IDENTIFIKASI TELUR CACING USUS PADA LALAPAN DAUN KUBIS YANG DIJUAL PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN SIMPANG LIMA KOTA SEMARANG

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling

The prevalence and types of soil-transmitted helmint eggs (STH) in basil vegetable of grilled fish traders in Palu

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kecepatan pemusingan berbeda yang diberikan pada sampel dalam. pemeriksaan metode pengendapan dengan sentrifugasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian bersifat analitik karena akan membandingkan jumlah

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

Lampiran I. Oktaviani Ririn Lamara Jurusan Kesehatan Masyarakat ABSTRAK

Rina Nitalessy*, Woodford B.S. Joseph*, Joice R.S.T.L. Rimper**

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Infeksi cacing masih merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang penting di negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

IDENTIFICATION OF SOIL TRANSMITTED HELMINTHS EGG ON FRESH CABBAGE (Brassica oleracea) AT LAMPUNG UNIVERSITY FOOD STALLS

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFICATION OF EGGS WORMS NEMATODES CONTAINED IN VEGETABLES AS AN ALTERNATIVE LEARNING MEDIA IN CONCEPT INVERTEBRATES NEMATODES CLASS IN SMA

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan

BAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

BAB 1 PENDAHULUAN. kelebihan berat badan, anemia, dan sebagainya (Rahal et al., 2014). Sayuran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

IDENTIFIKASI KONTAMINASI CACING USUS PADA MAKANAN SIAP SAJI DI KOTA BANDA ACEH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

ABSTRAK. Kata Kunci: Cirebon, kecacingan, Pulasaren

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN PERILAKU ANAK SEKOLAH DASAR NO HATOGUAN TERHADAP INFEKSI CACING PERUT DI KECAMATAN PALIPI KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2005

PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG

HUBUNGAN ANTARA HIGIENE PERORANGAN DENGAN INFESTASI CACING PADA PELAJAR SEKOLAH DASAR NEGERI 47 KOTA MANADO

SKRIPSI. Oleh. Yoga Wicaksana NIM

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

FREKUENSI SOIL TRANSMITTED HELMINTHS PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI NO. 32 MUARA AIR HAJI KECAMATAN LINGGO SARI BAGANTI PESISIR SELATAN

PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA USUS LALAPAN MENTAH DI WARUNG MAKAN DI SAMARINDA. Lamri

Hanna Mutiara Bagian Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. diarahkan guna tercapainya kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kerja. Tenaga kerja yang terpapar dengan potensi bahaya lingkungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masalah kesehatan manusia, yaitu sebagai vektor penular penyakit. Lalat berperan

BAB 1 PENDAHULUAN. satu kejadian yang masih marak terjadi hingga saat ini adalah penyakit kecacingan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional (potong lintang) untuk

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan

Kontaminasi Telur Cacing Soil-transmitted Helmints (STH) pada Sayuran Kemangi Pedagang Ikan Bakar di Kota Palu Sulawesi Tengah

BAB 1 PENDAHULUAN. Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang

I. PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan STH di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. (neglected diseases). Cacing yang tergolong jenis STH adalah Ascaris

SKRIPSI. Oleh: Dian Kurnia Dewi NIM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit infeksi cacing usus terutama yang. umum di seluruh dunia. Mereka ditularkan melalui telur

Jurnal KES MAS UAD Vol. 4, No. 1, September 2010

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. depan yang perlu dijaga, ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Sekolah selain

xvii Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN I.1.

STUDI KANDUNGAN BAKTERI Salmonella sp. PADA MINUMAN SUSU TELUR MADU JAHE (STMJ) DI TAMAN KOTA DAMAY KECAMATAN KOTA SELATAN KOTA GORONTALO TAHUN 2012

PREVALENSI NEMATODA USUS GOLONGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHES (STH) PADA PETERNAK DI LINGKUNGAN GATEP KELURAHAN AMPENAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Soil-transmitted helminthiasis merupakan. kejadian infeksi satu atau lebih dari 4 spesies cacing

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan infeksi cacing yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Lalat adalah serangga jenis Arthropoda yang masuk dalam ordo Diptera.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Infeksi cacing merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. diseduh dengan teh ditambah gula dan es. Minuman es teh banyak digemari oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. yang berada di Kecamatan Dungingi Kota Gorontalo. Kelurahan ini memiliki luas

Distribusi Frekuensi Soil Transmitted Helminth pada Sayuran Selada (Lactuca sativa) yang Dijual di Pasar Tradisional dan Pasar Modern di Kota Padang

SUMMARY PERBEDAAN HIGIENE PERORANGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT KECACINGAN DI SDN 1 LIBUO DAN SDN 1 MALEO KECAMATAN PAGUAT KABUPATEN POHUWATO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. Herry Hermansyah, Dosen Jurusan Analis Kesehatan Palembang 2. Yuni Merlin, Staff Laboratorium RSRK Charitas Palembang

Kebijakan Penanggulangan Kecacingan Terintegrasi di 100 Kabupaten Stunting

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu keadaan yang sehat telah diatur dalam undang-undang pokok kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

Gambaran Kejadian Kecacingan Dan Higiene Perorangan Pada Anak Jalanan Di Kecamatan Mariso Kota Makassar Tahun 2014

bio.unsoed.ac.id la l b T'b ', */'i I. PENDAHULUAN zt=r- (ttrt u1 II. JENIS PENYAKIT CACINGA}I '"/ *

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Budaya jajan menjadi bagian dari keseharian hampir semua

BAB III METODE PENELITIAN. hubungan antara keberadaan Soil Transmitted Helminths pada tanah halaman. Karangawen, Kabupaten Demak. Sampel diperiksa di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Helminthiasis atau

BAB III METODE PENELITIAN. variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro, 2011). Cara pengumpulan

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

HUBUNGAN HIGIENITAS PERSONAL SISWA DENGAN KEJADIAN KECACINGAN NEMATODE USUS

Transkripsi:

ABSTRAK IDENTIFIKASI TELUR CACING USUS PADA LALAPAN DAUN KUBIS YANG DIJUAL PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN SIMPANG LIMA KOTA SEMARANG Rahayu Astuti*, Siti Aminah** Prevalensi infeksi cacing usus di beberapa tempat di Indonesia mencapai 80 % yang umumnya ditularkan melalui makanan/minuman atau melalui kulit. Jenis makanan yang memungkinkan terjadinya penularan adalah jenis sayuran seperti kubis karena kubis seringkali dikonsumsi dalam bentuk mentah atau lalapan. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan cara pencucian kubis dan mengidentifikasi telur cacing usus pada lalapan kubis yang dijual pedagang kaki lima di kawasan Simpang Lima Kota Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan jenis penelitian yang dilakukan adalah Explanatory Research dan rancangan penelitian adalah cross sectional. Populasi adalah seluruh pedagang kaki lima yang menjual lalapan dari kubis yang berlokasi di sekitar Simpang Lima. Sampel diambil secara Simple Random Sampling dan besar sampel 15 pedagang. Data dikumpulkan dengan cara wawancara terhadap pedagang. Data jenis telur cacing usus dan jumlah telur cacing usus diukur dengan menggunakan metode modifikasi pengapungan NaCl jenuh. Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif. Hasil penelitian, pedagang lalapan kubis di kawasan Simpang Lima Kota Semarang yang mencuci kubisnya sebesar 86,7%. Sebanyak 76,9% pedagang mencuci kubisnya dengan air yang tidak mengalir, hanya sebesar 23,1% yang mencuci dengan air mengalir. Pencucian dilakukan dalam keadaan kubis masih utuh (bulatan) dan pada saat akan disajikan bagian terluar dibuang lebih dahulu. Hasil pemeriksaan laboratorium ternyata masih ada 4 sampel kubis (13,3%) yang masih mengandung telur cacing usus yaitu jenis Ascaris lumbriocoides (cacing gelang). Jumlah telur yang ditemukan pada masing-masing sampel hanya 1 telur cacing. Kata kunci : telur cacing usus, lalapan, daun kubis. * Dosen FKM UNIMUS ** Dosen FIKKES UNIMUS http://jurnal.unimus.ac.id 297

PENDAHULUAN Di Indonesia angka kesakitan karena terinfeksi cacing usus atau perut cukup tinggi. Hal ini dikarenakan letak geografis Indonesia di daerah tropik yang mempunyai iklim yang panas akan tetapi lembab. Pada lingkungan yang memungkinkan, cacing usus dapat berkembang biak dengan baik terutama oleh cacing yang ditularkan melalui tanah (Soil transmitted Helminth). Penularan cacing usus bisa terjadi melalui makanan atau minuman yang tercemar, melalui udara yang tercemar atau secara langsung melalui tangan yang tercemar telur cacing yang infektif. 1) Masyarakat Indonesia umumnya begitu akrab dengan sayuran, dari sayuran yang dikonsumsi segar sebagai lalap mentah seperti kubis sampai sayuran untuk campuran makanan lain. Kubis termasuk salah satu sayuran daun yang digemari oleh hampir setiap orang, dengan cita rasanya enak dan lezat. Kubis merupakan sumber penting Vitamin C dan beberapa mineral. Kebiasaan memakan sayuran mentah (lalapan) perlu hati-hati terutama jika dalam pencucian kurang baik sehingga memungkinkan masih adanya telur cacing pada tanaman kubis. Dengan demikian perlu diketahui seberapa besar pencemaran sayuran mentah (lalapan) oleh parasit atau bakteri intestial. Parasit pada sayuran yang ditemukan adalah: Ascaris lumbricuides, Trichuris trichiura, cacing tambang, larva Strongyloides stercoralis, larva Rhabditidae, dan cercaria. Pada tanah ditemukan Ascaris lumbricoides,trichuris trichiura dan Rahabditidae. Baik sayuran, air maupun tanah semua mengandung Escherichia coli yang cukup tinggi, baik tanaman di kebun maupun di pasar semua tercemar parasit usus dan bakteri E coli. Prevalensi cacing usus di beberapa tempat di Indonesia mencapai 80 % yang umumnya ditularkan melalui makanan/minuman atau melalui kulit. 2) Hasil penelitian Suprana terhadap telur cacing gelang pada kubis yang merupakan sayuran daun dan pada ketimun yang merupakan sayuran buah yang kemudian diberi perlakuan pencucian dengan air diam dan air mengalir yang berasal dari air PDAM Kotamadya DT II Bogor, tingkat kontaminasi cacing gelang pada kubis ternyata lebih tinggi dari pada ketimun. 2) Begitu juga http://jurnal.unimus.ac.id 298

penelitian Muyassaroh (2006), ternyata meskipun kubis sudah dicuci sebanyak 2 kali masih terdapat telur cacing usus yaitu Ascaris lumbricuides, Trichuris trichiura, dan cacing benang. (3) Di Indonesia banyak masyarakat yang belum tahu tentang pengetahuan cara hidup sehat yaitu cara untuk menjaga kebersihan perorangan, kebersihan makanan dan minuman misalnya pencucian serta cara pengolahan yang belum dipahami dengan baik. 1) Kubis sebagai lalapan banyak disajikan pada penjual makanan pedagang kaki lima seperti penjual pecel lele, burung dara goreng, bebek goreng, ayam goreng dan sebagainya. Simpang Lima sebagai kawasan ramai di pusat kota Semarang banyak terdapat penjual pecel lele, burung dara goreng, bebek goreng, dan ayam goreng. Proses pencucian yang dilakukan pedagang tersebut tidak banyak diketahui. Adanya kemungkinan masih terdapat telur cacing usus pada makanan tersebut terutama pada lalapan daun kubis. METODE Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan jenis penelitian yang dilakukan adalah Explanatory research. Rancangan penelitian adalah cross sectional. Lokasi penelitian adalah Kawasan Simpang Lima Kota Semarang, sedangkan untuk pemeriksaan telur cacing usus pada lalapan daun kubis dilaksanakan di Laboratorium FIKKES UNIMUS. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang kaki lima yang menjual lalapan dari kubis yang berlokasi di Kawasan Simpang Lima. Jumlah pedagang di sekitar lapangan Simpang Lima (jarak sekitar 1 km dari lapangan) berjumlah 41 pedagang. Sampel diambil secara Simple Random Sampling. Besar sampel dihitung dengan rumus besar sampel minimal (Lemeshow, et al, 1993) 4). Diperoleh besar sampel sebesar 15 pedagang. Unit analisis dalam penelitian ini adalah adalah lalapan kubis yang dijual pedagang kaki lima di Kawasan Simpang Lima Semarang. Data yang dikumpulkan adalah data primer yaitu data tentang asal kubis, cara pencucian kubis yang akan digunakan oleh pedagang sebagai lalapan yang akan dijual, diperoleh dengan cara wawancara terhadap pedagang yang terambil sebagai sampel. Data jenis telur cacing usus http://jurnal.unimus.ac.id 299

dan jumlah telur cacing usus yang diukur dari lalapan kubis yang dibeli dari pedagang di Kawasan Simpang Lima. Pengukuran yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode modifikasi pengapungan NaCl jenuh 5). Bahan yang digunakan adalah daun kubis yang dibeli dari pedagang yang terambil sebagai sampel yaitu sebanyak 15 pedagang, NaCl jenuh, aquadest. Alat yang digunakan adalah beaker glass, obyek glass, pinset, tabung reaksi, kaca penutup (deck glass), gelas ukur, mikroskop. Identifikasi jenis dan jumlah telur cacing ususnya di Laboratorium FIKKES UNIMUS. Pengolahan data dilakukan melalui tahapan editing, coding dan prosesing termasuk entry data. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan masing-masing variabel yang diteliti, termasuk jenis telur cacing dan jumlah telur cacing yang terdapat pada lalapan daun kubis. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Pedagang Pedagang yang menjual lalapan dari daun kol adalah pedagang disekitar Simpang Lima Semarang seperti penjual / warung seafood, ikan bakar, ayam goreng, ayam bakar, nasi goreng, nasi ayam, nasi bakar, burung dara goreng, bebek goreng. Kebanyakan tempat jualan yang mereka gunakan sudah tetap. Mulai berjualan sore hari sekitar pukul 17.00-18.00 sampai habis jualannya atau sekitar pukul 24.00. 2. Asal kubis yang digunakan untuk lalapan Kubis yang dijual untuk lalapan diperoleh dari berbagai pasar yang ada di Kota Semarang. Hasil wawancara terhadap 15 pedagang diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 1. Asal kubis yang dijual pedagang Berasal dari Jumlah Persentase (%) Pasar Johar Pasar Bulu Pasar Peterongan Pasar Kobong Pasar Karangayu Pedagang yang secara 4 3 5 1 1 1 26,7 20,0 33,3 6,7 6,7 6,7 rutin mengirimnya Total 15 100,0 http://jurnal.unimus.ac.id 300

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa sebanyak 33,3% pedagang membeli kubis di pasar Peterongan, hal ini dikarenakan letak pasar Peterongan ke Simpang Lima paling dekat dibanding pasar lainnya. Disusul 26,7% berasal dari pasar Johar hal ini dimungkinkan karena pasar Johar merupakan pusat perkulakan sehingga harganya lebih murah. Kemudian sebanyak 20,0% kubis yang dijual berasal dari pasar Bulu. Sisanya berasal dari pasar Kobong, pasar Karangayu dan ada yang dikirim oleh pedagang sayuran yang sudah secara rutin memasok kubis. 3. Pencucian kubis oleh pedagang Pencucian kubis oleh pedagang lalapan adalah sangat penting, mengingat kubis yang akan digunakan sebagai lalapan adalah kubis yang masih mentah sehingga kebersihannya perlu diperhatikan untuk menjaga keamanan pangan bagi konsumen. Hasil wawancara terhadap 15 pedagang, ternyata ada 2 pedagang yang tidak mencuci kubis yang akan dijual untuk lalapan seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pencucian kubis yang akan dijual sebagai lalapan Pencucian Jumlah Persentase (%) Dicuci Tidak dicuci 13 2 86,7 13,3 Total 15 100,0 Air yang digunakan untuk mencuci ada yang berasal dari PDAM dan ada juga ada yang dari air sumur. Air yang digunakan ada air yang mengalir (menggunakan kran air) dan ada yang berasal dari air diam (air yang ditaruh dalam wadah). Tentunya jika dicuci dengan air mengalir maka kotoran yang ada akan terbawa air yang mengalir tersebut, termasuk telur cacing yang masih menempel pada daun kubis. Dari 13 pedagang yang mencuci kubisnya ternyata sebagian besar (76,9%) pedagang mencuci kubisnya dengan air yang tidak mengalir, yaitu air yang ditaruh pada wadah (waskom) atau ember. Hasil pengamatan dan wawancara seperti terlihat pada Tabel.3. Tabel. 3. Air yang digunakan untuk mencuci kubis Air untuk pencucian Jumlah Persentase (%) Dicuci dengan air mengalir Dicuci dengan air tidak mengalir 3 10 23,1 76,9 Total 13 100,0 http://jurnal.unimus.ac.id 301

Cara mencuci kubis untuk lalapan ada yang dicuci dalam keadaan utuh (bulatan penuh) dan ada yang dicuci dalam keadaan dilepas per lembar. Sebagian besar pedagang (92,3%) mencuci kubis masih dalam keadaan utuh (bulatan penuh). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel. 4. Tabel. 4. Keadaan kubis pada saat dicuci Keadaan kubis Jumlah Persentase (%) Dicuci dalam keadaan utuh (bulatan penuh) Dicuci dalam keadaan dilepas per lembar 12 1 92,3 7,7 Total 13 100,0 Pada saat akan disajikan, dari 15 pedagang yang diwawancarai ternyata 14 pedagang (93,3%) menyajikan kubis untuk lalapan dengan membuang terlebih dahulu bagian luar kubis. Pada saat penyajian, dari kubis bulatan kemudian diiris kecil-kecil. Hal ini dilakukan sebagian besar pedagang (80%) sedangkan sisanya, 3 pedagang (20%) menyajikannya dengan cara kubis yang telah dicuci dilepas per lembar kemudian diiris kecil-kecil. 4. Deskripsi jenis telur cacing dan jumlah telur cacing Pada penelitian ini pemeriksaan telur pada kubis dilakukan di laboratorium FIKKES UNIMUS. Metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur cacing usus pada kubis adalah metode modifikasi pengapungan NaCl jenuh. Metode ini dipilih karena sifat daun kubis jika dalam jumlah kecil dimasukkan ke dalam air akan mengapung sehingga jika digunakan metode pengapungan secara langsung hasilnya kurang maksimal, mengingat potongan daun kubis akan terapung dan menghalangi pemeriksaan telur yang menempel pada deck glass. Begitu juga dengan metode pemusingan dan pengapungan. Pada metode ini kubis diblender dahulu sampai halus. Kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur. Namun meskipun kubis telah diblender, masih ada daun kubis yang terapung sehingga menghalangi pemeriksaan telur cacing usus. Berdasarkan hasil pemeriksaan pendahuluan tersebut di atas, maka pada penelitian ini digunakan metode modifikasi pengapungan NaCl jenuh. Pada penelitian ini juga dilakukan kontrol metode modifikasi pengapungan NaCl jenuh. Ternyata pada percobaan pertama diperoleh hasil validitas 86.7% dan pada percobaan kedua diperoleh hasil validitas 89,3%. Jadi rerata hasil uji http://jurnal.unimus.ac.id 302

validitas metode ini adalah 88%. Artinya metode yang digunakan dapat medeteksi adanya telur cacing usus pada kubis sebesar 88%. Pada penelitian ini, sampel kubis dibeli dari 15 pedagang. Dari 15 sampel kubis tersebut masing masing diambil kubis bagian luar dan kubis bagian dalam. Sehingga terdapat 30 sampel kubis yang akan diamati. Pada tiap sampel kubis kemudian diamati di bawah mikroskop sebanyak 15 kali. Dengan demikian terdapat 30x15 atau 450 pengamatan terhadap telur cacing usus dengan menggunakan mikroskop. Hasil pengamatan terhadap 30 sampel kubis, diperoleh hasil sebanyak 4 sampel kubis yang positif terdapat telur cacing usus yaitu jenis Ascaris lumbriocoides (cacing gelang). Pada penelitian ini telur cacing usus yang ditemukan hanya 1 jenis saja. Jenis cacing usus yang lain seperti Trichuris trichiura (cacing cambuk), Enterobius vermicularis (cacing kremi), Necator americanus, Ancylostoma duodenale (cacing tambang) dan Strongyloides stercolaris (cacing benang) tidak ditemukan. Jumlah telur cacing usus yang ditemukan dari 30 sampel hanya ada 4 telur cacing yang diperoleh dari 4 sampel. Jadi pada masing-masing sampel hanya ditemukan 1 telur cacing. Dari 4 telur cacing usus tersebut 3 (75,0%) diantaranya berasal dari sampel kubis bagian luar dan 1 (25,0%) telur cacing usus yang berasal dari kubis bagian dalam. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel. 5 Tabel. 5. Jenis dan jumlah telur cacing usus yang ditemukan Telur cacing usus Jumlah Persentase (%) Jenis telur cacing usus Ditemukan 4 13,3 Ascaris lumbriocoides Tidak ditemukan 26 86,7 Total 30 100,0 Dari Tabel.5 dapat dilihat bahwa dari 30 sampel kubis yang siap untuk lalapan, ternyata ada 13,3% yang masih mengandung telur cacing usus yaitu jenis Ascaris lumbriocoides (cacing gelang). Hal ini dapat dijelaskan karena kubis yang diteliti adalah kubis yang siap untuk konsumsi yaitu untuk lalapan, di mana kubis tersebut sebagian besar sudah mengalami pencucian. Dari 15 pedagang yang diwawancara 13 pedagang (86,7%) yang mencuci kubisnya. http://jurnal.unimus.ac.id 303

Dengan proses pencucian ini dimungkinkan telur cacing usus yang ada dalam kubis sebagian telah hilang, meskipun 92,3% pedagang mencuci kubisnya dalam keadaan bulatan utuh (tidak dilepas satu persatu daun kubisnya). Proses pencucian yang dilakukan pedagang sebagian besar memang menggunakan air yang telah ditampung dalam wadah/ ember yaitu dengan air yang banyak yang memungkinkan telur cacing terbawa air yang digunakan untuk mencuci. Pada penelitian ini pedagang yang mencuci dengan air yang mengalir hanya sebesar 23.1%. Begitu pula pada saat penyajian, dari 15 pedagang yang diwawancarai ternyata 14 pedagang (93,3%) menyajikan kubis untuk lalapan dengan membuang terlebih dahulu bagian luar kubis. Dengan proses seperti di atas dimungkinkan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap telur cacing pada 30 sampel kubis yang siap dikonsumsi hanya 13,3% yang positif terdapat telur cacing usus. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Maemunah di mana meneliti sampel kubis yang diperoleh dari Bandungan dan Kopeng dan didapatkan hasil bahwa kontaminasi cacing usus pada kubis yang berasal dari Bandungan 63,3% dan yang berasal dari Kopeng 80% dan pada umumnya kontaminasi terjadi pada bagian luar dan tengah 6). Muyassaroh (2006) juga meneliti kubis yang telah dicuci sebanyak 2 kali masih terdapat telur cacing usus yaitu Ascaris lumbricuides, Trichuris trichiura, dan cacing benang 3). Namun pada penelitian Muyassaroh air yang digunakan untuk pencucian hanya sedikit. Khomsan juga menyatakan bahwa meskipun telah dilakukan pengupasan pada daun terluar kubis, ternyata masih ada kecenderungan bahwa kubis mengandung kontaminan telur cacing gelang lebih banyak. Dalam penelitian ini membuktikan bahwa jenis telur cacing usus yang ditemukan adalah hanya Ascaris lumbriocoides, hal ini kemungkinan dipengaruhi salah satunya oleh sifat dari jenis telur tersebut. Pada nematoda parasit yang ada pada tanaman dibedakan menjadi dua golongan yaitu ectoparasit dan endoparasit. Ascaris lumbriocoides merupakan nematoda http://jurnal.unimus.ac.id 304

endoparasit yang menetap dan seluruh tubuhnya tenggelam ke dalam jaringan dan tubuh tanaman inangnya 7), sehingga masih sulit hilang jika sayuran tersebut dibersihkan/dicuci. Selama dalam penanaman sayuran tersebut terdapat pengaruh lingkungan yang memungkinkan terjadinya ketidakamanan pangan dan terhadap sisa sisa kotoran pada sayuran tersebut. Dengan demikian pencucian mutlak diperlukan sebelum sayuran dikonsumsi. Menurut Khomsan, lalapan mentah mempunyai risiko besar untuk terkontaminasi jasad renik oleh karena itu kontaminasi ini dapat membawa dampak kesehatan yang kurang menguntungkan, untuk itu pencucian dapat meminimalisasi jumlah telur cacing usus yang dapat merugikan kesehatan 8). Kualitas air yang digunakan untuk membersihkan mutlak diperlukan, karena air juga sangat mempengaruhi keberadaan telur cacing pada saat pencucian sayuran. Hal ini sesuai dengan pendapat Astawan bahwa pencucian yang benar adalah dengan air yang mengalir sehingga dapat membersihkan sisa kotoran dengan maksimal 9). Karena itu, melakukan pencucian sayuran dengan air yang mengalir lebih baik. Pencucian yang tidak sempurna akan mempengaruhi mikroorganime patogen yang terdapat pada sayuran. Penelitian Astawan juga menunjukkan adanya beberapa mikroorganisme serta pestisida yang tidak hilang akibat pencucian, apalagi kalau tidak dilakukan dengan teknik yang benar 9). Air bersih adalah air yang tidak berwarna, berbau, dan berasa, serta bebas dari mikroorganisme patogen. Sumber air yang tidak bersih sering tercemar oleh berbagai kontaminan, terutama bakteri penyebab penyakit infeksi 9). Untuk lebih amannya, mencuci sayuran dengan air matang atau air mengalir khusus untuk sayuran dan buah-buahan. Hal ini mutlak diperlukan terutama masyarakat yang gemar mengkonsumsi sayuran mentah atau sebagai lalapan 8). http://jurnal.unimus.ac.id 305

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pedagang lalapan kubis di Kawasan Simpang Lima Kota Semarang yang mencuci kubisnya sebesar 86,7%. Sisanya pedagang tidak melakukan pencucian terhadap kubis yang akan digunakan untuk lalapan. 2. Sebanyak 76,9% pedagang mencuci kubisnya dengan air yang tidak mengalir, hanya sebesar 23,1% yang mencuci dengan air mengalir. 3. Pencucian dilakukan dalam keadaan kubis masih utuh (bulatan) dan pada saat akan disajikan bagian terluar dibuang lebih dahulu. 4. Hasil pemeriksaan laboratorium ternyata hanya 4 sampel kubis (13,3%) yang masih mengandung telur cacing usus yaitu jenis Ascaris lumbriocoides (cacing gelang). Jumlah telur yang ditemukan pada masingmasing sampel hanya 1 telur cacing. 5. Tidak ditemukan jenis cacing usus yang lain seperti Trichuris trichiura (cacing cambuk), Enterobius vermicularis (cacing kremi), Necator americanus, Ancylostoma duodenale (cacing tambang) dan Strongyloides stercolaris (cacing benang). Saran Mengingat masih ditemukannya telur cacing usus pada lalapan yang dijual pedagang di Kawasan Simpang Lima, dan masih adanya pedagang yang tidak mencuci lalapan daun kubis maka bagi instansi yang terkait perlu melakukan pembinaan terhadap pedagang agar memperhatikan cara pencucian pada sayuran yang akan digunakan untuk lalapan khususnya sayur kubis dengan prosedur pencucian yang benar agar terjadinya infeksi cacing usus dapat dicegah. DAFTAR PUSTAKA 1). Pracaya. Kol Alias Kubis. Cetakan 9. Penerbar Swadaya. Jakarta. 1994 2). Ali Khomsan. Pencucian Sayuran. http://www.google.com. Diakses tanggal 27 Oktober 2005. 3). Siti Muyassaroh. Pengaruh Frekuensi Pencucian pada Daun Kubis (Brassica oleracea var Capitata) terhadap Jumlah Telur Cacing Usus (Nematoda Intestinalis). FKM UNIMUS. Semarang. 2006. http://jurnal.unimus.ac.id 306

4). Lemeshow, S; Hosmer, DW; Klar, J; Lwanga, SK. Adequacy of Sample Size in Health Studies. WHO. John Wiley & Sons Ltd. England. 1993 5). Soedarto. Helmintologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. 1990. 6). Mumun Maemunah. Kontaminasi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil Transmitted Helminths) pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea) dari Bandungan dan Kopeng Kota Semarang. FKM. UNDIP. 1993. 7). Anonim. Dasar Perlindungan Tanaman. http//fp.uns.ac.id/hamasains/dasar perlintan-3 htm. Diakses tanggal 18 Juli 2006. 8). Ali Khomsan. Keamanan Pangan Pada Sayuran. http://groups.google.co.id/ Diakses tanggal 8 Oktober 2007 9). Made Astawan. Modal Dasar Hidup Sehat. http://www.gizi.net. Diakses tanggal 18 Juli 2006. http://jurnal.unimus.ac.id 307