KUALITAS DAGING SAPI YANG DIPOTONG MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX: DRIP LOSS DAN COOKING LOSS EVA FATIMAH

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

DAYA IKAT AIR (DIA) Istilah lain: Pengertian: Kemampuan daging didalam mengikat air (air daging maupun air yang ditambahkan)

PENGARUH PEMBERIAN ANGKAK SEBAGAI PEWARNA ALAMI TERHADAP PRODUKSI KORNET DAGING AYAM

KUALITAS FISIK (DAYA IKAT AIR, SUSUT MASAK, DAN KEEMPUKAN) DAGING PAHA AYAM SENTUL AKIBAT LAMA PEREBUSAN

KEEMPUKAN DAGING SAPI DAN PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN DEASY HUTAMI PUTRI

Kontraksi otot membutuhkan energi, dan otot disebut sebagai mesin. pengubah energi kimia menjadi kerja mekanis. sumber energi yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau (Bubalus bubalis)

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Brahman Cross Pertumbuhan Ternak

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

PENGARUH ENZIM PAPAIN TERHADAP MUTU DAGING KAMBING SELAMA PENYIMPANAN

Pengaruh Lama Penyimpanan dalam Lemari Es terhadap PH, Daya Ikat Air, dan Susut Masak Karkas Broiler yang Dikemas Plastik Polyethylen

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kemudian dikembangkan di penjuru dunia. Puyuh mulai dikenal dan diternakkan

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C

Mekanisme Kerja Otot

THE EFFECT OF DIFFERENT FROZEN STORAGE TIME ON THE CHEMICAL QUALITY OF BEEF

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produk daging yang dihasilkan dari kelinci ada dua macam yaitu fryer dan roaster. Kelinci

MENERAPKAN PRINSIP KESEJAHTERAAN HEWAN

Karakteristik mutu daging

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL

KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG. Physical Quality of Beef from Slaughterhouses in Bandar Lampung

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HEWANI. ENDRIKA WIDYASTUTI, S.Pt, M.Sc, MP

KUALITAS FISIK DAGING LOIN SAPI BALI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MODEREN DAN TRADISIONAL

POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja

Susunan Redaksi Indonesia Medicus Veterinus

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

DETEKSI Staphylococcus aureus DALAM SUSU SEGAR SEBAGAI PARAMETER KEBERSIHAN PROSES PEMERAHAN NANANG SYAIFUL HIDAYAT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Karakteristik Fisik Daging Sapi Bali dan Wagyu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, rumpun Anatini,

TINJAUAN PUSTAKA Struktur Anatomi Otot Rangka

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, April 2017, Hal Vol. 12 No. 1 ISSN :

DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL )

BAB I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

molekul kasein yang bermuatan berbeda. Kondisi ph yang asam menyebabkan kalsium dari kasein akan memisahkan diri sehingga terjadi muatan ion dalam sus

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING

Otot rangka tersusun dari serat-serat otot yang merupakan unit. penyusun ( building blocks ) sistem otot dalam arti yang sama dengan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan masyarakat akan pemenuhan gizi pada masa kini. semakin tinggi seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Aktivitas Air, Total Bakteri Dan Drip Loss

PENGGUNAAN ENZIM PAPAIN SEBAGAI BAHAN TENDERIZER DAGING. Oleh : Tedi Akhdiat RINGKASAN

PERBANDINGAN KUALITAS KIMIA (KADAR AIR, KADAR PROTEIN DAN KADAR LEMAK) OTOT BICEPS FEMORIS PADA BEBERAPA BANGSA SAPI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

DAGING. Pengertian daging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Sosis Sapi

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging,

PENGARUH SUPLEMEN TERHADAP KADAR ASAM LAKTAT DARAH

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGOLAHAN DENGAN SUHU RENDAH. Oleh : ROSIDA, S.TP,MP

2.1.3 Terjadi dimana Terjadi salam mitokondria

Kualitas Fisik Daging Sapi Peranakan Simmental dengan Perlakuan Stimulasi Listrik dan Lama Pelayuan yang Berbeda

METABOLISME ENERGI PADA SEL OTOT INTRODUKSI. dr. Imas Damayanti ILMU KEOLAHRAGAAN FPOK-UPI

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan Handiwirawan, 2006). Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe

USAHA (KERJA) DAN ENERGI. untuk mengetahui keadaan gerak suatu benda yang menghubungkan

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG TEMULAWAK DAN KUNYIT TERHADAP COOKING LOSS, DRIP LOSS DAN UJI KEBUSUKAN DAGING PUYUH JANTAN ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

PENDAHULUAN. amino esensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Daging broiler

RESPIRASI SELULAR. Cara Sel Memanen Energi

Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas dan kualitas fisik daging sapi Brahman Cross Steer

BIOLOGI. Nissa Anggastya Fentami, M.Farm, Apt

Kualitas Susu Kambing Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka Katalase

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat

Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan Vol 1(3):16-20, Desember 2017 e-issn:

PENGARUH LAMA PELAYUAN, TEMPERATUR PEMBEKUAN DAN BAHAN PENGEMAS TERHADAP KUALITAS KIMIA DAGING SAPI BEKU

KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

PERBAIKAN MANAJEMEN PEMOTONGAN TERNAK UNTUK MENGHASILKAN DAGING SAPI LOKAL BERKUALITAS IMPOR

SIFAT FISIK DAGING DADA AYAM BROILER PADA BERBAGAI LAMA POSTMORTEM DI SUHU RUANG SKRIPSI

KARAKTERISTIK KUALITAS FISIK DAGING LANDAK JAWA (Hystrix javanica) HASAN ASHARI

Transkripsi:

KUALITAS DAGING SAPI YANG DIPOTONG MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX: DRIP LOSS DAN COOKING LOSS EVA FATIMAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

ABSTRAK EVA FATIMAH. Kualitas Daging Sapi yang Dipotong Menggunakan Restraining Box: Drip Loss dan Cooking Loss. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan restraining box terhadap kualitas daging sapi khususnya drip loss dan cooking loss. Restraining box merupakan alat untuk mengendalikan sapi sebelum pemotongan agar sapi lebih mudah ditangani dan dirobohkan. Penelitian ini menggunakan contoh daging bagian knuckle atau daging kelapa (Musculus vastus lateralis, M. vastus medialis, M. vastus intermedialis, dan M. rectus femoris) dari sapi Brahman cross yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kabupaten Bogor yang menggunakan restraining box dan RPH Kota Bogor yang tidak menggunakan restraining box. Jumlah contoh yang diperiksa adalah 20 contoh daging dari masing-masing RPH. Peubah yang diamati adalah daya ikat air daging melalui uji drip loss dan cooking loss, yang diperiksa tiga kali yaitu pada jam ke-6, jam ke-8, dan jam ke-10 setelah pemotongan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum nilai drip loss dan cooking loss daging dengan restraining box lebih rendah daripada daging tanpa restraining box. Nilai drip loss daging dengan restraining box pada jam ke-10 nyata lebih rendah (p<0.05) dibandingkan daging tanpa restraining box, sedangkan nilai cooking loss daging dengan restraining box ketiga pengamatan nyata lebih rendah (p<0.05) daripada daging tanpa restraining box. Dengan demikian daya ikat air daging yang dihasilkan dari pemotongan hewan dengan menggunakan restraining box lebih baik. Kata kunci: restraining box, daging sapi, drip loss, cooking loss.

ABSTRACT EVA FATIMAH. Quality of Beef Meat Yielded from Slaughtering Using Restraining Box: Drip Loss and Cooking Loss. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN. The research was aimed to observe the effect of restraining box on the quality of beef meat especially drip loss and cooking loss. Restraining box is used before slaughtering the cattle in order to handle and laying down more easily. This research used the Musculus vastus lateralis, M. vastus medialis, M. vastus intermedialis, and M. rectus femoris of Brahman cross from slaughterhouse of Bogor district which applies the slaughtering with restraining box and slaughterhouse of Bogor city which not applies restraining box. 20 samples of beef meat were examined from each abattoir. The water holding capacity was examined through drip loss and cooking loss which were conducted three times at 6, 8, and 10 hours postmortem. The study showed that the drip loss of beef meat yielded from slaughtering with restraining box were lower than the one without restraining box. The drip loss of restrained beef meat was significantly lower than the unrestrained beef meat at 10 hours postmortem, nevertheless the cooking loss of the restrained beef meat was lower significantly than the unrestrained one at all observations. Therefore, the water holding capacity of the restrained beef meat was better than the unrestrained one. Keywords: restraining box, beef meat, cooking loss, drip loss.

KUALITAS DAGING SAPI YANG DIPOTONG MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX: DRIP LOSS DAN COOKING LOSS EVA FATIMAH Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul Nama NRP : Kualitas Daging Sapi yang Dipotong Menggunakan Restraining Box: Drip Loss dan Cooking Loss : Eva Fatimah : B04104187 Disetujui Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi. Pembimbing Diketahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2007 sampai Januari 2008 ini ialah mengenai daging, dengan judul Kualitas Daging Sapi yang Dipotong Menggunakan Restraining Box: Drip Loss dan Cooking Loss. Terima kasih penulis ucapkan pada: 1 Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi selaku pembimbing skripsi. 2 drh. Muchidin Noordin selaku pembimbing akademik. 3 drh. Trioso Purnawarman, Msi selaku penguji. 4 drh. Roso Soejoedono, MPH, DEA, Dr. drh. Winny Sanjaya, MS, dan Prof. Dr. Drh Mirnawati Sudarwanto selaku dosen Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (Kesmavet FKH IPB). 5 Bapak Tedi dan Bapak Hendra selaku staf Laboratorium Kesmavet FKH IPB yang telah membantu selama penelitian. 6 Drh. Arif Wicaksono dari Ditkesmavet. 7 Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kota dan Kabupaten Bogor. 8 Rohi dan Deasy sebagai rekan satu tim dalam penelitian. 9 Teman terbaik (Sabrina, Diah, Deasy, Fhoci, Nina, Siti Winda, dan Dina) dan Sesamoidea (Adjeng, An Nisaa, dan Ridla) yang telah banyak mendukung. 10 Sahabat di HMI khususnya Reni, Irma, Nurul, Mayang, Titin, Sirri, Jaya, dan Bama yang telah memberi semangat. 11 Seluruh Asteroidea 41 yang sangat dibanggakan. 12 Ungkapan terimakasih yang terdalam disampaikan kepada kedua orangtua, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Juli 2008 Eva Fatimah

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 29 Oktober 1986 dari ayah yang bernama H. Sobandi dan Ibu yang bernama H. Masidah. Penulis merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri I Pandeglang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan memilih Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti berbagai organisasi internal kampus seperti Himpunan Profesi Ruminansia, Komunitas Seni Steril, dan Gita Klinika. Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi eksternal Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Manfaat... 2 Hipotesis... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Penanganan Sapi Sebelum Pemotongan... 3 Restraining Box... 4 Pemotongan Hewan... 6 Fisiologi Hewan Sebelum Pemotongan... 7 Konversi Otot Menjadi daging... 9 Daya Ikat Air... 11 Pengujian Daya Ikat Air... 13 BAHAN DAN METODE... 16 Tempat dan Waktu... 16 Alat dan Bahan... 16 Contoh Daging... 16 Pengujian Drip Loss... 16 Pengujian Cooking Loss... 17 Waktu Pengujian... 17 Analisis Data... 17 HASIL DAN PEMBAHASAN... 18 SIMPULAN DAN SARAN... 23 Simpulan... 23 Saran... 23 DAFTAR PUSTAKA... 24 LAMPIRAN... 26 vi vii viii

DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai rata-rata drip loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box... 18 2 Nilai rata-rata cooking loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box... 20

DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Restraining box... 5 2 Hubungan daya ikat air dengan nilai ph daging... 13 3 Perbandingan nilai rata-rata drip loss daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box... 19 4 Perbandingan nilai rata-rata cooking loss daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box... 21

DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Nilai drip loss setiap contoh daging hasil pemotongan dengan menggunakan restraining box... 27 2 Nilai drip loss setiap contoh daging hasil pemotongan tanpa menggunakan restraining box... 28 3 Nilai cooking loss setiap contoh daging hasil pemotongan dengan menggunakan restraining box... 29 4 Nilai cooking loss setiap contoh daging hasil pemotongan tanpa menggunakan restraining box... 30 5 Data hasil olahan statistika (t-test) untuk nilai drip loss... 31 6 Data hasil olahan statistika (t-test) untuk nilai cooking loss... 34

PENDAHULUAN Latar Belakang Tingginya kebutuhan masyarakat akan protein hewani khususnya daging sapi menuntut tersedianya daging yang aman dan berkualitas tinggi. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kualitas daging diantaranya melalui perbaikan sarana pemotongan hewan perlu dilakukan. Daging sapi adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Selain sumber pangan, daging sapi juga memberi kepuasan serta kenikmatan bagi yang memakannya (Soeparno 1994). Penyediaan bahan pangan dengan nilai gizi yang tinggi seperti halnya daging sapi merupakan masalah penting dalam upaya meningkatkan kesehatan dan kecerdasan masyarakat. Kualitas daging dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor-faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik, dan mineral), dan stres. Faktor-faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, dan nilai ph karkas (Soeparno 1994). Peningkatan kualitas daging penting untuk dilakukan. Penurunan tingkat rasa sakit berkaitan dengan peningkatan kualitas daging (Warriss 1984). Perlakuan yg kasar dalam penanganan pemotongan hewan akan menyebabkan stres pada hewan dan menghasilkan kualitas daging yang rendah. Penanganan hewan saat pemotongan harus diatur dengan baik untuk mempertahankan standar yang berkualitas karena kesejahteraan hewan merupakan bagian dari kualitas daging (Grandin 2001). Salah satu karakteristik kualitas daging adalah daya ikat air (water holding capacity/water binding capacity) yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan menentukan karakteristik kualitas daging lainnya. Penanganan hewan sebelum pemotongan berkaitan erat dengan fisiologi tubuh yang mengakibatkan stres pada hewan, sehingga perlu mendapat perhatian yang lebih. Stres merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging. Untuk mengurangi stres saat pemotongan hewan diperlukan penanganan hewan yang baik sebelum dan saat pemotongan,

2 menghindari tersiksanya hewan dari risiko perlakuan kasar dan mengistirahatkan hewan sebelum disembelih. Hal-hal tersebut dapat dilaksanakan melalui pengembangan sarana pemotongan hewan khususnya di rumah pemotongan hewan (RPH) yaitu dengan penggunaan restraining box. Restraining box adalah alat fiksasi pemotongan sapi supaya sapi yang akan dipotong lebih mudah dikendalikan. Penggunaan restraining box ini diharapkan dapat menghindarkan hewan dari perlakuan kasar sebelum disembelih sehingga tingkat stres hewan sebelum pemotongan dapat dikurangi. Restraining box yang didesain oleh Meat Livestock Australia (MLA) adalah salah satu desain restraining box yang digunakan oleh beberapa RPH di Indonesia saat ini. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemotongan sapi dengan restraining box terhadap daya ikat air yang menentukan kualitas daging melalui uji drip loss dan cooking loss. Manfaat Penelitian ini bermanfaat untuk: 1 Memberikan gambaran kualitas daging dari pemotongan hewan yang menggunakan restraining box dan tanpa restraining box. 2 Memberikan manfaat restraining box. Hipotesis Penggunaan restraining box dan non-restraining box pada saat pemotongan sapi di rumah pemotongan hewan dapat memperlihatkan perbedaan nilai daya ikat air seperti drip loss dan cooking loss.

TINJAUAN PUSTAKA Penanganan Sapi Sebelum Pemotongan Daging yang baik dapat diperoleh melalui proses pemotongan yang baik. Syarat untuk memperoleh hasil pemotongan yang baik adalah (1) hewan harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) hewan harus tidak mengalami stres, (3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin, (4) kerusakan karkas harus minimal, dan (5) cara pemotongan harus higienis, ekonomis, aman bagi para pekerja rumah potong hewan (RPH) (Swatland et al. 1984). Menurut Soeparno (1994), syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan hewan adalah hewan harus sehat, yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan atau mantri hewan yang berwenang. Hewan sehat yang dimaksud berarti: (1) hewan harus tidak dalam keadaan lelah atau habis dipekerjakan, (2) hewan yang sudah tidak produktif lagi, dan (3) hewan yang disembelih dalam keadaan darurat. Sapi merupakan salah satu hewan mamalia berdarah hangat yang dapat merasakan sakit serta memiliki emosi atau rasa takut. Rasa takut dan penderitaan atas rasa sakit tersebut merupakan bagian dari sistem otak hewan yang dapat menyebabkan stres sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas hasil pemotongan (Chambers & Grandin 2001). Kunci utama pemotongan yang baik terletak pada penanganan hewan sebelum pemotongan. Penanganan yang benar akan membantu meningkatkan keamanan dan keselamatan para pekerja RPH karena hewan besar cukup berbahaya jika berontak saat penanganan sebelum pemotongan (Grandin 1992). Penanganan pemotongan hewan yang manusiawi menjadi hal yang sangat penting karena dapat mengurangi penderitaan hewan, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas dan nilai daging serta produk sampingan daging lainnya, sehingga menjamin keamanan pangan dan berpengaruh terhadap pendapatan negara. Namun pada kenyataannya banyak negara berkembang belum optimal melakukan pengembangan dan pelaksanaan aturan-aturan penanganan hewan yang manusiawi. Hal tersebut berakibat pada kondisi dan perlakuan yang kasar pada saat penanganan hewan sehingga menyebabkan penderitaan pada hewan (Chambers & Grandin 2001). Pada saat pemotongan, hewan harus berada pada kondisi sehat dan memiliki psikologi yang normal (Chambers & Grandin 2001). Hewan yang akan

4 dipotong harus diistirahatkan di kandang sementara terlebih dahulu supaya hewan menjadi lebih tenang sehingga hewan lebih mudah ditangani dan tidak diperlakukan kasar. Hewan yang sudah diistirahatkan di kandang sementara selanjutnya digiring dalam jalur (gang way) menuju restraining box. Lebar jalur tersebut berukuran 76 cm atau disesuaikan dengan jenis hewan. Jalur tersebut dibuat supaya hewan lebih tenang dan lebih mudah masuk ke dalam restraining box (Grandin 2001). Proses pengendalian hewan sebelum pemotongan yang tidak benar akan menimbulkan rontaan pada hewan sehingga hewan akan mengalami memar akibat terbanting ke lantai (Meischke & Horder 1976). Penanganan hewan sebelum pemotongan juga berkaitan dengan kesempurnaan proses pengeluaran darah. Pengeluaran darah yang tidak sempurna akan menyebabkan darah tertahan di jaringan. Darah yang terakumulasi di jaringan akibat pengeluaran darah postmortem yang tidak sempurna akan menyebabkan masa simpan daging yang pendek, warna daging yang kusam, dan cemaran bakteri daging (Chrystall et al. 1981; Warriss 1984; Lambooy 1981; Weise et al. 1982). Menurut Warris (1984), akumulasi darah akibat penanganan yang tidak benar berada di ruang toraks, ruang abdominal, hati, dan jantung. Restraining Box Sapi yang akan dipotong harus ditangani sebaik mungkin sehingga dibutuhkan alat fiksasi khusus sebelum dirobohkan untuk dipotong. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga stabilitas atau gerak sapi sehingga tidak menimbulkan rasa sakit pada sapi. Dengan adanya restraining box proses perobohan dapat lebih mudah dilakukan (Grandin 2001). Restraining box adalah sebuah alat fiksasi pemotongan sapi di rumah pemotongan hewan (RPH) yang berfungsi mengendalikan sapi sesaat sebelum pemotongan. Dengan adanya restraining box, tingkat stres pada sapi sebelum dipotong dapat dikurangi, baik akibat pengaruh lingkungan di RPH maupun faktor-faktor lainnya seperti pengangkutan dan penampungan sementara yang padat. Adapun jenis restraining box yang digunakan di Indonesia adalah desain restraining box dari Meat Livestock Australia (MLA) yang dapat dilihat pada Gambar 1.

5 (a) (b) Gambar 1 Restraining box: (a) struktur utuh restraining box dan (b) posisi sapi di dalam restraining box (Anonim 2006). Istirahat yang cukup pada sapi akan menjaga sapi tetap sehat dan dapat menurunkan tingkat stres. Proses robohnya sapi saat pintu restraining box dibuka sangatlah perlahan-lahan, sehingga tidak akan menimbulkan memar pada daging dan akan menghasilkan kualitas daging yang sempurna, segar, dan higienis (Anonim 2006). Alat yang digunakan untuk mengendalikan sapi sebelum pemotongan prinsipnya bekerja dengan cara mengekang sapi. Alat pengekang tersebut dapat berbentuk kotak dengan ukuran yang pas dengan ukuran sapi sehingga sapi tidak melakukan gerakan yang dapat menyulitkan saat dirobohkan (Chambers & Grandin 2001). Saat hewan terbanting ke lantai sesaat sebelum pemotongan, rumen menekan ke arah diafragma dan paru-paru sehingga proses bernapas menjadi sulit. Selain itu penanganan hewan sebelum pemotongan yang tidak tepat dapat mengakibatkan memar bahkan luka. Oleh karena itu, dibutuhkan desain peralatan pengendalian hewan yang baik agar tidak menimbulkan kesakitan pada hewan (Grandin 1992).

6 Selain restraining box yang didesain oleh MLA, ada juga jenis-jenis restrainer lain yang digunakan di RPH yang tujuan utamanya sama dengan restraining box MLA yaitu untuk mengurangi tingkat stres pada hewan saat pemotongan. Selama delapan belas tahun sebuah rumah pemotongan sapi besar menggunakan sistem restrainer V untuk menangani hewan selama pemingsanan dan pengekangan. Restrainer V merupakan perangkat yang aman dan manusiawi dibandingkan dengan knocking box tipe lama (old style). Meskipun demikian masih terdapat kekurangan dengan perangkat ini yaitu hewan harus dimasukkan secara paksa dan petugas pemingsanan kesulitan untuk menjangkau hewan supaya stunner mengenai bagian depan kepala hewan (Anonim 2008). Sapi yang akan dipotong tidak boleh terlalu lama berada dalam restraining box sehingga petugas harus cukup terlatih dan diawasi dengan baik. Oleh karena itu, petugas RPH harus telah mengikuti pelatihan khusus dan memiliki ijin resmi (Grandin 1992). Pemotongan Hewan Penyembelihan hewan memiliki peranan penting dalam mempertahankan kualitas daging/ karkas yang dihasilkan. Ini terkait dengan kerja fisiologis hewan, perubahan-perubahan baik fisik maupun biokimia segera setelah disembelih. Pemotongan adalah salah satu bagian dari proses penanganan hewan di RPH. Pada proses tersebut sapi disembelih pada bagian leher dengan memotong Arteri carotis, Vena jugularis, trakea, dan esofagus (Soeparno 1994). Pisau pemotong harus selalu diasah karena pisau yang tumpul akan memperpanjang proses pemotongan dan saluran darah tidak terpotong dengan baik. Hal tersebut akan mengakibatkan penggumpalan darah yang dapat menyumbat saluran darah sehingga proses pengeluaran darah akan lebih lambat sedangkan proses harus berlangsung cepat dan tepat (Grandin 2001). Cara penyembelihan hewan bermacam-macam sesuai dengan kebiasaan, adat istiadat, dan agama masyarakat setempat. Di Indonesia dan masyarakat Islam lainnya, penyembelihan dilakukan dengan menyebut nama Allah dan disembelih secara langsung dengan alat penyembelihan yang tajam. Namun demikian prinsip penyembelihan hewan adalah bahwa hewan harus disembelih secepat mungkin dan rasa sakit diusahakan seminimal mungkin untuk

menghindari stres (tekanan) dan pengurangan cadangan glikogen (Suharyanto 2008). 7 Fisiologi Hewan Sebelum Pemotongan Aktivitas tubuh yang berat seperti pada saat proses penanganan hewan sebelum pemotongan yang tidak tepat akan mempengaruhi berbagai proses fisiologi seperti proses kontraksi otot, sistem metabolisme, sistem pernafasan, sistem kardiovaskular, dan sistem endokrin. Proses kontraksi otot adalah proses aktif yang membutuhkan energi. Kontraksi otot secara langsung melibatkan empat protein miofibrilar yaitu miosin, aktin, tropomiosin, dan troponin. Energi untuk kontraksi diperoleh dari adenosin trifosfat (ATP) melalui suatu reaksi yang dikatalisis oleh enzim ATP-ase miosin yang terdapat di bagian kepala molekul miosin. Aktivitas enzim ATP-ase miosin akan meningkat dengan pembebasan Ca 2+ ke dalam sarkoplasma. Peningkatan Ca 2+ bebas di dalam sarkoplasma mengawali proses pembentukan jembatan lintang antarfilamen aktin dan miosin, serta meningkatkan hidrolisis ATP yang menghasilkan energi kimia. Jembatan lintang aktin-miosin mengubah energi kimia menjadi energi mekanik dan mengawali pergeseran filamen sehingga menghasilkan daya untuk kontraksi (Soeparno 1994). ATP akan digunakan sebagai sumber energi untuk kontraksi, memompa ion Ca 2+ pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan Na dan K (Suharyanto 2008). Daya kontraksi otot merupakan suatu ukuran dari jumlah kerja yang dapat dilakukan oleh otot dalam suatu periode waktu tertentu yang ditentukan oleh kekuatan kontraksi, kecepatan kontraksi, dan jumlah kontraksi otot. Apabila otot berkontraksi maksimum dapat menimbulkan kerobekan interna dari otot sehingga akan terjadi nyeri otot yang tinggi. Tingkat kekuatan kontraksi otot tergantung pada dukungan nutrisi untuk otot terutama kandungan glikogen yang tersimpan dalam otot (Guyton 1994). Glikogen akan dirombak menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat (aerob) dan akan menghasilkan ATP. Pada otot ATP akan digunakan untuk proses kontraksi dan relaksasi sehingga memungkinkan hewan untuk bergerak atau beraktivitas. Dengan demikian otot skelet disebut sebagai alat pergerakan tubuh atau sebagai energi mekanik (Suharyanto 2008). Sistem metabolisme dalam otot berhubungan dengan sistem fosfagen dan sistem glikolisis. Sumber dasar energi bagi kontraksi otot adalah ATP yang

8 mengandung ikatan fosfat berenergi tinggi. Setiap proses kontraksi melibatkan pelepasan fosfat. Pelepasan fosfat pertama mengubah ATP menjadi adenosin difosfat (ADP) dan pelepasan fosfat kedua mengubah ADP menjadi adenosin monofosfat (AMP). Jumlah ATP dalam otot hanya cukup mempertahankan daya otot maksimum dalam waktu yang tidak terlalu lama. Oleh karena itu, pasokan ATP secara terus menerus timbul melalui mekanisme pelepasan energi dari fosfokreatin (Guyton 1994). Produksi ATP dari glikogen dapat dibentuk melalui tiga jalur yaitu (1) glikolisis, perombakan glikogen menjadi asam laktat sebagai produk akhir (melalui proses glikolisis anaerob) atau melalui pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudian menjadi asam laktat (anaerob), pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP; (2) siklus asam trikarboksilat (siklus krebs), sebagian asam piruvat hasil perombakan glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk ke dalam siklus asam trikarboksilat yang menghasilkan CO 2 dan atom H. Atom H kemudian masuk ke rantai transpor elektron dalam mitokondria untuk menghasilkan H 2 O serta 30 mol ATP; dan (3) hasil glikolisis berupa atom H secara aerob melalui rantai transpor elektron dalam mitokondria bersama dengan O 2 dari darah akan menghasilkan H 2 O dan 4 mol ATP. Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi glukosa monofosfat kemudian dirombak menjadi CO 2 dan H 2 O, serta 37 mol ATP (Guyton 1994). Fosfokreatin adalah senyawa kimia yang memilki suatu ikatan fosfat berenergi tinggi. Fosfokreatin dapat diubah menjadi kreatin dan ion fosfat untuk melepaskan energi dalam jumlah yang besar melebihi ikatan dalam ATP. Oleh karena itu, fosfokreatin dapat dengan mudah menyediakan energi untuk menggantikan ikatan energi tinggi dari ATP. Selain itu, jumlah fosfokreatin dalam otot lebih banyak daripada ATP. Ciri utama energi yang ditransfer dari fosfokreatin ke ATP adalah bahwa energi tersebut timbul dalam hitungan waktu yang singkat sehingga semua energi yang tersimpan dalam fosfokreatin otot tersedia secara cepat untuk kontraksi otot, demikian pula energi yang tersimpan dalam ATP. Fosfokreatin sel dengan ATPnya disebut sistem energi fosfagen. Keduanya secara bersama-sama dapat memberikan daya otot maksimum (Guyton 1994).

9 Konversi Otot Menjadi Daging Kegagalan Sistem Peredaran Darah. Kegagalan sistem peredaran darah yang mengikuti penyembelihan hewan mengakibatkan persediaan oksigen di dalam otot menjadi habis, maka proses aerobik berhenti berfungsi (Lawrie 1979). Selain itu metabolisme energi, yaitu pemecahan (oksidasi) glikogen menjadi asam laktat bertukar menjadi glikolisis anaerob. Produksi dan Pelepasan Panas Postmortem. Pengeluaran darah mengakibatkan hilangnya mekanisme pengendalian suhu di dalam otot oleh sistem sirkulasi. Panas dari bagian dalam tubuh tidak ada lagi yang diangkut ke paru-paru dan bagian permukaan tubuh lain, sehingga terjadi kenaikan suhu di dalam otot setelah pemotongan. Kenaikan suhu otot setelah pemotongan tergantung pada laju pelepasan panas. Ukuran dan lokasi otot serta jumlah lemak juga mempengaruhi kenaikan suhu akhir dan laju pelepasan panas. Faktor yang menyebabkan kenaikan suhu postmortem juga menyebabkan penurunan ph otot postmortem (Aberle et al. 2001). Adapun faktor eksternal yang berhubungan dengan proses pemotongan adalah suhu ruangan pemotongan, pencelupan dalam air panas, lama proses pemotongan, suhu awal pemotongan, dan tingkat persediaan energi tubuh. Pelayuan. Pelayuan adalah penanganan karkas atau daging segar postmortem yang secara relatif belum mengalami kerusakan mikrobial dengan cara penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu pada suhu tertentu di atas titik beku daging (-1.5 C). Istilah pelayuan sering disebut aging atau conditioning, kadang-kadang hanging. Suhu yang digunakan dalam proses pelayuan adalah 2-4 C. Proses pelayuan ini menurut beberapa literatur dapat memperbaiki kulitas daging, namun pada kenyataannya proses ini banyak dilupakan oleh industri pengolahan daging. Peningkatan tekanan osmotik, Pembebasan ion Na +, dan Ca 2+ ke dalam sarkoplasma oleh protein-protein otot dan absorbs ion K +, serta perubahan struktur otot setelah 24 jam pelayuan dapat meningkatkan daya ikat air (Soeparno 1994). Penurunan ph Postmortem. Penimbunan asam laktat dan tercapainya ph akhir otot postmortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan. Penimbunan asam laktat akan terhenti setelah cadangan glikogen otot habis atau saat ph cukup rendah untuk menghentikan enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerob. ph akhir daging adalah ph yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis, enzim-enzim glikolitik menjadi tidak

10 aktif pada ph rendah, atau setelah glikogen tidak lagi sensitif terhadap seranganserangan enzim glikolitik (Lawrie 1979). ph akhir daging postmortem adalah sekitar 5.5 yang sesuai dengan titik isoelektrik protein daging termasuk protein miofibrilar. Pada umunya glikogen tidak ditemukan lagi pada ph antara 5.4-5.5. Faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan ph postmortem dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot, dan variabilitas diantara hewan. Sedangkan faktor ekstrinsik antara lain suhu lingkungan, bahan aditif, dan stres sebelum pemotongan. Penurunan ph daging postmortem berkaitan dengan suhu lingkungan (penyimpanan). Suhu yang tinggi dapat meningkatkan laju penurunan ph, sedangkan suhu yang rendah dapat menghambat laju penurunan ph. Pengaruh suhu terhadap perubahan ph postmortem berkaitan dengan pengaruh langsung dari suhu terhadap laju glikolisis postmortem (Soeparno 1994). Rigormortis atau Kekakuan Otot Setelah Kematian. Rigormortis adalah kekakuan otot setelah kematian dan otot menjadi tidak dapat diregangkan. Sesaat setelah hewan mati maka ATP dan sisa-sisa glikogen yang terbentuk menjelang hewan mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigormortis yang ditandai dengan kekakuan otot. Cepat lambatnya waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigormortis sangat tergantung pada sedikit banyaknya ATP yang tersedia pada saat hewan disembelih. Kondisi hewan yang kurang istirahat menjelang disembelih dan terutama pada kondisi stres atau kelelahan akan mempercepat terbentuknya rigormortis (Abustam 2008). Pertautan antara miofilamen tebal (miosin) dan miofilamen tipis (aktin) pada organisasi miofibrilar otot mengakibatkan terbentuknya ikatan aktomiosin yang permanen sehingga terjadi kekakuan otot (Huxley 1960). Pada saat hewan masih hidup maka pertautan kedua miofilamen ini (tebal dan tipis) berlangsung secara reversible yakni kontraksi dan relaksasi. Ketika kedua miofilamen bergesek maka dikatakan terjadi kontraksi dan sarkomer akan memendek sebaliknya pada saat kedua miofilamen saling melepas (tidak terjadi pergesekan) maka disebut terjadi relaksasi ditandai dengan sarkomer memanjang (Abustam 2008).

11 Beberapa saat setelah pemotongan, ATP masih dapat disintesis kembali dari kreatin fosfat. Bila kreatin fosfat habis, maka lamanya perkembangan rigormortis ditentukan oleh jumlah glikogen yang tersedia di dalam otot dan enzim-enzim glikolitik yang masih mampu bekerja (Soeparno 1994). Daya Ikat Air Daya ikat air oleh protein daging atau water holding capacity (WHC) atau water binding capacity (WBC) adalah kemampuan protein daging untuk mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno 1994). WHC merupakan salah satu faktor yang menentukan kelezatan dan daya terima daging oleh konsumen. Pengukuran banyaknya air yang hilang atau drip merupakan hal yang penting dalam penentuan rantai harga, karena mempengaruhi bobot karkas/ daging. Tingkat daya ikat air ini ditentukan oleh spesies, genetik, laju glikolisis, ph akhir, proses pemotongan, dan waktu (Honikel 1998). Daya ikat air dapat diketahui dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum dibekukan, drip pada daging mentah beku yang disegarkan kembali, atau kerut pada daging masak. Eksudasi cairan berasal dari cairan daging dan lemak daging (Soeparno 1994). Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen yaitu (1) lapisan monomolekular, air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebanyak 4-5%, (2) molekul air terhadap grup hidrofilik, air yang terikat agak lemah oleh protein dan terbentuk bila tekanan uap meningkat, jumlahnya kira-kira 4%, dan (3) molekul-molekul air bebas di antara molekul protein, jumlahnya sekitar 10%. Jumlah air yang terikat pada lapisan pertama dan kedua bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan lapisan ketiga akan menurun bila protein daging mengalami denaturasi (Soeparno 1994). Menurut Bouton et al. (1972), daya ikat air dipengaruhi oleh ph. Daya ikat air menurun dari ph tinggi sekitar 7-10 sampai pada ph titik isoelktrik protein-protein daging antara 5.0-5.1. Pada ph titik isoelektrik daging tidak bermuatan, yaitu jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif. Berbagai faktor yang mempengaruhi daya ikat air otot, juga mempunyai pengaruh yang relatif sama terhadap daging beku. Air yang keluar dari dalam

12 sel-sel otot selama proses pembekuan dan muncul sebagai drip pada saat penyegaran kembali memilki hubungan dengan daya ikat air. Pada prinsipnya jika daya ikat air meningkat, drip menurun (Soeparno 1994). Drip loss meningkat sejalan dengan lamanya penyimpanan dalam pendingin (George 1974; Rajeswari & Hameed 1998; George et al. 1990). Waktu dan suhu penyimpanan dalam pendingin merupakan faktor yang penting yang menpengaruhi drip loss. Kelembaban lingkungan berpengaruh besar terhadap drip loss misalnya akibat proses thawing (George 1974). Penurunan ph yang cepat juga dapat meningkatkan drip loss (Lawrie 1979; Haard 1977). Laju pembekuan dan ukuran kristal es yang terbentuk ikut menentukan jumlah drip. Pada laju pembekuan yang sangat cepat, kristal es berukuran kecil terbentuk di dalam sel sehingga struktur daging tidak mengalami perubahan. Pada pembekuan dalam waktu yang lama, kristal es mulai terjadi di luar serabut otot (ekstraselular). Air yang membeku pada kristal es yang sudah terbentuk sebelumnya menyebabkan kristal es membesar, sehingga kristal-kristal yang besar ini menyebabkan distorsi dan merusak serabut otot serta sarkolema (Soeparno 1994). Pemasakan menyebabkan perubahan daya ikat air karena adanya solubilitas daya ikat air. Suhu tinggi meningkatkan denaturasi protein dan menurunkan daya ikat air (Bouton et al. 1972). Pemasakan pada suhu tertentu akan menimbulkan efek yang berbeda terhadap protein-protein daging, yaitu pada suhu 30 C dan 40 C protein miofibrilar mengalami koagulasi, pada suhu 55 C protein miofibrilar mengalami denaturasi sempurna, dan pada suhu 60 C protein sarkoplasmik hampir mengalami denaturasi sempurna (Soeparno 1994). Fungsi atau gerakan otot yang berbeda juga ikut mempengaruhi perbedaan daya ikat air, karena perbedaan jumlah glikogen yang menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan penurunan nilai ph bervariasi. Daya ikat air dipengaruhi oleh nilai ph postmortem (Bouton et al. 1972). Hubungan daya ikat air dan nilai ph postmortem pada daging setelah pemotongan dapat dilihat pada Gambar 2.

13 Daya Ikat Air ph repulsi repulsi Gambar 2 Hubungan daya ikat air dengan nilai ph daging (a) ekses muatan positif pada miofilamen, (b) muatan positif dan negatif seimbang, dan (c) ekses muatan negatif pada miofilamen (Soeparno 1994). Pengujian Daya Ikat Air Beberapa uji yang dapat menentukan daya ikat air pada daging dapat dipengaruhi oleh gravitasi, sentrifugasi, kekuatan serabut otot, dan pengaruh lainnya (Honikel 1998). Teknik penggantungan sampel dalam plastik merupakan metode yang dipengaruhi oleh gravitasi yang diperkenalkan oleh Honikel (1998). Metode tersebut membutuhkan sampel otot yang disimpan selama 24 jam dan dilihat seberapa banyak cairan yang keluar. Pengukuran daya ikat air bergantung pada jumlah air yang keluar dengan memberikan tekanan agar cairan dilepaskan. Kauffman et al. (1986) mengembangkan beberapa metode pengukuran daya ikat air, antara lain pengukuran cairan yang dilepaskan pada proses sentrifugasi. Teknik sentrifugasi dilakukan melalui kekuatan sentrifugal dengan kecepatan tinggi dan kekuatan gravitasi. Perlakuan tersebut akan memberi kekuatan yang akhirnya menghasilkan supernatant sebagai cairan. Sampel otot ditimbang sebelum dan sesudah sentrifugasi untuk menentukan jumlah cairan yang hilang dan perhitungan daya ikat air dapat diprediksi (Warriss 1984). Modifikasi metode sentrifugasi pada kecepatan tinggi merupakan metode eksperimental yang menggunakan daging mentah atau masak dengan cara sejumlah 1.5 2.5 gram daging disentrifugasi pada kecepatan 100000 X G (36000 rpm) selama 60 menit menggunakan alat sentrifugasi yang dapat dioperasikan

14 pada suhu 0 ºC. Sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge polipropilen atau nitrit selulosa dan dapat ditambah akuades agar tabung tidak pecah. Setelah sentrifugasi, jus daging dipisahkan dari residu daging. Residu daging diambil dari tabung sentrifuse dengan menggunakan forcep, dan dikeringkan permukaannya dengan kertas isap tanpa tekanan dan ditimbang kembali. Total kadar cairan daging mentah ditentukan dengan menghitung kehilangan berat setelah pemanasan dalam oven pada suhu 100 ºC sampai berat konstan (selama 18 24 jam) (Bouton et al. 1972). Metode lainnya yang telah banyak diketahui adalah daging ditempatkan pada filter paper disc kemudian ditempatkan di antara dua plat dan ditekan, kemudian akan terbentuk dua lingkaran yaitu daerah yang tertutup sampel daging yang telah menjadi rata atau lingkaran dalam dan daerah basah di sekitarnya atau lingkaran luar ditandai dan diukur. Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup daging. Drip adalah cairan daging yang keluar atau eksudasi cairan beserta nutrien daging yang larut dan hilang pada saat penyegaran kembali daging beku atau selama proses pelayuan (Soeparno 1994). Drip loss merupakan salah satu pengukuran daya ikat air dengan prinsip air bebas akan dilepaskan dari protein otot sejalan dengan penurunan ph otot (Lukman et al. 2008). Kadar air yang hilang dihitung berdasarkan persentase hilangnya berat contoh selama pendinginan terhadap berat awal contoh. Pada proses ini sejumlah contoh daging diikat dengan tali pada kawat penggantung kemudian didinginkan pada suhu refrigerator (+ 4 ºC) selama 24-48 jam. Faktor kelembaban relatif di dalam ruang pendingin mempengaruhi pengerutan daging selama proses pendinginan. Kelembaban relatif ini sebaiknya dijaga tetap tinggi (88%-92%) untuk mencegah pengerutan yang berlebihan yang disebabkan oleh hilangnya cairan karkas selama proses pendinginan (Soeparno 1994). Berat yang hilang selama pemasakan atau pemanasan lazim disebut cooking loss. Kadar air yang hilang dihitung berdasarkan persentase hilangnya berat contoh selama pemasakan terhadap berat awal contoh. Pada proses pemanasan ini, suhu dan durasi pemanasan berpengaruh besar terhadap daya ikat air. Pada proses ini sejumlah contoh daging dipanaskan pada wadah berisi air pada suhu 75 ºC selama 50 menit.

15 Pada umumnya cooking loss bervariasi antara 1.5% dan 54.5% dengan kisaran 15%-40%. Sifat mekanik daging termasuk cooking loss merupakan indikasi dari sifat mekanik miofibril dan jaringan ikat dengan bertambahnya umur hewan, terutama peningkatan panjang sarkomer (Bouton et al. 1972). Besarnya cooking loss dapat dipergunakan untuk mengestimasi jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan cooking loss yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan cooking loss yang lebih besar karena kehilangan zat gizi saat pemasakan akan lebih sedikit (Soeparno 1994).

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di rumah pemotongan hewan (RPH) Kota dan Kabupaten Bogor dengan pengujian laboratorium di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor selama lima bulan, mulai November 2007 sampai Januari 2008. Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk pemeriksaan drip loss adalah timbangan, benang, kawat penggantung, kertas tisu, kantong plastik, gunting, label, dan lemari es. Alat yang digunakan untuk pemeriksaan cooking loss adalah kertas tisu, kantong plastik tahan panas, panci air, termometer, timbangan, label, dan pemanas (kompor). Adapun bahan yang digunakan adalah contoh daging sapi. Contoh Daging Bahan yang digunakan adalah contoh daging bagian knuckle atau daging kelapa (Musculus vastus lateralis, M. vastus medialis, M. vastus intermedialis, dan M. rectus femoris) dari Brahman cross steer dari setiap contoh daging yang diambil seberat 500 gram. Banyaknya contoh yang digunakan dalam penelitian adalah 40, terdiri dari 20 contoh hasil pemotongan dengan restraining box (RPH Kabupaten Bogor) dan 20 contoh dari pemotongan tanpa restraining box (RPH Kota Bogor). Contoh daging yang diambil untuk diuji tidak melalui berbagai perlakuan tambahan setelah pemotongan. Pengujian Drip Loss Pengujian drip loss dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap penimbangan contoh, tahap penyimpanan, dan tahap pengukuran. Contoh daging ditimbang ± 5 gram (a gram) kemudian contoh daging digantung dengan benang pada kawat lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian diikat dan disimpan dalam lemari es (4-5 C) selama 24 jam. Setelah itu daging ditimbang kembali (b gram).

Pengukuran nilai drip loss dilakukan dengan cara perhitungan dengan rumus sebagai berikut: 17 % drip loss = a b x 100% a Pengujian Cooking Loss Pengujian cooking loss dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap penimbangan contoh, tahap pemasakan dan tahap pengukuran. Contoh daging ditimbang sebanyak 70-100 gram (a gram) lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas kemudian dipanaskan dalam air suhu 75 C selama 50 menit selanjutnya daging ditimbang kembali (b gram). Pengukuran nilai cooking loss dilakukan dengan cara perhitungan dengan rumus sebagai berikut: % cooking loss = a b x 100% a Waktu Pengujian Pengujian contoh daging terhadap drip loss dan cooking loss dilakukan pada jam ke-6, jam ke-8, dan jam ke-10 setelah pemotongan. Analisis Data Hasil pemeriksaan dan perhitungan persentase drip loss dan cooking loss pada setiap waktu pemeriksaan dianalisis dengan uji t untuk membandingkan dua populasi data, yaitu data hasil perlakuan restraining box dan tanpa restraining box.

HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rata-rata drip loss dan cooking loss daging yang dihasilkan dari pemotongan menggunakan restraining box relatif lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa menggunakan restraining box. Hal ini menunjukkan pemotongan dengan restraining box menghasilkan daya ikat air daging yang relatif lebih tinggi daripada pemotongan tanpa restraining box (Tabel 1 dan 2). Pada ketiga jam pengamatan, drip loss pada daging hasil pemotongan dengan restraining box lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box. Nilai drip loss daging dengan restraining box yang diuji pada jam ke-10 memiliki nilai yang nyata lebih rendah (p<0.05) daripada daging tanpa restraining box, sedangkan kedua jam sebelumnya tidak nyata (p>0.05). Nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah 6.1+1.7, lalu mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu rata-rata 5.6+2.6, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 6.3+1.7. Sedangkan pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, nilai rata-rata drip loss pada jam ke-6 adalah 6.7+2.4 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata 6.2+2.1, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 7.8+2.4 (Tabel 1 dan Gambar 3). Tabel 1 Nilai rata-rata drip loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Jam ke- Restraining Box Non-Restraining Box 6 6.1 + 1.7 * 6.7 + 2.4 * 8 5.6 + 2.6 * 6.2 + 2.1 * 10 6.3 + 1.7 * 7.8 + 2.4 ** Keterangan: superscript (*) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

19 Drip loss (%) 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 6 8 10 Jam ke- Restraining Box Non-Restraining Box Gambar 3 Perbandingan nilai rata-rata drip loss daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box. Dari Tabel 1 dan Gambar 3 terlihat bahwa nilai drip loss daging dengan restraining box lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan restraining box. Hal tersebut berkaitan dengan proses penanganan hewan sebelum pemotongan. Hewan yang menggunakan restraining box sebelum pemotongan tidak diperlakukan secara kasar sehingga tidak mengalami stres. Berbeda dengan hewan yang tidak menggunakan restraining box, hewan diperlakukan secara kasar sehingga hewan tersiksa dan ketakutan, yang mengakibatkan hewan menjadi stres. Stres akan menyebabkan laju glikolisis anaerob berlangsung lebih cepat sehingga laju penurunan ph postmortem juga lebih cepat. Hal tersebut berdampak pada daya ikat air, sehingga banyak cairan dari daging yang dilepas, yang berarti drip loss tinggi. Nilai drip loss daging tanpa restraining box nyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang menggunakan restraining box pada jam ke-10. Hal tersebut diduga karena pada jam ke-10 telah terjadi proses rigormortis. Rigormortis adalah proses kekakuan (kontraksi) otot setelah kematian yang bersifat irreversible. Onset rigormortis pada sapi terjadi + 6-12 jam setelah kematian. Dalam keadaan rigormortis, daya ikat air daging menjadi relatif lebih rendah, yang terkait dengan pembentukan ikatan di antara miofilamen (aktin dan miosin), sehingga ruang di antara miofilamen menjadi lebih kecil (Soeparno 1994). Selain itu, suhu juga mempengaruhi daya ikat air. Penelitian Hermansyah (2008) menunjukkan bahwa penurunan nilai ph daging yang dihasilkan dari pemotongan yang menggunakan restraining box

20 relatif lebih tinggi dibandingkan nilai ph daging tanpa restraining box. Penurunan ph pada jam ke-6 sampai jam ke-8 pada daging postmortem baik dengan atau tanpa restraining box mengalami punurunan yang ekstensif, kemudian naik kembali pada jam ke-10. Pada proses penanganan hewan dengan restraining box, hewan lebih tenang pada saat pemotongan. Sedangkan pada hewan yang tidak menggunakan restraining box, hewan lebih banyak bergerak sehingga hewan mengalami stres. Soeparno (1994) menyebutkan bahwa stres sebelum pemotongan disebabkan oleh ketakutan, terluka, dan gerakan yang berlebihan. Menurut Buckle (1983), stres adalah kondisi yang mengancam integritas ternak dan dapat timbul melalui reaksi-reaksi kompleks dari sistem endokrin. Hasil penelitian pada uji cooking loss menunjukkan bahwa daging hasil pemotongan dengan restraining box memiliki nilai cooking loss yang nyata lebih rendah (p<0.05) dibandingkan dengan daging tanpa restraining box baik pada ketiga jam pengamatan. Untuk daging hasil pemotongan dengan menggunakan restraining box, nilai rata-rata cooking loss pada jam ke-6 adalah 41.6+1.1 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 postmortem yaitu dengan rata-rata 41.0+1.2, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 41.5+1.6. Sedangkan pada daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, nilai rata-rata cooking loss pada jam ke-6 adalah 43.7+1.7 dan mencapai nilai terendah pada jam ke-8 yaitu dengan rata-rata 43.0+2.2, kemudian rata-ratanya naik kembali pada jam ke-10 dengan nilai 44.9+2.7 (Tabel 2 dan Gambar 4). Tabel 2 Nilai rata-rata cooking loss daging hasil pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box Keterangan: Jam ke- Restraining Box Non-Restraining Box 6 41.6 + 1.1 * 43.7 + 1.7 ** 8 41.0 + 1.2 * 43.0 + 2.2 ** 10 41.5 + 1.6 * 44.9 + 2.7 ** superscript (*) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

21 46 45 Cooking loss (%) 44 43 42 41 40 39 6 8 10 Jam ke- Restraining Box Non-Restraining Box Gambar 4 Perbandingan nilai rata-rata cooking loss daging yang berasal dari pemotongan dengan dan tanpa menggunakan restraining box. Nilai cooking loss daging dengan menggunakan restraining box nyata lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box pada ketiga jam pengujian berkaitan juga dengan kondisi hewan sebelum pemotongan. Restraining box mencegah terjadinya stres pada hewan sebelum dipotong yang tentunya menyebabkan penurunan ph secara gradual (normal). Perbedaan nyata pada ketiga jam pengujian cooking loss terkait dengan faktor pemanasan saat pengujian yang menambah penurunan daya ikat air, yang menyebabkan drip loss meningkat. Menurut Soeparno (1994), suhu yang tinggi akan mempercepat penurunan ph postmortem sehingga meningkatkan denaturasi protein akibatnya perpindahan air ke ruang ekstraselular meningkat atau drip loss meningkat. Soeparno (1994) menerangkan bahwa stres pada hewan sebelum pemotongan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas daging. Stres dapat terjadi karena penanganan hewan yang tidak benar sebelum pemotongan. Pengendalian hewan dengan menggunakan restraining box dapat mempercepat pengendalian hewan sebelum pemotongan dan menurunkan tingkat stres pada hewan karena hewan tidak melakukan gerakan yang berlebihan dibandingkan dengan yang tidak menggunakan restraining box. Oleh karena itu, menjaga hewan agar tetap tenang sesaat sebelum pemotongan harus dilakukan. Sebagaimana diungkapkan oleh Grandin dan Regenstein

22 (1994), pengendalian hewan yang lebih cepat sesaat sebelum pemotongan dan mengurangi tekanan yang berlebihan harus dilakukan agar hewan tetap dalam keadaan tenang. Selain itu, untuk jaminan kesejahteraan hewan, pengendalian hewan sebelum pemotongan harus dilakukan dengan alat yang sesuai sehingga hewan dalam posisi yang nyaman pada saat dilakukan pemotongan (Grandin 1994). Menurut Gilbert dan Devine (1982), pengendalian yang salah dapat menyebabkan luka pada kulit akibat hewan berontak sehingga akhirnya dapat menyebabkan pendarahan. Cara pengendalian hewan secara konvensional atau tanpa menggunakan restraining box dapat menimbulkan berbagai kerugian seperti terjadi memar, kesakitan pada hewan, bahkan trauma yang menyebabkan penurunan bobot badan (Brown et al. 1981). Grandin (1980) menerangkan bahwa pengendalian yang tidak tepat pada sapi sebelum pemotongan juga akan menyebabkan patah tulang pada pelvis, bahkan ruptura diafragma akibat pemberontakan yang terjadi pada hewan saat pengendalian. Selain itu dapat pula terjadi asphyxia akibat tekanan darah yang tinggi pada Arteri carotis yang mengakibatkan hewan pingsan sebelum pemotongan. Dilihat dari segi ekonomi gizi, penurunan daya ikat air pada daging dapat merugikan konsumen karena daging tersebut berat dan kandungan gizinya berkurang karena pada drip yang dilepaskan terkandung berbagai komponen seperti garam, protein, peptida, asam-asam amino, asam laktat, purin, dan vitamin yang larut dalam air termasuk vitamin B kompleks (Soeparno 1994).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1 Nilai rata-rata drip loss dan cooking loss daging dengan restraining box lebih rendah dibandingkan dengan daging tanpa restraining box. Nilai drip loss berbeda nyata pada jam ke-10, sedangkan cooking loss menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) pada ketiga jam pengamatan. 2 Daya ikat air daging dari RPH yang menggunakan restraining box lebih tinggi dibandingkan dengan daging dari RPH yang tidak menggunakan restraining box. 3 Penggunaan restraining box memiliki peranan yang penting pada sapi sebelum dipotong sehingga sapi tidak melakukan gerakan yang berlebihan yang mengakibatkan penurunan kualitas daging. Penurunan daya ikat air memberi efek terhadap nilai ekonomi dan kesehatan konsumsi masyarakat. Saran 1 Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aspek kualitas daging lainnya seperti kualitas sensorik dan masa simpan daging dari sapi yang dipotong dengan menggunakan restraining box di RPH. 2 Diperlukan manajemen pemotongan hewan di RPH khususnya peralatan pemotongan hewan yang sesuai. 3 Perlu pelatihan yang berkesinambungan bagi pekerja RPH mengenai proses pemotongan yang baik dan higienis serta kualitas dan keamanan daging.

DAFTAR PUSTAKA Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, Mills EW, Hedrick HB, Judge MD, Merkel RA. 2001. Principles of Meat Science. 4th Ed. Dubuque Lowa: Kedall/Hunt. Abustam E. 2008. Konversi otot menjadi daging. http://cinnatalemien.eabustam. blogspot.com/2008/04/konversi-ototmenjadi-daging.html. [23 April 2008]. Anonim editor. 2006. Restraining box [kaset video]. Jakarta: Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan, Meat Livestock Australia (MLA), LIVECORP, APFINDO. Anonim. 2008. Small stock processing equipment. http://www.fea.net.au/ smallstock_ process_equip.htm. [4 Maret 2008]. Bouton PE, Harris PV, Shorthose WR. 1972. The effects of cooking temperature and time on some mechanical properties of meat. J Food Sci 97:140-144 Brown H, Elliston NG, Mc Askill JW, Tonkinson LV. 1981. The effect of restraining fat cattle prior to slaughter on the incidence and severity of injuries resulting in carcass bruises. J Am Soc Anim Sci 33: 363-365. Buckle JW. 1983. Animal Hormones. London: Edward Arnold. Chambers PG, Grandin T. 2001. Petunjuk untuk Penanganan, Pengiriman dan Pemotongan Hewan yang Manusiawi. Marjaya W, penerjemah; Heins G, Srisovan T, editor. Denpasar: Yudisthira. Terjemahan dari: Guidelines for Humane Handling, Transport, and Slaughter of Livestock. Chrystall BB, Devine CE, Newton KG. 1981. Residual blood in lamb muscle. Meat Sci 5:339-45. George C. 1974. Technological aspects of preservation and processing of edible shell fishes and cold storage changes in mussels (Mytilus edulis) and clam (Villorita sp.). J Fis Technol 11: 22 27. George C, Gopakumar K, Perigreen PA. 1990. Frozen storage characteristics of raw and cooked crab (Scylla serrata) segments, body meat and shell on claws. Biol Assoc India 32:193 197. Gilbert KV, Devine CE. 1982. Effect of electrical stunning method on petechial hemorrhages and on the blood pressure of lambs. Meat Sci 7:197-207. Grandin T. 1980. Good cattle restraining equipment is essential. J Vet Med Small Anim Clin 75:1291-1296. Grandin T. 1992. Observation of cattle restraint devices for stunning and slaughtering. J Anim Welfare 1:85-90. Grandin T. 1994. Euthanasia and slaughter of livestock. JAVMA 204:1354-1360. Grandin T. 2001. Antemortem Handling and Welfare. Di dalam: Hui YH, editor Meat Science and Application. New York: Marcel Dekker. Grandin T, Regenstein. 1994. Religious slaughter and animal welfare. Di dalam: A Discussion for Meat Scientists. Meat Focus International. Wallingford: CAB International. Guyton AC. 1994. Fisiologi Kedokteran. Tengadi KA, penerjemah. Jakarta: EGC.