian Adapun tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konseling remaja dengan teknik kotak pasir terhadap kemampuan berkomunikasi dengan orangtua pada siswa MTs. Andalusia Kabupaten Simalungun T.A. 2014/ 2015. 1.6 Manfaat Penelitian Dengan tercapainya tujuan penelitian maka diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk: 1. Manfaat Konseptual Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta dapat menjadi masukan khususnya dalam layanan bimbingan dan konseling dengan menggunakan teknik kotak pasir. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa Sebagai bahan masukan agar siswa bahwa berkomunikasi dengan orangtua juga dapat dilakukan dengan berbagai cara kreatif. Hal itu berguna untuk mengurangi ketakutan siswa bahwa orang dewasa cenderung akan mendominasi jalannya percakapan atau proses komunikasi anak dengan orangtua. Ketika komunikasi dengan orangtua berjalan baik, tentunya akan berdampak baik pula pada komunikasi dengan orang lain.

b. Bagi Guru BK Sebagai dasar bagi guru bahwa dengan menerapkan konseling remaja dengan teknik kotak pasir dapat membantu kemampuan proses komunikasi siswa dengan orangtua. Selain itu, dapat juga membantu guru untuk mencaritahu latar belakang siswa bersikap dan berperilaku di sekolah, agar dapat menentukan langkah selanjutnya demi kebaikan bersama. c. Bagi Sekolah Dengan meningkatnya kemampuan berkomunikasi dengan orangtua, secara tidak langsung akan mempengaruhi kemampuan berkomunikasi siswa dengan yang lain, seperti guru, teman sebaya, dan orang- orang di lingkungan sekolah. Sekolah juga dapat menentukan upaya- upaya yang harus dilakukan selanjutnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan menjadi lebih baik. d. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang pentingnya konseling remaja dengan teknik kotak pasir untuk mengungkap kemampuan berkomunikasi dengan orangtua dan menambah pengalaman peneliti dalam melaksanakan penelitian.